Jumat, 29 Februari 2008

Menanam Pohon



Oleh : Fidi Mahendra

Diriwayatkan, ada seorang laki-laki bertemu Abu Darda' yang sedang menanam pohon. Kemudian, laki-laki itu bertanya kepada Abu Darda', ''Hai Abu Darda', mengapa engkau tanam pohon ini, padahal engkau sudah sangat tua, sedangkan pohon ini tidak akan berbuah kecuali sekian tahun lamanya.'' Abu Darda' menjawab, ''Bukankah aku akan memetik pahalanya di samping untuk makanan orang lain?''

Bagi sebagian orang menanam pohon adalah hal sepele. Apalagi bila umur telah lanjut seperti Abu Darda'. Namun, Islam sebagai agama yang kaffah mengajarkan untuk cinta lingkungan. Menanam pohon adalah ibadah dan bila pohon tersebut berbuah dan buahnya dimakan burung dan manusia maka di hadapan Allah SWT itu bernilai sedekah.

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad menyebut cerita seorang sahabat Rasulullah SAW, ''Saya mendengar Rasulullah SAW membisikkan pada telingaku ini, 'Siapa menanam sebuah pohon kemudian dengan tekun memeliharanya dan mengurusnya hingga berbuah, maka sesungguhnya baginya pada tiap-tiap sesuatu yang dimakan dari buahnya merupakan sedekah di sisi Allah SWT'.'' (HR Ahmad).

Manusia sebagai pengemban kekhilafahan di muka bumi harus menghormati eksistensi pohon. Sebagai penunjang kehidupan, pohon diamanahi Allah SWT mengatur siklus air, menyimpannya dalam pori-pori akar yang kokoh. Menghindarkan manusia dari bencana longsor dan banjir. Kehadiran pohon berguna memenuhi kebutuhan hidup manusia. Buahnya lezat dimakan dan batangnya dimanfaatkan untuk membangun rumah. Daunnya untuk makanan ternak.

Melalui mekanisme hujan, pohon yang ditanam manusia tumbuh. Dan dengan itu Allah menumbuhkan buah-buahan dari pohon yang kita tanam sebagai rezeki bagi manusia. Sebagaimana firman Allah SWT, ''Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.'' (QS al-Baqarah [2] : 22).

Tuntunan Islam memelihara pohon juga berlaku saat terjadi perang. Nabi Muhammad berkal-kali memesankan kepada para sahabatnya, dalam peperangan janganlah kalian membunuh wanita, anak-anak, dan jangan menebang/merusak tanaman (pohon).

Maka, sungguh relevan ketika penggundulan hutan mulai berdampak negatif bagi kehidupan kita, kebiasaan menanam pohon kita tradisikan kembali. Demi anak cucu kita, demi melestarikan sunahnya.

Senin, 25 Februari 2008

Amanah


Oleh : Shalahuddin El-Ayyubi

Satu ketika ada seorang gubernur di masa kejayaan Islam menolak hadiah ikan lezat kegemarannya dari penduduk. Sikap ini membuat adiknya bertanya alasan dia melakukannya. ''Sangat sederhana,'' ujarnya. Seorang yang bijaksana, kata dia, sebaiknya tidak membiarkan kesenangan pribadinya diketahui oleh umum. ''Orang-orang itu berusaha memuaskanku. Jika aku terima, aku berutang pada mereka. Ketika membuat keputusan, aku ingin membelokkan hukum untuk membalas kebaikan mereka.''

Adiknya manggut-manggut setuju. Sang gubernur melanjutkan, ''Jika ini berlanjut, mungkin aku tertangkap dan kehilangan kedudukanku. Lalu siapa yang akan peduli kepadaku? Olehnya aku menolak kedermawanan mereka, aku bebas mengatur diriku sendiri. Dengan membuat keputusan yang tepat dan tidak berat sebelah, aku dapat mempertahankan posisiku jauh lebih lama dan tetap akan membeli ikanku sendiri.''

Manusia dikaruniai Allah SWT fitrah mencintai dan membenci. Cinta pada diri, ibu-bapak, istri, anak, saudara dan lainnya. Demikian pula dengan sifat benci. Keduanya kadang memengaruhi penilaian.

Seseorang akan selalu memaafkan kesalahan orang yang dicintainya, sebesar apapun kesalahannya. Sebaliknya seseorang akan selalu melihat kesalahan orang yang dibencinya sekecil apapun kesalahan itu.

Seorang pemimpin Muslim harus bisa memilah antara kepentingan pribadi dan umat. Ia harus sadar bahwa jabatan adalah amanah Allah kepadanya dan akan dipertanggungjawabkan.

Di negeri ini, tak sedikit pejabat yang bukan hanya menerima tetapi juga memberikan hadiah untuk mendapatkan dan mempertahankan jabatannya. Untuk jadi pemimpin, tak cukup hanya modal pintar saja tapi juga harus berduit. Jika tak punya modal, tak usah bermimpi menjadi menteri, gubernur, bupati, dan jabatan bergengsi lainnya. Sebab itu, banyak pejabat yang semula dipercaya rakyat, akhirnya terjerumus jadi koruptor karena harus mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya dulu.

Kita butuh seorang pemimpin yang amanah, adil dan berani. Kita perlu sosok seperti Abu Bakar yang mengembalikan seluruh gaji yang diperolehnya dari Baitul Mal. Kita perlu tokoh seperti Umar bin Abdul Aziz yang mematikan nyala lilin karena digunakan bukan untuk kepentingan umat.

Rasulullah pernah berdoa, ''Ya Allah, berilah hamba-Mu ini untuk selalu dapat bersikap adil, baik dalam keadaan cinta maupun benci.'' (Muttafaq 'Alaih). Bahkan Rasulullah yang merupakan pemimpin umat dan kekasih Allah pun berdoa demikian pada Tuhannya, dan selalu menjaga amanah yang diembankan padanya. Apalagi kita semestinya!

Sabtu, 23 Februari 2008

Ikhlas


Oleh : Jebel Firdaus

Ikhlas adalah melakukan amal, baik perkataan maupun perbuatan ditujukan untuk Allah semata. Alquran menyuruh kita ikhlas (QS Yunus [10]: 105). Rasul SAW mengingatkan, ''Allah tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas untuk mencari ridha Allah semata.'' (HR Abu Dawud dan Nasa'i). Imam Ali RA juga berkata, ''Orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amal diterima oleh Allah.''

Kendati bersimbah peluh, berkuah keringat, menghabiskan tenaga, menguras pikiran, kalau tidak ikhlas, sebesar apa pun amal, sia-sia di mata Allah. Maka, sungguh rugi orang yang bertempur, mempertaruhkan nyawa dengan niat ingin disebut pahlawan, atau orang yang sedekah habis-habisan hanya ingin disebut dermawan.

Seorang sufi menuturkan, ''Ikhlas berarti engkau tidak memanggil siapa pun selain Allah SWT. Untuk menjadi saksi atas perbuatanmu.'' Ikhlas menjadi benar-benar teramat penting yang akan membuat hidup ini menjadi indah, ringan, dan bermakna.

Ikhlas akan membuat jiwa menjadi independen, merdeka, tidak dibelenggu pengharapan akan pujian. Hati menjadi tenang karena ia tidak diperbudak penantian mendapat penghargaan ataupun imbalan dari makhluk. Penantian adalah hal yang tidak nyaman, menunggu pujian atau imbalan adalah hal yang dapat meresahkan, bahkan bisa mengiris hati bila ternyata yang datang sebaliknya, caci maki. Orang yang tidak ikhlas akan banyak menemui kekecewaan dalam hidup, karena ia banyak berharap pada makhluk yang lemah, ia mengikatkan diri pada tali yang rapuh.

Jabatan tak kan membuat terpesona hati orang yang ikhlas. Ia tidak ujub dengan jabatan setinggi langit, dan tidak minder dengan jabatan yang rendah. Dalam benaknya Allah menilai bukan dari jabatan, tapi tanggung jawab terhadap amanah dari jabatannya itu. Ia sangat yakin akan janji dan jaminan Allah yang Mahakaya.

Justru imbalan manusia tiada apa-apanya dibanding imbalan Allah SWT. Sungguh tak ada risau, tak khawatir ditipu, dikhianati, bila dekat dengan seorang hamba yang ikhlas. Justru sebaliknya, orang akan merasa nyaman karena sikap dan tutur katanya menghargai dan menyejukkan, penuh manfaat, karena orang yang ikhlas perhatiannya fokus memberi yang terbaik untuk Allah yang selalu menatapnya. Imbasnya akan memberi kebaikan pada orang yang berada di kanan-kirinya. Dan Allah beri penghargaan pada mereka (QS An-Nisa [4]: 146). Subhanallah, adakah yang lebih berharga dari pemberian Allah? Maka, nikmat Tuhan manakah yang kita dustakan?

Peka



Oleh : Pardan Syafrudin

Dalam sebuah hadis dikisahkan ada seseorang mendapatkan kebahagian di akhirat lantaran seekor anjing. Dia memberikan air buat anjing yang sedang kehausan dan sekarat, karena tak mendapatkan air selama berhari-hari.

Sementara dalam kisah lain diungkapkan, seorang wanita akan mendapatkan kehinaan di hari akhir, karena dia membiarkan kucing piaraannya tidak diberi makan dan minum. Kucing itu menemui ajal karena kelaparan.

Dari dua kisah ini Islam menekankan pentingnya rasa peka, atau sensitif terhadap hal-hal yang baik dan positif, baik dilakukan terhadap sesama kita, binatang, maupun alam. Jika kita menelusuri, ternyata dengan sikap yang peka akan mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan, begitu juga sebaliknya, ketika hati seseorang tidak mudah trenyuh dengan kondisi yang ada di sekitarnya, dia akan mendapatkan kehinaan dari sikapnya yang kurang sensitif dan 'acuh' itu.

Rasa peka terhadap binatang pun diapreasiasi oleh Allah, apalagi kepekaan kita kepada sesama manusia. Tentu saja, apa yang kita lakukan akan menjadi sebuah ladang amal yang mendapat apresiasi setimpal dari Yang Mahakuasa. Oleh karenanya, apabila kita hayati, nilai sebuah kebaikan yang kita lakukan kepada siapa pun dan pada apa saja, serta dalam bentuk apa pun, tetap akan menjadi kebaikan.

Dan begitu pula sebaliknya, perilaku yang merugikan siapa saja akan menjadi kejelekan bagi si pelaku dan akan mendapatkan laknat serta kutukan dari sesamanya serta mesti mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak. Allah berfirman, ''Barangsiapa yang berbuat baik seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejelekan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya pula.'' (QS Az-Zalzalah [99] :7-8).

Sikap kepekaan inilah yang sekarang berkurang dalam tatanan masyarakat kita, baik dari kalangan orang 'berada', pejabat, maupun rakyat biasa. Tidak peka terhadap sesama, tidak peka terhadap kehidupan sosial, apalagi terhadap lingkungan dan alam sekitarnya.

Para penguasa sering 'peka' apabila sedang ada maunya kepada rakyat seperti butuhnya dukungan untuk menempati posisi tertentu. Kalangan orang berada 'peka' terhadap sesuatu yang dicarinya. Begitu pula rakyat biasa, mereka akan 'peka' manakala ada sesuatu yang diinginkannya, tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku di sekitarnya.

Perbuatan berharga adalah yang dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain. Karena, sebaik-baiknya manusia adalah seseorang yang dapat memberikan manfaat kepada sesamanya.

Hemat



Oleh : Bambang Nugroho

Dalam sebuah riwayat dikisahkan Rasulullah SAW pernah bertanya pada Jabir sesaat setelah sahabat itu berwudlu. ''Mengapa engkau berlebih-lebihan?''
''Apakah saat berwudlu tidak boleh berlebih-lebihan, wahai Rasulullah?'' Jabir balik bertanya.

Rasulullah menjawab, ''Ya, janganlah engkau berlebih-lebihan ketika wudlu meski engkau berada pada air sungai yang mengalir.'' (Muttafaq 'alaih). Dialog tersebut menggambarkan betapa Rasulullah sangat menekankan pentingnya hidup berhemat. Hemat bukan berarti kikir. Hemat merupakan pola hidup yang menerapkan prinsip kehati-hatian dengan mempertimbangkan kepentingan generasi yang akan datang. Orang yang hemat mampu memanfaatkan sumber daya yang ada secara tepat dan dapat menyimpan kelebihan untuk generasi berikutnya.

Hemat merupakan salah satu cerminan orang zuhud yang hanya mengambil sesuatu sesuai dengan haknya dan keperluannya. Penerapan pola hidup hemat saat ini sangat penting karena tidak hanya menjamin hidup efisien tetapi juga mampu menjamin kehidupan anak cucu kita.

Hemat mempunyai dimensi religius sebagai pendekatan diri kepada Allah SWT karena sikap hemat merupakan perintah Allah. ''Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.'' (QS Al-Furqaan [25]: 67).

Jadi, hidup hemat apabila dilakukan secara ikhlas atas dasar perintah Allah tersebut jelas merupakan suatu perbuatan atau amal yang bernilai ibadah. Dan tujuan ibadah tidak lain adalah untuk mencapai ridla Allah dan menggapai derajat takwa.

Hemat juga merupakan pencerminan rasa syukur seorang hamba kepada Tuhannya atas rezeki yang telah diterimanya, karena orang yang hemat berarti mampu memanfaatkan rezeki tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah, dan tidak menggunakannya secara berlebih-lebihan yang dapat menimbulkan hal mubadzir.

Sebaliknya, boros adalah bentuk kemubadziran, dan mubadzir adalah perbuatan setan. Dalam beberapa ayat Allah menekankan bahwa sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.

Ironisnya, dalam kehidupan sehari-hari masih banyak praktik-praktik pemborosan yang kita lakukan, secara sadar atau tidak sadar. Padahal, akan lebih bermanfaat bila uang berlebih tadi kita anggarkan sebagian untuk bersedekah.

Ilmu Pengetahuan



Oleh : Alwi Shahab

Abu Rayhan Al-Biruni, seorang fisikawan yang hidup pada abad ke-4 Hijriah, banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu. Hingga ia dijuluki sebagai salah seorang ilmuwan Muslim terbesar. Suatu ketika, saat ia menjelang ajalnya di pembaringan, seorang sahabatnya, ahli fikih, datang menjenguk. Bagi Biruni, ini merupakan kesempatan yang baik untuk bertanya tentang berbagai masalah hukum.

Ahli fikih itu terkejut dan berkata, ''Saya pikir, saat ini bukanlah waktunya Anda membahas ilmu pengetahuan.'' Biruni langsung menjawabnya, ''Anda salah. Saya pikir akan lebih baik sekiranya saya mengetahui masalah ini kemudian meninggal dunia, daripada saya tidak mengetahui lalu meninggal.''

Ilmu pengetahuan adalah 'makanan' rohani kita. Di samping memikirkan kepentingan jasmani kita juga harus berpikir tentang 'makanan' rohani dan spiritualnya. Imam Husein, cucu Nabi Muhammad SAW berkata, ''Aku merasa heran pada sekelompok orang yang hanya sibuk memikirkan apa yang harus ia makan, namun sama sekali tidak berpikir tentang ilmu yang ia harus miliki.'' Islam mewajibkan kepada umatnya --baik pria maupun wanita-- untuk menuntut dan memperdalam ilmu pengetahuan. ''Mencari ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim,'' sabda Rasulullah SAW.

Kalau kewajiban agama seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, selalu dikaitkan dengan waktu dan mensyaratkan kedewasaan, namun mencari ilmu pengetahuan wajib sejak manusia dilahirkan hingga meninggal dunia. Di dalam Alquran banyak perintah untuk mempelajari dan mengadakan perenungan tentang rahasia-rahasia penciptaan alam, watak manusia, sejarah, hukum, dan seterusnya. Sejarah Islam mencatat, ketika beberapa orang kafir ditawan dalam Perang Badar, Nabi Muhammad memerintahkan untuk membebaskan mereka dengan tebusan. Namun, beberapa yang bisa membaca dan menulis mendapatkan perkecualian. Bagi mereka, tebusannya adalah mengajarkan ilmu kepada pemuda-pemuda Islam.

Islam menempatkan ilmu pengetahuan begitu penting, juga bisa terlihat dalam masalah jihad, dalam arti berperang di jalan agama. Bagi orang Islam yang sedang mempelajari ilmu, mereka dibebaskan dari kewajiban itu (At-Taubah:129).

Tentang tingginya kedudukan orang yang menuntut ilmu ini, Allah berfirman, ''Katakanlah! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya, orang-orang bijak sajalah yang bisa menerima pelajaran.'' (al-Zunur: 9). Menurut sejumlah ahli tafsir, ilmu yang dimaksudkan dalam Alquran itu bukan hanya ilmu agama, tapi juga mencakup berbagai disiplin ilmu yang dapat memberikan sumbangan bagi peradaban dan kesejahteraan dunia.

Selasa, 19 Februari 2008



Oleh : Fenny Julita

''Wahai anak, jagalah Tuhanmu, niscaya Ia akan menjagamu. Jagalah Tuhanmu, niscaya engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Jika kamu mengetahui Allah di kala senang, maka Ia mengetahuimu di kala susah. Bila kamu memohon, mohonlah kepada Allah. Jika kamu meminta pertolongan, mintalah tolong kepada Allah Taala.

Bila kamu mampu berbuat demi Allah dengan ridha dalam keyakinan, maka lakukanlah. Dan bila kamu tidak mampu, sesungguhnya dalam kesabaran terhadap sesuatu yang kamu benci terdapat banyak kebaikan. Ketahuilah kemenangan bersama kesabaran dan kelonggaran bersama kesusahan. Sesungguhnya di samping kesukaran ada kemudahan, dan yang sukar tidak selamanya mengalahkan yang mudah.'' (Wasiat Rasulullah dalam Haji Wada')

Untuk mengenali Allah SWT, bukan hanya dengan mengenal 99 sifat-sifat-Nya belaka. Tapi, juga berusaha untuk mengaplikasikan sifat-sifat Allah SWT dalam kehidupan nyata. Sebagai ilustrasi, jika kita yakin Allah SWT itu Maha Penyayang, tentu kita akan menyayangi makhluknya, dengan tidak menzalimi dalam masalah harta, darah, maupun kehormatan diri. Jika kita yakin bahwa Allah SWT Maha Pemberi Rezeki, kita harus berusaha mencari rezeki yang halal. Jika kita yakin bahwa Allah SWT Maha Pengampun, kita harus melapangkan dada untuk memaafkan orang lain.

Dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 152, Allah berfirman, ''Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.'' Rasulullah selalu berzikir kepada Allah SWT setiap saat, beliau selalu merasakan kehadiran Allah SWT. Beliau yakin bahwa apa pun yang dilakukan tidak akan lepas dari pengawasan dan kekuasaan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, ''Segala urusan hanya pada Allah. Dia meletakkan menurut kehendak-Nya.''

Rasulullah SAW bersabda, ''Barangsiapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka hendaknya dia mengetahui kedudukan Allah di dalam hatinya.'' (Muttafaq 'Alaih). Maka Allah SWT adalah tempat Rasulullah SWT mencurahkan segala isi hatinya. Hubungan Rasulullah SAW bukan hanya mencakup permohonan yang besar tapi juga hal-hal yang kelihatannya sepele, ini sebagaimana doa yang sering diucapkan Rasulullah SAW ketika pagi dan sore. Bagaimana dengan kita?

Senin, 18 Februari 2008

Menuntut Ilmu



Oleh : Uwes Fatoni

Islam mengajarkan menuntut ilmu itu berlangsung seumur hidup. Tidak dikenal batasan waktu dalam mencarinya. Rasulullah mengajarkan, ''Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap Muslim.'' (HR Thabrani). Dalam hadis dengan perawi lain, Rasulullah SAW juga menekankan hal yang sama. ''Tuntutlah ilmu dari masa buaian sampai menjelang masuk liang kubur.'' (HR Bukhari).

Wahyu Rasulullah sendiri merupakan uswah pertama dalam menuntut ilmu. Wahyu pertama yang beliau terima adalah perintah untuk menjadi orang berilmu melalui membaca (QS Al-Alaq [96]: 1-5). Alquran dibaca supaya hidup teratur, sejarah dibaca supaya tahu peninggalan para leluhur, dan alam dibaca supaya lahir karya-karya yang luhur. Melalui bacaan ilmu pengetahuan diperoleh dan seseorang menjadi bijak dalam tutur kata dan perbuatan.

Menuntut ilmu juga tidak dibatasi oleh tempat. Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Uda, Rasulullah memerintahkan untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina. Ini merupakan indikasi nyata bahwa Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan.

Ketika Rasulullah menganjurkan untuk belajar sampai ke negeri Cina tentu bukan harus belajar tafsir di sana, sebab bukan tempatnya. Begitu juga di Cina bukan tempat untuk belajar shalat ataupun menunaikan zakat. Cina pada zaman Nabi Muhammad SAW, 14 abad silam, adalah negara yang sudah maju dalam ilmu pengetahuan, teknologi, industri, dan perdagangan.

Sehingga, Rasulullah menyuruh umatnya untuk belajar teknologi, perdagangan, dan industri sekalipun kepada orang yang berbeda keyakinan. Begitu istimewanya orang yang menuntut ilmu sampai diperbolehkan oleh Rasulullah untuk iri kepada mereka. Tentu saja iri tatkala ilmunya bermanfaat bagi orang lain. Rasulullah bersabda, ''Tidak boleh hasud (iri) kepada orang lain kecuali kepada orang yang diberi kekayaan oleh Allah, kemudian ia menggunakannya untuk membela kebenaran dan kepada orang yang diberi ilmu tatkala ilmunya diamalkan dan diajarkan kepada orang lain.'' (HR Bukhari Muslim).

Oleh karenanya, kedudukan orang yang mencari ilmu sangat luhur sampai Allah menjanjikan posisi yang amat tinggi bagi mereka. ''... Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu beberapa derajat ...'' (QS Al-Mujadilah [58]: 11). Demikian pula usaha untuk mencari dan menggali ilmu diganjar oleh Allah dengan pahala seumpama orang yang sedang berjuang di jalan Allah. ''Siapa yang keluar rumah untuk menuntut ilmu maka ia berjuang fisabilillah hingga kembali ke rumahnya.'' (At-Tirmidzi).

Dan yang paling utama, dengan keluhuran ilmunya seseorang akan memperoleh kedudukan sebagai ahli waris para nabi. Bukan hanya Nabi Muhammad, namun ahli waris seluruh nabi semenjak Nabi Adam AS. ''Para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Yang mereka wariskan adalah ilmu. Seseorang yang mendapatkannya, sungguh ia telah mendapatkan bagian yang banyak.'' (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Maka, janganlah lelah menuntut ilmu, saudaraku.

Curhat Pada Allah



Oleh : Fenny Julita

''Wahai anak, jagalah Tuhanmu, niscaya Ia akan menjagamu. Jagalah Tuhanmu, niscaya engkau akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Jika kamu mengetahui Allah di kala senang, maka Ia mengetahuimu di kala susah. Bila kamu memohon, mohonlah kepada Allah. Jika kamu meminta pertolongan, mintalah tolong kepada Allah Taala.

Bila kamu mampu berbuat demi Allah dengan ridha dalam keyakinan, maka lakukanlah. Dan bila kamu tidak mampu, sesungguhnya dalam kesabaran terhadap sesuatu yang kamu benci terdapat banyak kebaikan. Ketahuilah kemenangan bersama kesabaran dan kelonggaran bersama kesusahan. Sesungguhnya di samping kesukaran ada kemudahan, dan yang sukar tidak selamanya mengalahkan yang mudah.'' (Wasiat Rasulullah dalam Haji Wada')

Untuk mengenali Allah SWT, bukan hanya dengan mengenal 99 sifat-sifat-Nya belaka. Tapi, juga berusaha untuk mengaplikasikan sifat-sifat Allah SWT dalam kehidupan nyata. Sebagai ilustrasi, jika kita yakin Allah SWT itu Maha Penyayang, tentu kita akan menyayangi makhluknya, dengan tidak menzalimi dalam masalah harta, darah, maupun kehormatan diri. Jika kita yakin bahwa Allah SWT Maha Pemberi Rezeki, kita harus berusaha mencari rezeki yang halal. Jika kita yakin bahwa Allah SWT Maha Pengampun, kita harus melapangkan dada untuk memaafkan orang lain.

Dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 152, Allah berfirman, ''Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.'' Rasulullah selalu berzikir kepada Allah SWT setiap saat, beliau selalu merasakan kehadiran Allah SWT. Beliau yakin bahwa apa pun yang dilakukan tidak akan lepas dari pengawasan dan kekuasaan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, ''Segala urusan hanya pada Allah. Dia meletakkan menurut kehendak-Nya.''

Rasulullah SAW bersabda, ''Barangsiapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah, maka hendaknya dia mengetahui kedudukan Allah di dalam hatinya.'' (Muttafaq 'Alaih). Maka Allah SWT adalah tempat Rasulullah SWT mencurahkan segala isi hatinya. Hubungan Rasulullah SAW bukan hanya mencakup permohonan yang besar tapi juga hal-hal yang kelihatannya sepele, ini sebagaimana doa yang sering diucapkan Rasulullah SAW ketika pagi dan sore. Bagaimana dengan kita?

Jumat, 15 Februari 2008

Menuntut Ilmu

Oleh : Uwes Fatoni


Islam mengajarkan menuntut ilmu itu berlangsung seumur hidup. Tidak dikenal batasan waktu dalam mencarinya. Rasulullah mengajarkan, ''Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap Muslim.'' (HR Thabrani). Dalam hadis dengan perawi lain, Rasulullah SAW juga menekankan hal yang sama. ''Tuntutlah ilmu dari masa buaian sampai menjelang masuk liang kubur.'' (HR Bukhari).

Wahyu Rasulullah sendiri merupakan uswah pertama dalam menuntut ilmu. Wahyu pertama yang beliau terima adalah perintah untuk menjadi orang berilmu melalui membaca (QS Al-Alaq [96]: 1-5). Alquran dibaca supaya hidup teratur, sejarah dibaca supaya tahu peninggalan para leluhur, dan alam dibaca supaya lahir karya-karya yang luhur. Melalui bacaan ilmu pengetahuan diperoleh dan seseorang menjadi bijak dalam tutur kata dan perbuatan.

Menuntut ilmu juga tidak dibatasi oleh tempat. Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Uda, Rasulullah memerintahkan untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina. Ini merupakan indikasi nyata bahwa Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan.

Ketika Rasulullah menganjurkan untuk belajar sampai ke negeri Cina tentu bukan harus belajar tafsir di sana, sebab bukan tempatnya. Begitu juga di Cina bukan tempat untuk belajar shalat ataupun menunaikan zakat. Cina pada zaman Nabi Muhammad SAW, 14 abad silam, adalah negara yang sudah maju dalam ilmu pengetahuan, teknologi, industri, dan perdagangan.

Sehingga, Rasulullah menyuruh umatnya untuk belajar teknologi, perdagangan, dan industri sekalipun kepada orang yang berbeda keyakinan. Begitu istimewanya orang yang menuntut ilmu sampai diperbolehkan oleh Rasulullah untuk iri kepada mereka. Tentu saja iri tatkala ilmunya bermanfaat bagi orang lain. Rasulullah bersabda, ''Tidak boleh hasud (iri) kepada orang lain kecuali kepada orang yang diberi kekayaan oleh Allah, kemudian ia menggunakannya untuk membela kebenaran dan kepada orang yang diberi ilmu tatkala ilmunya diamalkan dan diajarkan kepada orang lain.'' (HR Bukhari Muslim).

Oleh karenanya, kedudukan orang yang mencari ilmu sangat luhur sampai Allah menjanjikan posisi yang amat tinggi bagi mereka. ''... Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu beberapa derajat ...'' (QS Al-Mujadilah [58]: 11). Demikian pula usaha untuk mencari dan menggali ilmu diganjar oleh Allah dengan pahala seumpama orang yang sedang berjuang di jalan Allah. ''Siapa yang keluar rumah untuk menuntut ilmu maka ia berjuang fisabilillah hingga kembali ke rumahnya.'' (At-Tirmidzi).

Dan yang paling utama, dengan keluhuran ilmunya seseorang akan memperoleh kedudukan sebagai ahli waris para nabi. Bukan hanya Nabi Muhammad, namun ahli waris seluruh nabi semenjak Nabi Adam AS. ''Para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Yang mereka wariskan adalah ilmu. Seseorang yang mendapatkannya, sungguh ia telah mendapatkan bagian yang banyak.'' (HR Abu Dawud dan Tirmidzi). Maka, janganlah lelah menuntut ilmu, saudaraku.

Senin, 04 Februari 2008

Demokrasi di Tangan 'Si Gila'


Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Amerika yang menyebut dirinya sebagai benteng demokrasi bisa saja menghasilkan seorang gila kuasa sebagai presiden. Presiden Bush adalah contoh yang paling tepat di awal abad ke-21 ini. Karena negara ini menyandang gelar adikuasa pascaperang dingin, 'si gila' ini telah menggunakan kekuasaannya dengan cara yang sangat gila pula untuk menindas bangsa-bangsa lain.

Korban terbesar adalah negeri-negeri Muslim. Satu, Afghanistan, negeri miskin tak berdaya; kedua, Irak, negeri kaya, tetapi bernasib malang. Saddam Hussein, sang diktator, telah dihancurkan Bush dan sekutunya empat tahun yang lalu dengan tuduhan palsu. Rakyat Irak yang terbelah antara Syi'i, Suni, dan Kurdi, adalah di antara negeri yang paling menderita sejak tahun-tahun terakhir ini. Afghanistan jangan ditanya lagi. Sudah miskin, dirampok pula oleh kuasa asing. Mula-mula oleh Soviet Rusia, kemudian oleh kuasa Barat. Berdasarkan info yang masuk, harapan hidup rakyat Afghanistan rata-rata hanyalah sekitar 47 tahun, jauh di bawah Indonesia antara 69-72 tahun. Jika bandingannya Afghanistan, Indonesia jelas lebih beruntung. Tetapi, apakah perbandingan itu relevan?

Tentu tidak. Indonesia adalah sebuah negeri ribuan pulau dengan kekayaan alam yang sebenarnya masih cukup untuk kesejahteraan rakyatnya, jika dipimpin oleh orang yang punya kepekaan nurani. Afghanistan negeri padang pasir dengan alam yang ganas dan keras. Jika ada persamaan antara kedua bangsa itu terletak pada agama. Baik Afghanistan maupun Indonesia, mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Jika demokrasi di Afghanistan dipaksakan dari luar, di Indonesia demokrasi sudah menjadi pilihan sejak awal abad ke-20. Jadi, secara teori akarnya kokoh, tetapi mengapa tidak berdampak langsung dengan kemakmuran rakyat? Inilah persoalan yang tidak pernah tuntas sejak negeri ini merdeka lebih 62 tahun yang lalu.

Apakah elite Indonesia gila semua? Jelas tidak. Tetapi jika sebagian gila kuasa dan gila harta, sudah menjadi rahasia umum. Inilah di antara sumber kekacauan yang merusak negeri ini sampai batas yang sangat jauh. Demokrasi di tangan orang yang bermental rapuh ini, buahnya adalah malapetaka yang sudah sekian kali menghimpit Indonesia. Sekalipun seorang Hatta pernah berdalil bahwa jika demokrasi lenyap, maka lenyap pulalah Indonesia merdeka, demokrasi di negeri kita sama sekali belum sehat. Harapan Hatta agar demokrasi memberi kemakmuran merasa kepada rakyat, masih jauh panggang dari api. Kita mungkin dapat menamakan demokrasi Indonesia adalah 'demokrasi bocor', atau agar terdengar lebih mentereng RBI (Republik Bocor Indonesia).

Di mana-mana terdengar kebocoran. APBN/APBD bocor, politik bocor, ekonomi bocor, urusan haji bocor, anggaran pendidikan bocor, adalah berita sehari-hari yang tak habis-habisnya. Di mana 'si gila' pegang kuasa, di situlah kebocoran itu seperti tak bisa disumbat. Setelah otonomi daerah, jumlah 'si gila' semakin melambung. Dari sekitar 460-an Dati II, belum sampai lima persen yang sudah menjalankan prinsip good governance. Sektor pendidikan, kesehatan, dan air bersih, belum menjadi perhatian serius dari hampir semua Dati II. APBD sekitar 80 persen habis untuk gaji, sehingga proses pembangunan menjadi setengah macet.

Suasana yang semacam itu harus secepatnya diperbaiki. Jika tidak, demokrasi akan menjadi beban kita semua, sementara sistem lain yang lebih baik belum tersedia di muka bumi. Tetapi, apa pun sistem politik yang kita jalankan, jika manusia pendukungnya tunakualitas, maka harapan masa depan yang lebih baik untuk sebuah bangsa menjadi semakin menjauh. Quo vadis demokrasi Indonesia?

Hijrahlah Agar Terhindar dari Bencana!


Oleh : KH A Hasyim Muzadi

Masih adakah yang tersisa dari praduga kita bahwa bencana yang datang beruntun adalah bentuk dari sebuah cobaan dan ujian? Rasanya sulit menghindar dari kenyataan bahwa serangkaian bencana ini datang akibat kecerobohan kita sendiri sebagai hamba Allah SWT. Bukankah bukti-bukti sudah terang benderang? Bukankah bencana yang menyergap semua sisi kehidupan kita adalah buah dari keanehan mental kita yang terbiasa melakukan perusakan?

Jangan lagi menyalahkan alam. Jangan lagi menuding alam bertingkah dan tak lagi bersahabat dengan kita. Kini waktunya menyalahkan diri sendiri atas segala persoalan yang datang tiada henti, bergelombang tanpa diketahui ujung pangkalnya. Kita pantas takut karena bencana tidak saja menghantam mereka yang bertindak lalim tetapi juga menghempaskan mereka yang biasa berlelaku saleh. Wattaquu fitnatan laa tushibannalladzina dhalamuu minkum khoossoh. Demikian Allah SWT mengingatkan kita semua. Apa yang sejatinya terjadi dengan alam tempat kita tinggal? Adakah yang salah dengan alam kita ataukah kita penyebab semuanya?

Di tengah kian tak kuasanya kita memprediksi di bagian manakah lagi bentangan daratan kita yang akan diterjang musibah, beberapa hari ke depan akan segera datang tahun baru Islam yang biasa kita kenal dengan Tahun Hijriyah. Inilah tahun yang ke-1429 sejak Baginda Muhammad melakukan hijrah, dari tanah air tercintanya, Kota Makkah Almukarramah, menuju Yatsrib, Madinah Almunawwarah, Kota Yang Tercerahkan.

Hijrah merupakan pilihan terakhir yang dianjurkan Baginda Rasul kepada pengikutnya, karena situasi dan kondisi di Makkah dan sekitarnya tengah mengancam entitas ummat Islam. Kalau tidak karena kekhawatiran yang begitu kuat menekan jiwa baginda dan kian tampaknya tingkat kecemasan pada umat Islam saat itu, Rasulullah tak akan melakukan hijrah. Adakah relevansi hijrah dengan kondisi bangsa kita belakangan? Rasanya, hijrah akan selalu relevan dilakukan mengingat kondisi bangsa yang kian carut-marut.

Bagaimana kita melakukan hijrah sekarang ini? Hijrah, demikian para ulama biasa mengelaborasi langkah politik Baginda Rasul ini, bisa dilakukan dengan banyak alasan dan motivasi. Untuk memudahkan implementasinya, hijrah bisa pula dibagi menjadi dua: hijrah badani dan hijrah rohani. Hijrah badani dapat dilakukan, misalnya, bila tanah tempat kita tinggal tak mampu memberikan rasa aman terhadap jiwa, properti serta kehormatan.

Bila sebuah kota menjadi garang, sebuah komunitas menjelma kanibal, sebuah pemerintahan ibarat lintah yang tiada henti mengisap darah rakyatnya, para pemimpin ibarat benalu yang setiap saat merampas hak-hak rakyat dan para pemangku keamanan tiada jemu menebar rasa takut kepada kita; maka waktunya kita berhijrah ke tempat lain yang jauh lebih aman!

Hijrah badani bisa juga dilakukan jika sebuah bangsa sudah tak lagi merahmati kodrat kemajemukan, gemar membuang jauh-jauh sikap toleran, hidup penuh curiga, sukuisme jadi semangat hidup tertutup dan membabat habis suku lainnya, agama menjelma alat menumpahkan darah atas nama Tuhan, serta kekerabatan antargolongan yang mengakibatkan maraknya tindakan saling tuding, saling injak, saling serang, saling bunuh, saling bakar dan saling memusnahkan antarmereka; maka segeralah berhijrah!

Bagaimana mungkin tuan-tuan bisa duduk nyaman, sementara kekerasan terjadi di depan mata dan baru akan bertindak setelah terbitnya sebuah fatwa atas nama sebuah firman. Tindak kekerasan, dalam agama apa pun, tak disukai dan sungguh dikutuk. Bagaimana mungkin sebuah keyakinan membunuh keyakinan lainnya. Apalagi, kita belum pernah membaca sejarah soal adanya pertikaian antarnabi dan antarrasul.

Hijrah dalam spektrum rohani sifatnya lebih mendalam, karena akan sangat memengaruhi kesehatan tingkah laku, kekuatan mental dan ketahanan jiwa serta keagungan spiritual. Dalam diri kita, telanjur banyak anasir negatif, gerombolan tentara hawa nafsu, jiwa serigala, semangat ingin selalu menang, tak mau mengalah, angkuh, bernafsu menguasai dan kecenderungan-kecenderungan buruk lainnya.

Inilah saatnya kita melakukan hijrah rohani. Sepanjang hari kita cuma disajikan fragmen bagaimana kaum terhormat menjelma serigala yang buas, menempatkan rakyat di ujung tombak untuk sebuah perburuan kursi dan kekuasaan, menebar janji yang selalu diingkari, berkata-kata manis-retoris padahal isinya cuma dusta. Duhai dia yang mengaku terhormat! Segeralah berhijrah secara rohani. Berhijrahlah dari kursi empuk yang anda duduki karena hati rakyat sudah lama menangis.

Berhijrahlah dari menara gading, karena mata hati rakyat tak pernah lelap. Berhijrahlah dari segala keinginan jahat karena hati rakyat tak pernah lupa mendoakan tuan-tuan agar dapat berhati sejuk. Hijrah dan turunlah! Sebab hati rakyat cuma dapat diselami di dasar samudera jiwa yang amat luas. Berhijrahlah, karena sudah lama nama tuan-tuan menempati ruang hati kami, tergurat kuat dalam bola mata kami. Sadarlah segera bahwa setiap kami memohon perlindungan Allah SWT untuk tuan-tuan, hati kami menjerit karena setiap kali itu juga tuan-tuan merusak hati kami sebagai tempat tuan-tuan bersemayam.

Berhijrahlah! Karena setiap kali nama tuan-tuan muncul di lidah kami, bukan kedamaian yang datang menjelang tetapi justru kelebatan sosok tuan-tuan yang menakutkan. Sadarkah tuan-tuan bahwa kami tak pernah lelap tidur sebelum memohonkan keselamatan tuan-tuan. Wahai bangsaku! Renungkanlah sebuah firman Allah SWT, Qul hual qaadiru 'alaa an yab'atsa 'alaikum adzaaban min fauqikum au min tahti arjulikum au yalbisakum syiyaa-'an wayudziiqa ba'dhakum ba'sa ba'dhin; unzhur kaifa nusharriful ayaati la'allahum yafqahuun Katakan, Dialah Yang Mahakuasa mengantarkan kepada kalian azab dari atas kalian, atau dari bawah kaki-kaki kalian, atau mengacaukan kalian dalam kelompok-kelompok fanatik dan mencicipkan keganasan sebagian dari kalian kepada sebagian yang lain. Lihatlah bagaimana Kami mendatangkan silih berganti tanda-tanda kekuasaan Kami, agar mereka mengerti.

Tidakkah kita menyadari bahwa ayat ini sungguh tegas untuk menjelaskan segalanya? Karbondioksida sudah nyata menjadi ancaman terbesar bangsa kita dan anak semua bangsa di dunia ini, tetapi tetap saja kita membiarkan segelintir orang membakar udara. Karbondiaksoda dengan leluasa membakar udara anaka-anak manusia. Akibatnya, para petani kita tak tahu lagi kapan harus menanam dan kapan harus panen. Iklim yang dengan mudah bisa diramalkan oleh BMG, seperti membuat semua ukuran jadi absurd. Bahkan, hujan pun seperti leluasa turun kapan saja ia mau.

Lalu, terjadilah banjir bandang dan berguguranlah tebing-tebing gundul yang menimpa puluhan anak bangsa. Bukankah ini sebuah azab yang Allah turunkan dari atas kepala kita. Mau bukti lagi? Mari kita mengarahkan kembali perhatian ke sebuah sudut di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Bagaimana mungkin hamparan maha luas lumpur panas bisa dengan bebasnya menerjang kehidupan sebagian saudara kita, menghempaskan apa saja dari bawah kaki-kaki mereka? Ya Allah! Kalau menggunakan ayat ini sebagai ukuran, maka benarlah sudah, semua yang terjadi benar-benar azab dari-Mu Ya Allah!

Tetapi apa yang bisa kita lakukan? Padahal Allah jelas-jelas mengingatkan bahwa bencana dan azab selalu datang berulang-ulang tetapi kita tetap saja tidak menyadari kesalahan kita sendiri. Duhai bangsaku! Berhijrah secara rohani sebelum terpaksa hijrah secara fisik. Marilah kembali menghadirkan Allah SWT ke dalam nurani kita, mengalirkan Asma-Nya Yang Agung dalam darah kita, menjadikan sifat-Nya menyelimuti tingkah laku kita, menghadirkan keagungan Allah di ujung lidah-lidah kita. Mari kita jadikan Tahun 1429 Hijriyah sebagai titik berangkat menuju kehidupan badani dan ruhani yang jauh lebih sublim, tulus, ikhlas dan tetap bersamaan dengan taufik Allah SWT. Wallaahu a'lamu bisshawaab.

Hijrah, Dakwah, dan Pembangunan Kualitas Umat

Oleh : Didin Hafidhuddin

Peristiwa hijrah Rasulullah SAW bersama dengan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah --yang kemudian oleh Umar bin Khattab dijadikan sebagai awal kalender umat Islam (Tahun Hijriyah)-- adalah peristiwa sejarah yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas dakwah sekaligus pembangunan dan pengembangan kualitas kehidupan kaum Muslimin secara lebih luas dan menyeluruh.

Harus disadari bersama bahwa terjadi hubungan timbal balik yang sangat kuat antara kegiatan dakwah dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Jika dakwah dilakukan dengan perencanaan yang matang, dengan program dan langkah-langkah yang terukur, dan dengan para pelaku (dai) yang memiliki akhlakul karimah, maka peningkatan kualitas kehidupan akan nyata dirasakan.

Sebaliknya, jika dakwah yang dilakukan tanpa perencanaan, tanpa program yang jelas dan terukur, serta kurang menyentuh kehidupan nyata yang dirasakan masyarakat, atau kaum Muslimin sama sekali tidak memiliki komitmen yang kuat untuk terlibat dalam kegiatan dakwah dalam berbagai macam aspek kehidupan, maka akan terjadi dominasi kemunkaran dan kebathilan pada kehidupan umat, seperti yang kita rasakan saat ini.

Dalam sebuah hadis riwayat Imam Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda: ''Apabila umatku sudah mengagung-agungkan kehidupan dunia (menjadikan materi, jabatan, dan kedudukan sebagai tujuan perjuangannya), maka akan diangkat/dicabut keagungan ajaran Islam. Dan apabila umatku sudah meninggalkan kegiatan amar ma'ruf nahi munkar (meninggalkan kegiatan dakwah dalam berbagai aspek kehidupan), maka umatku akan terhalang untuk mendapatkan keberkahan wahyu (keberkahan dari Allah SWT)''.

Sementara itu dalam hadis riwayat Imam Bazzar, Rasulullah SAW memberikan dua pilihan bagi kita semua, aktif terlibat dalam melakukan kegiatan dakwah yang akan menghasilkan kehidupan yang sejahtera lahiriah maupun batiniah di bawah kendali kepemimpinan orang-orang yang bertaqwa, atau jika meninggalkannya, maka yang menjadi pemimpin yang mengendalikan kehidupan adalah orang-orang yang jahat serta doa kaum Muslimin (yang pasif) tidak akan pernah dikabulkan oleh Allah SWT.

Empat pilar kekuatan umat
Paling tidak ada empat pilar kekuatan yang dibangun Rasulullah SAW dan para sahabatnya di Madinah yang harus menjadi concern kita dalam melakukan kegiatan dakwah sekarang ini. Pertama, kekuatan akidah dan ibadah, dengan cara membangun masjid. Masjid di zaman Rasul (Masjid Quba dan Nabawi) di samping dibangun fisiknya secara baik (bersih, suci, menyejukkan, dan menyehatkan), juga ditekankan pada pembangunan orang-orang yang memakmurkannya.

Jadilah masjid tempat pembinaan kaum Muslimin yang memiliki kekuatan akidah, ibadah, akhlak, berjamaah, berukhuwah dan kekuatan berkorban untuk menegakkan nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan keadilan di luar masjid dan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Allah SWT berfirman dalam QS 9: 108 : ''... sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar ketakwaan sejak hari pertama adalah lebih baik kamu salat di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin menyucikan diri. Dan, Allah sangat mencintai orang-orang yang suci dan bersih''.

Di zaman Rasulullah SAW masjid benar-benar berfungsi sebagai kekuatan perekat hubungan manusia dengan Allah SWT dan dengan sesamanya. Masjid telah menjadi tempat yang sangat dicintai dan dirindukan kehadirannya oleh masyarakat pada saat itu. Hal ini pulalah yang harus kita lakukan sekarang ini. Di dalam masjid, di samping kita ruku dan sujud bersama-sama, juga bisa berdialog, berinteraksi sekaligus melakukan aksi-aksi sosial yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di sekitar masjid.

Pada hari Sabtu kemarin (10 Muharam 1429 H, bertepatan dengan tanggal 19 Januari 2008) Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) bekerja sama dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi telah mencanangkan Gerakan Memakmurkan Masjid Melalui Pembentukan Unit Pendayagunaan Zakat (UPZ) Masjid Sebagai Ujung Tombak Pembangunan Masyarakat. Dengan kegiatan ini diharapan masjid dapat ditingkatkan perannya dalam meningkatkan kualitas kehidupan para jamaahnya.

Kedua, kekuatan ekonomi, yaitu dengan melahirkan para pelaku bisnis yang handal yang menguasai roda ekonomi, seperti menguasai pasar, dengan tetap memiliki integritas kepribadian yang utuh dan tangguh berdasarkan nilai-nilai Islami, sehingga praktik bisnisnya tidak menghalalkan segala macam cara, seperti penipuan, pengurangan takaran dan timbangan, atau praktik-praktik buruk lain yang merugikan, seperti yang dilakukan oleh Abdurrahman bin 'Auf dan sahabat-sahabatnya.

Di samping menguasai pasar, mereka pun mampu mengendalikan kegiatan ekspor-impor berbagai komoditas dari dan ke Madinah, sehingga Madinah di samping menjadi pusat kegiatan ibadah (mahdhah), juga menjadi pusat kegiatan ekonomi. Sektor ekonomi adalah salah satu kekuatan yang sangat menentukan kehidupan umat, bahkan kadangkala menentukan baik buruknya kepribadiannya. Betapa banyak orang yang lemah akidahnya serta lemah imannya, menggadaikan atau menukarkan keyakinannya dengan kekufuran, kemusyrikan dan kemaksiatan karena lemahnya kehidupan ekonomi.

Inilah yang diperingatkan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadisnya : ''Hampir saja kefakiran itu akan menyebabkan kekufuran''. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini, kita merasakan betapa ketergantungan ekonomi pada kekuatan asing, telah menyebabkan bangsa kita dikendalikan dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang politik, hukum dan kebudayaan, yang menyebabkan hilangnya harga diri bangsa kita sebagai bangsa yang merdeka.

Karena itu, kita harus berupaya kembali dengan penuh kesungguhan untuk membangun kekuatan ekonomi yang berwawasan moral, misalnya dengan cara menumbuhkembangkan institusi keuangan syariah, mengendalikan pasar, menguasai jalur distribusi, dan menumbuhkembangkan kekuatan produksi berbagai barang kebutuhan umat. Allah SWT sangat memuji orang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, tetapi sangat tekun dan sungguh-sungguh dalam melakukan kegiatan ekonomi (perhatikan QS 24 : 36-38). Etos kerja dan etos wirausaha untuk mencari dan mengusahakan rezeki yang halal dan bersih, harus ditumbuhkembangkan kembali di kalangan kaum Muslimin. Kaum Muslimin tidak boleh menggantungkan hidupnya pada umat dan bangsa lain.

Adalah sangat menarik pidato Presiden RI; Dr H Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Festival Ekonomi Syariah (FES) di JCC, Rabu 7 Muharam 1429 H, bertepatan dengan 16 Januari 2008 yang lalu yang menekankan perlunya ekonomi syariah dibangun secara bersama-sama, agar ekonomi umat menguat. Bahkan secara tegas beliau juga meminta kepada Menteri Agama, Menteri Keuangan, dan Menteri Hukum dan HAM, agar rancangan Undang-Undang Perbankan syariah dan rancangan Undang-Undang Sukuk bisa segera dijadikan undang-undang. Dengan harapan agar lebih meningkatkan peran ekonomi syariah terhadap kegiatan ekonomi bangsa.

Ketiga, kekuatan sosial, yang ditandai dengan al-muakhah (kegiatan mempersaudarakan) antara sahabat Muhajirin yang berasal dari Makkah dan berhijrah bersama Rasul, yang ikhlas dan ridha meninggalkan tanah air, keluarga dan harta bendanya demi mempertahankan akidah dan mengembangkan dakwah Islamiyah, dengan sahabat Anshar, penduduk asli Madinah yang memiliki kesiapan yang tinggi untuk mengorbankan segala sesuatu bagi kepentingan sahabat Muhajirin, walaupun mereka sendiri membutuhkannya (kekuatan Itsar).

Tugas kita sekarang, membangun secara serius hubungan persaudaraan antara sesama kaum Muslimin dengan mengedepankan titik-titik persamaan dan membuang jauh-jauh berbagai perbedaan yang ada. Karena sesungguhnya setiap orang yang beriman itu adalah bersaudara, walaupun mungkin terjadi berbagai perbedaan, seperti dinyatakan dalam QS 49: 10. Jika umat Islam terus-menerus bertentangan dan berpecah-belah satu dengan yang lainnya, maka yang terjadi adalah kegagalan dalam perjuangan dan hilangnya kekuatan umat. Perhatikan firman-Nya dalam QS 8: 46.

Keempat, kekuatan politik, dengan dilahirkannya Piagam Madinah, yang merupakan piagam tertulis pertama di dunia, jauh sebelum munculnya Declaration of Human Rights yang dilahirkan PBB pada tahun 1948. Dalam Piagam Madinah tersebut, antara lain diatur hubungan Muslim dengan non-Muslim seperti Yahudi dan Nasrani. Dengan piagam ini, jelas sekali ajaran Islam dan umatnya sangat menghargai perbedaan agama.

Ketika umat Islam berkuasa memimpin pemerintahan dan negara, tidak pernah terjadi pemaksaan terhadap umat lain untuk masuk ke dalam agama Islam, karena memang hal ini secara prinsip dilarang Al-Quran secara tegas, seperti dikemukakan dalam QS 2 : 256 dan QS 10 : 99. Bahkan kaum Muslimin tidak dilarang berhubungan secara muamalah, misalnya dalam hubungan kegiatan ekonomi dan ketetanggaan dengan non-Muslim, selama mereka tidak mengganggu akidah, ibadah, dan dakwah kaum Muslimin. Hal ini sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam QS 60 : 8-9. Karena itu, tidaklah beralasan sama sekali jika non-Muslim takut kepada kaum muslimin dan takut kepada syariat Islam. Yang justru sangat mengherankan, jika ada tokoh Islam yang takut dengan pelaksanaan syariat Islam.

Stigma-stigma negatif seperti terorisme dan kekerasan yang dimunculkan sekarang ini sesungguhnya bukanlah bersumber dari ajaran Islam, akan tetapi banyak dibesar-besarkan oleh orang-orang maupun bangsa yang tidak senang dengan kemajuan umat Islam. Sesungguhnya ajaran Islam memberikan rahmat dan kasih sayang kepada kehidupan umat manusia dan alam lainnya, sebagaimana dinyatakan dalam QS 21 : 107.

Karena itu, memperingati pergantian tahun Hijriyah, harus disertai dengan kesadaran yang kuat untuk melakukan upaya-upaya konkret dalam membangun kualitas kehidupan umat dalam berbagai aspek kehidupan. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Etos Kerja


Oleh : David Krisna

''Dari Rifa'ah bin Rafi' bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya tentang usaha apa yang paling baik. Rasulullah menjawab, usaha seseorang dengan tangannya, dan tiap-tiap jual beli yang baik.'' (HR Bazzar dan disahkan oleh Hakim)

Kerja seperti apapun dalam kehidupan di muka bumi harus dilihat dan dijalankan dalam suatu keseimbangan. Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya masyarakat Muslim secara umum menghabiskan sepertiga hari mereka untuk bekerja, sepertiga lainnya untuk tidur dan istirahat, dan sepertiga lainnya untuk shalat, bersenang-senang, dan aktivitas keluarga serta masyarakat.

Ujian Muslim setelah berkomitmen terhadap semangat etos kerja, kemudian perlu dipikirkan mengenai bagaimana rezeki itu dimanfaatkan. Dalam surat Al-Baqarah 212, Allah mengatakan akan memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendakinya.

Dari ayat tersebut yang perlu disadari adalah kendati Allah memberikan rezeki lewat berbagai cara dan dalam jumlah yang tak terbatas, tetapi itu tak berarti rezeki datang dengan sendirinya, etos kerja harus ditumbuhkan.

Layak diperhatikan bagaimana pendapatan atau hasil orang per orang yang berupa rezeki bisa diperoleh. Tentu akhirnya kembali kepada berapa besar usaha kita untuk memperoleh rezeki itu. Allah SWT juga banyak berfirman agar rezeki itu dimanfaatkan dengan baik. Ini berarti terlihat mata rantai suatu aliran pendapatan dari satu orang ke orang lainnya, sehingga akhirnya bagaikan bola salju dan jadilah suatu pertumbuhan bagi orang tersebut baik secara moral maupun material.

Sebagai Muslim, kita layak merenungkan bahwa segala rezeki yang Allah berikan kepada kita, harus dimanfaatkan secara baik. Di samping itu manusia yang beradab pasti ingin bekerja keras dan berusaha mencari rezeki dengan dilandasi oleh etos Islam.

Allah telah meletakkan di dalam prinsip-prinsip penciptaannya, bahwa bekerja dan berusaha merupakan daya rahasia kemajuan dan pergerakan. Alam telah mengajarkan kepada manusia bahwa segala yang ada di alam ini senantiasa bergerak, berkembang, dan bekerja untuk membangun sistemnya.

Ajaran Islam amat menekankan etos kerja tanpa melupakan aspek spiritual. Dengan keduanya, Islam mendorong manusia untuk membangun peradaban yang mempunyai nilai spiritual. Menyalakan etos kerja di tengah krisis bangsa adalah langkah konkret untuk perbaikan negeri ini. Kehormatan dan kemuliaan datang dari kerja dan usaha untuk ibadah.

Shalat Berjamaah



Oleh : Nurjannah Suharjo

''Barangsiapa ingin berjumpa dengan Allah kelak dalam keadaan selamat, hendaklah menjaga shalat berjamaah ketika dipanggil dengan adzan untuk mendirikannya. Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada Nabimu sunah yang berpetunjuk. Maka sungguh shalat berjamaah merupakan bagian dari sunah yang berpetunjuk.

Sesungguhnya shalat di rumahmu sebagaimana orang-orang meninggalkan shalat berjamaah berarti telah meninggalkan sunah Nabimu. Jika kalian meninggalkan sunah Nabimu, pasti kalian akan tersesat. Sesungguhnya kami memerhatikan diri-diri kami, tidaklah pernah meninggalkan shalat berjamaah, kecuali orang-orang munafik yang jelas-jelas kemunafikannya. Sungguh sampai-sampai ada orang yang terpaksa harus dipapah oleh dua orang untuk ditempatkan dalam shaf shalat berjamaah.'' (HR Muslim).

Sayyid Quthb di dalam Fii Dzilaalil Qur'an menyebutkan, shalat merupakan jalan pertemuan seorang hamba yang dhaif dengan Allah Yang Mahabesar. Dengan shalat seorang hamba merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta. Hati menjadi tenang dan jiwa terbasuh kesejukan. Shalat ibarat sumber mata air sejuk yang tak pernah kering oleh terik perjalanan dunia. Karenanya, orang yang berakal sehat pasti amat bergembira mencelupkan dirinya ke dalam mata air shalat lima waktu secara berjamaah.

Dengan shalat berjamaah, di samping menambah tabungan keutamaan dua puluh tujuh derajat dibandingkan shalat sendirian. Juga menunjukkan bukti cinta hakiki atas panggilan zat yang tercinta Allah robbul 'izzati.

Malaikat pencatat amal kebajikan pun menulis setiap satu langkah menuju masjid dapat mengangkat satu derajat kemuliaan. Mencatat langkah berikutnya sebagai penghapus satu kesalahan.

Kalau seorang jamaah berjalan dari rumah menuju masjid atau mushala berjarak 10 meter dengan 20 langkah. Maka 10 meter pula kenaikan satu derajat kemuliaan dan 10 meter berikutnya menghapus kesalahan. Kalau itu dilakukan lima waktu dalam sehari semalam, berarti 50 derajat kemuliaan dan 50 penghapusan dosa. Allah pun dapat berkehendak melebihkan lebih dari itu semua bagi hamba-Nya yang ikhlas memenuhi undangan-Nya.

Syekh Hasan Al-Banna menulis sepucuk wasiat kepada para penggerak muda Muslim yang berbunyi, ''Jika kalian mendengar seruan adzan, segeralah tunaikan shalat berjamaah bagaimanapun kesibukan kalian.''