Minggu, 30 Desember 2007

Reformasi Moral



Oleh : Asep Sulhadi

Allah SWT dalam beberapa firman-Nya menyebutkan di antara sebab-sebab yang mempengaruhi kejayaan dan kehancuran kehidupan kita adalah perilaku moral kita. Dalam surat Al-A'raf (7) ayat 96, Allah SWT menegaskan akan melimpahkan keberkahan dari langit dan bumi kepada perilaku bangsa yang beriman dan bertakwa, ''Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.''

Dalam surat Maryam (19) ayat 59, Allah SWT juga menyebutkan sebab hancurnya sebuah generasi adalah karena mereka melalaikan shalat dan mengikuti hawa nafsu, ''Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.''

Begitu juga dalam surat Al-Anfal ayat 53-54 di mana Allah SWT mencabut anugerah kenikmatan suatu bangsa karena bangsa tersebut sudah menjadi seperti Fir'aun, ''(siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang sebelumnya.

Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya, maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya, dan Kami tenggelamkan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya dan kesemuanya adalah orang-orang yang dzalim.'' (QS Al-Anfal [8]:53-54). Bangsa kita, sekarang sedang dilanda berbagai musibah dan krisis yang tiada henti. Padahal, dulunya bangsa ini adalah bangsa yang makmur, gemah ripah loh jinawi.

Bisa jadi salah satu faktor yang menyebabkan kemerosotan dan kemunduran bangsa ini adalah karena moral kita yang sudah tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Kita sudah tidak mempedulikan lagi perintah dan larangan agama. Kita sudah menjadi budak hawa nafsu yang siap melakukan apa saja demi mengejar dunia dan popularitas. Kiranya, sudah saatnya bagi kita untuk mengubah berbagai musibah menjadi kenikmatan. Mari kita jadikan tahun baru 2008 sebagai momen untuk berubah.

Muhasabah


Oleh : Agus T Rahman

Dalam sebuah kisah, khalifah Umar Ibnu Khattab pernah berpesan berkenaan dengan muhasabah atau yang lebih kita kenal dengan introspeksi, ''Hisablah (evaluasi) diri kamu sebelum kamu dihisab (di hari Kiamat), dan timbanglah amalan diri kamu sebelum kamu ditimbang di akhirat kelak. pada hari itu kamu akan dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kalian sedikitpun.''

Wejangan Umar Ibnu Khattab di atas sangatlah tepat bagi kita untuk saat ini yang beberapa hari lagi akan dihadapkan pada satu momen penting dalam proses menjalani roda kehidupan ini, yaitu pergantian tahun. Inilah kesempatan baik menilai dan mengevaluasi diri, patut kita pertanyakan untuk apa waktu kita habiskan, dan sudah sejauh mana kualitas amal saleh selama satu tahun yang terlewatkan.

Untuk barometer penilaian sukses atau gagalnya menjalani proses kehidupan ini, Islam sebetulnya telah menentukan standar yang sangat disiplin. Hal ini tercermin dalam sebuah hadis Rasulullah SAW yang berbunyi, ''Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin sesunguhnya dia telah beruntung, barangsiapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka sesungguhnya ia telah merugi. Dan barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka sesungguhnya ia terlaknat.'' (HR Dailami)

Bagi seorang Muslim, aktivitas muhasabah ini selain untuk menilai amal perbuatan yang telah dilakukan, juga berfungsi sebagai momentum untuk memperbaiki diri serta mempersiapkan bekal dan strategi melangkah menuju kehidupan selanjutnya yang lebih baik lagi. Allah SWT berfiraman, ''Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS Al-Hsyr [59]: 18)

Bertambah usia dari minggu ke minggu, bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun pada hakikatnya adalah pengurangan jatah umur kita untuk terus hidup di dunia yang fana ini. Dengan sisa waktu yang kita miliki, setelah muhasabah, seyogyanya kita dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pengabdian kita pada Allah SWT serta memperbaiki akhlak kita terhadap sesama. Minimalnya, untuk tidak terperosok pada lubang yang sama untuk kedua kalinya. Mari kita sambut 2008 dengan tekad menjadi diri kita yang lebih baik. Agar kita tidak termasuk golongan orang-orang yang merugi.

Karunia Allah



Oleh : Jamil Azzaini

Bila ada seseorang yang tiba-tiba memberikan mobil mewah kepada Anda, kemudian Anda mengucapkan terima kasih dan memeluk sang pemberi sampai meneteskan air mata. Apakah artinya Anda sudah bersyukur? Sebagian Anda menjawab 'ya', itu sudah bersyukur.

Pertanyaan lanjutan saya, setelah satu tahun mobil itu tidak pernah Anda gunakan, apakah Anda termasuk orang yang bersyukur? Pasti jawabannya tidak. Begitu pula Allah SWT, Tuhan Sang Pemberi, telah memberikan kepada kita lebih dari mobil mewah. Dia berikan kepada kita penglihatan, pendengaran, hati, ginjal, jantung, paru-paru, kulit yang membungkus tubuh, otak, tangan, dan kaki tanpa kita harus membayar. Kita belum bisa dikatakan bersyukur bila di akhir tahun ini hanya berucap Alhamdulillah atas semua karunia dan anugerah yang telah Allah SWT berikan dan kemudian menangis tersedu-sedu.

Kita bisa dikatakan bersyukur bila kita mampu memanfaatkan semua pemberian Allah itu secara optimal. Prestasi dan unjuk kinerja harus kita selalu torehkan setiap saat. Apabila dalam satu bulan kita menorehkan satu prestasi maka seharusnya selama satu tahun kita sudah mampu menunjukkan 12 prestasi. Kita harus selalu merenung, ''Andai Sang Pemberi mencabut nyawa kita dan kemudian bertanya, prestasi terbaik apa yang sudah kita lakukan dengan semua karunia dan anugerah yang telah Dia berikan?'' Maka seharusnya kita harus mampu menunjukkan berbagai prestasi yang sudah kita lakukan.

Kita harus membuktikan prestasi yang diraih karena kita menggunakan penglihatan, pendengaran, tangan, kaki, otak, dan semua panca indera kita. Prestasi itu, harus seimbang dengan nilai yang telah diberikan Allah kepada kita. Berapa nilai (harga) mata Anda? Pendengaran Anda? Tangan dan kaki Anda? Otak Anda? Nah sekarang pertanyaannya, apa prestasi yang sudah Anda hasilkan sebanding atau paling tidak mendekati harganya?

Apa yang perlu dilakukan di akhir tahun? Menurut saya, di sela liburan keluarga, perlu masing-masing anggota keluarga yang sudah dewasa mempresentasikan 'prestasi-prestasi' dan manfaat yang akan diberikan kepada orang lain di tahun yang akan datang. Dengan cara ini, biaya yang Anda habiskan untuk liburan, hasilnya akan sebanding. Karena itu harus ada suatu komitmen tentang prestasi dan manfaat yang bisa Anda berikan dalam kehidupan Anda.

Ummatan Washatan



Oleh : Tarmizi Taher

''Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...'' (QS Al-Baqarah [2]: 143)

Sekarang ini umat Islam berada di tengah arus globalisasi. Kesiapan umat Islam dalam menyongsongnya akan sangat menentukan, apakah mereka akan menjadi kelompok penonton, pemain pinggiran, atau menjadi kekuatan yang secara positif menggerakkan sekaligus mengarahkan. Semua posisi yang didapatkan itu, merupakan aspek substansial dalam mengarahkan corak perkembangan yang akan terus bergulir tanpa henti di masa yang akan datang.

Allah telah menyatakan peran yang harus dimainkan Islam, yaitu sebagai ummatan wasathan (umat yang serasi dan seimbang), menjadi saksi atas kebenaran dan keagungan ajaran Allah. Penegasan Allah bahwa umat Islam harus menjadi ummatan wasathan selayaknya mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari kita semua. Terutama saat menghadapi perubahan cepat akibat dari kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan besarnya gelombang globalisasi.

Ciri ummatan wasathan yang pertama adalah adanya hak kebebasan yang harus selalu diimbangi dengan kewajiban. Dalam konteks itulah, Allah menyatakan barang siapa yang diberikan hikmah oleh Allah sehingga mampu bersikap seimbang. Ciri kedua adalah adanya keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi, serta material dan spiritual.

Sejarah perkembangan peradaban manusia memberikan pelajaran yang sangat berharga, bahwa kegagalan dalam mencapai keseimbangan akan mengakibatkan malapetaka. Seringkali, ketika mereka telah mencapai kemajuan material, yang terjadi adalah kerusakan akhlak, keserakahan, dan kegelisahan nurani. Akibatnya, kemajuan yang mereka capai hanya kemajuan yang semu, karena ia tidak membuat manusia menikmati kebahagiaannya yang hakiki.

Ciri ketiga adalah keseimbangan yang terwujud pada pentingnya kemampuan akal dan moral. Kemampuan akal manusia tercermin dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hanya akan mampu menyelesaikan sebagian persoalan manusia, jadi bukan keseluruhannya. Jika ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai produk kecerdasan akal berada di tangan orang-orang yang tidak memiliki moral yang luhur, juga bisa menimbulkan malapetaka.

Senin, 24 Desember 2007

Nyaris Bentrok Rebutan Masjid


Oleh : Ahmad Tohari

Itu judul sebuah berita di harian Suara Merdeka Semarang akhir pekan lalu. Isinya, di masjid Ukhuwah Islamiyah desa Klareyan Kecamatan Petarukan, Pemalang, pada hari Jumat nyaris terjadi bentrok antara dua kelompok umat. Diberitakan, di masjid yang namanya bagus itu pada saat yang sama dilakukan dua shalat Jumat, tentu dengan dua imam dan khatib pula.

Masih menurut berita itu, bila tidak dilerai oleh Camat dan aparat keamanan dua kelompok umat itu pasti akan berkelahi: rebutan masjid. Di daerah saya, Banyumas, hal semacam ini pernah beberapa kali terjadi. Meskipun begitu soal umat rebutan masjid selalu menggelisahkan saya.

Dulu di daerah saya rebutan masjid hanya disebabkan masalah adzan. Satu kelompok merasa benar bila adzan shalat Jumat dilakukan dua kali. Sebaliknya, kelompok lain meyakini adzan shalat Jumat yang benar adalah satu kali. Kedua pihak berkukuh dengan kebenaran (k kecil) yang mereka pegang karena keduanya merasa telah sampai kepada Kebenaran (K besar). Islah di antara kedua kelompok tidak bisa dicapai. Maka pihak yang kalah memisahkan diri dan kemudian secara emosional membangun masjid baru tidak jauh dari masjid lama.

Pihak yang menang tentu yakin mereka membela agama. Maka mereka mengira Kanjeng Nabi tersenyum gembira, dan penjaga surga dengan takzim siap membukakan pintu buat mereka. Sebaliknya, yang kalah merasa sedang berjihad membela kemuliaan agama yang ganjarannya adalah ridha Allah dan tentu saja surga.

Sementara pada saat yang sama dalam telinga saya terngiang kata-kata Kanjeng Nabi pada detik-detik terakhir hidup beliau: "Umatku..., umatku..." Ya, (K)ebenaran dan (k)ebenaran; dua hal amat berbeda namun hampir selalu disamakan. (K)ebenaran berada dalam wilayah ilahi yang merupakan dimensi Al Haq, sifatnya mutlak dan tunggal. Karena itu makhluk manapun tidak akan sampai kepadanya. Manusia sealim apapun, paling jauh hanya mampu mencapai (k)ebenaran. Dan (k)ebenaran manusiawi ini tidak mungkin tunggal dan mutlak. Maka sesungguhnya bila ada orang yang merasa atau mengaku mampu mencapai tingkat (K)ebenaran, samalah artinya dia mengaku memasuki wilayah ilahi.

Dulu, andaikata orang-orang di daerah saya mampu memahami bahwa capaian paling jauh yang bisa mereka raih adalah (k)ebenaran, bukan (K)ebenaran, tentu mereka bisa didamaikan. Mereka tidak akan ribut soal adzan sekali atau dua kali karena (k)ebenaran yang mereka pegang tidak memenuhi seluruh ruang keyakinan. Dan (k)ebenaran itu cuma soal pilihan, bukan keharusan yang bersifat mutlak. Malah mereka mungkin bisa bergurau, "Lha wong tanpa adzan pun shalat Jumat sah saja. Gitu aja kok..."

Dekonstruksi atas kecenderungan memutlakan (k)ebenaran ini bisa diperpanjang. Bila berhasil maka banyak sekali PR umat yang diakibatkan oleh sikap merasa paling benar bisa diselesaikan. Paradigma kejamakan dalam beragama pun bisa hidup dengan indah karena setiap orang atau kelompok menyediakan ruang untuk mengakui hak orang lain merasa benar dengan pilihan mereka. Beragama menjadi sikap budaya yang membumi dan tentu saja manusiawi.

Sayangnya upaya mengubah sikap merasa paling benar dalam penafsiran dan penghayatan agama memang tidak mudah. Karena umumnya orang sulit membedakan antara (K)ebenaran dan (k)ebenaran. (K)ebenaran wahyu Islam harus diyakini bersifat tunggal dan mutlak, tapi hanya Kanjeng Nabi seorang yang mampu sampai ke sana karena sifat maksumnya. Selain oleh Kanjeng Nabi, penafsiran dan pemahaman terhadap wahyu bahkan juga terhadap hadis Nabi-- hanya mungkin sampai kepada tingkat (k)ebenaran nisbi karena terbukungkus oleh kodrat kerelatifan manusia sendiri.

Ketika setiap orang atau kelompok merasa hanya bisa mencapai (k)ebenaran maka tidak akan ada pihak yang berani menjadi hakim atas pihak lain. Sang Hakim sejati adalah pemilik (K)ebenaran mutlak yang punya sebutan Al Haq. Dan hanya dalam kondisi seperti inilah ukhuwah bisa hadir. Selanjutnya, dalam cinta atau rahmat, semua persoalan umat bisa diselesaikan dengan bermartabat.

Sebaliknya, bila para pihak merasa punya (K)ebenaran, maka dalam sebuah masjid yang bernama Ukhuwah Islamiyah pun bisa terjadi permusuhan. Bukan hanya itu, takbir pun bisa diserukan untuk mengiringi tindakan kekerasan sosial atas nama agama. Jadi, di manakah ruh rahmatan lil alamin itu?

Seperti sudah saya katakan di depan, kecenderungan merasa paling benar sudah menjadi gejala yang akut di tengah kehidupan umat. Umumnya orang meyakini (k)ebenaran adalah (K)ebenaran. Situasi ini bisa diperbaiki bila para ustadz, kiai, atau tokoh kelompok Islam manapun berani mendakwahkan kepada diri sendiri dan para pengikut bahwa singgasana (K)ebenaran tidak pantas diduduki oleh mahluk manapun.

Karena selain melanggar makna syahadat, sikap demikian bisa membuat orang merasa berhak menghakimi keyakinan orang lain. Akibatnya perilaku keagamaan menjadi kaku dan keras, jauh dari citra Islam sejati yang seharusnya penuh damai dan cinta kasih. Contohnya ya, apa yang terjadi di masjid Ukhuwah Islamiyah, Pemalang, Jumat lalu itu. Wallahu a'lam.

Kebersamaan dalam Kemajemukan



Oleh : Din Syamsuddin

Idul Adha memiliki dua dimensi utama, yaitu dimensi vertikal manusia dengan Allah Yang Maha Pencipta (hablun min Allah) dan dimensi horizontal (hablun minannas), yaitu adanya kepedulian terhadap sesama manusia. Bukanlah suatu kebetulan Allah menggantikan pengorbanan Ibrahim AS dengan seekor qibas dan memerintahkan kita untuk menyembelih hewan kurban, melainkan karena pengabdian kita kepada Allah haruslah dapat membawa dampak kemaslahatan kepada sesama manusia.

Kedua dimensi ibadah kurban tadi menunjukkan keberagamaan kita haruslah berpangkal pada keimanan kepada Allah yang kita jelmakan dalam keikhlasan pengabdian kepada-Nya. Kemudian harus bermuara pada kemaslahatan bagi sesama manusia. Keberagamaan yang berhenti pada peribadatan saja tanpa membuahkan amal kebajikan adalah keberagamaan yang kosong hampa.

Ibrahim AS merupakan simbol keteladanan sosial bagi setiap upaya ''menjalin kebersamaan dalam kemajemukan serta menebar empati untuk semua''. Idul Adha mengingatkan kita akan pentingnya solidaritas nasional dalam bingkai menjalin kebersamaan dalam kemajemukan. Dalam konteks ini, Allah pernah mengingatkan dalam salah satu ayat Alquran, ''Bahwa telah jelas tampak, setiap golongan berbangga dengan (kehebatan) kelompoknya.''

Cuplikan ayat Alquran di atas merupakan peringatan Allah kepada kita dalam dua bentuk pemahaman. Pertama, kita tidak boleh ta'asshub (berbangga terhadap kelompok kita secara primordial). Kedua, perjuangan mencapai (keridhaan) Allah di muka bumi, misalnya upaya menyejahterakan masyarakat, tidak bisa dicapai melalui ta'asshub tersebut. Karena itu, berjuang di jalan Allah, harus murni menjadi tujuan kita; bukan berjuang untuk membuat organisasi atau kelompok kita hebat. Apalagi kemudian diiringi dengan membanggakan kelompoknya lebih hebat daripada kelompok lain dalam capaian aktivitas sosial.

Dalam konteks ini, solidaritas nasional perlu juga didorong oleh kebersamaan yang tulus untuk membantu sesama, tanpa membedakan agama, etnis, ras, dan budaya. Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak beriman seseorang, hingga dia mencintai (apa yang diekspresikan) saudaranya/sesamanya, berbanding lurus dengan apa yang dicintainya.'' (Muttafaq `Alaih).

Dibunuh Waktu



Oleh : MHD Natsir

Waktu akan terus bergulir, meski perubahannya terlihat pelan. Bergerak dalam hitungan detik, ternyata satu tahun sudah terlewati. Masih segar dalam ingatan masa kecil yang begitu indah. Kita merasa damai dengan kasih sayang ibu dan ayah yang selalu menjaga. Dalam gendongan ibu kita bisa bermanja. Kesalahan kita dianggap lucu oleh mereka. Menangis dan berkelahi dengan saudara menjadi hal biasa. Semua itu rasanya baru kemarin kita lalui.

Sekarang kita bukan anak kecil lagi. Rambut sudah mulai memutih, kulit yang kencang mulai keriput, mata mulai kabur, senyum indah dengan gigi yang tersusun rapi tak ada lagi. Anak sudah lahir, cucu pun sudah mulai besar. Kita dipanggil nenek dan kakek. Kita sudah tua dan hukum alam berlaku bahwa yang tua akan segera digantikan oleh yang muda. Akhirnya kita tersadar sudah waktunya menyiapkan perbekalan melanjutkan perjalanan ke akhirat. Masa istirahat di dunia sudah hampir berakhir. Ibarat lomba kita akan segera mencapai garis finish.

Dalam kondisi seperti ini kita merasakan waktu begitu singkat. Jatah hidup di dunia akan segera berakhir dan sudah saatnya mempersiapkan diri untuk akhirat. Kita pun mulai berfikir apa saja yang telah disiapkan untuk bekal di akhirat? Waktu ibarat pedang yang harus diwaspadai dan digunakan dengan sebaik-baiknya. Kalau kita terlena, maka kita akan dibantai dengan perubahan dan penyesalan yag tidak akan pernah ada gantinya. Karena waktu yang sudah berjalan tidak akan pernah kembali.

Dunia yang kita jalani saat ini adalah tempat mampir menuju akhirat. Namanya tempat mampir, tentu saja sebentar dan sangat singkat. Meski kita merasa betah untuk berlama-lama, kita tetap harus melanjutkan perjalanan. Bahkan banyaknya orang yang mencintai dan menghormati kita, tidak akan bisa menghentikan perjalanan kita menuju akhirat. Rela tidak rela, kita pasti meninggalkan dunia yang sementara ini.

Untuk itu jangan sampai kita dibunuh oleh waktu. Mari kita kerjakan amalan yang bermanfaat, sehingga meski usia bertambah tua, amalan yang bermanfaat dapat membuat kita bangga dan tenang melanjutkan perjalanan mencapai tujuan yang sebenarnya. ''Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, yang saling mengingatkan dengan kebenaran dan saling mengingatkan dengan kesabaran (QS Al-A'shr: 1-3).

Sabtu, 22 Desember 2007

Aku Datang ya Allah


Oleh : Asro Kamal Rokan

Sudah dua juta orang --dari sekitar tiga juta orang-- tumpah ruah di Makkah, sepekan sebelum wukuf di Arafah, puncak ibadah haji. Mereka datang dari seluruh dunia, memenuhi setiap ruang, sudut, dan bahkan memenuhi seluruh pelataran Masjidil Haram yang luas dan indah. Mereka berdiri bersama, rukuk bersama, sujud bersama dalam seruan sama: Allahu akbar!

Tiada yang lebih besar dari Allah SWT, yang menggerakkan hati manusia dari kota-kota besar hingga pelosok desa yang sunyi. Dari petani, pembantu rumah tangga, hingga pemimpin negara. Lelaki yang kuat dan berkuasa, hingga ibu-ibu tua dan tak berdaya. Mereka tidak saling kenal, bahasa mereka berbeda, namun saling menyapa.

Adakah yang lebih indah dari semua ini, ketika setiap orang sama tanpa sekat politik, jabatan, bahasa, dan kekuasaan? Apakah pernah ada pertemuan sebesar itu dari segala rapat akbar dalam sejarah? Apakah ada dalam sejarah manusia, setiap kali pertemuan jumlah pesertanya tidak semakin surut, melainkan semakin bertambah, terus-menerus hingga harus dibatasi dalam kuota, padahal mereka yang datang harus membayar dalam jumlah besar? Sepengetahuan saya, tidak ada, kecuali ibadah haji.

Berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari tempat-tempat yang jauh (QS Al-Hajj:27). Ya Allah betapa nyata semua ini. Orang-orang berpakaian ihram dua helai kain putih tanpa dijahit seperti kafan membaluti tubuh mereka, bergerak dalam putaran sama mengelilingi Baitullah, melawan arah jam, menuju waktu sesungguhnya: surga yang indah.

Pakaian ihram layaknya kafan membungkus tubuh manusia. Tidak berarti lagi jas yang indah dan mahal, pakaian kebesaran dan pangkat setinggi apa pun. Tidak juga ada orang-orang miskin dengan pakaian kumal dan robek. Semua sama, serbaputih, tak berjahit, ibarat kafan. Tidakkah kematian itu sama, siapa pun mereka? Tidakkah manusia itu sama di hadapan Allah SWT kecuali amal ibadahnya? Lalu bagaimana manusia dapat menyombongkan diri karena pakaian, pangkat, dan atribut yang disandangnya, jika pada akhirnya adalah kafan?

Dan, thawaf adalah penyerahan diri secara total. Setiap orang, siapa pun mereka, apa pun warna kilit mereka, latar belakang sosial dan budaya mereka, bentuk fisik dan bahasa mereka, berpakaian sama dan berputar pada arah yang sama pula. Tidak boleh melawan arus, tidak boleh berhenti, tidak ada pilihan. Semua orang membiarkan dirinya diseret arus gelombang dahsyat ini. Mereka ikhlas karena inilah yang mereka idamkan berpuluh tahun, mereka impikan sejak menyatakan diri sebagai seorang Muslim.

Aku datang ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu,
Aku sambut panggilan-Mu,
Tidak ada sekutu bagi-Mu
Sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah milik-Mu
Tiada sekutu bagi-Mu

Segala puji adalah milik Allah. Tiada sekutu bagi-Nya. Tapi, mengapa manusia suka pujian, suka sanjungan, padahal pujian adalah milik Allah? Mengapa manusia lebih suka mempertuhankan materi, jabatan, kekuasaan, atribut, padahal Allah satu-satunya Tuhan, pemilik segala kekuasaan di bumi, langit, dan segala alam semesta, yang kekal dan Mahabesar? Ya Allah, saya di sini, mengelilingi Ka'bah dalam arus manusia berpakaian putih seperti kafan, meleburkan diri dalam gelombang dahsyat. Saya berkeliling menyatukan diri dari satu titik dan berakhir di titik yang sama: dari titik kehidupan ke titik kematian: Allah Akbar, aku sambut panggilan-Mu.

Kebersamaan dalam Kemajemukan



Oleh : Din Syamsuddin

Idul Adha memiliki dua dimensi utama, yaitu dimensi vertikal manusia dengan Allah Yang Maha Pencipta (hablun min Allah) dan dimensi horizontal (hablun minannas), yaitu adanya kepedulian terhadap sesama manusia. Bukanlah suatu kebetulan Allah menggantikan pengorbanan Ibrahim AS dengan seekor qibas dan memerintahkan kita untuk menyembelih hewan kurban, melainkan karena pengabdian kita kepada Allah haruslah dapat membawa dampak kemaslahatan kepada sesama manusia.

Kedua dimensi ibadah kurban tadi menunjukkan keberagamaan kita haruslah berpangkal pada keimanan kepada Allah yang kita jelmakan dalam keikhlasan pengabdian kepada-Nya. Kemudian harus bermuara pada kemaslahatan bagi sesama manusia. Keberagamaan yang berhenti pada peribadatan saja tanpa membuahkan amal kebajikan adalah keberagamaan yang kosong hampa.

Ibrahim AS merupakan simbol keteladanan sosial bagi setiap upaya ''menjalin kebersamaan dalam kemajemukan serta menebar empati untuk semua''. Idul Adha mengingatkan kita akan pentingnya solidaritas nasional dalam bingkai menjalin kebersamaan dalam kemajemukan. Dalam konteks ini, Allah pernah mengingatkan dalam salah satu ayat Alquran, ''Bahwa telah jelas tampak, setiap golongan berbangga dengan (kehebatan) kelompoknya.''

Cuplikan ayat Alquran di atas merupakan peringatan Allah kepada kita dalam dua bentuk pemahaman. Pertama, kita tidak boleh ta'asshub (berbangga terhadap kelompok kita secara primordial). Kedua, perjuangan mencapai (keridhaan) Allah di muka bumi, misalnya upaya menyejahterakan masyarakat, tidak bisa dicapai melalui ta'asshub tersebut. Karena itu, berjuang di jalan Allah, harus murni menjadi tujuan kita; bukan berjuang untuk membuat organisasi atau kelompok kita hebat. Apalagi kemudian diiringi dengan membanggakan kelompoknya lebih hebat daripada kelompok lain dalam capaian aktivitas sosial.

Dalam konteks ini, solidaritas nasional perlu juga didorong oleh kebersamaan yang tulus untuk membantu sesama, tanpa membedakan agama, etnis, ras, dan budaya. Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak beriman seseorang, hingga dia mencintai (apa yang diekspresikan) saudaranya/sesamanya, berbanding lurus dengan apa yang dicintainya.'' (Muttafaq `Alaih).

Rabu, 19 Desember 2007

Ahli Waris Para Nabi


Oleh : Munzilin A

'' .... Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.'' (QS Az-Zumar [39]: 9). Pendidikan memberikan kontribusi besar dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dalam Islam pendidikan menempati posisi sentral dalam transfer keilmuwan, pembentukan karakter, dan penanaman nilai-nilai keagamaan.

Dalam proses pendidikan inilah guru memiliki peran penting. Dalam Islam guru tidak hanya menyampaikan ilmu dan nilai-nilai keagamaan. Guru adalah panutan, teladan bagi orang-orang yang ia ajar dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, guru adalah ahli waris para Nabi. Rasulullah SAW bersabda, ''Kelebihan orang yang berilmu atas ahli ibadah ialah seperti kelebihan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya orang-orang yang berilmu itu adalah ahli waris para nabi. Mereka (para nabi) tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi ia mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil ilmu itu, berarti dia telah mengambil bagian yang banyak.'' (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Seorang ahli waris para nabi melaksanakan tugasnya dengan baik, menyayangi para muridnya, dan menuntun mereka. Para guru ini tidak menganggap dirinya lebih hebat dari para muridnya, mengakui bahwa adakalanya mereka lebih utama jika mereka mempersiapkan hatinya untuk ber-taqarrub kepada Allah dengan cara menanam ilmu di hatinya. Semua ini dilakukan dengan ikhlas untuk memdapatkan ridha Allah SWT.

Guru yang ikhlas selalu berusaha berbuat sesuai dengan ilmunya, tidak bertolak belakang antara perkataan dan perbuatannya. Dia menyadari betul ancaman Allah SWT. Allah berfirman, ''Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kalian melupakan diri (kewajiban) kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-Kitab?'' (QS Al-Baqarah [2]: 44). Sungguh beruntung para guru yang mengajarkan kebaikan pada manusia, menyalakan pelita bagi kegelapan, pengantar pada jalan kebenaran.

Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa mengajak kepada jalan yang baik, maka ia mendapat pahala sebanyak orang yang mengikutinya (ajakan) tanpa mengurangi pahala mereka sendiri sedikit pun.'' (HR Muslim). Di zaman modern ini di mana degradasi moral semakin merajalela, peran guru sangat sentral. Guru dituntut semakin meningkatkan keilmuwan, kesabaran, dan ketekunannya menghadapi para siswanya.

Substansi Kurban



Oleh : Saefudin Jaza

Kata kurban (dalam bahasa Arab berarti mendekatkan) tidak dikenal dalam istilah fikih Islam sebagai kata yang bermakna penyembelihan hewan pada Idul Adha. Fikih Islam menggunakan istilah dhahiyah atau udh-hiyah. Sebagian ulama mengistilahkannya dengan an-nahr diambil dari istilah Alquran surat Al-Kautsar ayat 2.

Ibadah kurban sudah dikenal sejak zaman Nabi Adam AS dengan perintah kepada putra-putranya (Qabil dan Habil) untuk mengorbankan dari hasil mata pencahariannya masing-masing. Kemudian dipertegas lagi oleh Nabi Ibrahim AS yang dengan kepasrahannya menyembelih putranya Ismail. Syariat kurban ini dilanjutkan Nabi Muhammad SAW dalam salah satu sabdanya yang diriwayatkan Imam Tirmizi, ''Aku diperintahkan menyembelih kurban dan kurban itu disunahkan bagi kamu.''

Sejatinya, ibadah kurban juga banyak mengandung pesan-pesan moral dan nilai-nilai pendidikan, antara lain: pertama, melatih kepatuhan dan kepasrahan total kepada Allah. Kalau Nabi Ibrahim AS dengan patuh dan tulus menyembelih putranya yang sangat disayangi, kita hanya diminta menyembelih hewan kurban yang dalam ketentuan fikih harus bagus, besar, sempurna, dan tidak cacat.

Namun bukan hewan kurbannya yang akan mendekatkan kita dengan Allah. ''Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya.'' (Al-Haj [22]: 37) Kedua, menghilangkan nafsu bahimiyah (nafsu kebinatangan). Ketika hewan kurban jatuh ke bumi saat disembelih, seolah-olah putuslah sifat-sifat kebinatangan seperti serakah, kejam, penindas, egois, otoriter, dan sebagainya. Saat itu hendaknya si pelaku kurban menyaksikannya sambil memanjatkan doa kepada Allah agar dihindarkan dari sifat-sifat tersebut.

Ketiga, menumbuhkan sifat tawadhu dan menghilangkan sifat sombong atau takabur. Sebelum hewan kurban disembelih, pelaku kurban disunahkan mengumandangkan kalimat takbir, tahmid dan tahlil. Ini bermakna bahwa hanya Allah yang Mahabesar, yang patut disanjung dan dipuji, tiada tuhan selain-Nya. Keempat, menanamkan rasa kasih sayang kepada orang lain. Karenanya daging kurban hendaknya dibagikan kepada sasaran yang tepat, yaitu para fakir miskin yang sangat membutuhkannya.

Kelima, menumbuhkan sifat dermawan. Ibadah kurban dilakukan berulang-ulang setiap tahun bagi yang mampu. Ini tiada lain sebagai proses pembiasaan dan pembelajaran, karena sesuatu yang diulang-ulang, lama-lama akan menjadi watak, tabiat, dan akan sulit untuk dihilangkan.

Nasihat Ibnu Abbas



Salah satu sahabat kesayangan Nabi SAW adalah Ibnu Abbas. Sejak kecil dia sudah sangat dekat dengan Nabi SAW, sehingga Nabi SAW sangat mencintai dia dan mendoakannya untuk menjadi seorang yang faqih dalam masalah agama. Hasil dari doa tersebut, dia menjadi seorang sahabat yang ahli dalam ilmu tafsir, fikih, dan tercatat sebagai sahabat kelima yang paling banyak meriwayatkan hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik, dan Aisyah.

Dari sekian banyak nasihat yang beliau tuangkan dalam beberapa atsar-nya, ada empat nasihat sekaligus amalan yang paling dicintai oleh beliau, sebagaimana yang dikutip oleh Dr Umar Abdul Al-Kafi dalam bukunya Afaatu al-Lisaan. Di antara nasihat-nasihat itu adalah, pertama, supaya umat Islam senantiasa berkata dalam hal yang bermanfaat, sehingga dengan keterjagaan lisannya, setiap ucapan yang keluar dari mulut mengandung hikmah dan ilmu yang bermanfaat.

Kedua, selain berkata dalam hal-hal yang bermanfaat, dia juga menekankan untuk bertutur kata yang baik dan sopan dan melarang untuk berbantah-bantahan dengan cara dan bahasa yang kasar. Hal ini sejalan dengan syarat berdakwah yang baik, sebagaimana firman Allah SWT, ''Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.'' (QS Annahl [16]:125)

Ketiga, meminta kepada keluarga atau teman terdekat untuk selalu mengingatkan kita jika terdapat kesalahan dan kelakuan yang tidak mereka sukai. Begitupun dia menasihatkan untuk selalu gampang memaafkan kesalahan seseorang. Dengan saling mengoreksi dan gampang memaafkan, kita akan senantiasa sukses menjalin kekerabatan dengan siapapun.

Keempat, hendaklah bergaul dengan sesama dengan kelakuan yang baik dan yang mereka sukai, sebagaimana diri kita sendiri ingin digauli oleh orang lain dengan kelakuan yang baik dan yang kita sukai. Saling menghormati, mencintai, kelembutan, dan kesopanan merupakan fitrah yang paling dicintai oleh semua manusia.

Keempat amalan di atas merupakan kunci sukses Ibnu Abbas menjadi ulama yang sangat berpengaruh baik di kalangan sahabat ataupun bagi umat Islam pada umumnya. Selain itu dia juga mejadi seorang yang dicintai banyak orang.

Kurban dan Korban



Oleh : A Saefulloh MA

Secara etimologi, kurban atau qurban berarti mendekatkan diri. Secara terminologi kurban berarti berjuang secara benar atas dasar takwa dan sabar, baik harta, tenaga, maupun jiwa dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah serta memperoleh keridhaan-Nya. Seringkali harta, tenaga, dan jiwa menjadi 'korban', belum menjadi 'kurban.' Hal ini lantaran dikeluarkannya bukan atas dasar takwa, sabar, dan ikhlas karena Allah.

Sebagaimana peristiwa pada suatu Hari Raya Idul Adha ada salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Burdah menyembelih domba sebelum pelaksanaan shalat Idul Adha. Sehingga, ia hanya disebut berkorban belum berkurban, karena melakukan amal perbuatan tanpa melalui perintah dan aturan Rasulullah SAW. Ada juga peristiwa hijrahnya Muhajir Ummu Qeis -- hijrah karena terpikat wanita ia bukan kurban tapi hanya korban, niatnya bukan karena Allah.

Memurnikan niat dalam setiap amal merupakan langkah awal dari penyucian jiwa dan persyaratan diterimanya ibadah kurban seseorang (QS Al-Bayyinah [98]: 5). Dalam satu hadis Umar bin Khathab menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya amal perbuatan bergantung pada niatnya, dan setiap orang memperoleh apa yang diniatkannya. Barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, barangsiapa niat hijrahnya kepara urusan dunia, niscaya hijrahnya sesuai dengan apa yang telah diniatkannya.'' (HR Khamsah).

Sejarah telah mencatat tentang kurbannya Qabil yang ditolak Allah karena tidak ikhlas dan kurbannya Habil yang diterima Allah karena ikhlas (QS Al-Maidah [5]:27). Dialog Nabi Ibrahim dengan Nabi Ismail menggambarkan bahwa keduanya berkurban, Nabi Ibrahim bertanya, ''Wahai Anakku, Sesungguhnya aku bermimpi menyembelihmu. Maka, pikirkanlah bagaimana pendapatmu.'' Nabi Ismail menjawab, ''Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.'' (QS Ash-Shaffat [37]:102).

Kurban seseorang diterima karena atas dasar takwa dan keikhlasan, bukan karena besarnya timbangan daging dan darah hewan yang disembelih. (QS Al-Hajj [22]:37). Jelasnya kurban bukan hanya sekadar menyembelih hewan kambing, domba, qibas, sapi, kerbau, atau unta setiap Hari raya Idul Adha dan Hari Tasyrik (10 s/d 13 Dzulhijjah) tetapi kurban merupakan pola dasar dan pedoman hamba Allah yang beriman dalam berbagai segi kehidupan.

dunia



Menurut ajaran Islam, dunia atau alam dunia adalah tempat tinggal sementara. Menurut keterangan hadis, dunia adalah tempat singgah bagi seorang musafir yang sedang dalam perjalanan. Sesuai dengan sifatnya sebagai tempat tinggal sementara atau tempat singgah seorang musafir, maka waktunya hanya sebentar jika dibandingkan dengan akhirat atau alam akhirat yang merupakan tempat tujuan akhir kehidupan manusia yang kekal abadi.

Sebagai lawan dari alam akhirat yang sifatnya gaib atau metafisika, alam dunia berarti alam syahadah atau fisika. Dengan demikian, pengertian dunia mencakup langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalam dan di antara keduanya yang dapat disaksikan.

Meskipun dunia hanya tempat tinggal sementara, Islam mengajarkan seorang muslim tidak boleh melupakan kehidupannya di dunia ini. Dalam hal ini Allah SWT berfirman: ''Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi...'' (QS Al-Qashash [28]:77).

Dalam ayat yang lain dinyatakan dunia ini diserahkan Allah SWT kepada manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan demi kepentingannya sendiri. Dalam kaitan ini, Allah SWT berfirman yang artinya: ''Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintahNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya).'' (QS An-Nahl [16]: 12).

Dalam surat Ibrahim (14) ayat 32 Allah SWT berfirman yang artinya: ''Allah lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit. Kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu: dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.''

Di samping Allah SWT menyerahkan dunia ini untuk dikelola dan dimanfaatkan demi kepentingan manusia sendiri, Allah SWT juga memeperingatkan manusia supaya berhati-hati agar jangan sampai terbawa hanyut oleh kehidupan dunia yang menyesatkan. Di antara sifat-sifat kehidupan duniawi yang harus diperhatikan sebagaimana yang dijelaskan Alquran adalah: (1) kehidupan dunia hanya merupakan mainan dan sendara gurau (QS.6:32); (2) kehidupan dunia hanya merupakan permainan, sesuatu yang melalaikan dan merupakan perhiasan untuk bermegah-megahan.

Di bagian lain, Allah SWT mengingatkan munculnya kerusakan di dunia akibat ulah tangan manusia.Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum (30) ayat 41 yang artinya: ''Telah nampak kerusakan di darat dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).'' n dam/disarikan dari buku Ensiklopedi Islam terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta

Kita Dzalim terhadap Lingkungan


Jika tidak ada upaya dari berbagai pihak untuk melakukan tindakan penyelamatan hutan kita, maka lima tahun yang akan datang hutan dataran rendah di Sumatera akan segera habis, disusul hutan Kalimantan 10 tahun kemudian.

Semua sepakat pemanasan global merupakan momok yang menakutkan bagi kehidupan bumi ini. Jika pemasanan bumi ini tidak dikurangi, kerusakan yang mahadasyat akan melanda bumi. Suhu udara semakin panas, air laut akan naik, banjir terjadi di mana-mana, penyakit bertebaran, dan bencana lainnya akan menghampiri umat manusia, tanpa pandang bulu.

Itu sebabnya, Perserikatan Bangsa-bangsa akan menghajat perhelatan akbar KTT Perubahan Iklim dan Pemanasan Global (Global Warming) yang akan digelar di Nusa Dua, Kuta Selatan, Badung, 3-14 Desember 2007. Diharapkan, ada kata sepakat untuk mengerem laju kerusakan alam untuk menyelamatkan bumi kita.

Bagi bangsa kita, isu menyelamatkan bumi dan melestarikan alam seolah hanya slogan belaka. Direktur Walhi Chalid Muhammad mengungkapkan jika dilihat dari masa waktu 60 tahun Indonesia merdeka, ternyata isu lingkungan belum menjadi pertimbangan pertama dalam pembangunan bangsa Indonesia. ''Yang justru menjadi panglimanya selama ini adalah pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, tidak jarang menimbulkan eksplotasi besar-besaran dan tidak terkendali yang pada gilirannya menimbulkan dampak negatif baik bencana ekologis seperti banjir, longsor dan kemudian menimbulkan derita berkepanjangan berupa kemiskinan struktural,'' tandas Chalid kepada Republika Rabu (28/11).

Ironisnya, sambung Chalid, kebijakan perundang-undangan kita selalu berpihak kepada kepentingan pemilik modal dan sama sekali mengabaikan kepentingan mayoritas bangsa serta generasi yang akan datang. Kebijakan perundang-undangan kita hanya menguntungkan multitransnasional dan internasional. Akibat kebijakan pembangunan yang salah yang lebih mengejar kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi, akhirnya muncul jurang yang sangat tinggi antara suplai dan demand, antara industri kehutanan dengan ketersediaan kehutanan di Indonesia.

Chalid menyebutkan, dari data yang dimilki Walhi tahun 2006, terjadi kerusakan hutan sebesar 2,72 juta hektar. Sisa hutan yang masih baik di Indonesia sekarang ini tak lebih dari 20 persen dari total hutan yang adi seluruhnya. Chalid mengingatkan, jika tidak ada upaya dari berbagai pihak untuk melakukan tindakan penyelamatan hutan kita, maka lima tahun yang akan datang hutan dataran rendah di Sumatera akan segera habis, disusul hutan Kalimantan 10 tahun kemudian. ''Dan yang paling mengerikan, dalam jangka waktu 15 tahun, Walhi memprediksi kita akan kelangkaan kayu akibat punahnya hutan di Indonesia.''

Dalam pandangan Walhi, pendapatan dari pajak dan royalti dari industri kehutanan, tidak sebanding sama sekali dengan nilai uang yang dikeluarkan akibat dampak buruk seperti longsing, banjir dan bencana alam lainnya. ''Karena itulah, pemerintah dan DPR harus memiliki kemauan yang kuat untuk memperbaiki hutan dan lingkungan kita, agar tidak terjadi lebih besar lagi bencana yang menimpa rakyat Indoensia,'' tegas Chalid yang mengaku pesimis pertemuan Bali tidak akan berdampak terlalu banyak bagi Indonesia bila pemerintah dan DPR tidak punya kemauan yang kuta untuk memperhatikan hutan dan lingkungan Indonesia.

Aktivis lingkungan Zaim Saidi justru memandang, justru akar dari segala persoalan rusaknya hutan di Indonesia adalah riba. ''Mengapa hutan kita rusak? Karena ada kerakusan! Mengapa lalu timbul kerakusan? Karena adanya riba. Karena kerakusan itulah akhirnya hutan dieksplotasi habis-habisan. Akar semua ini adalah riba. Jadi, tidak mungkin kerusakan hutan dan lingkungan itu bisa dicegah, jika akarnya tidak diselesaikan,'' ujar Zaim. Ia kemudian menyitir firman Allah SWT dalam surat Albaqarah (2) ayat 11 yang artinya:

''Dan bila dikatakan kepada mereka, 'Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan kebaikan.'' Menurut Zaim, persis yang digambarkan pada ayat tersebut, tidak sedikit orang yang mengaku melakukan perbaikan terhadap lingkungan, padahal sesungguhnya ia sedang merusak lingkungan. ''Dengan dalih pembangunan berkelanjutan, mereka justru sebenarnya tengah merusak bumi dan lingkungan,'' tegasnya.

Dengan adanya riba, kata Zaim lebih lanjut, kemudian muncul proyek-proyek dan kredit serta investment yang lagi-lagi bertujuan untuk memenuhi kerakusan. ''Yang menjadi korban tentu saja masyarakat. Mereka bukan saja dihajar dampak ekologis seperti banjir dan longsir, tapi juga dampak inflasi yang terus menerus,'' ujar Zaim mengingatkan.

Mengapa manusia perlu menjaga alam lingkungan? Menurut Pimpinan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darussunnah Ciputat Tangerang ini, karena perilaku yang tidak baik dengan merusak alam dan lingkungan, akan berdampak terhadap masyarakat. ''Timbulnya berbagai bencana alam seperti banjir, longsong dan juga kekeringan, disebabkan karena tangan-tangan serakah manusia,'' tegasnya.

Menurut KH Anwar Sanusi, tugas manusia sebagai khalifah (wakil Allah, red) di muka bumi ini ada dua. Pertama, mengingat Allah dalam bentuk ibadah. Kedua, menjaga dan mengatur alam sesuai dengan sunnatullah. ''Karena itu, dalam konsep Islam, menjaga kelestarian alam ini hukumnya wajib dan mereka yang merusak alam sehingga menimbulkan bencana bagi orang banyak, harus dihukum seberat-beratnya,'' tegas kyai Anwar Sanusi.

Sayangnya, kata pimpinan Pesantren Arafah Ciawi Bogor ini, pemerintah kurang memiliki kepedulian terhadap utuhnya lingkungan. Ia lalu menyoroti adanya perizinan tempat-tempat seperti resapan air yang dijadikan tempat hunian. Begitu juga perizinan reklamasi pantai yang kemudian dijadikan tempat pemukiman maupun pembabatan hutan secara besar-besaran. ''Karena kita sudah tidak peduli lagi terhadap lingkungan yang juga merupakan makhluk Allah, akhirnya melakukan protes dalam bentuk banjir, hembusan angin kencang, gelombang pasang, dan sebagainya.'' Tak cukupkan ini sebagai bentuk teguran? dam

Bentengi Jiwa, Jauhi Narkoba

Dari tahun ke tahun, kasus narkoba terus meningkat. Dari catatan BNN (Badan Narkotika Nasional) bila pada tahun 2004 kasus narkoba sebanyak 8.409 kasus, maka pada tahun 2004 berlipat menjadi 17.355 kasus.

Mengapa narkoba terus meningkat? Ternyata barang haram ini meminjam istilah komedian Cici Tegal, bukan barangnya yang enak, tapi duitnya juga enak menjadi sebuah industri yang menjanjikan. Bayangkan, untuk wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) saja, peredaran uang yang terkait dengan narkoba setiap harinya tak kurang dari Rp 10 miliar!

Yang mencengangkan, saat ini tak kurang dari 8.000 siswa SD menjadi pengguna narkoba. Bahkan, dari data yang dikeluarkan BNN belum lama ini, dalam lima tahun terakhir, jumlah pengguna narkoba dari kalangan pekerja swasta cukup mencolok. Tahun 2001, penguna narkoba dari pekerja swasta sebanyak 1.228 orang, tahun 2006 melonjak tajam hingga 13.914 orang. Pengguna di kalangan buruh, tahun 2001 sebanyak 833 orang, tahun 2006 melonjak menjadi 4.675 orang. Narkoba juga menembus ke berbagai profesi tanpa batas hingga ke kalangan aparat Polri dan TNI, meskipun jumlahnya tak sebanyak pekerja swasta.

Yang sangat mengerikan, seperti diungkapkan Menpora Adhyaksa Dault, setiap tahunnya 15 ribu warga Indonesia tewas menjadi korban narkoba. Kalau dihitung rata-rata sehari sekitar 40 orang. Jadi, betapa seriusnya, kalau setiap tahun harus jatuh korban 15 ribu orang, yang setiap harinya 40 orang meninggal karena narkoba,'' ungkapnya kepada Republika, Senin (3/12).

Peredaran narkoba juga terjadi tak hanya di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan hingga ke pelosok daerah dan luar Jawa. Ketua Badan Narkotika Propinsi (BNP) Kalimantan Selatan, HM Rosehan NB. Mengatakan, narkoba sudah merasuk hingga ke desa-desa. Harus ada kemauan dari masyarakat untuk bersama-sama memerangi narkoba, ujarnya. Sosialisasi dan imbauan, kata dia menjadi percuma tanpa keterlibatan masyarakat.

Ia mencontohkan dana yang dianggarkan Pemda Kalsel untuk penanggulangan narkoba sebasar Rp 600 juta. Dana itu, kata dia, hanya terserap untuk penyuluhan dan inspeksi mendadak. Masyarakat mau tidak mau memang harus terlibat, ujarnya. Namun para publik figur, yang semestinya menjadi contoh, juga banyak yang tumbang karena narkoba. Kasus terakhir menimpa aktor gaek Roy Marten yang digiring ke jeruji besi untuk kedua kalinya dalam kurun hanya delapan bulan.

Pendapat yang menyebut dunia seni dekat dengan narkoba dimentahkan oleh musisi dan pencipta lagu asal Bandung Dwiki Dharmawan. Menurut pentolan di Krakatau Band ini, narkoba sama sekali tidak bisa mendorong kreativitas musisi atau seniman. Malah sebaliknya, ''Seorang musisi akan mengalami disorientasi, hilang tempo, tidak konsisten, atau hilang kontrol emosional dan menyanyi akan fals,'' tegas Dwiki yang belum lama ini sukses menggelar konser Menembus Batas.

Sutradara dan bintang sinetron Para Pencari Tuhan Dedi Mizwar juga membantah jika narkoba bisa mendorong seniman melahirkan karya yang baik. ''Bagaimana mungkin seorang seniman dan musisi bisa membuat karya yang baik, kalau urat syarafnya putus gara-gara narkoba, ujarnya.

Dalam pandangan Ketua umum IKADI (Ikatan Dai Indonesia) Prof Dr Ahmad satori Ismail mengatakan masalah narkoba dan minuman keras, sudah ada sejak dulu. Penyebabnya antara lain karena kekosongan jiwa dan harta yang banyak. ''Memang banyak faktor hingga munculnya kecanduan terhadap narkoba. Salah satunya adalah kekeringan iman, ujarnya. Jadi sebelum gerilyawan narkoba menyambangi rumah-rumah kita, mari kita siapkan bentengnya: keimanan! n dam

( )

Dimensi Lain Kurban

Jumat, 14 Desember 2007

Meski yang disembelih hewan, namun sesungguhnya Allah SWT tidak pernah melihat kepada daging dan darah dari hewan yang disembelih. Yang lebih dilihat oleh Allah SWT adalah ketulusan yang ada pada diri orang yang berkurban.

Hari Raya Idul Adha telah menjelang. Hari raya umat Islam ini lazim juga disebut Hari Raya Kurban. Umat Islam hari itu dan tiga hari setelahnya 11,12 dan 13 Zulhijjah yang disebut Ayyamut-tasyriq menyembelih hewan kurban. Allah SWT dalam Alquran surat Al Kautsar (108) ayat 1-3 dengan tegas berfirman yang artinya, ''Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu adalah yang terputus.''

Meski yang disembelih hewan, namun sesungguhnya Allah SWT tidak pernah melihat kepada daging dan darah dari hewan yang disembelih. Yang lebih dilihat oleh Allah SWT adalah ketulusan yang ada pada diri orang yang berkurban. Dalam kaitan ini Allah SWT berfirman pada surat Al Hajj (22) ayat 37 yang artinya, ''Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhoan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.''

Rektor UIN Malang Prof Dr Imam Suprayogo mengungkapkan risalah kurban sesungguhnya dimulai sejak awal sejarah kemanusiaan yaitu ketika diperintahkan kepada Qabil dan Habil. Harta yang dikorbankan haruslah yang terbaik, bukan yang sederhana, apalagi barang sisa. Hal yang dikorbankan bukan sebagaimana yang dilakukan Qabil, sehingga tidak diterima Allah SWT, melainkan harus yang berkualitas sebagaimana yang dijalankan Habil.

Pelajaran tentang kurban yang lebih dahsyatnya lagi, papar Prof Imam Suprayogo dilakukan Ibrahim AS dengan mengorbankan anaknya Ismail. ''Peristiwa kurban tersebut memberikan pelajaran, agar meraih kemuliaan harus dilalui lewat berkurban. Kemuliaan harus diperjuangkan dan tidak pernah datang sendirinya. Dan berjuang untuk meraih kemuliaan ternyata harus dilalui dengan berkurban.''

Menurut Imam, orang yang menyebut dirinya berjuang tanpa ada kemauan untuk berkurban, sesungguhnya bukanlah pejuang melainkan 'makelar'. Indonesia saat ini, ujarnya, miskin pejuang dan semakin banyak orang yang berjiwa makelar. "Jika bangsa ini ingin maju dan mulia, harus ada gerakan yang dipelopori oleh pemimpinnya untuk berjuang sekaligus berkurban, yaitu mendekatkan diri pada Allah."

Imam Besar Masjid Istiqlal Prof KH Ali Mustafa Ya'kub MA menilai ada dua dimensi dari ibadah kurban yaitu pertama, membasmi tradisi jahiliyyah yang mengkultuskan hewan. Jadi, ada tradisi jahiliyah yang mengangap hewan yang sudah berumur tertentu diistimewakan. "Kebiasaan ini ditiadakan dalam Islam."

Kedua, hewan itu justru dijadikan sedekan bagi orang lain. ''Dari sini bisa dipetik dua dimensi yaitu dimensi akidah dan dimensi sosial. Ini artinya kita harus peduli kepada orang lain terutama yang miskin. Dalam ayat Alquran banyak sekali ayat yang menyuruh kita untuk beribadah sosial. Kalau kita terliti lebih jauh ternyata ayat-ayat untuk beribadah sosial lebih banyak dari ayat-ayat yang menuruh beribadah individu,'' ujar pengasuh Pesantren Luhur Hadis Darussunnah Tangerang ini menjelaskan.

Dari sini bahwa Islam agama rahmatan lil alamin, Islam mengajarkan lebih banyak untuk beribadah soaial dari pada ibadah individual. Dan itulah yang selalu dicontohkan Rasulullah, makanya beliau tidak pernah umrah Ramadhan. Nah, jadi di sini adalah bagaimana kita isi akidah menjadi bersih, tidak bercampur dengan tradisi-tradisi yang berlawanan dengan Islam. Di satu sisi juga adalah kita juga menekankan untuk beribadah yang sifatnya sosial. Makanya saat inilah perlu reorientasi kembali dalam beribadah supaya ibadah sosial menjadi prioritas.

Sayangnya, kata pakar hadis ini menjelaskan, lebih banyak orang yang senang menerima daging kurban dari pada berkurban padahal dia mampu. "Berkurban dia enggan, padahal di rumahnya ada sepeda motor, televisi berwarna, VCD, dan macam-macam. Mentalnya peminta-minta bukan mental memberi padahal Islam menganjurkan untuk memberi bukan minta-minta."

Komisaris Bank Muamalat Indonesia (BMI) Iskandar Zulkarnain menilai relevansi kurban dengan kondisi saat ini sangat relevan bagi masyarakat Indonesia yang kian materialistik dan indivisualistik. "Banyak yang mengatakan kesuksesan harta yang didapat adalah hasil usaha jerih payahnya, buah dari kepandaiannya dan seterusnya. Mereka melupakan inayah Allah,'' tegas Iskandar. Kurban, yang makna luasnya adalah mendekatkan diri pada Allah, menjadi rem yang "pakem" untuk itu. dam

( )

Esensi Kurban adalah Ketaatan

Jumat, 14 Desember 2007

Berikan kepada-Nya yang terbaik, sebab sesungguhnya Sang Maha Pemilik tidak membutuhkan apa pun dari kita. Kitalah yang selalu yang membutuhkan-Nya.

Sejarah qurban itu dibagi menjadi tiga, yaitu zaman Nabi Adam AS; zaman Nabi Ibrahim AS; dan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Pada zaman Nabi Adam AS, kurban dilaksanakan oleh putra-putranya, Qabil dan Habil. Kekayaan yang dimiliki oleh Qabil mewakili kelompok petani, sedang Habil mewakili kelompok peternak. Saat itu sudah mulai ada perintah, siapa yang memiliki harta banyak maka sebagian hartanya dikeluarkan untuk kurban.

Sebagai petani Qabil mengeluarkan kurbannya dari hasil pertaniannya dan sebagai peternak Habil mengeluarkan hewan-hewan peliharaanya untuk kurban. Qabil mengeluarkan kurban yang terbaik ternak yang gemuk dan sehat Habil melakukan sebaliknya.

"Ceritakan kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari meraka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil), Ia berkata, "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil, " Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa". (QS Al-Maidah [5]: 27).

Kisah kurban kedua adalah pada zaman Nabi Ibrahim AS. Ia bermimpi mendapat perintah dari Allah supaya menyembelih putranya Ismail AS. Ketaatannya diberi imbalan dengan Allah menyelamatkan Ismail dan menggantinya dengan seekor hewan ternak yang besar.

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, perintah kurban ditegaskan dalam Alquran surat Al-Kautsar ayat 1-3, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadanya nikmat yang banyak, Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu, dan Berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus."

Esensi kurban bukanlah menyembelih hewan setahun sekali, namun ketaatan penuh atas seluruh perintah Allah SWT. Berikan kepada-Nya yang terbaik, sebab sesungguhnya Sang Maha Pemilik tidak membutuhkan apa pun dari kita. Kitalah yang selalu yang membutuhkan-Nya. Allah menguji keimanan kita seperti menguji keimanan Ibrahim dengan memerintahkan menyembelih Ismail AS. Allah tidak membutuhkan darah dan dagingnya. Dia sekadar menguji keimanan Ibrahim AS dengan perintah yang berat itu, ujar Direktur Eksekutif LAZIS Al Azhar Peduli Umat, Anwar Sani, Ahad (9/10).

Filosofi ini berlaku hingga hari ini. Di saat kebutuhan ekonomi masyarakat semakin materialistis, Allah menguji kita untuk berkurban. Tentu akan terasa berat bagi yang mementingkan urusan dunia. Namun akan menjadi ringan saat kita taat kepada-Nya. Motivasi lainnya dengan kurban kita akan berbagi dengan masyarakat dhuafa di pedalaman dan korban bencana. Insya Allah terwujud nilai silaturahim yang luar biasa.

Sekretaris Koordinasi Dompet Dhuafa Republika Yuli Pujihardi mengatakan sekarang ini saat yang terbaik untuk berkurban, di tengah-tengah banyaknya musibah yang menimpa bangsa Indonesia. Kurban menjadi lebih bermakna saat orang tengah mengalami kesulitan, daging hewan kurban dapat menjadi penyejuk hati mereka orang-orang yang tengah ditimpa berbagai musibah tersebut, ujarnya.

Bagaimana menyalurkannya? Saat ini, banyak lembaga amil zakat yang mengoordinasi kurban untuk didistribusikan di daerah-daerah yang membutuhkan. Misalnya saja, LAZIS Al Azhar Peduli Umat membuat program Qurban by Request memberikan pilihan kepada para pekurban untuk memilih daerah yang dituju ke 20 propinsi.

Prioritas distribusi, kata Sani daerah rawan pangan dan pascabencana. Program ini telah dipersiapkan tiga bulan lalu. Artinya peternak sudah siap-siap menggemukkan kambing dan sapi melalui program pemberdayaan, sehingga kita dapat memprediksi harga pada hari H, ujarnya. Program yang sama sudah dilakukan sejak dulu oleh Dompet Dhuafa. Bahkan untuk tahun ini, kurban tak hanya didistribusikan di daerah miskin di Tanah Air, tapi juga di manca negara, yaitu di Pulau Mindanao (Filipina) dan Kamboja.

Sedangkan Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam (FOSSEI) bekerjasama dengan ACT (Aksi Cepat Tanggap) tahun ini bekerjasama menggulirkan program 'Qurbanku’ untuk korban bencana alam dan konflik sosial. Berkurban tak harus di kandang sendiri kan? dam

Syarat dan Adab Berkurban

Syarat hewan kurban adalah:
-Hewan sehat, tidak cacat misalnya pincang, tidak buta, telinganya tidak rusak dan tidak kurus serta ekornya tidak terpotong.
-Umur hewan untuk kurban domba atau kambing yang tekah berumur satu tahun atau lebih yang telah bergenti gigi)
sapi atau kerbau yang telah berumur dua tahun atau yang tekah berganti gigi.

-Penentuan umur kambing atau domba dapat dilakukan dengan memperhatikan pergantian gigi-gigi pertama menjadi gigi terasah. Adab Menyembelih:
- Menghadapkan kepala hewan kurban ke arah kiblat - Membaca bismillah
- Membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW
- Membaca takbir (Allahu Akbar)
- Berdoa, ''Ya Allah, ini perbuatan dari perintah-Mu, saya kerjakan karena-Mu, terimalah oleh-Mu amalku ini.''

( )

Senin, 03 Desember 2007

Haji Mabrur



Oleh : Yusuf Burhanudin

Siapa pun pasti mengharapkan agar ibadah hajinya mabrur. Karena, tidak ada balasan bagi haji mabrur selain surga. Mabrur berasal dari padanan kata al-birr (kebaikan). Seperti termaktub dalam firman Allah SWT, ''Kamu tidak akan memperoleh kebaikan (al-birr) kecuali mendermakan sebagian harta yang kamu cintai,'' (QS Ali Imran [3]: 92).

Ayat di atas dengan tegas menyatakan, yang disebut kebaikan adalah kepedulian sosial. Seperti ditegaskan dalam ayat lain, kata al-birr menunjuk kebaikan sosial moril maupun materil yang terpancarkan kepada orang yang kita cintai; kerabat, anak yatim, fakir miskin, musafir, pengemis, dan memerdekakan hamba sahaya (QS Al Baqarah [2]: 177).

Dalam konteks inilah orang yang berangkat haji berkali-kali di kala masih banyak tetangga yang kelaparan sebenarnya kontraproduktif dan tumpul menghayati jihad sosial yang terkandung dalam isyarat haji terutama dalam mengempati, mengemansipasi, dan mengangkat harkat dan martabat sesama yang masih hidup dalam garis kemiskinan.

Berhaji itu cukup sekali, berikutnya para hujaj mengemban misi pengabdian sosial di masyarakatnya masing-masing. Rasulullah SAW bersabda, ''Sungguh Allah telah mewajibkan haji kepada kalian.'' Aqra' bin Habis berdiri dan bertanya, ''Apakah setiap tahun wahai Rasulullah!'' Rasulullah menjawab, ''Jika saya mengatakannya, maka wajib. Haji itu wajibnya sekali, barangsiapa menambahnya itu adalah sunat,'' (HR Muslim).

Dimensi haji yang terutama adalah vertikal, tetapi efek yang diharapkan darinya sangat horizontal. Inilah yang dimaksud haji mabrur, adanya keterkaitan segi vertikal (hablum minallah) dalam ibadah dengan segi horizontal (hablum minannas) dalam kerja-kerja kemanusiaan. Filosofi rukun Islam menempatkan haji sebagai kewajiban puncak seorang Muslim. Dalam gizi makanan, haji ibarat minuman penyempurna setelah empat kewajiban sebelumnya. Haji disimpan sebagai rukun terakhir setelah pengorbanan lisan melalui kesaksian (syahadat), pengorbanan waktu melalui shalat, dan pengorbanan harta dengan zakat.

Haji bukanlah gengsi maupun prestasi sosial, tetapi simbol kualitas kemanusiaan. Ibadah haji menjadi puncak kedewasaan mental-spiritual seseorang karena menjadi titik sinergi kewajiban individual dan amanah sosial. Inilah haji mabrur, pahalanya surga