Minggu, 03 Juni 2007

Ketika Hati Seorang Mukmin Mencair
17-4-2007

Oleh : AHMAD NURCHOLISH/SYIRAH

Dari Ibn Abbas secara marfu’, Rasulullah saw bersabda:

“Akan datang suatu masa di mana pada saat itu hati orang mukmin mencair bagaikan mencairnya garam di dalam air. Ada seorang yang bertanya, ‘Mengapa hal itu terjadi, wahai Rasulullah.’ Beliau menjawab, ‘Akibat ia melihat kemungkaran tetapi ia sendiri tidak mampu mengubahnya’.” (HR. Ibn Abi Dunya)

HADIS yang dapat kita jumpai dalam Ad Da’wad Dawa’, Al Jawabul Kafi Liman Sa’ala’anid Dawa’i Syafi’ karya Ibnu Qayyim al-Jauziah (h. 128) ini sengaja saya hadirkan disini, karena merupakan lanjutan dari Koleksi Hadits sebelumnya yang membahas tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Hadits di atas menggambarkan bagaimana mencairnya hati seorang mukmin oleh karena ia melihat kemungkaran, tetapi tak mampu berbuat apa-apa. Mencair bisa diartikan sebagai sebuah sikap yang tak mau ambil peduli, tak mau berbuat apa-apa, atau hendak melakukan sesuatu, tapi tak mampu melakukannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, betapa seringnya kita disuguhi beragam kemungkaran: dari kenakalan remaja, kekerasan mahasiswa (seperti terjadi di IPDN), narkoba yang tak terbendung alirannya, hingga hingar-bingarnya klub-klub malam, yang konon lebih mudah mendapat izin ketimbang mengurus perizinan pendirian tempat ibadah, terutama gereja.

Bagaimana melihat ini? Dalam kajian hadit terdahulu ada tuntutan untuk mengubahnya dengan tangan (perbuatan), jika tak mampu lakukan dengan perkataan, jika tak mampu cukup dengan (mengingkarinya dalam) hati. Yang terakhir ini ditengarai sebagai bentuk keimanan yang paling rendah.

Nah, hadis di atas sebenarnya hendak memperkuat hadis sebelumnya. Jika kita membiarkan begitu saja setiap kemungkaran yang terjadi di sekitar kita, itu pertanda hati kita telah mencair. Demikian kata Rasulullah saw.

Seringpula kita saksikan, ada sejumlah kelompok organisasi keagamaan yang dengan semangat jihad turun ke jalan menyusuri tempat-tempat maksiat, menyisir para “pelaku maksiat”, dan menghukumnya dengan cara mereka sendiri. Tak jarang, bahkan sering, cara-cara yang mereka pergunakan justru mencoreng nama baik Islam itu sendiri.

Mereka merusak tempat-tempat hiburan, melakukan kekerasan terhadap pelaku kemaksiatan, dan dampak lainnya adalah menimbulkan rasa ketakutan, ketidaknyamanan bagi masyarakat sekitar.

Secara teologis, sebenarnya kita bisa maklum, bahwa mereka tengah mengamalkan perintah dalam hadis-hadis sebagaimana kita bahas sebelumnya dan kali ini.

Tetapi di negeri ini juga punya aturan. Ada aparat yang berwenang untuk melakukan itu. Memang aparat pemerintah nampak kurang cekatan. Malah terkadang terlihat membiarkan berbagai bentuk kemaksiatan itu. Sehingga sebagian masyarakat menaruh curiga, aparat menjadi backing dari usaha maksiat itu. Benarkah? Wallahu a’lam.

Yang bijak, hemat saya, mari kita dorong akan berjalannya supremasi hukum di negeri ini, sehingga tak perlu lagi ada ‘polisi-polisi’ swasta yang dengan seenaknya melakukan pembrantasan kemaksiatan di sekitar kita.

Jika hukum benar-benar dijalankan, insya Allah masyarakat akan tenang, kehidupan menjadi tentram, damai dan sejahtera []


Tidak ada komentar: