Rumah tangga bahagia adalah dambaan hampir setiap kaum muda mudi sebelum melangkahkan kakinya ke jenjang pernikahan. Bayangan masa depan yang indah dan menggembirakan merupakan idaman setiap pasangan yang baru saja melangkahkan kakinya di pelaminan.
Namun tak sedikit rumah tangga yang baru beberapa saat terbangun, kandas begitu saja, dan berakhir pada perceraian. Banyak orang merasa ragu dan gemetaran sebelum maju ke gerbang pernikahan. Walhasil, tidak sedikit yang mengurungkan pernikahan, karena takut dirinya akan terkubur dalam puing-puing kehancuran.
Keraguan antara menikah atau tidak, jangan sampai ada pada diri muslim. Ia harus secara perwira, menentukan antara berumahtangga atau tidak, sesuai dengan ajaran suci Ilahi yang dianutnya dan kemampuan yang dimilikinya.
Lebih Utama Menikah atau Tidak?
Setiap manusia memiliki naluri seksual, naluri yang mendorongnya untuk mendekati lawan jenisnya dan melakukan hubungan intim dengannya. Sebagaimana firman Allah dalam QS.Ali Imran: 14 “Zuyyina linnasi hubbusy-syahawaati minan-nisaa’i wal baniina…” (Telah dihiasi manusia kecintaan kepada wanita -lawan jenisnya- dan anak-anak…)
Naluri yang sedemikian rupa, sebenarnya bukan hanya milik manusia saja. Tetapi juga milik makhluk-makhluk Allah lainnya. Misalnya, kita perhatikan sejenak, betapa bunga memekarkan kelopaknya guna menunggu kedatangan kumbang. Dan kupu-kupu, agar mengantarkan serbuk sarinya ke kembang berkepala putik. Begitu pula sepasang burung manyar yang merangkai sarangnya untuk bercumbu.
Itu semua, tidak lepas dari naluri yang telah diberikan Allah kepada makhluk-makhlukNya untuk berpasang-pasangan. Allah berfirman dalam QS.Yasin: 36, “Subhaanalladzi kholaqol azwaaja kullaha tsumma tunbitul ardhu wa min anfusihim wa mimma laa ya’lamuun” “Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.
Dan sungguh tidak sia-sia apa yang Allah ciptakan. Berupa naluri untuk berpasang-pasangan. Karena dengan itu, makhluk-makhluk tadi mampu menjaga eksistensinya dan mengembangbiakkan keturunannya.
Diantara makhluk-makhluk itu, manusia dibebani tanggungjawab yang lebih, yakni untuk memakmurkan bumi. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Huud: 61, “Huwa ansya’akum fil ardhi wasta’marokum fiiha” (Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikanmu pemakmurnya)
Maka untuk memakmurkan bumi ini, diperlukan masyarakat yang kuat (potencial mass). Dan masyarakat yang kuat pun tidak akan terwujud tanpa adanya keluarga-keluarga yang kuat pula. Adapun untuk mewujudkan keluarga itu, tak lain adalah dengan menjalin pernikahan.
Menurut Imamul Ghozali, dalam salah satu karya tashawufnya “Ihyaa’u ‘Uluumuddin” disebutkan, bahwa pernikahan memiliki kekurangan dan kelebihan (kebaikan). Diantara kekurangannya adalah beban untuk mencari nafkah lebih banyak, perhatian yang lebih untuk membina keluarga sakinah, mendidik dan mendewasakan anak-anak yang merupakan amanah Tuhan, dan juga menjadi penghalang untuk memusatkan perhatian pada Tuhan dan kepentingan akhirat.
Dibalik kekurangan-kekurangan itu, pernikahan ternyata memiliki banyak faedah. Al Ghozali merincinya dalam lima faedah:
1. Faedah pertama, adalah melestarikan keturunan manusia di muka bumi. Dan pada faedah pertama ini tersimpan banyak keuntungan lagi. Pertama, terjadi persesuaian antara kehendak Allah untuk melestarikan jenis manusia dan usaha manusia mendapatkan anak. Kedua, sebagai upaya mencintai rasulullah (mahabbatur rasul) dengan mengikuti sunahnya. Ketiga, anak shaleh yang mendoakan orangtuanya, yang tidak akan terjadi tanpa adanya pernikahan. Keempat, Syafa’at rasul yang disebabkan kematian anak diusia dini (sebelum baligh). Sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Ibnu Hibban.
2. Faedah kedua, bahwa pernikahan dapat memecahkan syahwat, membentengi dari godaan syaithan dan menghindari fitnah.
3. Faedah ketiga, jiwa akan merasa tenang dan bugar kembali dari keletihan ketika seseorang menyempatkan diri bercanda dan bercumbu dengan pasangannya, sehingga memberi motivasi baru dalam beribadah. Sebagaimana Nabi saw bersabda: “Dijadikan aku menyukai akan tiga hal dari duniamu, yaitu harum-haruman, wanita dan kesenangan hatiku pada sholat.” (HR.an Nasa’I dan al Hakim)
4. Faedah keempat, adanya seorang tempat berbagi dalam pekerjaan rumahtangga, sehingga sebagian waktu dapat dimanfaatkan untuk mencari ilmu dan melakukan ibadah khusus.
5. Faedah kelima, pernikahan dapat dijadikan sarana mujaahadatun-nafs (pengendalian diri) dan penguji kesabaran, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan seorang istri. Nabi bersabda: ”Apa yang dinafkahkan oleh seorang suami kepada istrinya adalah shodaqah. Sesungguhnya seorang suami akan diberi pahala karena dia memberikan makanan ke mulut isterinya”(HR.Bukhori dan Muslim).
Dari lima faedah diatas, jelas bahwa pernikahan adalah satu hal yang sangat dianjurkan. Sebagaimana ungkapan firman Allah dalam QS.An Nuur:32, Allah menegaskan: “Wa ankihuul ayaamaa minkum wash-shoolihiina min ‘ibaadikum wa imaa-ikum. In yakuunuu fuqaraa’a yughnihumullahu min fadhlihi. Wallahu waasi’un ‘aliim” (Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak -untuk kawin- dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (QS.An-Nuur:32).
Kata “Ayyaamaa” diayat diatas adalah bentuk plural (jama’) dari kata (isim mufrad) “aymatun” yang berarti “tarammul” yaitu wanita-wanita janda yang ditinggal mati suaminya atau wanita-wanita yang sendirian yang tak kunjung menemui pasangan hidupnya. Sehingga kedudukan mereka adalah seperti anak-anak yatim (yataama) yang bingung hendak kemana harus mengadu, tidak ada tempat untuk “sharing of love” baik dalam suka maupun duka. Mereka semua adalah orang-orang yang membutuhkan kepedulian kita. Kepedulian seorang mukmin kepada mukmin lainnya adalah mutlak. Allah berfirman didalam QS. At Taubah: 71: “Wal mukminuuna wal mukminaatu ba’dhuhum awliyaa’u ba’dhin” (Orang-orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan, sebagian dari mereka adalah awliya -pelindung dan penolong- atas sebagian yang lain). Hendaknya yang kuat menolong yang lemah, yang beruntung membantu yang kurang beruntung, dan seterusnya.
Mencapai Keluarga Sakinah
Hubungan suami istri adalah bukan sebatas hubungan fisik-biologis semata (robiithoh jasadiyyah), tetapi juga hubungan rohaniah (robiithoh ruhaniyyah) antara dua insan yang saling membutuhkan. Dengan kata lain, perekat hubungan suami istri bukan hanya perekat lahiriah, tetapi juga jalinan ruhaniyyah. Untuk mencapai tingkatan keluarga yang dinamis (‘aailah sakiinah),maka islam menawarkan tiga hal berikut:
Pertama, untuk menjalin rumah tangga yang baik,hendaklah memilih wanita/pria yang sholihah/sholih sebagai mitra berumahtangga. Yaitu wanita yang mampu menjaga amanah suaminya, memelihara dengan baik harta suaminya, patuh dan tebal keimanannya. Nabi bersabda: “Fadzfar bizaatid-diin taribath yadak”
“Pilihlah yang mantap agamanya, semoga akan mengikat tanganmu” (HR.Bukhari Muslim). Kedua, pernikahan harus dijalin dengan tali temali rohaniah yang kuat, yaitu mahabbah, mawaddah, rahmah dan amanah.
(1) Mahabbah (cinta)
Kata “mahabbah” sebagaimana yang diriwayatkan Al Hujwiri dalam kitab “Kasyful Mahjuub”, berasal dari kata “habbah” yang berarti benih-benih/biji yang jatuh ke bumi di padang pasir. Mahabbah dikatakan berasal dari kata itu karena dia merupakan sumber kehidupan. Sebagaimana benih itu tersebar di gurun pasir, tersembunyi didalam tanah, dihujani oleh terpaan angin, hujan dan sengatan matahari, disapu oleh cuaca panas dan dingin, benih-benih itu tidak rusak oleh perubahan musim, namun justru tumbuh berakar, berbunga dan berbuah. Demikian halnya cinta sejati, tak lapuk dengan sengatan mentari dan guyuran hujan, tak lekang oleh perubahan musim dan tak hancur berantakan oleh terpaan angin.
Ada pula yang mengatakan “mahabbah” berasal dari kata “hubb” yang berarti penyangga (empat kaki-kaki kecil pada alas poci air), disebut demikian karena seorang pecinta, rela dengan suka hati melakukan apa saja untuk yang dicintainya.
Adapula yang mengatakan “mahabbah” berasal dari kata “haabb” yang berarti relung hati yang paling dalam. Dikatakan demikian, karena cinta tumbuh dari relung hati yang paling dalam (grows from the deepest side of heart). Tak mudah dilukiskan dalam kata-kata, tetapi tumbuh dalam perasaan hati setiap insan.
Apapun asal katanya, kita sepakat bahwa cinta adalah tali buhul yang mengikat kuat antara si pecinta dan yang dicintainya. Dia datang, tidak diketahui waktunya, dan akan pergi begitu saja kalau tidak dipelihara dengan baik.
(2) Mawaddah (cinta yang mendalam)
Tingkatan yang kedua adalah “mawaddah”, berasal dari kata “wuud” yang berarti al-hubb al-katsir (cinta yang banyak/mendalam). Pakar leksikografi al-Quran, Ar-Raghib Al Isfahani mengatakan bahwa mahabbah adalah hanya terbatas yang tersembunyi dalam relung hati, sedangkan mawaddah adalah yang meninggalkan bekas nyata (atsar) dalam kehidupan. Yaitu terjalinnya hubungan mesra (tahaabbu) antara suami dan isteri. Salah satu asma Allah “al-Waduud”, karena nama itu merealisasikan cinta Tuhan pada segenap alam dalam pemeliharaanNya”.
(3) Rahmah (kasih)
Kata “rahmah” berasal dari kata “rahm”, yang berarti “riqqatun taqtadhi al-ihsaana ilal marhuum”,”rasa kasih yang menuntut munculnya perbuatan baik terhadap yang dikasihi”. Jadi rahmah adalah rasa kasih yang membuahkan perbuatan baik dari yang mengasihi kepada yang dikasihi,tanpamengharap balasan”.
(4) Amanah (percaya)
“Amanah” berasal dari kata “aamana-yu’minu” yang berarti “amn” (memberi rasa aman) dan “iman” (percaya). Sehingga amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman, dari pihak yang memberikan karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu akan terpelihara dengan baik, serta aman keberadaannya ditangan yang diberi amanat. Orang tua tidak akan merestui anaknya tanpa adanya jaminan kepercayaan.
Musyawarah
Untuk tercapainya keluarga sakinah, diperlukan adanya “musyawarah” sebagai solusi mencari kesamaan diantara perbedaan pendapat yang sering terjadi dalam kehidupan berumahtangga. Apapun masalah yang terjadi hendaknya dicari titik temu dengan jalan musyawarah. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Asy-Syuura: 42, “Walladziinas tajaabu lirobbihim wa aqaamush-sholaata wa amruhum syuuro baynahum, wa mimmaa rozaqnaahum yunfiquun” Artinya: Dan (ciri-ciri orang yang beriman) adalah yang menyambut seruan Tuhannya, dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Demikianlah, semoga kajian tentang “Membangun Rumahtangga Sakinah” diatas dapat menggugah hati para pembaca/pendengar, baik yang telah berumahtangga maupun yang masih dalam pra-nikah dan yang sedang sibuk mencari pasangan hidup, semoga harapan baiti jannati “mahligaiku adalah laksana sorga bagiku” dapat terwujud dihadapan ikhwan dan ikhwat sekalian. Uushikum wa nafsi bitaqwallaahi, fanastaghfirullaaha minna wa minkum, Wassalaamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh. Wallahu a’lam.
Oleh: Al Birruni Siregar
Mahasiswa program S1, Fak. Theologi, Universitas Al Azhar,Kairo.
© 2003 www.manajemenqolbu.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar