Minggu, 24 Juni 2007

Q a r u n'
*(Refleksi Terhadap Kesenjangan Sosial, Celaan Terhadap Koruptor)

WASPADA Online

Oleh Drs. H.M. Jamil, MA
Di tengah-tengah berbagai kesulitan bangsa, di tengah-tengah angka kemiskinan yang cukup tinggi, tidak jarang kita lihat ada yang hidup dengan fasilitas dan kekayaan finansial yang melimpah. Dalam konteks itu, penulis tertarik untuk mengemukakan kembali figur ‘Qarun’ dalam Al-Quran, untuk menjadi salah satu bahan renungan dalam melihat realitas sosial dengan kesenjangan sosial yang mencengangkan.

Poin Penting
Beberapa poin penting tentang Qarun yang tertera di dalam Al-Qur’an surah Al-Qashash ayat 76,77,78,79,80,81,82,83, 84 adalah: Qarun adalah kaum nabi Musa bahkan dikatakan anak paman Nabi Musa a.s. yang hidup semasa dengan nabi Musa a.s. Qarun dikaruniai harta yang melimpah ruah. Qarun melakukan kesewenang wenangan dan perampasan hak orang lain. Qarun tidak mengindahkan pesan kaumnya:
a. agar ia tidak terlalu bangga
b. agar ia mempergunakan tumpukan kekayaannya tidak hanya untuk tujuan dunia tetapi juga akhirat
c. agar ia berbuat baik kepada semua makhluk
d. agar jangan membuat kerusakan di muka bumi.
Qarun menanggapi nasehat-nasehat tersebut dengan penegasan bahwa kekayaannya yang melimpah itu ia peroleh karena ilmunya dan tidak siapapun turut berpartisipasi di dalamnya.

Qarun keluar ke tengah-tengah kaumnya dengan kemegahannya. Masyarakat yang melihat Qarun terpecah menjadi dua kelompok: a. Kelompok yang berharap mendapat kemewahan seperti Qarun, b. Kelompok yang lebih berharap dengan apa yang ada di sisi Allah. Qarun ditenggelamkan ke dalam perut bumi. Yang bercita-cita ingin seperti Qarun kemudian sadar bahwa Allah yang memberi rezeki kepada siapa yang Ia kehendaki dan kekafiran tidak akan pernah beruntung.

Kekayaan
Qarun yang dikatakan sebagai salah seorang keluarga nabi Musa a.s., (anak pamannya) merupakan salah seorang yang mendapat limpahan kekayaan dari Tuhan. Tidak tanggung-tanggung, kunci-kunci gudang-gudang kekayaannya cukup berat untuk dipikul oleh sejumlah orang yang kuat. Qarun melihat ‘keberhasilannya’ memiliki kekayaan yang melimpah itu adalah karena ia memiliki ilmu, keahlian, dan segala macam cara ia gunakan untuk itu. Semua itu ia peroleh semata-mata karena keahlian, kerja keras, teknik-teknik. Ia tidak melihat di sana ada keterlibatan pihak lain. Tidak hanya sebatas itu, kekayaan yang melimpah itu telah menjadikan Qarun sebagai sosok yang angkuh dan sewenang-wenang. Angkuh karena ia melihat orang lain rendah. Sewenang-wenang karena dengan kekayaannya dia dapat melakukan banyak hal yang merugikan, menyakitkan dan menyengsarakan orang lain.

Hamka mengatakan: "Oleh karena telah kaya itulah dia berlaku sewenang-wenangan kepada kaumnya. Karena dia telah duduk di puncak tinggi kekayaan, orang yang miskin dipandangnya hina dan rendah. Mungkin juga kalau dia membeli barang-barang kepunyaan simiskin, dibelinya murah-murah. Kalau dia memberi upah, diberinya upah kecil. Kalau dia memberi, diberinya sedikit saja, sehingga tidak mencukupi. Kalau orang datang akan meminta sesuatu, dari jauh dia sudah tahu. Lalu dia menyatakan kekesalannya, dia tidak mau di ganggu. Kalau dia berjanji akan memberi, diundur-undurnya janji itu sampai orang yang menagih janji itu bosan. Semua itu adalah termasuk perangai orang telah digila oleh kekayaannya. Sedemikian itu adalah kesewenang-wenangan belaka" (Hamka, Tafsri Al-Azhar, juz 20, hal. 127)

Masyarakat Peduli
Prilaku Qarun yang angkuh dan sewenang-wenang telah diketahui oleh masyarakatnya (kaum Musa). Mereka merasa peduli untuk mengembalikan Qarun ke jalan yang benar, agar tidak terus tenggelam dalam keangkuhan dan kesewengan-wenangannya. Pesan tersebut terekam dalam surah Al-Qashash ayat 76 dan 77. Di antara kandungannya:
Pertama, Qarun jangan terlalu bangga dengan apa yang dimilikinya itu, sebab sikap seperti itu dapat mengantar kepada keangkuhan dan menjadikan seseorang tenggelam dalam bidang material, melupakan fungsi harta serta mengabaikan akhirat dan nilai-nilai spritual. (Quraisy Shihab: Tafsri Al-Mishbah, jilid 10, hal. 404-405).
Kedua, agar Qarun tidak hanya menggunakan gudang-gudang kekayaannya itu untuk tujuan duniawi semata, tetapi juga untuk tujuan akhirat.
Ketiga, Qarun mesti menghentikan kesewenang-wenangannya, dan segera berbuat kebaikan (ihsan) kepada semua orang, kepada setiap makhluk, sebab Allah telah berbuat baik (ihsan) kepada Qarun dengan memberikannya harta yang melimpah.
Keempat, Qarun dengan limpahan kekayaannya itu jangan membuat kerusakan di muka bumi. Al-Ghazin berkata: bahwa yang dimaksud dengan membuat kerusakan di muka bumi di sini adalah "bahwa siapapun yang telah melakukan kemaksiatan kepada Allah maka ia melakukan kerusakan di muka bumi. Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan seperti Qarun". Al-Ghazain, Tafsri Al-Ghazin: jilid 3, hal. 182).

Abaikan Peringatan
Qarun, bukan saja tidak peduli dengan peringatan dari kaumnya yang peduli itu, bahkan dengan angkuh dia berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberikannya karena ilmu yang ada padaku…" (Q.S. Al-Qashash: 78). Di dalam Tafsir Ibn Katsir dikatakan sebagai berikut: "Sesungguhnya aku tidak membutuhkan nasehatmu, karena Allah telah memberikan kekayaan yang melimpah ini kepadaku, disebabkan Dia mengetahui bahwa aku patut memperoleh dan pemberian itu adalah tanda kasih sayang Tuhan kepadaku" (Ibu Katsir: Terjemah Ringkas Tafsri Ibn Katsir, jilid 6, hal. 183). Tidak hanya sampai di situ, Qarun pun, sebagaimana yang diinformasikan oleh Al-Qur’an "keluar kepada kaumnya dalam kemegahannya" (QS. Al-Qashash: 79). Hamka berkata: "Maka keluarlah Qarun dari dalam gedung mahligainya yang megah itu dengan pongah dan congkak serta angkuhnya; keluar dengan sengaja hendak mempertontonkan kekayaannya kepada manusia yang ada di masa itu. Dia berarak lengkap dengan segala perhiasannya yang lazim pada masa itu". (Hamka, Tafsri Al-Azhar: juz 20, hal. 130).

Sikap Terhadap Qarun
Penampilan Qarun dengan kemewahannya, menyilaukan mata sebagian orang. Tetapi sebagian lain tetap berkeyakinan bahwa apa yang ada di sisi Allah jauh lebih baik. "…berkata mereka yang menghendaki kehidupan dunia: ‘Moga-moga kiranya kita memiliki seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai bagian yang besar’. Dan berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu" ‘kebinasaan bagi kamu, padahal Allah adalah jauh lebih baik bagi orang-orang yang berimandan beramal saleh. Dan tidak diperolehnya kecuali oleh orang-orang yang sabar". (QS. Al-Qashash, 79-80). Bagaimanapun, sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Quran surah Al-Qashash, ayat 81-82, setelah Qarun dan kekayaannya ditenggelamkan kedalam perut bumi. "Di dalam Perjanjian Lama, Bilangan XVI:, 1, Qarun dinamai Korah dan disebutkan bahwa ia bersama dua temannya mengajak orang-orang untuk memberontak terhadap Musa, dan pada akhirnya: Terbelahlah tanah di bawah mereka dan bumi membuka mulutnya dan menelan mereka dengan seisi rumahnya dan dengan semua orang yang ada pada Korah dan dengan segala harta milik mereka (XVI: 31-31).

Kemenangan
Di akhir ayat-ayat tentang Qarun ini, ditegaskan bahwa kebahagiaan akhirat tidak untuk orang-orang seperti Qarun, tetapi untuk orang-orang yang tidak menghendaki keangkuhan dan kerusakan di muka bumi. Kemenangan pasti untuk orang-orang yang berjalan di atas jalan yang benar (yang takwa). Satu ketentuan yang mesti ditanamkian di dalam hati adalah: Kebaikan yang dilakukan pasti berbuah berbagai kebaikan. Kejahatan pula pasti dibalas dengan yang setimpal. (Perhatikan QS. Al-Qashash: 83-84).

Pelajaran
Pertama, Qarun adalah tipe manusia yang tidak perduli dengan kehidupan orang lain, yang hanya konsen terhadap kehidupan dan kesenangan personal dengan menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya dengan cara apapun jua.
Kedua, dalam menghadapi tipe manusia seperti ini masyarakat tidak boleh diam. Seperti halnya masyarakat Nabi Musa yang hidup bersamaQarun, mereka memberikan peringatan-peringatan kepada Qarun.
Ketiga, perlu diperhatikan bahwa masyarakat yang langgeng adalah masyarakat yang perduli, masyarakat yang konsen terhadap berbagai penyimpangan dan kejahatan, yang turut berpartisipasi untuk menghentikan kejahatan-kejahatan, seperti kejahatan Qarun yang memperkaya diri, atau kejahatan korupsi ketika ini. Masyarakat yang larut bersama kejahatan akan lenyap, seperti Qarun yang ditenggelamkan besama pengikut-pengikutnya.
Keempat, Qarun adalah tipe manusia yang bukan saja tidak ideal tetapi bahkan termasuk dalam tipe yang sangat tercela.
Terakhir, harapan terakhir kita memang kepada Tuhan, bahwa para Qarun-Qarun (koruptor-koruptor) akan dibinasakan Tuhan, tetapi setiap individu, terutama negara mesti melakukan upaya-upaya yang serius dan terus menerus, berani dan tidak ragu-ragu.
(Penulis :Dosen F.S. IAIN-SU. Ketua I. STAI Al-Ishlahiyah Binjai. Direktur. CIDEW Indonesia) (wns)

Hukum Penggusuran dari Kacamata Islam
17-6-2007
Oleh : KH YUSUF CHUDLORY*

Pertanyaan:
Gus Yusuf yang semoga dalam kabar baik selalu, saya melihat di Ibukota sedang membangun selalu diwarnai dengan penggusuran terhadap pemukiman atau ruang usaha milik rakyat kecil. Di kota-kota lain juga terjadi, bahkan berujung ricuh. Kasihan sekali melihat orang-orang yang digusur itu.

Benar, di satu sisi kita membutuhkan pengembangan pembangunan Ibukota agar lebih indah atau untuk kepentingan fasilitas publik, namun di sisi lain harus diwarnai dengan tindakan yg menyakitkan rakyat kecil itu. Dari sudut pandang agama (Islam), sebetulnya hukum penggusuran itu bagaimana? Mohon penjelasan secukupnya. Terima kasih.

Abdul Salam Rifangi, Jakarta Selatan

Jawaban:
Bapak Abdul Salam yang terhormat, tidak bisa hanya satu sisi untuk melihat fenomena penggusuran di negeri tercinta Indonesia. Ada beragam kepentingan dan pertimbangan yang bisa menjalankan buldozer dalam meluluhlantakan bangunan pengganggu jalannya suatu proyek atau alasan-alasan lain, yang rata-rata bagi wong cilik masih dianggap belum berpihak kepada mereka.

Bicara soal penggusuran, tentu akan bicara mengenai soal tanah. Dalam hal ini ada beberapa dasar yang bisa kita jadikan pijakan. Di antaranya:

“Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak.” (HR. Imam Bukhari dari Aisyah)

“Siapa saja yang telah memagari sebiidang tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya.” (HR. Abu Daud)

“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati maka tanah itu adalah miliknya.” (HR. Imam Bukhari)

Berdasarkan tiga dalil ini dapat dikatakan bahwa siapa saja yang sudah menghidupkan tanah dengan mengolahnya sehingga berdaya guna maka ia berhak menjadi pemilik dari lahan itu. Negara hanya berhak untuk memberikan sertifikat atas kepemilikan tanah. Pemilik tanah berhak memperoleh manfaat tanah, mengelolanya, mendapatkan harga dari hasil penjualannya, melakukan pertukaran atas tanah tersebut, mewariskan kepada ahli warisnya, sebagimana kepemilikan-kepemilikan yang lain.

Negara sebagai pihak yang mengontrol aktivitas ekonomi warga negaranya akan memaksa para pemilik tanah untuk mengelola tanahnya secara optimal. Langkah yang dilakukan oleh negara adalah mengambil hak kepemilikan tanah apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama tiga tahun. Tanah tersebut kemudian akan diberikan kepada pihak yang membutuhkan dan sanggup untuk mengelolanya. Dengan demikian, kepemilikan tanah pada hakikatnya tidak dibatasi waktu tertentu. Tanah masih berhak untuk dimiliki dengan segala hak-hak yang menyertainya selama yang bersangkutan mengelola sesuai dengan kegunaannya. Islam hanya membatasi jangka waktu penelantaran selama masa tiga tahun. System pencabutan hak kepemilikan dan jangka waktunya ini diambil dari hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini.

Umar bin Khaththab r.a. mengatakan: “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarnya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.”

Pengambilan tanah yang ditelantarkan selama jangka waktu tiga tahun berlaku untuk semua jenis tanah pertanian baik yang diperoleh dari pembelian, waris, hadiah, pemberian negara maupun menghidupkan tanah mati. Hal ini karena illat (sebab hukum) dicabutnya tanah adalah penelantaran selama tiga tahun tanpa memandang tanah tersebut. Jadi, tiap pemilik tanah yang membiarkan tanahnya selama tiga tahun, maka tanahnya akan dicabut dan diberikan kepada orang lain, darimanapun asal pemilikan tanah tersebut.

Dari beberapa penjelasan ini maka apabila penggusuran itu dilakukan dengan melanggar kepemilikan warga maka, penggusuran itu jelas dilarang. Agama mengharamkan seseorang atau badan mengambil hak orang lain.

Namun, jika penggusuran itu dilakukan atas dasar hak, maka penggusuran itu dibolehkan. Meski demikian harus dilakukan dengan cara-cara yang santun tanpa merusak, apalagi menciptakan konflik sosial yang berkepanjangan.

Dalam hal ini perlu diciptakan mekanisme penggusuran yang ramah dan menumbuhkan empati dari semua pihak. Dan bagi pemerintah proses penggusuran itu tidak berhenti sampai di situ, tapi ia juga harus memikirkan pilihan lain bagi warga yang digusur. Tidak lepas tanggung jawab begitu saja tanpa diberi alternatif pilihan bagi warga tergusur.

Untuk itu baiknya kita renungkan satu hadis Nabi saw yang menyatakan: “Lihatlah (untuk masalah dunia) kepada orang-orang yang lebih rendah darimu, dan jangan kau melihat mereka yang lebih tinggi. Karena demikian itu (cara) yang lebih tepat untuk menghindari penghinaan terhadap nikmat Allah atasmu.”

Dengan hadis ini beliau mengajak untuk lebih memperhatikan mereka orang-orang yang berada di bawah kita, karena dari perhatian itu kemudian muncul kepedulian. Kepedulian kepada nasib wong cilik akan menjadi sebuah bukti rasa syukur atas nikmat yang Allah lebihkan di atas mereka. Wallahu A’lam.[]

*PENGASUH PONDOK PESANTREN ASRAMA PERGURUAN ISLAM TEGALREJO
MAGELANG JAWA TENGAH

Rabu, 20 Juni 2007

Ketulusan dan Kejujuran
dalam Beragama (QS. Yunus/10:99)


Oleh : AHMAD NURCHOLISH/SYIRAH

“Dan sekiranya Tuhanmu menghendaki, sungguh akan berimanlah manusia di muka bumi seluruhnya. Apakah engkau (Muhammad) ingin memaksa manusia hingga semuanya beriman?” (QS. Yunus/10:99)

Dalam ayat ini, dan sejumlah ayat lain yang senada, dengan tegas Allah melarang orang melakukan paksaan, kasar atau halus, dalam agama.

Dalam kalimat lain, Syafii Ma’arif ( Yogyakarta :2000), mengatakan, pluralisme agama dan budaya sejak ribuan tahun lalu sudah merupakan fakta keras dalam sejarah, karena itu harus diakui, dihormati, dan disyukuri. Sebab, bila dilihat dalam perspektif yang lebih luas, fenomena itu telah memperkaya bangunan kemanusiaan universal.

Terkait dengan itu, al-Quran menginformasikan, para nabi dan rasul adalah mereka yang tulus ikhlas, bebas dari segala penyakit busuk hati, berpura-pura yang dapat meruntuhkan bangunan fitrah manusia.

Begitu juga semua pemeluk agama diperintahkan Allah untuk berhati tulus dalam memahami dan menjalankan agama masing-masing. Tanpa ketulusan, menurut Buya Syafii, agama tak punya makna apa-apa di depan Allah, bahkan akan menyesatkan orang banyak dan diri sendiri.

Tampaknya, hampir tidak ada peradaban umat manusia yang tidak mengenal arti ketulusan dengan pemahaman yang relatif sama. Agama lalu mempertegas dan mentransendenkan makna kandungan perkataan ketulusan itu.

Bila memberikan sesuatu kepada orang lain, seorang yang tulus tidak berharap balasan apa pun kecuali ridha Allah, bukan ridha manusia.

Sikap imani semacam ini juga dimiliki agama lain selain Islam, karena pemberian tanpa pamrih boleh jadi sepenuhnya berasal dari doktrin langit, meski setelah sampai di bumi sering mengalami distorsi karena kenisbian dan kelemahan manusia. Pemberian tanpa pamrih itulah yang kita sebut sebagai bentuk ketulusan sejati.

Dewasa ini, ketulusan sejati amat sulit dijumpai dalam peradaban modern yang sekuler dan cenderung materialistik. Namun, agama jelas tidak akan menyerah pada tantangan duniawi ini.

Selain itu, ketulusan juga memiliki saudara kandung, yakni kejujuran (honesty, thruthfulness). Dalam hal ini, semua agama juga mengajarkan kejujuran, meski penganutnya belum tentu jujur.

Namun demikian, kejujuran merupakan buah iman yang tulus. Ia adalah persoalan hati, bukan kerja kalkulasi otak. Demikian Buya Syafii.

Dalam pengalaman sehari-hari, tidak jarang dijumpai teman yang tidak seagama, tetapi kontak hati dirasakan sangat dekat. Mengapa? Karena di sana ada ketulusan dan kejujuran.

Sehingga kemudian, perbedaan iman (agama tepatnya) bukan lagi menjadi penghalang bertautnya dua hati manusia. Maka, wajar (?) jika ketulusan dan kejujuran itu memang “barang” mahal yang sulit ditemukan saat ini.

Karena persahabatan sejati hanya mungkin dibangun di atas fondasi iman yang kokoh yang membuahkan ketulusan dan kejujuran.

Kaitannya dengan masalah hubungan antarpemeluk agama, mungkin formula “berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan” yang pernah didengungkan Syafii Ma’arif, dapat disepakati.

Di luar jalur formula itu, dikhawatirkan, agama tak lagi berfungsi sebagai sumber kedamaian dan keamanan, tetapi malah menjadi sumber sengketa dan kekacauan, bahkan peperangan. []


Minggu, 17 Juni 2007

Nuzul Alquran

Muhammad Maftuh Basyuni

Kembali kita memperingati turunnya Alquran kepada Nabi Muhammad SAW yang lazim disebut Nuzul Alquran. Peringatan ini dinilai penting karena dimaksudkan untuk menggugah dan meningkatkan kembali kedudukan Alquran sebagai pedoman hidup manusia dan petunjuk dalam kehidupan individu, berbangsa, dan bernegara.

Alquran telah meletakkan dasar-dasar pedoman hidup bagi umat manusia yang kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi. Maka, sebagai khalifah kita harus taat kepada aturan main yang sudah digariskan Allah SWT. Tanpa itu manusia akan kehilangan arah dan akan bertindak sewenang-wenang yang pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan di muka bumi.

Alquran di samping mengajarkan keseimbangan hidup, juga menjadikan kebaikan, keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan yang selalu dicita-citakan seperti yang kita inginkan. Begitu pula Alquran tidak mengajarkan kezaliman, kekerasan, apalagi terorisme. Karenanya, sangat disayangkan apabila perilaku umat Islam tidak mencerminkan ajaran Alquran yang memerintahkan kepada kita agar mewujudkan kehidupan yang damai dan sejahtera dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Masalahnya adalah sudahkah kita sebagai umat Islam mampu memahami isi kandungan Alquran dan kita implementasikan dalam kehidupan. Kita akui secara jujur bahwa umat Islam di Indonesia masih banyak yang belum mampu membaca Alquran dengan baik dan benar, apalagi memahami isi kandungannya, maka tugas kita sebagai Muslim adalah meningkatkan kualitas diri kita sehingga kita mampu membaca Alquran dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Memerhatikan kondisi tersebut kiranya tepat kalau peringatan Nuzul Alquran pada malam hari ini dijadikan sebagai momentum untuk melakukan koreksi dan introspeksi seraya membulatkan tekad untuk melakukan perubahan dan perbaikan dengan semangat kandungan Alquran.

Marilah kita bangun kerukunan dan persatuan serta kita jaga stabilitas nasional sehingga tercipta suasana yang kondusif untuk mewujudkan cita-cita menjadi bangsa dan negara Indonesia yang kuat dan bermartabat, adil dan sejahtera. Dengan demikian, kehidupan bangsa kita dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Maka, dalam membangun bangsa untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera, harus kita bakukan secara bersama saling menghormati tidak saling mencurigai, terutama antara ulama dan umara. Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW, ''Dua golongan manusia apabila keduanya saling damai dan rukun maka selamatlah kehidupan umatnya tetapi apabila hubungan keduanya rusak, maka akan rusaklah kehidupan umatnya yaitu ulama dan umara.'' (Al Hadis)

( )
Mengoptimalkan Iktikaf

Secara syara', iktikaf mengandung pengertian, ''tinggal untuk waktu tertentu di dalam masjid dengan niat beribadah kepada Allah SWT.'' Dasar hukumnya, di samping firman Allah SWT dalam surah Al Baqarah ayat 125 dan 187, juga hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW melaksanakan iktikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan, sejak beliau tiba di Madinah sampai dengan wafatnya. (HR Bukhari dan Muslim)

Iktikaf dapat dilaksanakan selama bulan Ramadhan dan juga di luar Ramadhan. Saat yang terbaik adalah 10 hari terakhir dalam bulan Ramadhan. Jumhur (mayoritas) ulama sepakat, iktikaf sunah hukumnya, kecuali iktikaf nazar. Mazhab Hanafi membaginya kepada yang wajib yakni, iktikaf nazar sunnah mu'akkadah pada 10 hari terakhir Ramadhan dan yang sunnah mustahab pada waktu-waktu selain 10 hari terakhir Ramadhan.

Iktikaf dimaksudkan untuk menyucikan ruh dan mengembalikannya kepada fitrah iman (QS Al A'raaf [7]: 172) dan fitrah Islam (QS Ar Rum [30]: 30) dengan berupaya mematikan kecenderungannya fujur (kefasikan) dan menghidupkan kecenderungan takwa (QS Asy syams [91]: 7-8). Membebaskan diri sementara dari kesibukan dunia agar terbebas dari penyakit al wahn, yakni hubbu al dunia wa qorohiyah al maut (cinta kepada dunia dan takut akan kematian).

Berupaya mengusir nafsu setani dari dalam diri lewat upaya taqarrub(mendekatkan) diri kepada Allah SWT dengan tidak puas hanya melaksanakan yang diwajibkan, tapi berusaha memperkaya diri dengan ibadah-ibadah yang disunahkan. Merasa belum cukup dengan tidak melakukan yang diharamkan, tapi juga berupaya menjauhi yang dimakruhkan.

Melakukan latihan ruhaniyah (tahziib an nafs) seperti yang dimaksudkan Imam Al Ghazali dengan thariqaat. Beliau mendefinisikannya sebagai, ''Berusaha dengan sungguh-sungguh hidup di jalan Allah, dengan menghapus segala sifat yang tercela, serta memutuskan hubungan dengan segala bentuk kehidupan yang tidak diridhai Allah SWT.'' Sasaran utamanya adalah menggapai posisi sebagai `ibad ar rahmaan (hamba yang baik dari Allah Yang Maha Pengasih) dengan sekian kriterianya yang terdapat dalam surah Al Furqaan (25) ayat 63-77.

Di antaranya menjauhkan diri dari sifat takabur, memanfaatkan sebagian malam dengan shalat tahajud. Menghindarkan diri dari perbuatan ahli neraka. Membaca dan menghayati Alquran serta berupaya mengamalkannya. Memperbanyak zikrullah dan istighfar. Bertafakur tentang Allah SWT dengan segala sifat 'Maha'-Nya.

Di samping itu, memanfaatkan saat-saat kedekatan diri dengan Al Khalik saat beriktikaf, untuk bermuhasabah dengan mempertanyakan kepada diri. Misalnya, andai kata kehidupan di alam dunia ini berahir esok hari sudah siapkah mempertanggungjawabkan amanah kehidupan ini di hadapan Allah SWT? Sudah cukupkah bekal iman dan amal saleh untuk dapat meraih rahmat dan maghfirah-Nya? Allahu Akbar! Wallahu a'lam bish-shawab

( KH Athian Ali M Da'i MA )
Iktikaf di Masjid

Iktikaf di masjid. Inilah anjuran mulia dari agama Islam bagi orang-orang yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadan. Iktikaf di masjid berarti berdiam diri atau mengasingkan diri di dalam masjid dengan tujuan ibadah; merenung, berintrospeksi (muhasabah), dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah..

Dalam sejarah (sirah) Nabi Muhammad SAW disebutkan, kebiasaan pengasingan diri di tempat sunyi dan sepi telah dilakukan sejak masa awal Rasulullah di Mekkah. Nabi SAW sendiri menjauhkan diri dari kebisingan duniawi dengan mengasingkan diri di Gua Hira, sampai kemudian menerima wahyu pertama, sebagai tanda kenabian dan kerasulannya. Pengasingan diri semacam ini biasanya disebut dengan tahannuts atau tahanuf -- bukan iktikaf.

Tidak seperti pada masa-masa awal kenabiannya, Rasulullah kembali melakukan pengasingan diri pada masa akhir kehidupannya; tidak lagi di gua, tetapi di dalam masjid. Bentuk pengasingan semacam inilah yang kemudian disebut dengan iktikaf. Nabi SAW melakukan iktikaf di masjid setelah beliau menerima perintah puasa di dalam bulan Ramadan.

Perintah iktikaf sebagai salah satu bagian dari ibadah di dalam Islam didasarkan pada teks ayat Alquran, ''Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.'' (QS Al-Baqarah [2]: 125), dan ''Janganlah kamu mencampuri istrimu ketika kamu sedang beriktikaf di masjid.'' (QS al-Baqarah [2]: 187).

Kedua ayat Alquran ini memberi tuntunan, tempat pelaksanaan iktikaf atau tempat untuk menyendiri adalah di dalam masjid. Dengan begitu jelas, umat Islam tidak boleh melakukan pengasingan diri selain di masjid, seperti di kuburan atau di tempat-tempat lain yang dapat menyekutukan Allah, karena iktikaf hanya ditujukan untuk bersama Allah.

Dalam konteks ini jelas, Islam menjadikan masjid sebagai tempat suci yang sentral. Selain sebagai salah satu simbol terjelas dari eksistensi Islam, masjid juga sebagai tempat kegiatan ritual-sosial.

Dengan demikian, masjid dapat fungsional untuk menjadi salah satu pusat terpenting pembangunan kembali peradaban Islam. Dan, beriktikaf di dalam masjid pada hari-hari puasa di bulan Ramadan ini merupakan salah usaha untuk melakukan instrospeksi demi mengembalikan kejayaan dan peradaban Islam dengan landasan tauhid kepada Allah, di masa kini dan mendatang. Wallahu a'lam.

(Prof Dr Azyumardi Azra MA )
Idul Fitri

Fajar 1 Syawal sebentar lagi menyingsing di ufuk timur, pertanda kita berada di suatu hari yang sangat berbahagia. Takbir, tahmid, dan tasbih terdengar ke atas penjuru langit. Baik di kota maupun di desa, di gunung maupun di lembah, di pantai maupun di pedalaman, di perumahan kumuh maupun di komplek perumahan mewah.

Orang berbondong-bondong melaksanakan shalat Id berjamaah. Mereka laksana drama kolosal kemanusiaan, berduyun-duyun pergi menuju masjid, mushala dan lapangan untuk menunaikan salat Id yang menandai berakhirnya puasa Ramadhan dan sekaligus simbol kemenangan umat Islam karena telah berhasil melewati ujian berat: berpuasa selama sebulan penuh di bulan suci Ramadhan. Untuk itu, kita saling bersalaman mengucapkan selamat kepada sesama kaum muslimin, saling memberi maaf, dengan perasaan suka cita dan penuh kegembiraan merayakan hari kemenangan.

Bagi siapa saja yang berhasil melewati ujian maha berat selama Ramadhan, dijanjikan oleh Allah SWT akan diampuni segala dosanya dan dibebaskan dari azab api neraka. Bahkan lebih dari itu, Allah SWT akan mengembalikan manusia kepada kesucian primordial yaitu fitrah kemanusiaan yang bersifat azali. Karena itu, hari kemenangan disebut Idul Fitri, yang berarti kembali kepada kesucian (fitrah).

Kembali ke fitrah merupakan puncak pencapaian spiritualitas yang sangat didambakan dan membahagiakan bagi setiap muslim. Kembali ke fitrah berarti kita memperoleh penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) yang selama 11 bulan terlumuri oleh berbagai kotoran, noda, dan dosa yang telah mereduksi nilai kemanusian kita. Kembali ke fitrah berarti kita memperoleh pembebasan dari segala belenggu nafsu duniawi yang membuat kita terlena, bahkan acapkali membuat kita berpaling dari Allah SWT (QS: Al Muzzamil [73]:9, 15).

Kembali ke fitrah berarti kita memperoleh kesempatan untuk mendekatkan diri (taqarrub) ke haribaan Allah SWT yang Mahasuci, karena jiwa kita telah disucikan oleh-Nya. Kesempatan untuk bertaqarrub ke haribaan Allah SWT itulah yang amat membahagiakan dan menjadi dambaan bagi setiap Muslim.

Bagi bangsa Indonesia, ujian dirasakan jauh sebelum Ramadhan. Bencana alam seperti susul menyusul, krisis moral, dan bencana kemanusian seperti kerusuhan, kelaparan, serta musibah lainnya. Ramadhan semestinya menjadi bulan perenungan. Bulan intsrospeksi.

Oleh karena itu, mari kita jadikan Idul Fitri sebagai momentuam untuk melakukan koreksi menyeluruh (istisab) terhadap berbagai praktek kehidupan sosial keagamaan dan kemasyarakatan kita. Agar bangsa Indonesia kembali ke fitrah. Agar Indonesia kembali ke cita-cita dasar dan luhur dibentuknya Republik Indonesia oleh para pendiri bangsa.

(H Rahmat Hidayat SE MT )
Menggapai Haji Mabrur

Deni Albar

Mabrur secara etimologis berarti dibenarkan atau dianggap sah. Sebagaimana ulama fikih mendefinisikan, suatu ibadah dianggap sah jika terkumpul padanya rukun dan syarat secara bersamaan. Dengan demikian, haji mabrur adalah haji yang maqbul, yang pahalanya diterima Allah SWT.

Menurut Syekh Ali Ahmad Al Jarjawi, salah seorang ulama Al Azhar, dalam ibadah haji terdapat pendidikan moralitas dan mentalitas. Allah SWT berfirman, ''Supaya mreka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian dari padanya dan (sebagian yang lain) berikanlah untuk dimakan orang-orang sengsara lagi fakir.'' (QS Al Hajj [22]: 28)

Ayat di atas mengisyaratkan kesatuan makna antara kepedulian terhadap ibadah dan sosial. Yang satu untuk Allah, lainnya untuk sesama. Di sinilah tampak keseimbangan. Jadi, makna mabrur ialah nilai yang diterima di sisi Allah dan mampu memberi implikasi sosial terhadap pelakunya.

Abdullah bin Mubarok, seorang ulama sufi, bersengaja untuk melaksanakan ibadah haji, setelah segala persiapan dicukupkan dan pamitan pada para tetangga dan sahabat-sahabatnya. Dalam perjalanan beliau tak lupa memantau kondisi sosio-ekonomi masyarakat yang dilewatinya sehingga beliau tertinggal kafilahnya.

Suatu hari dia melihat kuburan-kuburan banyak tergali dan melihat seorang ibu dan anaknya mengendap-endap sembunyi. Dia bertanya, ''Mengapa kuburan itu banyak tergali dan kamu berdua sembunyi ketakutan?''

''Kami yang membongkarnya karena kelaparan,'' jawab mereka berdua penuh rasa takut. Mendengar pengakuan itu dia menangis dan seraya menyerahkan semua bekal hajinya pada mereka kemudian kembali ke kampungnya. Ketika kafilah haji lainnya kembali dari haji, mereka semua mengucapkan selamat pada Abdullah bin Mubarok, ''Kami melihat Anda melaksanakan haji di sana penuh khusyuk.''

Kisah di atas mengilustrasikan misi dan visi haji yang sebenarnya. Haji bukan sekadar ritual personal melainkan lebih berdimensikan sosial. Haji bukan semata gelar maupun predikat sosial. Ia adalah puncak kedewasaan mental-spiritual seorang manusia.

Alangkah wajar kalau Dr Syekh Yusuf Qaradhawy mengusulkan dana haji dialihkan untuk jihad, karena membela eksistensi umat Islam secara jama'i lebih penting daripada melaksanakan kewajiban yang sifatnya personal.

Haji mabrur adalah haji yang tak peduli simbol budaya kosmetik, individualistik, melainkan sebuah dorongan murni peningkatan kualitas kemanusiaan seseorang secara individu maupun sosial (ijtima'i). Sebagai rukun terakhir bagi kesempurnaan seorang Muslim, ibadah haji menjadi titik sinergis antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial.

Rasulullah menegaskan, ''Barangsiapa yang berniat haji karena Allah, kemudian ia tidak bercakap kotor dan berlaku jahat, maka kondisinya bagai bayi yang baru dilahirkan ibunya.'' ( HR Bukhori).


Budaya Malu

''Sesungguhnya sebagian yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah, 'Bila kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu'.'' (HR Bukhari).

Rasa malu memang merupakan rem yang sangat ampuh dalam mengontrol perilaku kita. Sekiranya tidak ada rasa malu pada diri kita, tentu apa yang diisyaratkan hadis di atas akan benar-benar terjadi. Kita akan melakukan apa saja yang diinginkan tanpa kekangan. Kalau sudah seperti itu, maka berbagai penyelewengan dan penyimpangan tentu akan dilakukan tanpa adanya perasaan bersalah.

Bahkan mungkin, berbagai penyimpangan itu dikemas dalam tampilan yang saleh dan agamis. Tanpa adanya rasa malu, apa yang tidak layak menjadi pantas, dan apa yang terlarang menjadi boleh dan dipandang baik.

Penting untuk dipahami bahwa rasa malu seharusnya diarahkan pada hal-hal yang salah dan buruk, bukan dalam hal-hal yang benar dan baik. Tidak semestinya seseorang malu untuk menuntut apa yang memang menjadi haknya. Tapi, ia seharusnya malu jika mengambil apa-apa yang bukan haknya, walaupun tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui perbuatannya.

Nabi Luth AS mengingatkan kaumnya (yang menyimpang secara seksual) ketika mereka datang dan bernafsu pada tamu-tamu Luth yang berparas tampan. Beliau berkata, ''Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka janganlah kamu memberi malu.'' (QS Al-Hijr [15]: 68). Namun, apa hendak dikata, rasa malu sudah hilang dari diri mereka. Dan, mereka pun hendak melampiaskan nafsu sesuka mereka. Sampai akhirnya Allah menurunkan azab atas diri mereka. Alangkah indah sekiranya kaum Muslimin memiliki rasa malu yang kuat, sehingga rasa malu itu menjadi penuntun ke arah perilaku yang mulia. Setiap kali hal-hal yang buruk menggoda di hadapan, maka mereka berkata dengan hati yang bergetar, ''Sungguh saya malu pada Allah untuk berbuat yang semacam ini.''

Semua itu akan menjadi lebih kokoh lagi ketika rasa malu sudah menjadi karakter yang bersifat kolektif. Budaya malu. Dengan begitu semua pihak saling diingatkan untuk merasa malu setiap kali terdorong melakukan hal yang buruk. Sebagai konsekuensinya, rasa malu akan menjadi ''penyakit'' yang menulari masyarakat luas. Maka, insya Allah masyarakat pun akan menjadi sehat setelah terjangkit ''penyakit'' yang positif ini.

Apakah masih ada rasa malu di hati kita? Barangkali perhatian kita terhadap pertanyaan tersebut pada hari ini akan menjadi penyelamat bangsa di masa-masa yang akan datang. Semoga!

(Ibnu Hasan )
Kenapa Doa tak Terkabul?

Suatu ketika negeri Basrah mengalami semacam krisis multidimensi yang berkepanjangan, sehingga membuat keresahan di kalangan masyarakat. Mereka telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki keadaan, termasuk melalui pendekatan spiritual dengan melakukan doa istighotsah. Namun, segala upaya tidak mencapai hasil sesuai yang diharapkan.

Kemudian, mereka menyampaikan keluhannya kepada seorang ulama besar (setara kiai di tempat kita) yang bernama Ibrahim Ibn 'Adham, ''Wahai Pak Kiai, mengapa kondisi kita tak juga berubah. Bukankah Allah telah berjanji akan mengabulkan doa orang yang memohonnya?''

Menurut Ibn 'Adham ada 10 hal yang dapat menyebabkan doa tidak terkabul, salah satu di antaranya adalah banyak memakan nikmat Tuhanmu, akan tetapi tidak mensyukurinya. Pernyataan ini sejalan dengan peringatan Allah dalam surat Ibrahim (14) ayat 7, ''... sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.''

Masalah yang dihadapi masyarakat Basra di atas, secara kebetulan mirip dengan yang sedang kita alami dewasa ini. Pertanyaannya adalah, apakah kita tergolong dalam 10 kategori orang-orang yang tidak dikabulkan doanya seperti yang disebutkan oleh Ibn 'Adham? Atau lebih spesifik lagi, apakah kita tergolong orang yang tidak menyukuri nikmat Allah?

Rasa syukur tentu tidak cukup diungkapkan dengan ucapan 'alhamdulillah' saja, tetapi harus diwujudkan dalam sikap dan perbuatan sehari-hari.

Salah satu bentuk ungkapan rasa syukur yang paling utama dan mendasar adalah selalu mengingat kebesaran Allah, melaksanakan segala perintah-Nya, dan meninggalkan segala larangan-Nya. Itu yang dalam bentuk perbuatan.

Sedangkan yang dalam bentuk sikap adalah ikhlas ketika menerima segala cobaan namun tidak kikir dan sombong ketika mendapatkan kebaikan. Ikhlas ketika berada di bawah, tidak sombong ketika berada di atas karena hanya Allah saja yang berhak sombong.

Jangan bersikap seperti yang disebutkan Allah dalam QS Al Ma'arij (70) ayat 19-21, ''Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila dia mendapat kebaikan di amat kikir.''

Barangkali ada baiknya kita merenung sejenak. Apakah selama ini kita sudah menunjukkan rasa syukur baik dalam konteks sebagai orang per orang maupun sebagai bangsa yang telah dilimpahi karunia dan nikmat yang demikian berlimpah? Wallahu a'lam bish-shawab.

(Waluyo Basuki )
Kenapa Doa tak Terkabul?

Suatu ketika negeri Basrah mengalami semacam krisis multidimensi yang berkepanjangan, sehingga membuat keresahan di kalangan masyarakat. Mereka telah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki keadaan, termasuk melalui pendekatan spiritual dengan melakukan doa istighotsah. Namun, segala upaya tidak mencapai hasil sesuai yang diharapkan.

Kemudian, mereka menyampaikan keluhannya kepada seorang ulama besar (setara kiai di tempat kita) yang bernama Ibrahim Ibn 'Adham, ''Wahai Pak Kiai, mengapa kondisi kita tak juga berubah. Bukankah Allah telah berjanji akan mengabulkan doa orang yang memohonnya?''

Menurut Ibn 'Adham ada 10 hal yang dapat menyebabkan doa tidak terkabul, salah satu di antaranya adalah banyak memakan nikmat Tuhanmu, akan tetapi tidak mensyukurinya. Pernyataan ini sejalan dengan peringatan Allah dalam surat Ibrahim (14) ayat 7, ''... sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.''

Masalah yang dihadapi masyarakat Basra di atas, secara kebetulan mirip dengan yang sedang kita alami dewasa ini. Pertanyaannya adalah, apakah kita tergolong dalam 10 kategori orang-orang yang tidak dikabulkan doanya seperti yang disebutkan oleh Ibn 'Adham? Atau lebih spesifik lagi, apakah kita tergolong orang yang tidak menyukuri nikmat Allah?

Rasa syukur tentu tidak cukup diungkapkan dengan ucapan 'alhamdulillah' saja, tetapi harus diwujudkan dalam sikap dan perbuatan sehari-hari.

Salah satu bentuk ungkapan rasa syukur yang paling utama dan mendasar adalah selalu mengingat kebesaran Allah, melaksanakan segala perintah-Nya, dan meninggalkan segala larangan-Nya. Itu yang dalam bentuk perbuatan.

Sedangkan yang dalam bentuk sikap adalah ikhlas ketika menerima segala cobaan namun tidak kikir dan sombong ketika mendapatkan kebaikan. Ikhlas ketika berada di bawah, tidak sombong ketika berada di atas karena hanya Allah saja yang berhak sombong.

Jangan bersikap seperti yang disebutkan Allah dalam QS Al Ma'arij (70) ayat 19-21, ''Sesungguhnya manusia itu diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah. Dan apabila dia mendapat kebaikan di amat kikir.''

Barangkali ada baiknya kita merenung sejenak. Apakah selama ini kita sudah menunjukkan rasa syukur baik dalam konteks sebagai orang per orang maupun sebagai bangsa yang telah dilimpahi karunia dan nikmat yang demikian berlimpah? Wallahu a'lam bish-shawab.

(Waluyo Basuki )
Menghargai Waktu

Di antara keutamaan Nabi Muhammad SAW adalah selalu menghargai waktu. Berjalan dengan agak cepat adalah bentuk konsistensi beliau dalam mengatur waktu. Pernah suatu hari Abu Hurairah menirukan jalan Rasulullah SAW pada saat mengantarkan jenazah seseorang.

Apabila dia berjalan dengan langkah biasa maka Rasulullah SAW pasti mendahuluinya tapi apabila berjalan dengan setengah lari baru dapat bersamaan atau mendahului Rasulullah. Keutamaannya yang lain adalah Rasulullah SAW selalu menghormati orang lain dengan memperhatikan waktunya. Adalah selalu mengunjungi keluarganya seusai perjalanan jauh pada waktu pagi, karena beliau tidak suka mengakhiri perjalanannya pada malam hari ketika hendak pulang kepada keluarganya, bahkan untuk hal ini beliau sampai melarangnya.

Pada ayat-ayat Alquran, Allah SWT banyak menyinggung tentang waktu, termasuk bersumpah demi waktu dalam surah Al-Ashr [103] ayat 1. Pada surah tersebut, Alllah SWT Menekankan betapa pentingnya menghargai waktu dengan selalu beramal shaleh dan menjanjikan keberuntungan besar bagi yang mengamalkannya.

Perintah menghargai waktu lainnya adalah tersirat dalam waktu-waktu shalat yang telah Allah SWT tentukan. Selain merupakan bentuk kewajiban paling asasi, shalat dapat pula menjadi media pembelajaran bagi umat Muslim untuk menghargai dan menepatinya. Melalaikannya berarti gugur ibadah shalatnya dan berdosa. Pepatah arab mengatakan, ''Waktu bagaikan pedang yang apabila kita tidak menggunakannya dengan baik maka celakalah kita.''

Masih banyak tekanan-tekanan untuk menghargai waktu, karena waktu adalah aturan yang tidak tertulis dan barang siapa yang melalaikannya, selain kemudharatan, banyak hal yang menguntungkan kita tidak dapatkan. Dengan mematuhi waktu berarti menjalankan perintah Allah SWT dan Rasul-nya, kita pun mengetahui bahwa di balik perintah dan larangan-Nya ada hikmah dan pelajaran bagi kita. Sejatinya, waktu merupakan rambu-rambu kehidupan yang telah ditentukan oleh Sang Pencipta Alam berikut instrumen-instrumennya berupa waktu.

Sungguh bukan sikap seorang Muslim apabila mengenyampingkan waktu dengan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat padahal sebaik-baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan segala hal yang tidak berarti baginya. Perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat sama dengan tidak menghargai waktu dan sia-sialah hidupnya. Sedangkan waktu hidup kita di dunia hanyalah satu kali, apakah kita akan menyia-nyiakannya? Wallahu a'lam bish-shawab.

( Irman Sulaiman Fauzi )
Haji dan Lingkungan

Haji adalah ibadah yang punya kedudukan tinggi dalam Islam, sama seperti shalat dan puasa. Walau kewajiban melakukannya hanya bagi orang mampu, namun hukum haji adalah fardlu ain. Dikerjakan berpahala dan ditinggalkan berdosa. Bagi yang mampu dan dia dengan sengaja meninggalkan kewajiban haji, kemudian dia meninggal, dia akan dianggap sama dengan orang yang mati dalam keadaan memeluk agama Yahudi atau Nasrani.

Salah satu kekhasan ibadah haji adalah tidak bisa dilakukan di sembarang tempat seperti ibadah shalat dan puasa. Ibadah haji hanya bisa dilakukan di Tanah Suci Makkah yang terletak di Jazirah Arab negeri gurun pasir yang langka tanam-tanaman, hewan, dan air. Jazirah Arab juga tak punya sungai, danau, hutan, bahkan secuil padang rumput sekali pun.

Ketika seorang calon haji berniat dengan melafalkan Labbaik Allaahumma Umrotan atau Labbaik Allaahumma Hajjan, maka dia sudah menanggalkan pakaiannya sehari-hari. Artinya, dia sudah menyatu dengan alam lingkungan sebagaimana dahulu ketika dia baru dilahirkan.

Semenjak itu pulalah dengan mengharapkan haji mabrur, dan dengan kesadaran yang sangat tinggi, dia menjaga dirinya agar tidak melanggar paling tidak 11 larangan ihram atau mahzhurat. Tanpa merasa disuruh atau diawasi oleh aparat hukum apa pun.

Sebagian dari larangan itu bila ditelisik, mempunyai hubungan langsung dengan lingkungan hidup. Antara lain, jamaah haji dilarang membunuh binatang sekecil apa pun, juga dilarang membunuh atau memotong tanaman. Selain tentu saja, larangan hubungan seksual antara suami-istri, memakai sepatu, dan sebagainya. Waktu di mana semua jamaah haji berbarengan melakukan ritual haji adalah enam hari, dari 8 Dzulhijjah sampai dengan 13 Dzulhijjah, yaitu hari Tarwiyah, hari Arafah, hari Idul Adha, dan tiga hari tasyriq.

Bayangkan kalau seumpama semua penduduk bumi ini ikut melaksanakan ritual haji di tempat masing-masing, niscaya selama enam hari tidak akan ada hewan yang disembelih, tidak ada hewan langka seperti orang utan atau binatang yang dilindungi oleh undang-undang international yang diburu. Syariat mahzhurat ini lebih merupakan sinyal dari Allah sebagai Sang Pencipta alam agar manusia menjaga lingkungannya dan hidup secara harmonis dengan lingkungan sekitarnya.

Paling tidak semestinya setiap tahun ada dua juta orang yang pulang haji tidak akan menjadi pembalak liar dan pelaku illegal loging. maka sudah semestinya semua orang yang pernah haji akan menjadi penduduk bumi yang ramah terhadap lingkungan.

(KH A Cholil Ridwan )
Haji Mabrur

Ahlan wa sahlan! Selamat datang saudara-saudara yang telah selesai menunaikan ibadah haji. Hari-hari sekarang dan beberapa hari ke depan mereka kembali ke Tanah Air, berjumpa lagi dengan keluarga dan sanak famili, kerabat dan sahabat.

Teriring doa semoga menggapai haji mabrur. Amin. Mabrur, sebuah kalimat keramat, sakral, agung, dan terhormat. Haji mabrur merupakan obsesi, dambaan, cita-cita, dan puncak capaian setiap hamba Allah yang menunaikan ibadah haji. Hatta harus melalui sebuah usaha, proses yang berat dan melelahkan serta penuh perjuangan, bahkan kelaparan sekalipun seperti yang terjadi di Arafah dan Mina baru-baru ini.

Demi sebuah harapan dan cita-cita yang mulia, luhur, dan suci itu mereka rela berkorban dan mati (syahid). Persoalannya adalah, meminjam ungkapan Prof Dr H Nasaruddin Umar MA, sulit mengukur haji mabrur, namun untuk itu harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Karena, ia tidak bisa ditakar secara matematis, rasionalistis, tapi lebih ditentukan oleh value dan manifestasi serta aktualisasi diri dalam perilaku kehidupan sehari-hari.

Merujuk pada tuntunan Rasulullah SAW, ada tiga indikator haji mabrur. Pertama, memberi makan seseorang. Ini berarti seseorang yang memperoleh haji mabrur harus mampu membuktikan dirinya dalam wujud dan perilaku keseharian yang humanis, hidup sederhana, penuh kebersamaan, amat peduli terhadap keadaan dan nasib orang lain, terutama kaum dhuafa dan mustad afin. Rasulullah SAW pernah bersabda, tidak akan mencium bau surga orang yang perutnya kenyang sendiri sementara di sekitarnya menderita kelaparan.

Kedua, bertutur kata lemah lembut dan sopan. Ada sebuah ungkapan bijak bahwa keselamatan seseorang terletak pada kemampuannya memelihara lidah. Mulutmu adalah harimaumu. Karena akibat yang akan ditimbulkannya, baik dan buruk, positif negatif, untung rugi, hitam putih sesuatu banyak ditentukan oleh ucapan seseorang.

Seorang haji mabrur tentu dari mulutnya, akan keluar kalimat thayibah, kata-kata yang jujur, bijak, santun, tulus, dan menyejukkan serta bernilai. Tausiah atau nasihat yang berguna penuh pesona. Berucap yang baik, kalau tidak lebih baik diam sama sekali. Karena diam adalah emas.

Ketiga, menebar salam (perdamaian). Haji mabrur akan senantiasa merajut silaturahim, dan mempererat ukhuwah, memperkokoh persatuan dan kesatuan. Pendek kata, dalam diri mereka terkandung misi dan tanggung jawab menebar salam dan rahmat. Berjumpa dan berpisah dengan salam (rahmatan lil alamin). Selamat menjadi haji mabrur.

(Moersjied Qorie Indra )
Syahwat Politik

Tahta atau kuasa (al-jah) selalu diminati, bahkan diperebutkan oleh manusia sepanjang waktu. Alasannya, karena manusia mengira, dengan memiliki kuasa, ia akan menggapai apa saja yang menjadi keinginannya. Tak heran bila daya tarik (baca: syahwat) politik itu begitu tinggi. Menurut Imam Ghazali, syahwat politik itu jauh lebih besar ketimbang syahwat harta. Hal ini, menurutnya, disebabkan oleh tiga faktor.

Pertama, kuasa dapat mendatangkan harta. Dengan kuasa, manusia bisa menumpuk kekayaan. Tidak demikian sebaliknya. Diakui, untuk mencapai kuasa, manusia butuh harta, tetapi tidak setiap orang yang telah menghabiskan begitu banyak harta, dengan sendirinya ia mencapai tahta.

Kedua, kuasa menimbulkan efek popularitas yang luar biasa. Begitu seorang dinobatkan sebagai pejabat, demikian Ghazali, maka seketika itu ia akan menjadi masyhur di seluruh pelosok negeri. Dalam dunia modern, popularitas itu akan bertambah besar bila ia mampu memanfaatkan dukungan media massa.

Ketiga, pengaruh kuasa relatif lebih dalam dan tahan lama. Pada sebagian orang, pengaruh kuasa menimbulkan loyalitas yang sangat tinggi, bahkan kesetiaan sampai mati. Tidak demikian dengan pengaruh harta.

Kuasa sebagai sesuatu yang secara alamiah digandrungi manusia, tentu bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama. Setiap orang, demikian Ghazali, boleh mendapatkannya, asalkan dengan cara yang baik (halal) dan dipergunakan untuk kebaikan pula. Dalam hal ini, ada dua hal menurut Ghazali yang perlu diperhatikan.

Pertama, kita tak boleh mencapai tahta dengan cara-cara yang tidak halal, seperti menipu, berbuat curang atau menunjukkan kualitas agama dengan berpura-pura menjadi orang shaleh. Perbuatan yang terakhir ini dinilai Ghazali sebagai kejahatan besar (jarimah) terhadap agama.

Kedua, setelah mencapai kuasa, orang diminta agar bekerja keras dan menggunakan kuasa yang dimiliki untuk kesejahteraan rakyat. Di sini berlaku kaidah tasharruf al-imam manuth bi al-mashlahat (sepak terjang seorang imam harus relevan dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat).

Demi kesejahteraan rakyat, ia dituntut agar berbuat jujur dan adil, serta amanah. Inilah makna firman Allah, ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.'' (QS An-Nisa [4]: 58). Wallahu a'lam.

(A Ilyas Ismail )
Memaksimalkan Akal

Ada dua makna akal. Pertama, akal berarti pemahaman terhadap makna yang dikehendaki. Ia berfungsi menjelaskan semua urusan, baik berkenaan dengan masalah dunia maupun agama. Kedua, akal berarti pandangan mata batin dan pengetahuan terhadap mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan baik di dunia maupun di akhirat.

Setiap manusia yang mendapat perintah dan larangan dari Allah melalui para nabi dan kitab suci, berkewajiban menggunakan akalnya. Firman Allah SWT tentang kaum Tsamud berikut juga patut diperhatikan, ''Kaum Tsamud telah Kami beri petunjuk.'' (QS Fushshilat [41]: 17). Maksudnya, Allah telah menjelaskan kepada mereka sesuatu yang dapat mereka pahami dengan akal mereka. ''Tetapi, mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk itu.''

Orang yang berakal sehat pasti bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan akal itu, ia memikirkan semua urusan dunia, dari yang besar sampai yang kecil. Khalid ibn Shafwan berkata, ''Bila ada seseorang yang tidak bisa menjelaskan apa-apa, ia tidak ada bedanya dengan binatang ternak atau ia hanya berganti rupa.''

Sayangnya, kebanyakan orang kurang menggunakan akalnya untuk memahami urusan akhirat. Urusan dunialah yang menjadi kecenderungan umum dalam memorinya. Allah SWT berfirman, ''Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka pun mempunyai mata, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga, (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).'' (QS al-A'raf [7]: 179).

Banyak orang tersiksa secara tidak sadar dalam posisi ini, karena mereka sebetulnya berakal kalau saja mereka mau merenungkan semua ayat dan bukti yang menunjukkan bahwa Allah itu satu dan tidak ada sekutu bagi-Nya, yang mereka lihat dan dengar sebagai bukti keberadaan Allah. Tak heran bila kita mendapati Alquran selalu mengajak kita untuk memfungsikan akal.

Allah SWT berfirman, ''Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Langit bagaimana ia ditinggikan? Gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Bumi bagaimana ia dihamparkan?'' (QS Al-Ghasyiyah [88]: 17-20). Unta, langit, gunung, dan bumi disebutkan di ayat ini agar kita mau berpikir tentang ciptaan Allah dan memperhatikan lembaran alam semesta. Untuk kemudian, proses berpikir kita itu mengantarkan kita untuk memikirkan siapa yang telah menciptakan semua itu. Tidak heran bila berpikir kemudian bernilai ibadah. Wallahu a'lam bish-shawab.

( Syarif Hade Masyah )
Mati

Kematian adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan oleh manusia. Apa pun cara yang dilakukan, kematian akan tetap menghampirinya. Sekokoh apa pun bangunan yang dibuat, kalau sudah sampai waktunya, kematian pasti datang.

Tidak ada cara untuk menghadapinya, selain kepasrahan. Itulah ketentuan yang sudah ditetapkan di setiap pundak manusia. Jadi percuma saja lari dari kematian. Kemana pun larinya dan sejauh apa pun jaraknya, kalau sudah tiba masanya, setiap manusia akan tetap mati. Hanya ada satu kunci menghadapi kematian yaitu kepasrahan total menyambut kedatangnnya.

Kematian tidak hanya dialami oleh manusia. Binatang dan tumbuh-tumbuhan juga akan merasakan mati, sebagaimana mereka merasakan hidup. Lebih dari itu, makhluk yang tak kasat mata juga akan bernasib sama. Termasuk jin dan iblis, serta makhluk yang paling taat seperti malaikat. Semuanya akan mati.

Sebagaimana firman Allah SWT, ''Setiap yang bernyawa akan merasakan mati, kecuali yang mempunyai kemampuan menghidupkan dan mematikan. Dia akan tetap hidup dan selalu hidup, Dialah Allah, Tuhan seluruh alam.'' Menyikapi kenyataan ini, seharusnya manusia mempunyai kesadaran dirinya tidak mempunyai kekuasaan apa pun menghadapi ketentuan Ilahi. Dia hanya makhluk yang lemah, yang harus pasrah dengan kehendak sang Penguasa.

Manusia hanyalah makhluk kecil yang hidup di atas permukaan bumi. Lebih kecil lagi atau sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran alam raya ini. Dan tidak ada artinya sama sekali bila berhadapan dengan kebesaran Allah. Harta yang dimilikinya tidak berarti apa-apa bila dibandingkan dengan kekayaan Allah, kalau dia merasa kaya. Dia amat bodoh jika dibandingkan dengan kepandaian Allah, bila dia merasa pintar.

Kebanggaan-kebanggaan yang dimiliki akan lebur bila berhadapan dengan kebanggaan yang Allah miliki. Karena itu, tidak sepantasnya manusia menyombongkan diri di hadapan Allah dan juga makhluk-Nya.

Sebaliknya, manusia harus bersikap tawaduk dalam hidupnya. Menghindari sikap arogan dalam berkata dan bertindak dengan manusia. Berlaku lemah lembut pada setiap makhluk, sopan santun dalam bertutur, menyebarkan salam ketulusan, dan menyayangi setiap ciptaan Allah.

Bagaimana pun, manusia adalah makhluk yang lemah. Apa pun yang dimiliki tidak bisa membuatnya kuat. Kita tetap akan musnah bersama kebanggaan dan kekayaan yang dimilikinya.

Mengingat lemahnya manusia dan ketidakmampuannya menghadapi maut, manusia seharusnya memperkaya diri dengan amal kebaikan. Karena hanya amal baiklah yang dapat memberikan kebahagiaan pada kehidupan selanjutnya. Wallahu alam bish shawab.

(H Ahmad Fudholi )
Sabar Menerima Cobaan

Sabar adalah salah satu sendi dari keimanan kita sebagai seorang Muslim. Orang yang tidak memiliki kesabaran menunjukkan dirinya tidak memiliki keimanan. Kalaupun ia mempunyai iman, kualitasnya rendah (lemah), bahkan hampir mendekati titik nadir.

Di dalam jiwa manusia tersimpan dua kekuatan, yaitu kekuatan untuk maju (progresif) dan kekuatan untuk bertahan (defensif). Hakikat sabar di sini adalah menjadi kekuatan progresif yang digunakan untuk hal yang bermanfaat, serta kekuatan defensif yang mampu menahan dari hal-hal yang membahayakan.

Dengan sabar serta ketakwaan penuh kepada Allah SWT, soerang Muslim tidak dapat digoyahkan oleh tipu daya musuh yang hendak menghancurkan kita, sekalipun mereka memiliki kekuasaan yang kuat. Allah SWT berfirman, ''Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah SWT mengetahui apa yang mereka kerjakan.'' (QS Ali Imran [3]: 200).

Allah SWT telah menjadikan antara sabar dan kemenangan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Karena itu, Allah akan menguji hamba-Nya untuk membuktikan kualitas kesabaran yang dimiliki. Jika saat dilanda bencana, dia justru berpaling ke arah kekufuran, berarti orang seperti ini tidak mempunyai kesabaran yang luas dan kadar keimanannya sangat tipis. Sungguh merugi dia di dunia dan akhirat.

Namun sebaliknya, jika dia mampu bersabar terhadap cobaan yang diberikan Allah, maka dia termasuk orang-orang yang mendapatkan kemenangan di dunia dan akhirat, sukses dalam meraih kenikmatan lahiriah dan batiniah serta mendapatkan pahala yang besar.

Rasulullah SAW bersabda, ''Tiada seorang Muslim pun yang tertimpa musibah, lalu dia berkata sesuai petunjuk yang diperintahkan Allah, sesungguhnya kami milik Allah dan kepadanya kami kembali. Ya Allah, berilah aku pahala dalam musibahku dan gantilah bagiku dengan yang lebih baik daripadanya, melainkan Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik daripada musibahnya itu.'' (HR Muslim)

Janji Allah SWT kepada orang-orang yang memiliki sifat sabar adalah keberuntungan dengan surga dan keselamatan dari api neraka. Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka pada hari ini, karena kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang.'' (QS Al-Mu'minun [23]: 111). Semoga di tengah bencana yang bertubi-tubi menghampiri kita, kesabaran itu masih tetap menjadi milik kita.

(M Kamaluddin Al-Maulidy Abdullah )
Kesedihan

Setiap orang beriman pasti akan diuji Allah SWT dengan berbagai bentuk musibah dan pahitnya kehidupan. Karena di dalam setiap musibah ada mutiara hikmah. Ujian itu juga menjadi bukti ketulusan iman kita kepada Allah SWT.

Syahdan, Ibrahim bin Adham menjumpai seorang pria yang tengah muram. Ia lalu berkata, ''Aku tanya engkau dengan tiga hal, jawablah olehmu pertanyaan ini. Apakah sebuah benda di dunia ini akan bergerak apabila Allah SWT tidak menginginkannya? Apakah rezeki yang telah ditakdirkan Allah bagimu akan berkurang? Atau apakah ajalmu yang telah dituliskan oleh-Nya bisa dimaju atau dimundukan beberapa saat?''

Laki-laki itu menjawab, ''Tidak.'' Kemudian Ibrahim bin Adham berkata, ''Jadi, atas dasar apa kegelisahan dan kesedihan ini? Kalau rezeki, usia, dan kematian semuanya telah ditentukan Allah SWT, lantas atas dasar apa kita bersedih? Tidak ada alasan bagi kita bersedih dan berputus asa atas musibah yang menimpa. Karena musibah adalah mutiara yang mengandung sejuta hikmah bagi orang yang beriman.''

Seorang mukmin yang bijak menghadapi setiap musibah dengan sikap sabar dan berbaik sangka kepada Allah. Orang yang senantiasa bersabar, ketika ditimpa musibah tidak berputus asa dan jika mendapatkan kenikmatan tidak hanyut dalam kegembiraan yang berlebihan. Sedangkan sikap berbaik sangka pada Allah adalah modal untuk bangkit kembali dari keterpurukan dan semangat untuk mempersembahkan amal yang terbaik kepada Allah SWT.

Allah SWT menyebutkan perbedaan sikap yang sangat mencolok antara orang yang sabar dengan orang yang tidak sabar dalam menghadapi musibah dengan firman-Nya, ''Dan jika kami berikan rahmat kepada manusia, kemudian kami cabut kembali pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih. Dan jika kami berikan kepadanya kebahagiaan setelah ditimpakan bencana yang menimpanya niscaya dia akan berkata, telah hilang bencana itu dariku. Sesungguhnya dia merasa sangat gembira dan bangga. Kecuali orang-orang yang bersabar dan melakukan perbuatan shaleh, bagi mereka itulah ampunan dan pahala yang besar.'' (QS Hud [11]: 9-11).

Cobalah perhatikan kapal layar di lautan. Bukankah kapal layar membutuhkan angin untuk berlayar? Semakin kencang angin bertiup semakin terkembang layar, semakin kencang kapal berlayar. Begitulah suatu musibah bagi orang yang beriman. Semakin besar musibah yang menerpa, semakin besar keimanan dan kesabarannya dalam dada, semakin cepat kedekatannya kepada Allah SWT. Wallahu a'lam bish-shawab.

(Herman Hasan )

Lima Wasiat Abu Bakar

Sahabat Rasul SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq, berkata, ''Kegelapan itu ada lima dan pelitanya pun ada lima. Jika tidak waspada, lima kegelapan itu akan menyesatkan dan memerosokkan kita ke dalam panasnya api neraka. Tetapi, barangsiapa teguh memegang lima pelita itu maka ia akan selamat di dunia dan akhirat.''

Kegelapan pertama adalah cinta dunia (hubb al-dunya). Rasulullah bersabda, ''Cinta dunia adalah biang segala kesalahan.'' (HR Baihaqi). Manusia yang berorientasi duniawi, ia akan melegalkan segala cara untuk meraih keinginannya. Untuk memeranginya, Abu Bakar memberikan pelita berupa takwa. Dengan takwa, manusia lebih terarah secara positif menuju jalan Allah, yakni jalan kebenaran.

Kedua, berbuat dosa. Kegelapan ini akan tercerahkan oleh taubat nashuha (tobat yang sungguh-sungguh). Rasulullah bersabda, ''Sesungguhnya bila seorang hamba melakukan dosa satu kali, di dalam hatinya timbul satu titik noda. Apabila ia berhenti dari berbuat dosa dan memohon ampun serta bertobat, maka bersihlah hatinya. Jika ia kembali berbuat dosa, bertambah hitamlah titik nodanya itu sampai memenuhi hatinya.'' (HR Ahmad). Inilah al-roon (penutup hati) sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Muthaffifin (83) ayat 14.

Ketiga, kegelapan kubur akan benderang dengan adanya siraj (lampu penerang) berupa bacaan laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah. Sabda Nabi SAW, ''Barangsiapa membaca dengan ikhlas kalimat laa ilaaha illallah, ia akan masuk surga.'' Para sahabat bertanya, ''Wahai Rasulallah, apa wujud keikhlasannya?'' Beliau menjawab, ''Kalimat tersebut dapat mencegah dari segala sesuatu yang diharamkan Allah kepada kalian.''

Keempat, alam akhirat sangatlah gelap. Untuk meneranginya, manusia harus memperbanyak amal shaleh. QS Al-Bayyinah (98) ayat 7-8 menyebutkan, orang yang beramal shaleh adalah sebaik-baik makhluk, dan balasan bagi mereka adalah surga 'Adn. Mereka kekal di dalamnya.

Kegelapan kelima adalah shirath (jembatan penyeberangan di atas neraka) dan yaqin adalah penerangnya. Yaitu, meyakini dan membenarkan dengan sepenuh hati segala hal yang gaib, termasuk kehidupan setelah mati (eskatologis). Dengan keyakinan itu, kita akan lebih aktif mempersiapkan bekal sebanyak mungkin menuju alam abadi (akhirat). Demikian lima wasiat Abu Bakar. Semoga kita termasuk pemegang kuat lima pelita itu, sehingga menyibak kegelapan dan mengantarkan kita ke kebahagiaan abadi di surga. Amin.

(Nur Iskandar )
Regenerasi Kepemimpinan

Tatkala Umar bin Khattab RA dibai'at menjadi khalifah untuk menggantikan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, tugas besar utama yang ia lakukan adalah mengangkat Abu Ubaidah menjadi panglima perang. Penunjukan Abu Ubaidah yang menggantikan Khalid bin Walid itu terjadi ketika masih berlangsungnya peperangan Yarmuk melawan pasukan Romawi. Pergantian tersebut dilakukan ketika kaum Muslimin di bawah pimpinan Khalid sedang mengepung Kota Damsyik dan sudah hampir memenangi pertempuran.

Sejarah mencatat, sejak Khalid diangkat menjadi panglima perang pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, hampir seluruh pertempuran dimenangkannya. Namun, Umar mengganti Khalid yang merupakan sepupunya sendiri dengan Abu Ubaidah, setelah melihat fenomena umat yang mulai bergeser dari sudut ketauhidan dalam memandang Khalid. Dalam buku Al-Bidayah wan-Nihayah, Ibnu Katsir menjelaskan ketika berita dari Umar tentang pengangkatan Abu Ubaidah untuk menggantikan Khalid disampaikan, Khalid berkata kepada Abu Ubaidah, ''Semoga Allah memberi rahmat kepada Anda. Mengapa Anda tidak menyampaikannya kepada saya waktu berita itu Anda terima?''

Abu Ubaidah menjawab, ''Saya tidak ingin mengganggu Anda yang sedang berperang. Saya tidak mengharapkan kekuasaan, dan saya bukan bekerja untuk dunia. Saya tidak melihat ada yang akan hilang atau akan terputus, tetapi kita bersaudara. Apa salahnya orang digantikan oleh saudaranya sendiri dalam agama dan dalam dunianya.''

Beberapa hal dapat dipetik dari peristiwa tersebut. Pertama, sikap Umar mengganti Khalid bukanlah dilandasi karena kedengkian atau kebencian tetapi karena alasan akidah, sebagaimana perkataan Umar kepada Khalid yang terkutip dalam kitab shirah, ''Demi Allah wahai Khalid, sesungguhnya engkau sangat kumuliakan dan kucintai.''

Kedua, Abu Ubaidah tidak marasa congkak dan sombong setelah diangkat menjadi panglima, tapi malah sering meminta masukan kepada Khalid tentang strategi perang. Sedangkan Khalid tidak merasa rendah diri ketika jabatannya dicopot oleh Umar, bahkan turut mendoakan dan memberikan dukungan untuk Abu Ubaidah.

Ketiga, baik Khalid maupun Abu Ubaidah tetap mengedepankan hubungan persaudaraan. Keempat, orientasi tugas yang mereka lakukan bukan untuk sesuatu, melainkan karena Allah. Pada prinsipnya, jabatan adalah amanah. Betapa indahnya jika rasa tanggung jawab pada Allah itu dikedepankan dalam mengemban suatu amanah. Wallahu a'lam.

(Rahmaji Asmuri )
Berutang

''Hati-hati dengan utang, sesungguhnya berutang itu suatu kesedihan pada malam hari dan kerendahan diri (kehinaan) di siang hari.'' (HR Ahmad). Orang yang dibebani utang akan merasa hilang kebebasan yang dimilikinya. Dia akan selalu dibelenggu sebuah tuntutan untuk melunasi utang tersebut, pendapatan hasil kerja akan termakan olehnya, sehingga kita tidak lagi bebas membelanjakannya.

Rasulullah SAW bersabda, ''Janganlah kalian membuat takut jiwa selepas ketenangannya.'' Sahabat bertanya, ''Apa itu wahai Rasulullah?'' Beliau menjawab, ''Utang."

Utang ini pula yang telah membelenggu negeri ini, sehingga kita tidak memiliki kebebasan bertindak. Kebijakan-kebijakan pemerintah seringkali mendapat intervensi dari asing yang tiada lain adalah para pendonor kita. Karena itu, Rasulullah menganjurkan kepada umatnya untuk selalu berdoa meminta perlindungan Allah dari bahaya utang.

Namun dalam segi lain, Islam menganjurkan orang kaya untuk ringan tangan dalam memberikan utang kepada saudaranya yang sangat membutuhkan. Bahkan, Rasulullah mengungkapkan memberikan utang memiliki pahala lebih baik daripada bersedekah. Sebuah hadis Hasan menjelaskan, ''Utang itu pahalanya dua kali lipat daripada pahala sedekah.''

Dalam kisah perjalanan Rasulullah bersama malaikat Jibril pada malam Isra Mi'raj, tertulis di salah satu pintu surga kata-kata, ''Sedekah bersamaan 10 kali ganda dan utang bersamaan 18 kali ganda.''

Lalu baginda Nabi bertanya kepada Jibril, mengapa demikian? Jawab Jibril, ''Sedekah diberikan kepada seseorang, semua atau sebahagiannya. Sementara utang, orang tidak akan meminta berutang kalau tidak karena sebab yang mendesak.'' Hal ini sejalan dengan kehendak Allah seperti yang tercatat di dalam surah al-Maidah ayat 2, ''Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.''

Rasulullah SAW senantiasa mengingatkan kita akan bahaya berutang, karena ia akan mengikat kebebasan para pelakunya. Di samping itu, mereka yang meninggal dengan meninggalkan utang, arwahnya akan terkatung-katung di antara langit dan bumi hingga lunas utangnya.

Di sisi lain, kita dituntut selalu membantu saudara kita yang sangat memerlukan, baik bantuan secara materi maupun moril. wallahu a'lam.

(Nasher Akbar )
Shalat Berjamaah

Shalat berjamaah merupakan miniatur sistem kepemimpinan dalam kehidupan bermasyarakat. Di sana terdapat seorang imam sebagai pemimpin dan para makmum sebagai orang yang dipimpin.

Bagaimana kriteria imam? Nabi Muhammad SAW bersabda, ''Orang yang menjadi imam bagi suatu kaum ialah orang yang paling baik bacaan Alqurannya. Bila sama-sama baik bacaannya, diambil yang paling alim dalam bidang agama. Bila sama-sama alim, dipilih yang paling dahulu hijrahnya. Bila sama-sama terdahulu dalam berhijrah, maka dipilih yang paling tua umurnya.'' (HR Muslim).

Berdasar hadis di atas, setidaknya ada empat kriteria dasar yang dapat kita jadikan acuan dalam menetapkan seorang pemimpin. Pertama, orang yang paling baik bacaan Alqurannya diibaratkan dengan orang yang qualified dan kredibel terhadap apa yang dipimpinnya. Kepemimpinan tak akan berjalan baik manakala dijalankan oleh orang yang tak ahli dan tak mengerti permasalahan yang dipimpinnya.

Kedua, orang yang alim dalam bidang agama, diasumsikan dengan orang yang memiliki ilmu pengetahuan luas dan tidak terkungkung dalam kepemimpinannya. Pemimpin yang berwawasan sempit dan picik akan menimbulkan efek menyengsarakan orang yang dipimpin.

Ketiga, orang yang paling dahulu hijrahnya, dianalogikan sebagai orang yang melakukan reformasi. Karena makna hijrah dan makna reformasi sangat mirip, yaitu perubahan radikal dengan tujuan perbaikan dalam masyarakat.

Keempat, Orang yang paling tua usianya, diilustrasikan dengan orang yang berpengalaman. Kepemimpinan belum akan sempurna manakala dipimpin oleh orang yang belum berpengalaman.

Kriteria ini semakin kaya dengan tambahan syarat, bahwa seorang imam dalam shalat berjamaah, tidak boleh berbuat fasik (melakukan dosa besar). Analoginya dalam kepemimpinan masyarakat, seorang pemimpin tidak boleh melakukan hal-hal yang termasuk dalam kategori merugikan masyarakat, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan maksiat lainnya.

Ketika shalat berlangsung dan imam melakukan kesalahan, makmum harus mengingatkan dengan cara yang sudah diatur dalam ketentuan shalat. Artinya, pemimpin harus bersedia diingatkan. Ketika sang imam mengalami uzur (sakit atau -- maaf -- kentut) maka imam harus digantikan oleh orang yang berada persis di belakangnya. Karena itu, makmum yang berdiri persis di belakang imam haruslah seseorang yang juga memiliki kriteria imam.

Begitu pula dalam kepemimpinan, kita jangan hanya melihat orang nomor satunya saja, orang keduanya pun harus memiliki kualitas yang setara.

(Rahmaji Asmuri )
Manajemen Perut

''Tidaklah seorang manusia memenuhi suatu wadah yang lebih jelek dari perutnya sendiri. Cukuplah anak Adam itu makan supaya tegak tulang rusuknya. Maka, jika memang terpaksa, (isilah perutnya) sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk napasnya.'' ( HR Tirmidzi)

Semestinya kita makan atau minum hanya untuk memulihkan tenaga. Namun, seringkali hawa nafsu terlalu kuat mendominasi diri manusia sehingga nilai-nilai agama terabaikan. Akal sehatnya dikuasai syahwat yang menggebu-gebu hingga menyebabkan ia berlaku zalim terhadap perutnya sendiri dan ketentuan-Nya.

Memang benar sabda Rasulullah SAW di atas, perut berpotensi menjadi wadah paling buruk yang dimiliki manusia, jika tidak dikelola dengan pola makan yang benar. Dari sanalah muncul berbagai penyakit hati seperti malas, rakus, konsumtif, tamak, kikir, iri, dan dengki. Tak ketinggalan pula sederet penyakit fisik yang menyerang kesehatan manusia.

Sedikit di antaranya adalah penyakit jantung, obesitas, atau diabetes tipe dua. Nabiyullah Muhammad SAW telah menawarkan solusi bagi umat Islam khususnya, juga seluruh manusia pada umumnya. Cukuplah makan hanya supaya bertenaga kembali. Atau, jika keadaan terpaksa, diizinkan melebihi anjuran tadi dengan tetap memberikan ruang untuk bernapas. Jadi, makan tidaklah asal kenyang hingga perut mual dan bersendawa keras.

Alangkah indahnya tuntunan Rasul ini. Dan alangkah baiknya jika umat Islam mau membuka mata dan hatinya akan sunah beliau ini serta tidak memperturutkan gengsi belaka. Sebab, selama ini dapat kita saksikan banyak orang yang israf dalam makanan hanya demi menaikkan gengsi saja. Memesan makanan terlampau banyak, namun ternyata hanya dicicip saja. Berlebih-lebihan namun juga mubazir.

Bisa kita bayangkan gambaran umat Islam yang tidak berlebih-lebihan dengan hal-hal duniawi. Sehingga, melahirkan sikap ta'awun (tolong menolong), saling berbagi, serta berbelas kasih. Sebaliknya, sikap egoistis dan arogan akan memudar dan tenggelam.

Dari sini pula terlihat titik terang kehidupan manusia yang jauh dari kemiskinan, kelaparan, serta berbagai masalah himpitan ekonomi lainnya. Namun, selebihnya kembali pada diri kita masing-masing. Masihkah kita perturutkan hawa nafsu yang jelas-jelas menghancurkan? Wallahu a'lam bish-shawab.

( Ahmad Prasetyadi )