Senin, 12 Mei 2008

MERINDUKAN PERNIKAHAN BARAKAH

Saat Uqail Ibnu Thalib menikah dengan seorang wanita dari kalangan Bani Jasyim mereka menerima ucapan "semoga bahagia dan banyak anak". Pada masa sekarang ini, ini adalah hal yang biasa malah ditulis dalam sebuah undangan2. Mendengar itu Ia langsung teringat Rasulullah, kemudian Ia berkata "janganlah kalian mengatakan demikian sesungguhnya Rasulullah telah melarangnya".

Mereka bertanya "Kalau demikian apa yang harus kami katakan wahai Abu Zaid?" "Katakanlah semoga Allah membarakahi kalian dan melimpahkan barakah kepada kalian, inilah yang diperintahkan kepada kalian". Disini mendo'akan penganten baru agar bahagia dan banyak anak dilarang (makruh). Tapi ketika orang mau menikah kita dingatkan untuk menentukan pilihan sehingga mendapat kebahagiaan dan keturunan yang banyak.

"Kawinilah wanita yang subur rahimnya (waluud) dan pencinta". Rasulullah menganjurkan "pilihlah yang masih gadis karena ia lebih manis mulutnya, lebih dalam kasih sayangnya, lebih terbuka, dan lebih menginginkan kemudahan" Yang dimaksud manis mulutnya yaitu ucapannya, sedang lebih dalam kasih sayangnya adalah lebih banyak melahirkan anak, terbuka, dan polos.

Sebagian sahabat memberikan keterangan "Tetaplah kalian mengawini gadis2, sebab mereka lebih manis mulutnya, lebih rapat rahimnya, lebih hangat vaginanya, lebih sedikit tipuannya dan lebih rela dengan nafkah yang sedikit". Yang dimaksud rapat rahimnya adalah banyak melahirkan anak.

Pesan Umar bin khaththab "Perbanyaklah anak karena kalian tidak tahu dari anak yang mana kalian mendapat rizeki". Anak yang barakah adalah rizeki akhirat dan dunia. Ketika kita berjumpa kawan kita mendo'akan barakah, tapi sebelumnya didahului dengan kata salam dan rahmat (assalamu'alaikum wr wb). Untuk mencapai barakah orang terlebih dahulu harus memperoleh salam dan rahmat. Keluarga bisa barakah jika di dalamnya ada sakinah. Mereka merasa tenteram walaupun digunjang berbagai masalah. Jika suami banyak masalah istri menghibur dengan wajah teduh, penuh perhatian dan kasih sayang.

Betapa bahagianya jika anda mempunyai istri seperti itu, anda telah mendapat kunci kebahagian. "Tiga kunci kebahagiaan seorang laki2 adalah istri shalihah yang jika dipandang membuatmu semakin sayang dan jika kamu pergi membuatmu merasa aman, dia bisa menjaga kehormatanmu, dirinya dan hartamu; kendaraan yang baik yang bisa mengantar kemana kamu pergi; dan rumah yang damai yang penuh kasih sayang.

Tiga perkara yang membuat sengsara adalah istri yang tidak membuatmu bahagia jika dipandang dan tidak bisa menjaga lidahnya juga tidak membuatmu aman jika kamu pergi karena tidak bisa menjaga kehormatan diri dan hartamu; kendaraan rusak yang jika dipakai hanya membuatmu merasa lelah namun jika kamu tinggalkan tidak bisa mengantarkan kamu pergi; dan rumah yang sempit yang tidak ada kedamaian didalamnya". Untuk mendapati keluarga barakah maka harus ada sakinah dan mawadah warahmah (kasih sayang), tanpa itu sulit untuk mencapai barakah.

Keluarga yang dipenuhi barakah merupakan tempat yang baik untuk membesarkan anak. Dalam sebuah keluarga barakah hampir segala kegiatan bernilai ibadah. Kalau anda berhubungan intim anda akan mendapat pahala shalat dhuha, kalau anda meremas2 jemari istri dengan remasan sayang, dosa anda berdua berguguran. Kalau anda menyenangkan istri sehingga hatinya bahagia dan diliputi suka cita anda hampir2 sama dengan orang yang menangis karena takut pada Allah.

"Barang siapa menggembirakan hati seorang wanita (istri)" kata Rasulullah "seakan2 menangis karena takut kepada Allah, Barang siapa menangis karena takut kepada Allah maka Allah mengharamkan tubuhnya dari neraka" "Sesungguhnya ketika seorang suami memperhatikan istrinya dan istrinya memperhatikan suaminya" Rasulullah menjelaskan " maka Allah meperhatikan mereka berdua dengan perhatian penuh rahmat, manakala suami merengkuh telapak tangannya (diremas2), maka bergugurlah dosa2 suami istri itu dari sela2 jari jemarinya".

Bahkan pahala yang didapatkan ketika bersetubuh dengan istri bisa mencapai tingkat pahala mati orang terbunuh dalam perang di jalan Allah. Sabda Rasulullah "Sesungguhnya seorang suami yang mencampuri istrinya maka pencampurannya (jima') itu dicatat memperoleh pahala seperti pahala anak lelaki yang berperang dijalan Allah lalu terbunuh".

Jika pernikahan anda barakah insyaAllah anda mendapatkah pernikahan sebagai jalan yang menyelamatkan (semua anggota keluarga anak, orang tua, istri atau suami, juga mertua). Mereka saling tolong menolong dengan amalnya, tetap dalam iman dan ketaqwaan. Mereka yang derajat amalannya kurang disusulkan kepada yang derajat amalnya yang lebih tinggi.

Dalam suatu riwayat Rasulullah bersabda "ketika seorang masuk ke surga, ia menanyakan orang tuanya, istri dan anak2nya. Lalu dikatakan kepadanya, 'Mereka tidak mencapai derajat amalmu'. Ia berkata,'Ya Tuhanku, aku beramal bagiku dan bagi mereka. 'Lalu Allah memerintahkan untuk untuk menyusulkan keluarganya ke surga".

"Dan orang2 beriman, lalu anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, kami susulkan keturunan mereka pada mereka, dan Kami tidak mengurangi amal mereka sedikitpun" Ath Thur: 21.

Bagaimanakah pernikahan bisa menjadi keselamatan bagi mertua? Bukankah yang disusulkan adalah orang tua, istri dan anak cucu? Mertua adalah orang tua temen hidup (istri) kita. Jika saat menikah istri meniatkan untuk mencapai keselamatan agama dan menjaga kehormatan farjinya, insyaAllah yang demikian itu dapat membawa orang tuanya kepada keselamatan dunia dan akhirat. Bukankah kalau seorang anak perempuan melakukan perbuatan dosa karena tidak dinikahkan oleh ayahnya pada saat ia seharusnya menikah, dosa2nya akan ditanggung orang tua? Jadi pernikahan barakah adalah jalan keselamatan.

Memilih "calan istri atau calon suami" juga berarti memilih orang yang diharapkan dapat menyelamatkan orang tua dan anak cucu kelak di yaumil qiyamah, orang yang dapat mendekatkan kepada safaat dihari akhir. Seorang istri yang membantu suaminya bertakwa dan memperbaiki akhlak berarti membantu mertuanya mencapai surga. Tindakannya sendiri merupakan wasilah untuk mencapai surga dan kasih sayang Allah bagi dirinya sendiri maupun orang tuanya, karena orang tua dapat disusulkan derajat amal anaknya.

Maka semakin besar barakah pernikahan anda, berarti semakin luas wilayah keselamatan dan kedamaiannya. Tidak hanya keluarga, masyarakatpun ikut memperoleh barakahnya, meskipun saat itu mereka tidak merasakan langsung. Pernikahan yang barakah insyaAllah banyak melahirkan keutamaan, termasuk tumbuhnya sunnah hasanah (kebiasaan baru yang baik) sebaliknya pernikahan yang tidak barakah akan menimbulkan sunnah sayyi'ah (kebiasan baru yang jelek) yang selain berkembang dalam keluarga juga berkembang kemasyarakat.

Rasulullah bersabda "Barang siapa menetapkan sunnah hasanah lalu ia diamalkan maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakanya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barang siapa yang menetapkan sunnah sayyi'ah lalu ada yang mengamalkannya maka ia memperoleh dosa seperti orang yang mengerjakan tanpa disusut sedikitpun". Baik sunnah hasanah maupun sunnah sayyi'ah ini dapat terbentuk sejak dimulai dari peminangan, proses peminangan sampai akad nikah, pelaksanaan pernikahan, penyelenggaraan walimah, membikin rumah sampai nanti membesarkan anak.

Bagaimana usaha untuk mencapai nikah yang barakah? Pertama adalah niat. Niat ketika menikah, niat ketika mengadakan walimah, sampai niat ketika memberi mahar kepada isteri. Mahar yang sederhana lebih dekat kemaslahat dan kebersihan niat, terutama dari kekotoran untuk mendapat penilaian sosial dari masyarakat. Niat yang baik dan tepat mendekatkan kepada pernikahan yang penuh barakah. Semakin baik dan jernih niatnya, semakin besar barakahnya. Jika kita menikah agar dapat memejamkan mata dan menjaga kemaluan atau menyambung tali kasih sayang maka Allah memberi barakah bagi istri dan suami. Suami barakah bagi istri dan istri barakah bagi suaminya.

Tetapi pernikahan Anda bisa tidak barakah sama sekali jika anda memilih suami karena silau terhadap harta, sedangkan agama dan ahklak menjadi pertimbangan no 2. Rasulullah bersabda " barangsiapa yang menikahkan (putrinya) karena silau akan kekayaan lelaki itu meskipun buruk agama dan akhlaknya, maka tidak akan pernah pernikahan itu dibarakahi-Nya". Nikah bisa kurang barakahnya jika Anda mempersulit proses. Suami tidak mudah mencapai akad nikah bukan karena halangan yang bersifat prinsip.

Ada perbedaan antara mempersulit proses dengan kesulitan. Yang terakir insyaAllah akan menambah kedekatan serta kuatnya jalinan perasaan antara anda berdua. Bagaimana keadaan hati anda ketika memutuskan untuk menikah juga mempengaruhi. Jika anda menyegerakan menikah, insyaAllah keluarga anda penuh barakah, tetapi jika anda tergesa2 kekecewaan akan lebih mudah anda dapatkan daripada kebahagian. Perbedaan antara menyegerakan dan tergesa2 tipis sekali kalau tidak bisa mengenali, tapi akibatnya berbeda jauh. Jika anda bersedia menikah dengan pemuda yang masih sendirian agar ia tidak jatuh dalam maksiat, insyaAllah nikah anda penuh barakah.

Rezeki anda berdua diluaskan Allah sedangkan akhlak suami anda akan diperbaiki oleh Allah. Bisa jadi awalnya biasa2 jadi setelah menikah dia menjadi sangat mulia akhlaknya. Keluhuran akhlak mengesan manusia dan malaikat. Ini karena besar barakah yang dilimpahkan Allah. Rasulullah bersabda "Kawinkanlah orang2 yang sendirian diantara kamu sesungguhnya Allah akan memperbaiki akhlak mereka, meluaskan rezekinya dan menambahkan keluhuran mereka". Pelaksanan akad nikah juga mempengaruhi barakah nikah, juga proses sesudahnya, apa yang anda lakukan bersama2 setelah akad nikah yang disaksikan malaikat dan manusia.

Apa perkataan anda tatkala berdua, bagaimana anda mulai menyentuh istri anda sampai bagaimana anda membimbingnya. Bagaimana anda mengadakan walimah? Ini juga penting untuk diperhatikan. Sesudahnya, anda bisa memulai kebiasaan yang baik dan saling mengenali selama tujuh hari pertama setelah menikah, jika istri anda seorang gadis. Ini adalah masa2 yang khusus milik anda berdua. Anda bisa menghabiskan dengan bercanda, karena bermanja kepadanya pun berpahala. Tetapi anda juga bisa menetapkan sunnah hasanah bagi keluarga anda, atau lebih khusus buat anda dan istri anda. Termasuk didalamnya tentang bagaimana anda berdua saling merasakan keindahan dalam hubungan intim.

Ada hal2 yang insyaAllah akan mendatangkan barakah sehingga yang lahir dari hubungan intim itu adalah rasa sayang dan kedekatan perasaan yang semakin kuat, serta keturunan yang memberi bobot kepada bumi dengan kalimat Laa ilaaha illaLlah. Hal yang lain yaitu masalah keselarasan. Salah satu hal yang akan menambah keselarasaan dan kemesraan keluarga berawal dari istri yang menyejukan ketika dipandang. Sejuknya pandangan karena istri menghinasi diri dengan dua hal yaitu perhiasan batin dan perhiasan zahir. Berhias secara zahir sehingga suami merasa senang berdekatan, terutama baik untuk tiga waktu. Kapan saja? Yaitu ketika suami akan berpergian, ketika suami datang dari berpergian (terutama berpergian jauh dalam waktu lama, apalagi kalau melelahkan) serta ketika berangkat tidur.

Keindahan rumah tangga. Ini terkait dengan usaha untuk saling membantu dalam taqwa dan menegakkan kebaikan. Paling tidak kebaikan2 dalam rumah tangga. Sehingga Allah akan memenuhi keluarga kita dengan barakah. Hal yang lain yang tak kalah penting yaitu menjaga lisan. Menjaga lisan ini dalam berbagai keadaan, terutama yang menyangkut masalah suami, istri dan anak. Termasuk perkataan terhadap tetangga. Baik menyangkut peminang maupun yang dipinang. Tiap perkataan memiliki kedudukan tinggi. Tiap kedudukan mempunyai hak. Tiap2 hak terkait dengan tanggung jawab. Tiap tanggung jawab akan berkenaan dengan akibat, baik ataupun buruk. Sebagian perkataan bisa menjadi do'a meskipun tidak dimaksudkan untuk do'a. Ini terutama bila diucapkan bersamaan dengan sa'atu nailin, yaitu saat ucapan menjadi do'a dan do'a pasti dikabulkan saat itu. Sebagian perkataan terhadap orang lain akan kembali mengenai dirinya. Sebagian perkataan tentang dirinya atau teman hidupnya (suami maupun istri) bisa membawa kekeadaan yang lebih buruk, padahal keadaan awal tidak buruk. Untuk itu janganlah kita zalim dalam menggunakan lidah.

Marilah mohon kepada Allah atas apa2 yang kita ucapkan.

Saya berdo'a "Mudah2 kita termasuk orang2 yang dibarakahi dan dimudahkan Allah didunia dan akhirat". Amin Allahuma amin. Maafkan jika ada kata yang salah dan hilaf.

Wassalaam.

Perkawinan dan Cinta

Masalah cinta dan kasih sayang kini merebak menjadi topik pembicaraan dimana-mana, karena pengaruh drama, sandiwara, cerpen, novel, film(sinetron), dan lain-lain. Anak-anak gadis banyak yang gandrung dengan masalah ini. Saya khawatir mereka terpedaya oleh cinta. Lebih-lebih pada usia-usia puber dan memasuki usia baligh,
sementara hati mereka masih kosong (dari pegangan dan pedoman hidup). Akibatnya kata-kata yang manis mudah saja masuk ke dalam hati yang kosong ini.
Sangat disayangkan ada sebagian pemuda yang berbuat demikian dengan keterpedayaan atau malah merasa senang dan nikmat mencumbu dan merayu, bahkan merasa bangga dengan perbuatannya itu. Ia bangga jika dirinya dapat berhasil merayu banyak wanita.
Karena itu nasehat saya pada gadis muslimah, janganlah terpedaya oleh perkataan dan semua rayuan gombal. Hendaklah anda mendengarkan nasehat orang tua atau wali. Janganlah memasuki kehidupan rumah tangga hanya semata-mata memperturutkan perasaan, tetapi pertimbangkanlah segala sesuatunya dengan akal sehat.
Saya sarankan kepada orang tua atau wali, hendaklah memperhatikan kemauan dan keinginan anak-anak perempuannya. Janganlah si ayah membuang perasaan dan keinginan anaknya dan menjadikannya sebagai amplop kosong tak berisi, lalu mengawinkannya dengan siapa saja yang dikehendakinya, sehingga si anak memasuki kehidupan rumah tangga denga terpaksa. Karena si anak itulah kelak yang akan bergaul denga suaminya, dan bukan si ayah. Tetapi ini tidak berarti bahwa antara pemuda dan si gadis harus sudah hubungan cinta sebelum terjadinya perkawinan, namun paling tidak harus ada kerelaan hati.
Karena itu, Islam memerintahkan si peminang melihat pinangannya, begitu juga sebaliknya. Nabi SAW bersabda: “Karena yang demikian itu lebih patut dapat mengekalkan kalian berdua.”
Syariat Islam menghendaki kehidupan rumah tangga ditegakkan atas dasar saling meridhai dari masing-masing pihak yang berkepentingan. Si wanita hendaknya ridha, setidak-tidaknya memiliki kebebasan untuk menyatakan kehendak dan pendapatnya secara terus terang, atau kalau ia merasa malu menyatakan persetujuannya secara terus terang, bolehlah dengan bersikap diam :
“Anak gadis (perawan) itu hendaklah dimintai izinnya (untuk dikawinkan), dan janda itu lebih berhak terhadap dirinya.” (HR. Al Jama’ah kecuali Bukhari)
Maksudnya, wanita yang sudah pernah kawin sebelumnya harus menyataka denga terus terang. “Saya suka dan cocok (setuju).” Adapun seorang gadis bila dimintai ijinnya untuk dikawinkan kadang-kadang merasa malu untuk menjawab, lalu ia diam atau tersenyum, maka yang demikian itu sudah dianggap cukup bahwa ia setuju. Tetapi jika ia mengatakan, “Tidak”, atau menangis, maka ia tidak boleh dipaksa.
Nabi Muhammad SAW membatalkan perkawinan seorang wanita yang dikawinkan tanpa kerelaannya. Dalam beberapa riwayat juga disebutkan juga ada seorang wanita yang menolak dikawinkan ayahnya. Lalu ia mengadukan hal itu kepada Nabi SAW. Nabi menginginkan ia merelakan ayahnya, sekali, dua kali, tiga kali. Ketika Nabi SAW melihat ia tetap pada pendiriannya, beliau bersabda, “Lakukanlah apa engkau kehendaki.” Tetapi kemudian wanita itu berkata,”Saya perkenankan apa yang dilakukan ayah, tetapi saya ingin agar para bapak (ayah) itu tahu bahwa mereka tidak punya hak apa-apa dalam masalah ini.”
Perlu saya tegaskan disini bahwa dalam perkawinan itu harus ada kerelaan si anak dan wali (orang tua) sebagaiman yang disyaratkan oleh banyak fuqaha, sehingga mereka mengatakan wajibnya persetujuan wali untuk kesempurnaan nikah. Disebutkan dalam hadits:
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Daruqthni).
“Siapa saja wanita yang nikah tanpa memperoleh izin dari walinya, maka nikahnya batal, batal, batal.” (HR. ABU Daud Ath Thayalisi)
Selain itu juga harus ada keridhaan ibu. Mengapa ibu? Karena ibulah yang banyak mengerti masalah anak perempuannya. Rasululloh SAW bersabda:
“Ajaklah ibu-ibu bermusyawarah tentang anak-anak perempuan mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Denga begitu, dia memasuki kehidupan rumah tangga dengan ridha. Ayah ridha, ibu ridha, dan seluruh keluarganya ridha sehingga kehidupan rumah tangganya nanti tidak sesak nafas dan tidak keruh.
Yang lebih utama, hendaklah perkawinan dilakukan dengan cara yang dikehendaki oleh syariat. Wallohul Muwaffiq.

Oleh: Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi
Eri Riefika [mailto:eri@gs.astra.co.id]

Membangun Rumah Tangga Sakinah

Rumah tangga bahagia adalah dambaan hampir setiap kaum muda mudi sebelum melangkahkan kakinya ke jenjang pernikahan. Bayangan masa depan yang indah dan menggembirakan merupakan idaman setiap pasangan yang baru saja melangkahkan kakinya di pelaminan.
Namun tak sedikit rumah tangga yang baru beberapa saat terbangun, kandas begitu saja, dan berakhir pada perceraian. Banyak orang merasa ragu dan gemetaran sebelum maju ke gerbang pernikahan. Walhasil, tidak sedikit yang mengurungkan pernikahan, karena takut dirinya akan terkubur dalam puing-puing kehancuran.
Keraguan antara menikah atau tidak, jangan sampai ada pada diri muslim. Ia harus secara perwira, menentukan antara berumahtangga atau tidak, sesuai dengan ajaran suci Ilahi yang dianutnya dan kemampuan yang dimilikinya.
Lebih Utama Menikah atau Tidak?
Setiap manusia memiliki naluri seksual, naluri yang mendorongnya untuk mendekati lawan jenisnya dan melakukan hubungan intim dengannya. Sebagaimana firman Allah dalam QS.Ali Imran: 14 “Zuyyina linnasi hubbusy-syahawaati minan-nisaa’i wal baniina…” (Telah dihiasi manusia kecintaan kepada wanita -lawan jenisnya- dan anak-anak…)
Naluri yang sedemikian rupa, sebenarnya bukan hanya milik manusia saja. Tetapi juga milik makhluk-makhluk Allah lainnya. Misalnya, kita perhatikan sejenak, betapa bunga memekarkan kelopaknya guna menunggu kedatangan kumbang. Dan kupu-kupu, agar mengantarkan serbuk sarinya ke kembang berkepala putik. Begitu pula sepasang burung manyar yang merangkai sarangnya untuk bercumbu.
Itu semua, tidak lepas dari naluri yang telah diberikan Allah kepada makhluk-makhlukNya untuk berpasang-pasangan. Allah berfirman dalam QS.Yasin: 36, “Subhaanalladzi kholaqol azwaaja kullaha tsumma tunbitul ardhu wa min anfusihim wa mimma laa ya’lamuun” “Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.
Dan sungguh tidak sia-sia apa yang Allah ciptakan. Berupa naluri untuk berpasang-pasangan. Karena dengan itu, makhluk-makhluk tadi mampu menjaga eksistensinya dan mengembangbiakkan keturunannya.
Diantara makhluk-makhluk itu, manusia dibebani tanggungjawab yang lebih, yakni untuk memakmurkan bumi. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Huud: 61, “Huwa ansya’akum fil ardhi wasta’marokum fiiha” (Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikanmu pemakmurnya)
Maka untuk memakmurkan bumi ini, diperlukan masyarakat yang kuat (potencial mass). Dan masyarakat yang kuat pun tidak akan terwujud tanpa adanya keluarga-keluarga yang kuat pula. Adapun untuk mewujudkan keluarga itu, tak lain adalah dengan menjalin pernikahan.
Menurut Imamul Ghozali, dalam salah satu karya tashawufnya “Ihyaa’u ‘Uluumuddin” disebutkan, bahwa pernikahan memiliki kekurangan dan kelebihan (kebaikan). Diantara kekurangannya adalah beban untuk mencari nafkah lebih banyak, perhatian yang lebih untuk membina keluarga sakinah, mendidik dan mendewasakan anak-anak yang merupakan amanah Tuhan, dan juga menjadi penghalang untuk memusatkan perhatian pada Tuhan dan kepentingan akhirat.
Dibalik kekurangan-kekurangan itu, pernikahan ternyata memiliki banyak faedah. Al Ghozali merincinya dalam lima faedah:
1. Faedah pertama, adalah melestarikan keturunan manusia di muka bumi. Dan pada faedah pertama ini tersimpan banyak keuntungan lagi. Pertama, terjadi persesuaian antara kehendak Allah untuk melestarikan jenis manusia dan usaha manusia mendapatkan anak. Kedua, sebagai upaya mencintai rasulullah (mahabbatur rasul) dengan mengikuti sunahnya. Ketiga, anak shaleh yang mendoakan orangtuanya, yang tidak akan terjadi tanpa adanya pernikahan. Keempat, Syafa’at rasul yang disebabkan kematian anak diusia dini (sebelum baligh). Sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Ibnu Hibban.
2. Faedah kedua, bahwa pernikahan dapat memecahkan syahwat, membentengi dari godaan syaithan dan menghindari fitnah.
3. Faedah ketiga, jiwa akan merasa tenang dan bugar kembali dari keletihan ketika seseorang menyempatkan diri bercanda dan bercumbu dengan pasangannya, sehingga memberi motivasi baru dalam beribadah. Sebagaimana Nabi saw bersabda: “Dijadikan aku menyukai akan tiga hal dari duniamu, yaitu harum-haruman, wanita dan kesenangan hatiku pada sholat.” (HR.an Nasa’I dan al Hakim)
4. Faedah keempat, adanya seorang tempat berbagi dalam pekerjaan rumahtangga, sehingga sebagian waktu dapat dimanfaatkan untuk mencari ilmu dan melakukan ibadah khusus.
5. Faedah kelima, pernikahan dapat dijadikan sarana mujaahadatun-nafs (pengendalian diri) dan penguji kesabaran, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan seorang istri. Nabi bersabda: ”Apa yang dinafkahkan oleh seorang suami kepada istrinya adalah shodaqah. Sesungguhnya seorang suami akan diberi pahala karena dia memberikan makanan ke mulut isterinya”(HR.Bukhori dan Muslim).
Dari lima faedah diatas, jelas bahwa pernikahan adalah satu hal yang sangat dianjurkan. Sebagaimana ungkapan firman Allah dalam QS.An Nuur:32, Allah menegaskan: “Wa ankihuul ayaamaa minkum wash-shoolihiina min ‘ibaadikum wa imaa-ikum. In yakuunuu fuqaraa’a yughnihumullahu min fadhlihi. Wallahu waasi’un ‘aliim” (Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak -untuk kawin- dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (QS.An-Nuur:32).
Kata “Ayyaamaa” diayat diatas adalah bentuk plural (jama’) dari kata (isim mufrad) “aymatun” yang berarti “tarammul” yaitu wanita-wanita janda yang ditinggal mati suaminya atau wanita-wanita yang sendirian yang tak kunjung menemui pasangan hidupnya. Sehingga kedudukan mereka adalah seperti anak-anak yatim (yataama) yang bingung hendak kemana harus mengadu, tidak ada tempat untuk “sharing of love” baik dalam suka maupun duka. Mereka semua adalah orang-orang yang membutuhkan kepedulian kita. Kepedulian seorang mukmin kepada mukmin lainnya adalah mutlak. Allah berfirman didalam QS. At Taubah: 71: “Wal mukminuuna wal mukminaatu ba’dhuhum awliyaa’u ba’dhin” (Orang-orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan, sebagian dari mereka adalah awliya -pelindung dan penolong- atas sebagian yang lain). Hendaknya yang kuat menolong yang lemah, yang beruntung membantu yang kurang beruntung, dan seterusnya.
Mencapai Keluarga Sakinah
Hubungan suami istri adalah bukan sebatas hubungan fisik-biologis semata (robiithoh jasadiyyah), tetapi juga hubungan rohaniah (robiithoh ruhaniyyah) antara dua insan yang saling membutuhkan. Dengan kata lain, perekat hubungan suami istri bukan hanya perekat lahiriah, tetapi juga jalinan ruhaniyyah. Untuk mencapai tingkatan keluarga yang dinamis (‘aailah sakiinah),maka islam menawarkan tiga hal berikut:
Pertama, untuk menjalin rumah tangga yang baik,hendaklah memilih wanita/pria yang sholihah/sholih sebagai mitra berumahtangga. Yaitu wanita yang mampu menjaga amanah suaminya, memelihara dengan baik harta suaminya, patuh dan tebal keimanannya. Nabi bersabda: “Fadzfar bizaatid-diin taribath yadak”

“Pilihlah yang mantap agamanya, semoga akan mengikat tanganmu” (HR.Bukhari Muslim). Kedua, pernikahan harus dijalin dengan tali temali rohaniah yang kuat, yaitu mahabbah, mawaddah, rahmah dan amanah.
(1) Mahabbah (cinta)
Kata “mahabbah” sebagaimana yang diriwayatkan Al Hujwiri dalam kitab “Kasyful Mahjuub”, berasal dari kata “habbah” yang berarti benih-benih/biji yang jatuh ke bumi di padang pasir. Mahabbah dikatakan berasal dari kata itu karena dia merupakan sumber kehidupan. Sebagaimana benih itu tersebar di gurun pasir, tersembunyi didalam tanah, dihujani oleh terpaan angin, hujan dan sengatan matahari, disapu oleh cuaca panas dan dingin, benih-benih itu tidak rusak oleh perubahan musim, namun justru tumbuh berakar, berbunga dan berbuah. Demikian halnya cinta sejati, tak lapuk dengan sengatan mentari dan guyuran hujan, tak lekang oleh perubahan musim dan tak hancur berantakan oleh terpaan angin.
Ada pula yang mengatakan “mahabbah” berasal dari kata “hubb” yang berarti penyangga (empat kaki-kaki kecil pada alas poci air), disebut demikian karena seorang pecinta, rela dengan suka hati melakukan apa saja untuk yang dicintainya.
Adapula yang mengatakan “mahabbah” berasal dari kata “haabb” yang berarti relung hati yang paling dalam. Dikatakan demikian, karena cinta tumbuh dari relung hati yang paling dalam (grows from the deepest side of heart). Tak mudah dilukiskan dalam kata-kata, tetapi tumbuh dalam perasaan hati setiap insan.
Apapun asal katanya, kita sepakat bahwa cinta adalah tali buhul yang mengikat kuat antara si pecinta dan yang dicintainya. Dia datang, tidak diketahui waktunya, dan akan pergi begitu saja kalau tidak dipelihara dengan baik.
(2) Mawaddah (cinta yang mendalam)
Tingkatan yang kedua adalah “mawaddah”, berasal dari kata “wuud” yang berarti al-hubb al-katsir (cinta yang banyak/mendalam). Pakar leksikografi al-Quran, Ar-Raghib Al Isfahani mengatakan bahwa mahabbah adalah hanya terbatas yang tersembunyi dalam relung hati, sedangkan mawaddah adalah yang meninggalkan bekas nyata (atsar) dalam kehidupan. Yaitu terjalinnya hubungan mesra (tahaabbu) antara suami dan isteri. Salah satu asma Allah “al-Waduud”, karena nama itu merealisasikan cinta Tuhan pada segenap alam dalam pemeliharaanNya”.
(3) Rahmah (kasih)
Kata “rahmah” berasal dari kata “rahm”, yang berarti “riqqatun taqtadhi al-ihsaana ilal marhuum”,”rasa kasih yang menuntut munculnya perbuatan baik terhadap yang dikasihi”. Jadi rahmah adalah rasa kasih yang membuahkan perbuatan baik dari yang mengasihi kepada yang dikasihi,tanpamengharap balasan”.
(4) Amanah (percaya)
“Amanah” berasal dari kata “aamana-yu’minu” yang berarti “amn” (memberi rasa aman) dan “iman” (percaya). Sehingga amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman, dari pihak yang memberikan karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu akan terpelihara dengan baik, serta aman keberadaannya ditangan yang diberi amanat. Orang tua tidak akan merestui anaknya tanpa adanya jaminan kepercayaan.
Musyawarah
Untuk tercapainya keluarga sakinah, diperlukan adanya “musyawarah” sebagai solusi mencari kesamaan diantara perbedaan pendapat yang sering terjadi dalam kehidupan berumahtangga. Apapun masalah yang terjadi hendaknya dicari titik temu dengan jalan musyawarah. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Asy-Syuura: 42, “Walladziinas tajaabu lirobbihim wa aqaamush-sholaata wa amruhum syuuro baynahum, wa mimmaa rozaqnaahum yunfiquun” Artinya: Dan (ciri-ciri orang yang beriman) adalah yang menyambut seruan Tuhannya, dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Demikianlah, semoga kajian tentang “Membangun Rumahtangga Sakinah” diatas dapat menggugah hati para pembaca/pendengar, baik yang telah berumahtangga maupun yang masih dalam pra-nikah dan yang sedang sibuk mencari pasangan hidup, semoga harapan baiti jannati “mahligaiku adalah laksana sorga bagiku” dapat terwujud dihadapan ikhwan dan ikhwat sekalian. Uushikum wa nafsi bitaqwallaahi, fanastaghfirullaaha minna wa minkum, Wassalaamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh. Wallahu a’lam.
Oleh: Al Birruni Siregar
Mahasiswa program S1, Fak. Theologi, Universitas Al Azhar,Kairo.
© 2003 www.manajemenqolbu.com

Fadhilah Menikah

1. Menikah merupakan sunnah yang diagungkan oleh Allah. Al-Qur’an menyebut pernikahan sebagai mitsaqan-ghalizha (perjanjian yang sangat berat). Mitsaqan-ghalizha adalah nama dari perjanjian yang paling kuat di hadapan لله. Hanya tiga kali Al-Qur’an menyebut mitsaqan-ghalizha. Dua perjanjian berkenaan dengan tauhid, sedang yang lain adalah perjanjian لله dengan para Nabi ulul-azmi, Nabi yang paling utama diantara para Nabi. Dan pernikahan oleh لله termasuk yang digolongkan sebagai mitsaqan-ghalizha. لله menjadi saksi ketika seseorang melakukan akad nikah.
2. Setiap jalan menuju mitsaqan-ghalizha dimuliakan oleh لله. Islam memberikan penghormatan yang suci kepada niat dan ikhtiar untuk menikah.
3. Menikah adalah masalah kehormatan agama, bukan sekedar legalisasi penyaluran hubungan biologis dengan lawan jenis. Menikah merupakan amanah لله dan sangat tinggi derajatnya.
4. Menikah berarti menyempurnakan setengah Ad-dien, bahkan jika masih remaja berarti menyempurnakan 2/3 Ad-dien.
5. Islam memperbolehkan kaum wanita untuk menawarkan dirinya kepada laki-laki yang berbudi luhur, yang ia yakini kekuatan agamanya dan kejujuran amanahnya menjadi suaminya. Sikap ini lebih dekat kepada ridha لله dan untuk mendapatkan pahala-Nya.
6. Pernikahan mendekatkan kepada keselamatan akhirat.
7. Pernikahan bisa kurang barakahnya jika anda mempersulit proses. Suami tidak mudah mencapai akad nikah bukan karena halangan yang bersifat prinsip.
8. Jika anda menyegerakan nikah insya لله keluarga anda akan penuh barakah. Tetapi jika anda tergesa-gesa, kekecewaan lebih mudah anda dapatkan daripada kebahagiaan.
9. Pernikahan yang barakah insya لله banyak melahirkan keutamaan, termasuk tumbuhnya sunnah-hasanah (kebiasaan baru yang baik).
10. Saat ini pernikahan tidak lagi semata-mata merupakan bentuk kepatuhan terhadap ketentuan agama, tetapi sudah merembet jauh menjadi persoalan status sosial, prestise, dan bahkan menyentuh aspek karier. Adat istiadat yang rumit pada sebagian masyarakat juga turut berperan menyebabkan sulitnya menyegerakan nikah meskipun peminangan telah dilakukan. Diantaranya adalah larangan untuk menikah apabila ada saudara yang lebih tua belum menemukan jodohnya. Pada sebagian masyarakat ada jalan keluarnya yaitu berupa pemberian hak kepada yang dilangkahi untuk meminta ganti rugi sesuai yang dikehendakinya. Namun acapkali ini pun mempersulit proses pernikahan karena beratnya “kewajiban” yang harus dipenuhi.
11. Rasulullah saw bersabda: ”Hai Ali, tiga perkara yang hendaknya jangan ditunda-tunda: shalat apabila telah datang waktunya, jenazah manakala sudah siap penguburannya, dan perempuan (gadis maupun janda) apabila telah datang pinangan laki-laki yang sepadan dengannya.” (HR. Ahmad) Berpijak pada Hadits ini, hendaknya jarak antara peminangan dan pelaksanaan akad nikah tidak terlalu jauh. Selama menunggu, ada kesempatan untuk menata hati.
12. Melalui pernikahan, لله memberikan banyak keindahan dan kemuliaan. Seorang wali tidak boleh menunda-nunda pernikahan perempuan yang berada di bawah perwaliannya meskipun ia baru saja menikahkan perempuan lain yang juga berada di bawah perwaliannya. Tegasnya, tidak ada alasan baginya untuk menolak menikahkan anak perempuannya jika jodoh yang sepadan memang telah datang.
13. Nasihat dari Syekh Abdullah Nashih Ulwan: “Tetapi pada keadaan tertentu, ada seorang wali yang melarang pernikahan anak perempuannya dan mendiamkan calon suaminya dengan pendiaman yang membingungkan tanpa kejelasan sebab yang dibolehkan syariat di dalam larangannya. Dalam keadaan seperti ini, seorang perempuan boleh mengangkat perkaranya kepada seorang qadhi (hakim). Jika qadhi menilai sebab yang diajukan untuk melarang pernikahan itu tidak masuk akal, dia dapat memerintahkan pernikahannya. Jika sang wali tetap enggan menikahkan, qadhilah yang menikahkan dia dengan orang yang telah meminangnya dan tidak mempedulikan wali nasab pada saat itu.”
14. Sabda Rasulullah saw: “Jika mereka saling berdebat, sulthan (penguasa muslim) adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.”
15. Begitu pentingnya pernikahan, sampai-sampai لله berjanji akan mencukupi dari keutamaan rezeki-Nya apabila orang yang dinikahkan itu fakir. لله berfirman: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki maupun hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, لله akan memampukan mereka dengan karunia-Nya (yughnikumullah min fadhlihi). Dan لله maha luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui.” (An-Nuur: 32)
16. Peringatan Rasulullah: “Bukan termasuk golonganku orang-orang yang merasa khawatir akan terkungkung hidupnya karena menikah kemudian ia tidak menikah.” (HR. Thabrani). Lalu, jika bukan golongan Rasulullah, termasuk golongan siapakah kita?
17. Dari Anas r.a, Rasulullah al-ma’shum bersabda: “Barangsiapa mempunyai anak perempuan yang telah mencapai usia dua belas tahun, lalu ia tidak segera mengawinkannya, kemudian anak perempuannya tersebut melakukan suatu perbuatan dosa, maka dosanya ditanggung oleh dia (ayahnya).” (HR. Baihaqi). Insya لله jika kita perhatikan, perbuatan dosa-dosa itu adalah yang berkaitan dengan dorongan-dorongan gharizah (naluri) untuk bersahabat dengan lawan jenis. Sedang saat ini, yang diharapkan adalah kepekaan ayah untuk cepat tanggap terhadap apa yang dirasakan oleh anak gadisnya.
18. Dalam sebuah hadits yang sangat terkenal, Rasulullah bersabda, “Jika datang kepada kalian (wahai calon mertua) orang yang kalian sukai (ketaatan) agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu). Sebab jika kamu sekalian tidak melakukannya, akan lahir fitnah (bencana) dan akan berkembang kehancuran yang besar di muka bumi.”
19. Rasulullah Muhammad saw pernah mengingatkan, “Orang meninggal diantara kalian yang berada dalam kehinaan adalah bujangan.”
20. Rasulullah saw. juga mengingatkan bahwa, “Sebagian besar penghuni neraka adalah orang-orang bujangan.” Mudah-mudahan لله menolong kita dan tidak mematikan kita dalam keadaan masih membujang atau duda.
21. Jika tidak ada hal yang merintangi, mempercepatnya adalah lebih baik bagi keluarga wanita! Mempercepat proses pernikahan termasuk salah satu kebaikan dan lebih dekat dengan kemaslahatan, barakah dan ridha لله. Insya لله pertolongan لله sangat dekat.
22. لله akan melimpahkan ridha-Nya kepada orang yang menyegerakan nikah. Mereka yang menyegerakan nikah atau membantu orang untuk menyegerakan nikah, insya لله akan mendapat rahmat dan perlindungan لله kelak di yaumil-akhir.
23. Sederhana dalam proses dan sederhana dalam pelaksanaan merupakan jalan besar menuju keluarga yang barakah, sakinah, mawaddah wa rahmah.
24. Mempersulit proses pernikahan dapat membuka pintu-pintu madharat. Mempersulit proses pernikahan melapangkan jalan fitnah dan mafsadah (kerusakan) masyarakat.
25. Dorongan menikah (kebutuhan terhadap seks) merupakan fitrah dan naluri kemanusiaan, seperti misalnya perasaan cinta untuk memiliki dan naluri akan kebutuhan terhadap makan dan minum. Jika seseorang fasik dan pendosa, maka ia akan memuaskan dorongan seksualnya dengan melakukan perbuatan zina tanpa mempedulikan akibat, petaka dan bahaya yang akan menimpanya. Sedangkan bagi orang yang bertakwa dan menjaga kehormatan farjinya, hal ini merupakan siksaan yang berat.
26. Dorongan alamiah untuk mempunyai teman hidup yang khusus ini telah menyita konsentrasi. Daya serap terhadap ilmu tidak tajam. Apalagi untuk shalat, sulit merasakan kekhusyukan. Barangkali itulah sebabnya Rasulullah Muhammad saw menyatakan, “Shalat dua rakaat yang didirikan oleh orang yang menikah lebih baik dari shalat malam dan berpuasa pada siang harinya yang dilakukan oleh seorang lelaki bujangan.”
27. Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan satu bentuk ibadah kedekatan kepada لله. Dengan pernikahan, kaum beriman akan mendapatkan pahala dan balasan jika niatnya ikhlas, keinginannya benar, dan maksudnya dengan pernikahan untuk menjaga dirinya dari perbuatan haram serta tidak dilandasi dengan dorongan nafsu kebinatangan.
28. لله menjadikan pernikahan untuk tujuan pemenuhan dorongan instink dan syahwat seksual. Kalau bukan karena syahwat yang menggelora di dalam diri setiap laki-laki dan perempuan, maka siapa pun tidak akan pernah berpikir untuk menikah!
29. Pernikahan adalah jalan untuk membangun keluarga muslim yang terhormat, dan menyemarakkan dunia dengan keturunan dan anak-anak yang saleh.
30. Dengan menikah, berhubungan intim akan mendapat pahala shalat Dhuha. Kalau anda meremas-remas jemari isteri dengan remasan sayang, dosa-dosa anda berdua berguguran. Kalau anda menyenangkan isteri sehingga hatinya bahagia dan diliputi suka cita, anda hampir-hampir mendapatkan ganjaran yang sama dengan menangis karena takut kepada لله.

Menggapai Pernikahan Barokah

Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah,
Berbicara tentang pernikahan banyak yang menyesal. Menyesal kalau tahu begini nikmat kenapa tidak dari dulu. Menyesal ternyata banyak deritanya. Menikah itu tidak mudah, yang mudah itu ijab kabulnya. Rukun nikah yang lima harus dihapal dan wajib lengkap kesemuanya. Begitu pula dengan syarat wajib nikah pada pria yang harus diperhatikan.
Bagaimana jika kita belum punya biaya? Harus diyakini bahwa tiap orang itu sudah ada rezekinya. Menikah itu menggabungkan dua rezeki, rezeki wanita dan laki-laki bertemu, masalahnya adalah apakah rezeki itu diambil dengan cara yang barokah atau tidak. Allah tidak menciptakan manusia dengan rasa lapar tanpa diberi makanan. Allah menghidupkan manusia untuk beribadah yang tentu saja memerlukan tenaga, mustahil Allah tidak memberi rezeki kepada kita.
Biaya pernikahan bukanlah perkara mahal, yang penting ada. Maka kalau sudah darurat bahkan mengutang untuk menikah diperbolehkan daripada mendekati zina. Kalau sudah menikah setelah ijab kabul, jangan jadi riya dengan mengadakan resepsi yang mewah. Hal ini tidak akan menjadi barokah. Misalnya dalam mengundang, hanya menyertakan orang kaya saja, orang miskin tidak diundang. Bahkan Rasulullah melarang mengundang dengan membeda-bedakan status. Dalam mengadakan resepsi jangan sampai mengharapkan balasan income yang didapat.
Masalah mas kawin yang paling bagus adalah emas dan uang mahar yang paling bagus adalah uang. Berilah wanita sebanyak yang kita mampu, jangan hanya berkutat dengan seperangkat alat sholat saja. Rasulullah lebih mengutamakan emas dan uang dan inilah hak wanita. Awal nikah jangan membayangkan punya rumah yang bagus. Maka perkataan terbaik suami kepada istrinya adalah menasehati istri agar dekat dengan Allah. Jika istri dekat dengan Allah maka ia akan dijamin oleh Allah mudah-mudahan lewat kita.
Tiga rumus yang harus selalu diingat terdapat dalam surah Al-Asyr. Setiap bertambah hari, bertambah umur, kita itu merugi kecuali tiga golongan kelompok yang beruntung. Golongan pertama adalah orang yang selalu berpikir keras bagaimana supaya keyakinan dia kepada Allah meningkat. Sebab semua kebahagiaan dan kemuliaan itu berbanding lurus dengan tingkat keyakinan kepada Allah. Tidak ada orang ikhlas kecuali yakin kepada Allah. Tidak ada sabar kecuali kenal kepada Allah. Tidak ada orng yang zuhud kepada dunia kecuali orang yang tahu kekayaan Allah. Tidak ada orang yang tawadhu kecuali orang yang tahu kehebatan Allah. Makin akrab dan kenal dengan Allah semua dipandang kecil. Setiap hari dalam hidup kita seharusnya dipikirkan bagaimana kita dekat dengan Allah.
Kalau Allah sudah mencintai mahluk segala urusan akan beres. Salah satu bukti seperseratus sifat pemurah Allah yang disebarkan kepada seluruh mahlukNya bisa dilihat sikap seorang ibu yang melahirkan seorang anak Kesakitan waktu melahirkan, hamil sembilan bulan tanpa mengeluh yang belum tentu anak tersebut akan membalas budinya. Tidak tidur ketika anaknya sakit, mengurus anak dari mulai TK sampai SMA. Memikirkan biaya kuliah. Mulai nikah dibiayai sampai punya anak bahkan juga diterima tinggal di rumah sang ibu. Tetapi kerelaannya masih saja terpancar. Itulah seperseratus sifat Allah.
Selalu komitmen mau kemana rumah tangga ini akan dibawa. Mungkin sang ayah atau ibu yang meninggal lebih dulu yang penting keluarga ini akan kumpul di surga. Apapun yang ada dirumah harus menjadi jalan mendekat kepada Allah. Beli barang apapun harus barang yang disukai Allah. Supaya rumah kita menjadi rumah yang disukai Allah. Boleh punya barang yang bagus tanpa diwarnai dengan takabur. Bukan perkara mahal atau murah, bagus atau tidak tetapi apakah bisa dipertanggungjawabkan disisi Allah atau tidak. Bahkan dalam mendengar lagu yang disukai Allah siapa tahu kita dipanggil Allah ketika mendengar lagu.
Rumah kita harus Allah oriented. Kaligrafi dengan tulisan Allah. Kita senang melihat rumah mewah dan islami. Jadikan semua harta jadi dakwah mulai mobil sampai rumah. Tiap punya uang beli buku, buat perpustakaan di rumah untuk tamu yang berkunjung membaca dan menambah ilmu. Jangan memberi hadiah lebaran hanya makanan, coba memberi buku, kaset dan bacaan lain yang berguna. Jangan rewel memikirkan kebutuhan kita, itu semua tidak akan kemana-mana. Allah tahu kebutuhan kita daripada kita sendiri. Allah menciptakan usus dengan disain untuk lapar tidak mungkin tidak diberi makan. Allah menyuruh kita menutup aurat, tidak mungkin tidak diberi pakaian.
Apa yang kita pikirkan Allah sudah mengetahui apa yang kita pikirkan. Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana dekat dengan Allah, selanjutnya Allah yang akan mengurusnya. Kita cenderung untuk memikirkan yang tidak disuruh oleh Allah bukan yang disuruhNya. Kalau hubungan kita dengan Allah bagus semua akan beres. Barang siapa yang terus dekat dengan Allah, akan diberi jalan keluar setiap urusannya. Dan dijamin dengan rezeki dari tempat yang tidak diduga-duga. Dan barang siapa hatinya yakin Allah yang punya segalanya, akan dicukupkan segala kebutuhannya. Jadi bukan dunia ini yang menjadi masalah tetapi hubungan kita dengan Allah-lah masalahnya.
Golongan kedua adalah rumah tangga yang akan rugi adalah rumah tangga yang kurang amal. Jangan capai memikirkan apa yang kita inginkan, tapi pikirkan apa yang bisa kita lakukan. Pikiran kita harusnya hanya memikirkan dua hal yakni bagaimana hati ini bisa bersih, tulus, dan bening sehingga melakukan apapun ikhlas dan yang kedua teruslah tingkatkan kekuatan untuk terus berbuat. Pikiran itu bukan mengacu pada mencari uang tetapi bagaimana menyedekahkan uang tersebut, menolong, dan membahagiakan orang dengan senyum. Sehingga dimanapun kita berada bagai pancaran matahari yang menerangi yang gelap, menuai bibit, menyemarakkan suasana. Sesudah itu serahkan kepada Allah. Setiap kita memungut sampah demi Allah itu akan dibalas oleh Allah.
Rekan-rekan Sekalian, Mari kita ubah paradigmanya. Rumah tangga yang paling beruntung adalah rumah tangga yang paling banyak produktifitas kebaikannya. Uang yang paling barokah adalah uang yang paling tinggi produktifitasnya, bukan senang melihat uang kita tercatat di deposito atau tabungan. Uang sebaiknya ditaruh di BMT. Yang terjadi adalah multiefek bagi pihak lain, hal ini menjadikan uang kita barokah. Daripada uang kita disimpan di Bank kemudian Banknya bangkrut, disimpan di kolong kasur takut dirampok.
Kaya boleh asal produktif. Boleh mempunyai rumah banyak asal diniatkan agar barokah demi Allah itu akan beruntung. Beli tanah seluas-luasnya. Sebagian diwakafkan, kemudian dibangun masjid. Pahala akan mengalir untuk kita sampai Yaumil Hisab. Makanya terus cari uang bukan untuk memperkaya diri tapi mendistribusikan untuk ummat. Sedekah itu tidak akan mengurangi harta kita kecuali bertambah. Jadi pikiran kita bukan akan mendapat apa kita? tapi akan berbuat apa kita?. Apakah hari ini saya sudah menolong orang, sudahkah senyum, berapa orang yang saya sapa, berapa orang yang saya bantu?
Makin banyak menuntut makin capai. Makin kuat kita menuntut kalau Allah tidak mengijinkan maka tidak akan terwujud. Kita minta dihormati, malah Allah akan memperlihatkan kekurangan kita. Kita malah akan dicaci, hasilnya sakit hati. Orang yang beruntung, setiap waktu pikirannya produktif mengenai kebaikan. Selagi hidup lakukanlah, sesudah mati kita tidak akan bisa. Kalau sudah berbuat nanti Allah yang akan memberi, itulah namanya rezeki. Orang yang beruntung adalah orang yang paling produktif kebaikannya.
Yang ketiga rumah tangga atau manusia yang beruntung itu adalah pikirannya setiap hari memikirkan bagaimana ia bisa menjadi nasihat dalam kebenaran dan kesabaran dan ia pecinta nasihat dalam kebenaran dan kesabaran. Setiap hari carilah input nasihat kemana-mana.
Kata-kata yang paling bagus yang kita katakan adalah meminta saran dan nasihat. Ayah meminta nasihat kepada anak, niscaya tidak akan kehilangan wibawa. Begitu pula seorang atasan di kantor.
Kita harus berusaha setiap hari mendapatkan informasi dan koreksi dari pihak luar, kita tidak akan bisa menjadi penasihat yang baik sebelum ia menjadi orang yang bisa dinasihati. Tidak akan bisa kita memberi nasihat jika kita tidak bisa menerima nasihat.
Jangan pernah membantah, makin sibuk membela diri makin jelas kelemahan kita. Alasan adalah kelemahan kita. Cara menjawab kritikan adalah evaluasi dan perbaikan diri. Mungkin membutuhkan waktu sebulan bahkan setahun. Nikmatilah nasihat sebagai rezeki dan bukti kesuksesan hidup. Sayang hidup hanya sekali dan sebentar hanya untuk menipu diri. Merasa keren di dunia tetapi hina dihadapan Allah. Merasa pinter padahal bodoh dalam pandangan Allah.

Mudah-mudahan kita bisa menerapkan tiga hal diatas. Setiap waktu berlalu tambahlah ilmu agar iman meningkat, setiap waktu isi dengan menambah amal. Alhamdulillah. (neng_arie)

KH. Abdullah Gymnastiar, Pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhiid Bandung
http://awie.crimsonblog.com/

Khutbah Nikah

 

Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” Muttafaq Alaihi.
MUKADIMAH
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.

Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adam lah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Ilahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al-Baqarah : 30).

Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. ‘Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (MITSAAQON GHOLIIDHOO), sebagaimana firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”. (An-Nisaa’ : 21).

Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.

Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.

Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen). Dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita.

Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.

PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN

Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta’ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya.

Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar-Ruum : 30).

A. Islam Menganjurkan Nikah

Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).

B. Islam Tidak Menyukai Membujang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras”. Dan beliau bersabda :

“Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat”. (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).

Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya …. Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :

“Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).

Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : “Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab”.

Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.

Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.

Islam menolak sistem ke-rahib-an karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta’ala yang telah ditetapkan bagi makhluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang dikaruniakan Allah, misalnya ia berkata : “Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!”.

Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya:

“Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
(An-Nur : 32).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :

“Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”. (Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu).

Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.

Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu pernah berkata : “Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan”. (Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul ‘Arus hal. 20).

TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM

1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi

Di tulisan terdahulu [bagian kedua] kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur

Sasaran utama dari disyari’atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).

3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami

Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut :

“Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (Al-Baqarah : 229).

Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :

“Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui “. (Al-Baqarah : 230).

Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal :

a. Harus Kafa’ah
b. Shalihah

a. Kafa’ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.

Menurut Islam, Kafa’ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, bukan status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya (Al-Hujuraat : 13).

“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujuraat : 13).

Dan mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahankan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. (Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175).

b. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih.
Menurut Al-Qur’an wanita yang shalihah ialah :

“Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)”. (An-Nisaa : 34).

Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :

“Ta’at kepada Allah, Ta’at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta’at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta’at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya”.

Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.

4. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah

Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? Jawab para shahabat :”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa’i dengan sanad yang Shahih).

5. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih

Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :

“Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. (An-Nahl : 72).

Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.

Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.

Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.

TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya :

1. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).

2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.

Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.

3. Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya
diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah).

Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa”. (Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa’id Al-Khudri).

SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN

1. Pacaran
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya “Berpacaran” terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau dianggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.

Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk
menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram.

2. Tukar Cincin
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zafat, Nashiruddin Al-Bani)

3. Menuntut Mahar Yang Tinggi
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.

Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. (Lihat Irwa’ul Ghalil 6, hal. 347-348).

4. Mengikuti Upacara Adat
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.

Sungguh sangat ironis…!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. (Al-Maaidah : 50).

Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

“Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali-Imran : 85).

5. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa’ Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa’ Wal Banin (=semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.

Dari Al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa’ Wal Banin. ‘Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : “Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian”. Para tamu bertanya :”Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?”.
‘Aqil menjelaskan :

“Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka ‘Alaiykum” (= Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain).

Do’a yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah :

“Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa jama’a baiynakumaa fii khoir”

Do’a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

‘Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do’a : (Baarakallahu laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir) = Mudah-mudahan Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148).

6. Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.

7. Pelanggaran Lain
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.

PENUTUP

Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :

“Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-Ruum : 21).

Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla’an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda “kemelut” perselisihan dan percekcokan.

Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.

Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam.

Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (Ali-Imran : 19).

“Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al-Furqaan : 74)

Amiin.

Wallahu a’alam bish shawab.

Sumber: Zawji, Membentuk Keluarga di Atas Kemuliaan Sunnah, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Compiled ebook by Akhukum Fillah

Jumat, 02 Mei 2008

Jamuan Allah

Oleh : Uwes Fatoni

Siti Aisyah ra bercerita, suatu malam Rasulullah SAW bertanya kepadanya, ''Apakah engkau rela bila malam ini aku beribadah?'' Aisyah menjawab, ''Sungguh aku senang ada di sisimu, tetapi aku juga rela dengan apa yang engkau senangi.'' Rasulullah kemudian mengambil wudlu untuk shalat dengan membaca Alquran sampai menangis dan ikat pinggangnya basah. Selesai shalat, beliau duduk berdzikir memuji Allah dan air matanya terus bercucuran sampai lantai tempat duduknya basah.

Di Masjid, Bilal sedang menunggu Rasulullah, ''Tidak biasanya Rasul terlambat datang ke masjid untuk shalat (sebelum) Subuh. Ada apa gerangan?'' tanya Bilal pada dirinya sendiri. Kemudian, muadzin Masjid Nabawi tersebut mendatangi Rasul yang sedang menangis.

''Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis? Bukankah seluruh dosamu telah diampuni Allah?'' tanya Bilal.
''Wahai Bilal, bagaimana aku tidak menangis? Tadi malam, turun wahyu kepadaku: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang yang mengingat Allah, sambil berdiri, duduk, atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka.''' (QS Ali Imran [3] : 190-191).

Ayat-ayat di alam semesta merupakan jamuan Allah. Allah mengundang manusia untuk menelaah ayat-ayat-Nya. Menghadiri undangan Allah berarti menikmati 'santapan' yang telah disediakan-Nya.

Ayat-ayat yang dibaca atau dilihat tersebut merupakan jenis-jenis makanan yang dihidangkan Allah kepada kita. Hidangan tersebut adalah kenikmatan yang sangat tinggi bagi akal kita. Selain diperintahkan mempelajari ayat-ayat Quraniyah, Allah juga menyuruh kita mempelajari ayat-ayat Kauniyah sebagai makanan akal kita.

Namun sayang, hanya segelintir orang yang mau dan mampu menikmati makanan tersebut. Yaitu, mereka yang mau belajar untuk memahami ayat-ayat Allah berupa alam semesta, langit, dan bumi serta terus memikirkannya di setiap saat dan waktu. Dari pemikirannya itu, kemudian memperteguh keyakinannya dan mendekatkan dirinya kepada Allah.

Sudahkah kita menikmati jamuan Allah tersebut? Sudahkah kita memikirkan ayat-ayat-Nya yang terbentang luas di alam semesta ini? Bila belum, sesungguhnya kita termasuk orang yang merugi sebagaimana sabda Rasul di atas.

Oleh : Karyanto Wibowo

"Tiada satu pun karunia yang diperoleh seseorang yang bersikap tawadhu kepada Allah, kecuali Allah meninggikan derajatnya." (HR Muslim).


Hadis di atas menjamin ganjaran yang bakal diterima seseorang jika tawadhu. Menghilangkan kesombongan, tinggi hati, merasa hebat, dan segudang penyakit hati lainnya. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun seberat biji sawi." (HR Abu Dawud).

Manusia diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Pemahaman yang benar terhadap hal tersebut seharusnya tidak melahirkan orang kaya yang merasa lebih hebat dibanding lainnya. Pejabat merasa lebih terhormat ketimbang rakyat biasa, kiai merasa lebih benar daripada santrinya, atau generasi tua merasa lebih tahu ketimbang yang muda.

Hadis di atas seharusnya cukup membuat kita sadar dan takut. Shalat, puasa, zakat, haji, dan segudang amal saleh lainnya tidak menjamin kita masuk surga jika di dalam hati kita masih ada setitik kesombongan.

Bahkan, pejabat setingkat presiden pun tidak berhak sombong. Hal ini dikisahkan dalam hadis riwayat Ibnu Majah. Diceritakan seseorang yang gemetar ketakutan ketika menemui Rasulullah yang dipersepsikan sebagai raja diraja. Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh hina engkau.

Sesungguhnya, aku bukanlah seorang raja. Aku hanyalah anak seorang wanita yang memakan dendeng di Makkah." Subhanallah, betapa agungnya ketawadhuan Nabi SAW. Muhammad bin Abdullah yang seorang Nabi, kepala negara, kepala pemerintahan, raja, panglima militer, pengusaha sukses, pendidik, dan manusia yang dijamin masuk surga tidak membuatnya sombong sedikit pun.

Ketawadhuan beliaulah yang patut diteladani, diikuti, dan ditiru. Seperti telah disebut dalam Alquran surat Alahzab ayat 21, "Sesungguhnya, telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang berharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah."

Marilah membuang jauh-jauh kesombongan dalam menjalani hidup yang singkat ini, seberapa pun hebatnya kita. Karena, sesungguhnya kekayaan, jabatan, ilmu, tubuh yang sempurna, wajah cantik, kecerdasan, dan bahkan anak istri kita adalah milik Allah yang dititipkan pada kita.

Sesungguhnya, orang yang berlaku tawadhu zaman sekarang ini sangatlah sedikit. Apakah kita termasuk di antara mereka?

Memaknai Usia

Oleh : Muhammad Bajuri

''Belum hilang jejak telapak kaki orang-orang yang mengantarnya ke kubur, seorang hamba (yang telah habis usianya) akan ditanya mengenai empat hal, yaitu hal usianya ke mana dihabiskannya, hal tubuhnya untuk apa digunakannya, hal ilmunya seberapa yang diamalkannya, serta hal hartanya dari mana diperolehnya dan untuk apa dibelanjakannya.'' (HR Tirmidzi).

Karunia Allah yang paling berharga yang diberikan kepada manusia adalah usia. Kekayaan dan kekuatan manusia tidak berarti apa-apa jika usia sudah tiada. Menurut Ar Razi, jika hilangnya masa dipahami sebagai hilangnya modal, sedangkan modal manusia adalah usia yang dimilikinya, manusia pun selalu mengalami kerugian. Sebab, setiap saat, dari waktu ke waktu, usia yang menjadi modal utamanya terus berkurang.

Tidak diragukan lagi, jika usia itu digunakan manusia untuk bermaksiat, ia benar-benar mengalami kerugian. Bukan hanya tidak mendapatkan kompensasi apa pun dari modalnya yang hilang, namun lebih dari itu. Apa yang dilakukan dapat membahayakan dan mencelakakan dirinya. Begitu juga jika usianya dihabiskan untuk mengerjakan perkara-perkara yang mubah, ia tetap dikatakan merugi sebab usia sebagai modalnya habis tanpa meninggalkan dan menghasilkan apa pun bagi dirinya.

Untuk itu, usia haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya. Suatu hari, seorang murid bertanya kepada mursyidnya, ''Apa makna usia?'' Jawabannya adalah sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah SAW, ''Apabila hari ini amal pekerjaanmu masih sama dengan hari kemarin, berarti kamu merugi. Bila lebih jelek daripada kemarin, terkutuk namanya. Bila lebih bagus, barulah termasuk beruntung.Nah, apakah usiamu yang setiap saat berkurang telah digantikan oleh hal-hal yang lebih baik atau sebaliknya? Di situlah makna usiamu.''

Ada dua hal penting mengapa usia harus mendapat perhatian serius. Pertama, Allah SWT akan meminta pertanggungjawaban atas usia yang Allah karuniakan. Kedua, usia adalah masa yang menentukan baik buruknya manusia. At Tirmidzi meriwayatkan bahwa ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, ''Siapa manusia terbaik?'' Beliau bersabda, ''Manusia yang usianya panjang dan dihabiskan untuk kebaikan.'' Ia bertanya lagi, ''Siapa manusia terburuk?'' Beliau bersabda, ''Manusia yang usianya panjang, namun dihabiskan untuk keburukan.'' Wallahu a'lam bish-shawab.

Harta Abadi

Oleh : Amir Faishol Fath

Allah SWT selalu menceritakan dalam Alquran mengenai kepastian hancurnya alam dunia. Dalam pembukaan surat Attakwir [81], Al Infithaar [82], dan Al Insyiqaaq [84], digambarkan secara detail bagaimana langit yang kokoh ini kelak akan menjadi rapuh dan terkelupas.

Bintang-bintang terlepas dari porosnya, lautan dipanaskan lalu diluapkan dan menelan semua daratan, matahari dipadamkan sehingga tak ada kehidupan lagi di muka bumi. Ini menunjukkan bahwa harta yang selama ini manusia perjuangkan akan berakhir. Alam akhirat telah Allah SWT persiapkan bukan untuk sementara, melainkan untuk selama-lamanya. Tidak ada kematian lagi setelah itu.

Siapa yang selama di dunia mempersiapkan diri untuk menjadi penghuni surga dengan menaati Allah SWT dan Rasul-Nya, ia akan bahagia selamanya. Sebaliknya, siapa yang mempersiapkan diri untuk menjadi bahan bakar neraka dengan mengingkari ajaran Allah SWT dan Rasul-Nya, ia akan menderita selamanya.

Dalam Alquran, Allah SWT selalu menceritakan orang-orang yang kelak pasti akan menyesal karena selama di dunia, lalai. Mereka tidak pernah percaya bahwa kelak akan dihisab semua amal dan kekayaan mereka. Akibatnya, mereka terlena dengan kemewahan, bahkan menjadi kikir dan rakus.

Mereka tak mau beramal untuk akhirat. Kekayaan ditumpuk hanya untuk kepentingan dunia. Mereka kelak akan berkata seperti yang Allah SWT rekam dalam surat Alhaqqah [69]: 27-28. "Telah hilang kekuasaanku dariku. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku."

"Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya. Dan orang kafir berkata, 'Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah'." (Annaba' [78]: 40).

Sebelum menyesal, masih ada kesempatan untuk membuat harta kita menjadi abadi. Caranya: transferlah harta anda ke akhirat. Salurkan kekayaan melalui lembaga-lembaga sosial yang membantu fakir miskin dan anak yatim. Lebih dari itu, wakafkan harta untuk pelayanan sosial, seperti masjid, sekolah pendidikan agama, dan rumah sakit. Wallahu a'lam bishshawab.

Insya Allah

Oleh : Rahmaji Asmuri

Ungkapan insya Allah bukan hal yang asing bagi umat Islam. Ucapan yang termasuk salah satu kalimat thayyibah atau kalimat baik untuk diamalkan ini, di satu sisi belum dipahami makna dan urgensinya secara benar.

Nabi Muhammad SAW pernah ditegur Allah SWT ketika terlupa mengucapkan insya Allah sewaktu berdialog dengan utusan suku Quraisy bernama An Nadhar bin Al Harits dan 'Uqbah bin Abi Mu'ith. Mereka bertanya kepada Nabi tentang kisah Ashabul Kahfi, Zulkarnain, dan ruh. Beliau menjawab, ''Datanglah besok pagi kepadaku agar aku ceritakan kepadamu.''

Sampai batas waktu yang dijanjikan, Allah SWT belum menurunkan wahyu menanggapi tiga pertanyaan itu sehingga Nabi tak dapat menjawab. Setelah 15 hari berlalu, Allah menurunkan ayat yang menjawab seluruh pertanyaan tersebut.

Teguran Allah SWT itu diabadikan dalam QS Alkahfi [18]: 23-24. ''Dan janganlah sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, 'Aku pasti melakukan itu besok pagi', kecuali (dengan mengatakan), 'insya Allah'. Dan ingatlah kepada Tuhanmu bila engkau lupa dan katakanlah, 'Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi petunjuk kepadaku, agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini'.''

Insya Allah yang memiliki arti 'Jika Allah menghendaki' seringkali disalahtempatkan dalam penggunaannya, hanya karena lantaran kita merasa sebagai orang yang berbudaya timur, yang tidak pantas untuk berkata tidak.

Sebagai contoh, ketika kita diajak atau diundang untuk suatu kegiatan, kita cenderung untuk mengatakan insya Allah. Padahal, kita sudah mengetahui sejak awal bahwa kita tidak dapat memenuhi ajakan atau undangan tersebut dengan alasan tertentu.

Alquran mengabadikan beberapa pelajaran tentang penggunaan kalimat insya Allah yang dapat kita ambil hikmahnya. Di antaranya, dialog yang sangat santun antara seorang ayah dan putranya. Nabi Ibrahim berkata, ''Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?''

Ismail menjawab, ''Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.'' (QS Asshaffat [37]: 102). Wallahu a'lam bish shawab.

Perbedaan

Oleh : Tohirin El Ashry

Secara kasat mata, apa yang kita lihat sepanjang sejarah manusia adalah paradoks. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang rupawan, ada juga yang buruk rupa. Ada yang kasar, ada pula yang lembut hati. Ada yang hidupnya bahagia, ada juga yang dikepung penderitaan. Begitu seterusnya, sampai tak terhingga.

Realitas faktual benar-benar plural, dari hal-hal yang terkecil hingga hal-hal yang besar. Namun, semua ini bukan berarti Allah, Sang Pencipta, kurang adil terhadap makhluk-Nya. Perbedaan-perbedaan ini harus dilihat dalam kerangka keterpasangan, bukan ketimpangan (QS Alfathir [35]: 11, Thaha [20]: 53).

Kehidupan ini ibarat perlombaan maraton. Bedanya, dalam perlombaan yang satu ini, kita berada pada garis start yang berbeda-beda. Tapi, itu bukannya tidak adil. Sebab, Allah telah membuat garis finish yang sangat memungkinkan untuk dijangkau oleh semua pihak. Garis finish itu adalah takwa.

Semua pelari, bahkan yang berada di garis paling belakang pun, punya peluang yang sama untuk mencapai garis finish. Yang berada di belakang pun sangat mungkin sampai terlebih dahulu dan meraih juara pertama. Semua ini tergantung kesadaran, kemauan, dan kesungguhan masing-masing dalam mencapainya.

Semua yang diciptakan Allah tak satu pun ada yang sia-sia tanpa tujuan (QS Ali Imran [3]: 191). Semua ciptaan Allah punya maksud dan tujuan terbaik untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. Sesungguhnya, di balik semua keunikan realitas ini tersimpan hikmah dan rahasia Ilahi yang tidak semuanya dapat kita ketahui.

Yang harus diwaspadai adalah jika perbedaan ini disalahgunakan untuk maksud-maksud jahat. Adanya pihak yang lemah tentu saja membuka peluang bagi yang kuat untuk menindasnya. Adanya pihak yang berkuasa tentu mengundang peluang untuk melakukan pemaksaan terhadap pihak yang berada dalam kekuasaannya.

Kelebihan tertentu yang diberikan pada seseorang bisa saja membuatnya bertindak zalim dan mendiskreditkan orang lain. Jika ini yang terjadi, akal sehat tentunya dapat mengerti bahwa semua itu harus dihentikan. Itu adalah penyikapan yang salah atas perbedaan, yang bertentangan dengan tujuan baik penciptaan.

Pada hakikatnya, tak satu pun makhluk di dunia ini diciptakan Allah dalam kondisi sempurna. Masing-masing dilengkapi dengan kelebihan dan kekurangan. Karena itu, Allah memerintahkan agar satu sama lain tolong-menolong dalam kebaikan (QS Almaidah [3]: 3) dan nasihat-menasihati (QS Alashr [103]: 1-3). Sesungguhnya, perbedaan hanyalah tangga nada agar satu sama lain saling berjalin harmonis untuk menciptakan sebuah keadilan. Wallahu a'lam.