Minggu, 17 Juni 2007

KEUTAMAAN MEMELIHARA ANAK YATIM

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Sahl bin Sa’ad, berkata:

“Aku yang menanggung (memelihara) anak yatim dengan baik akan ada di surga bagaikan ini, seraya Beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, dan Beliau rentangkan kedua kaki jarinya itu” (HR. Bukhari).

Dalam bahasa yang berbeda, Nabi saw bersabda:

“Aku dan pemelihara anak yatim di surga (dekatnya) seperti dua jari ini [seraya Rasulullah mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah dengan posisi merenggang]” (HR. Bukhari).

Hadits di atas dengan tandas menggambarkan keutamaan memelihara anak yatim (kafil al-yatim), seolah-olah kelak di surga, antara anak yatim dan yang memeliharanya bagaikan dua jari yang saling berdekatan.

Hadits ini senada dengan firman Allah swt dalam surat An-Nisaa’ ayat 10:

“Katakanlah (muhammad)! Berbuat baik terhadap anak yatim itu lebih baik (khairun).”

Dan bagi mereka yang justru memakan harta anak yatim dengan cara-cara yang dzalim, maka kenistaan telah mengancamnya kelak.

“Orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan cara yang dzalim, maka (tak lain) mereka hanya memakan api neraka dalam perutnya.” (al-Baqarah/2: 177).

Asbab al-Nuzul (sebab turunya) ayat tersebut di atas berawal dari kebingungan sahabat dengan turunnya ayat 177 dalam surat al-Baqarah tersebut. Sebab, sebagian sahabat ada yang berprofesi sebagai wali anak yatim sekaligus sebagai pengelola harta mereka.

“Bagaimana kami tidak memakan harta mereka (anak yatim) ya Rasul, sedangkan kami berkumpul dengan mereka. Maka, kami pasti memakan sebagian harta mereka. Bila kami meninggalkan mereka niscaya hal itu akan menyulitkan mereka,” kata salah seorang sahabat menanggapi ayat tersebut, yang kemudian turunlah ayat 10 pada surat an-Nisaa’ di atas. (Tafsir Hasyiyah ash-Shawi:I/212-213).

Secara tidaklangsung, surat an-Nisaa’ ayat 10 itu ingin memberikan pesan moral yang tinggi, bahwa Allah swt memberi perintah untuk mengasihi dan menyayangi anak yatim dengan mengelola harta mereka.

Hal itu disebabkan sebagian orang yang meninggal ada yang meninggalkan anak lemah yang masih belum bisa mandiri. Karena itulah Allah swt sangat tegas pada orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan cara yang bathil. (Tafsir al-Maraghi:IV/191-192).

Kalangan madzhab Syafii menekankan bahwa mengembangkan harta anak yatim sesuai kemampuan pengelola hukumnya wajib. Kalangan ini memaknai kata khairun dalam an-Nisaa’:10 dengan meninggalkan ishlahun (berbuat baik) terhadap harta anak yatim bukan perbuatan terpuji.

Sementara kalangan Malikiah mengatakan bahwa memelihara harta anak yatimdengan segala cara wajib hukumnya. Sedangkan mengelola harta anak yatim dengan cara dikembangkan, hukumnya tidak wajib.

Dari dua pandangan tersebut dapat ditarik satu benang merah bahwa berbuak baik (ishlah) pada anak yatim adalah lebih baik (khair) daripada meninggalkan mereka dalam keadaan terlantar.

Lebih utama lagi, arti berbuat ishlah kepada anak yatim, tidak hanya berfokus pada pemenuhan materi duniawi saja dengan mengelola hartanya, tetapi lebih luas dari itu, yakni dengan cara memberikan kasih dan sayang, memenuhi kebutuhan pendidikan dan memperhatikan perkembangan jiwa (caracter building) mereka. Wallahu a’lam. []


Tidak ada komentar: