Selasa, 11 September 2007

Puasa dan Solidaritas Sosial



Ian Suherlan
Peneliti Center for Moderate Muslim (CMM)

Kewajiban esensial dalam bulan Ramadhan adalah ibadah puasa. Karena itu, bulan Ramadhan sering disebut bulan puasa. Ibadah puasa ini tidak hanya dibebankan kepada kita, umat Nabi Muhammad SAW, tetapi juga kepada umat-umat terdahulu (QS Al Baqarah [2]: 183). Meski tata cara pelaksanaannya antara satu umat dengan umat Nabi Muhammad SAW mungkin berbeda, namun tujuannya sama, yaitu takwa. Selama ini yang kita rasakan dari puasa hanya lapar dan dahaga (serta menahan hubungan suami istri). Benarkah dari menahan makan dan minum hanya menghasilkan lapar dan dahaga? Tentu saja tidak bermakna jika puasa hanya mendapat lapar dan dahaga.

Puasa disyariatkan dengan target terbinanya insan muttaqien (pribadi takwa). Seruan-seruan kepada takwa ini tidak hanya dalam ibadah puasa, tetapi juga dalam ibadah-ibadah lain bahkan dalam segala aspek muamalah. Pribadi takwa ini memiliki dua dimensi, yakni dimensi internal untuk membentuk pribadi yang saleh (kesalehan individual) dan dimensi eksternal untuk kemaslahatan sesama manusia (kesalehan sosial).

Kesalehan individual
Kesalehan individu merupakan target utama puasa. Seseorang yang berpuasa berarti secara lahir ia telah bertakwa (patuh pada perintah Ilahi). Pelaksanaan ibadah puasa secara langsung mencerminkan ketakwaan. Secara tidak langsung, puasa juga menuntut pelakunya agar senantiasa mengarahkan diri pada nilai-nilai ketakwaan. Dengan demikian, selain pelaksanaan puasa itu sendiri sebagai salah satu bentuk ketakwaan, juga menuntut pelakunya agar mengimplementasikan pesan-pesan yang terkandung dalam puasa, yaitu terjaganya diri dari segala sikap dan tindakan tercela.

Disadari atau tidak, suasana Ramadhan mengondisikan kita untuk meningkatkan pengamalan ajaran agama. Dari bangun tidur hingga tidur lagi, kita disibukkan dengan berbagai ibadah. Tak heran bila setiap kali memasuki bulan Ramadhan, serta-merta kita merasakan adanya perubahan nuansa religius. Berbagai kegiatan keagamaan, seperti pengajian sore menjelang berbuka puasa, kuliah subuh, serta diskusi-diskusi keagamaan lainnya digelar di berbagai tempat.

Media massa elektronika, baik televisi maupun radio tak ketinggalan menyiarkan acara-acara yang tidak hanya berupa 'tontonan' yang hanya enak didengar dan dipandang mata, tetapi juga sekaligus memiliki muatan 'tuntunan'. Begitu pula media cetak, sedikit banyak berubah haluan dengan menyajikan rubrik-rubrik yang sarat nilai religius, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan keutamaan ibadah Ramadhan. Kondisi demikian tentu saja mendorong dan mengarahkan kita pada peningkatan ketakwaan.

Nilai yang paling luhur dalam puasa adalah adanya motivasi yang dapat membangkitkan kesadaran keagamaan, sehingga puasa yang dapat membentuk insan muttaqien adalah puasa yang dapat menerapkan nilai-nilai ketakwaan dalam dimensi hidup lainnya. Rasulullah SAW mensinyalir akan banyaknya orang-orang yang berpuasa, tetapi puasanya tidak memiliki nilai apa-apa karena tidak mampu menahan diri dari segala perbuatan tercela. "Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan tindakan jahat, maka Allah tidak membutuhkan dia meninggalkan makan dan minum," (HR Ahmad).

Karena itu, terjaganya kualitas puasa tiada lain adalah menahan diri dari segala ucapan dusta (juga kotor) dan tindakan jahat, termasuk korupsi dan kolusi yang kini tengah menjadi penyakit sosial negeri ini. Begitu pentingnya menjaga kualitas puasa dari segala hal yang mengurangi nilainya, sampai-sampai kita diperintah untuk mengatakan ana shaimun (saya sedang berpuasa) sekalipun kepada orang yang mencaci, menyerang, dan mengajak bertengkar. Penegasan ini tidak berarti harus menyerah dan pasrah atas segala tindakan yang membahayakan diri, tetapi ini menunjukan betapa puasa mengharuskan kita menahan diri dari sikap dan tindakan tercela.

Kesalehan sosial Selain memberikan dorongan pada diri untuk hidup lebih selektif dan hati-hati, puasa juga menuntut pelakunya agar meningkatkan kesalehan sosial sebagai dimensi eksternal puasa. Hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk solidaritas sosial kepada mereka yang terbiasa dengan 'lapar dan dahaga' karena kekurangan bahan pangan. Jika sehari-hari kita terbiasa makan dan minum sekenyangnya, dengan menu yang serba mewah, maka ketika merasakan lapar dan dahaga karena puasa, hati harus tergerak untuk lebih peduli kepada fakir miskin yang setiap hari kekurangan. Pengalaman 'lapar dan dahaga' itu harus mendorong kepedulian sosial kepada sesama.

Pembagian sembako yang secara instan dapat dinikmati oleh fakir miskin merupakan salah satu bentuk konkret solidaritas sosial. Acara sahur dan buka bersama yang diselenggarakan setiap Ramadhan, baik oleh para konglomerat atau para selebritis, di mana anak-anak yatim piatu dari panti asuhan atau anak-anak jalanan dikumpulkan untuk makan bersama, merupakan tradisi yang harus dilestarikan. Jika orang-orang yang berkecukupan bahkan berkelebihan sandang, pangan, dan papan kurang peduli terhadap nasib mereka yang serba kurang bahkan tidak punya, tentu saja kehidupan mereka akan semakin sulit.

Kesalehan sosial dalam bentuk solidaritas sosial erat kaitannya dengan kesalehan individual. Apabila secara spiritual puasa telah memberikan pengaruh positif bagi pengamalan ajaran keagamaan, maka rasa kemanusiaannya pun akan besar. Begitu pula sebaliknya, puasa yang tidak memberikan pengaruh apa-apa pada aspek spiritual, maka kepedulian sosialnya pun kecil.

Dalam kondisi masyarakat yang tengah dihimpit berbagai kesulitan ekonomi, puasa memiliki pesan sosial yang sangat luhur. Oleh sebab itu, kini puasa jangan hanya dimaknai sebagai sarana untuk meningkatkan kesalehan diri, tetapi juga sarana untuk meningkatkan kesalehan sosial. Artinya, kesalehan diri dapat mendorong kita untuk membantu sesama. Kini saatnya kita 'mengalihkan' pengaruh puasa: yang semula hanya membimbing kesalehan individual ke peningkatan kesalehan sosial.

Tidak ada komentar: