Minggu, 03 Juni 2007

Hadis Imam Abu Daud & Imam Muslim
7-2-2007

Oleh : Abdullah Ubaid Matraji

1). Bahz bin Hakim bin Mu`awiyah bercerita. Suatu ketika, kakeknya bertanya kepada Nabi saw. “Wahai Rasulullah, apa hak istri-istri kita, apa yang boleh kita perbuat dan apa yang dilarang?” Nabi menjawab, “Kamu berhak menggauli istrimu bagaimanapun cara yang kamu suka. Kamu memberi makan seperti yang kamu makan, memberi pakaian seperti yang kamu pakai. Jangan mencemooh muka istri dan jangan memukulnya. (HR. Abu Daud)

2). Jabir bin Abdullah berkata: bibiku diceraikan suaminya, ketika ia hendak keluar rumah untuk memetik buah kurma, ia dilarang seseorang karena (perempuan tidak boleh) keluar rumah. Kemudian ia menemui Nabi, menanyakan hal itu. Nabi SAW menjawab, “Ya silahkan pergi dan petiklah buah kurma, agar kamu bisa bersedekah dan berbuat baik kepada orang lain. (HR. Muslim).

=====

Wanita dijajah pria. Itulah adagium kuno yang masih melekat hingga kini. Tanpa disadari, pola pikir manusia seakan disetir, untuk meletakkan posisi wanita di bawah laki-laki. Wanita adalah manusia nomor dua yang harus patuh kepada manusia nomor satu, laki-laki. Keberadaan kaum hawa, distigmakan, tak lebih hanya sebagai pelengkap atau pemenuh kebutuhan kaum adam, lebih khusus soal birahi. Karena itu, perempuan kerap dicibir, dilecehkan, bahkan dinodai. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga pun menjadi perkara lumrah.

Rasulullah Muhammad menetang perbuatan ini. Di mata Nabi, perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki. Ia harus diperlakukan dengan baik dan tidak diperkenankan sekali-kali menggunakan cara kekerasan, baik secara fisik maupun psikologis, seperti terungkap dalam hadis pertama. Begitu pula dengan hak perempuan untuk mengakses ruang publik. Nabi tidak melarang.

Kejadian yang menimpa bibi Jabir bin Abdullah, dalam riwayat di atas, adalah contoh ketegasan dalam bersikap. Rasul tidak melarangnya, justru menganjurkan untuk keluar rumah dan memetik buah, meski dalam masa Iddah (menunggu setelah berpisah dengan suami). “Keluar rumah” dalam konteks ini adalah bekerja. Untuk apa? Membentuk kehidupan yang mandiri dan berdikari, tidak bergantung kepada laki-laki. Dengan begitu, perempuan dapat bersedekah dan berbuat baik kepada orang lain. [ ]

SUMBER: Syir’ah edisi 62/Februari 2007. Beredar Senin, 5 Februari 2007


Tidak ada komentar: