17-6-2007
Oleh : KH YUSUF CHUDLORY*
Pertanyaan:
Gus Yusuf yang semoga dalam kabar baik selalu, saya melihat di Ibukota sedang membangun selalu diwarnai dengan penggusuran terhadap pemukiman atau ruang usaha milik rakyat kecil. Di kota-kota lain juga terjadi, bahkan berujung ricuh. Kasihan sekali melihat orang-orang yang digusur itu.
Benar, di satu sisi kita membutuhkan pengembangan pembangunan Ibukota agar lebih indah atau untuk kepentingan fasilitas publik, namun di sisi lain harus diwarnai dengan tindakan yg menyakitkan rakyat kecil itu. Dari sudut pandang agama (Islam), sebetulnya hukum penggusuran itu bagaimana? Mohon penjelasan secukupnya. Terima kasih.
Abdul Salam Rifangi, Jakarta Selatan
Jawaban:
Bapak Abdul Salam yang terhormat, tidak bisa hanya satu sisi untuk melihat fenomena penggusuran di negeri tercinta Indonesia. Ada beragam kepentingan dan pertimbangan yang bisa menjalankan buldozer dalam meluluhlantakan bangunan pengganggu jalannya suatu proyek atau alasan-alasan lain, yang rata-rata bagi wong cilik masih dianggap belum berpihak kepada mereka.
Bicara soal penggusuran, tentu akan bicara mengenai soal tanah. Dalam hal ini ada beberapa dasar yang bisa kita jadikan pijakan. Di antaranya:
“Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan menjadi hak orang lain, maka dialah yang lebih berhak.” (HR. Imam Bukhari dari Aisyah)
“Siapa saja yang telah memagari sebiidang tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya.” (HR. Abu Daud)
“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati maka tanah itu adalah miliknya.” (HR. Imam Bukhari)
Berdasarkan tiga dalil ini dapat dikatakan bahwa siapa saja yang sudah menghidupkan tanah dengan mengolahnya sehingga berdaya guna maka ia berhak menjadi pemilik dari lahan itu. Negara hanya berhak untuk memberikan sertifikat atas kepemilikan tanah. Pemilik tanah berhak memperoleh manfaat tanah, mengelolanya, mendapatkan harga dari hasil penjualannya, melakukan pertukaran atas tanah tersebut, mewariskan kepada ahli warisnya, sebagimana kepemilikan-kepemilikan yang lain.
Negara sebagai pihak yang mengontrol aktivitas ekonomi warga negaranya akan memaksa para pemilik tanah untuk mengelola tanahnya secara optimal. Langkah yang dilakukan oleh negara adalah mengambil hak kepemilikan tanah apabila orang yang bersangkutan mengabaikannya selama tiga tahun. Tanah tersebut kemudian akan diberikan kepada pihak yang membutuhkan dan sanggup untuk mengelolanya. Dengan demikian, kepemilikan tanah pada hakikatnya tidak dibatasi waktu tertentu. Tanah masih berhak untuk dimiliki dengan segala hak-hak yang menyertainya selama yang bersangkutan mengelola sesuai dengan kegunaannya. Islam hanya membatasi jangka waktu penelantaran selama masa tiga tahun. System pencabutan hak kepemilikan dan jangka waktunya ini diambil dari hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini.
Umar bin Khaththab r.a. mengatakan: “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarnya) setelah (membiarkannya) selama tiga tahun.”
Pengambilan tanah yang ditelantarkan selama jangka waktu tiga tahun berlaku untuk semua jenis tanah pertanian baik yang diperoleh dari pembelian, waris, hadiah, pemberian negara maupun menghidupkan tanah mati. Hal ini karena illat (sebab hukum) dicabutnya tanah adalah penelantaran selama tiga tahun tanpa memandang tanah tersebut. Jadi, tiap pemilik tanah yang membiarkan tanahnya selama tiga tahun, maka tanahnya akan dicabut dan diberikan kepada orang lain, darimanapun asal pemilikan tanah tersebut.
Dari beberapa penjelasan ini maka apabila penggusuran itu dilakukan dengan melanggar kepemilikan warga maka, penggusuran itu jelas dilarang. Agama mengharamkan seseorang atau badan mengambil hak orang lain.
Namun, jika penggusuran itu dilakukan atas dasar hak, maka penggusuran itu dibolehkan. Meski demikian harus dilakukan dengan cara-cara yang santun tanpa merusak, apalagi menciptakan konflik sosial yang berkepanjangan.
Dalam hal ini perlu diciptakan mekanisme penggusuran yang ramah dan menumbuhkan empati dari semua pihak. Dan bagi pemerintah proses penggusuran itu tidak berhenti sampai di situ, tapi ia juga harus memikirkan pilihan lain bagi warga yang digusur. Tidak lepas tanggung jawab begitu saja tanpa diberi alternatif pilihan bagi warga tergusur.
Untuk itu baiknya kita renungkan satu hadis Nabi saw yang menyatakan: “Lihatlah (untuk masalah dunia) kepada orang-orang yang lebih rendah darimu, dan jangan kau melihat mereka yang lebih tinggi. Karena demikian itu (cara) yang lebih tepat untuk menghindari penghinaan terhadap nikmat Allah atasmu.”
*PENGASUH PONDOK PESANTREN ASRAMA PERGURUAN ISLAM TEGALREJO
MAGELANG JAWA TENGAH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar