Minggu, 03 Juni 2007

Pemimpin Yang Amanah
23-4-2007

Oleh : AHMAD NURCHOLISH

Dari Abu Hurairah ra. Nabi saw bersabda: “Apabila amanat telah disia-siakan maka tunggulah saatnya.” Ditanya orang: “Bagaimana sia-sianya, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Apabila suatu urusan telah diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat [kehancurannya].” (HR. Bukhari).

Alkisah, Abdullah bin Umar terkenal sangat tekun dalam beribadah. Kekhusukannya diakui oleh sahabat-sahabat serupa benar dengan salatnya Rasulullah saw.

Tetapi ketika amirul mukmin Umar bin Khaththab menderita sakit, dan membentuk satu komisi yang diketahui oleh Abdurrahman bin Auf untuk mencari Khalifah pengganti beliau, Abdullah bin Umar justru hanya diizinkan untuk menjadi pendengar saja saat komisi bersidang.

Seseorang mengusulkan agar anaknya itu turut dicalonkan pula untuk menggantikan Umar. Tetapi Umar menolak dengan keras. Bagi Umar, meski Abdullah, anaknya, tekun dan khusuk dalam beribadah, belum tentu ia akan sanggup memegang amanat pemerintahan.

Bahkan, Umar malah memanggil dan menasehati anaknya, Abdullah, agar selama hidupnya dia jangan menuntut amanah yang tidak bisa dipikulnya itu.

Abdullah bin Umar pun tahu diri, sehingga bertahun-tahun kemudian, setelah terjadi perang saudara di antara Ali dengan Mu’awiyah, karena Mu’awiyah hendak merebut hak kepemimpinan itu, Umar tak memihak salah satu pihak.

Tampaknya, Umar sangat memahami betul hadis di atas. Hadits yang terdapat dalam Shahih Imam Bukhari ini menjadi petunjuk bagaimana seorang muslim harus memberikan jabatan, kedudukan kepada mereka yang betul-betul memiliki keahlian tentang itu, juga dapat dipertanggungjawabkan keamanahannya.

Ibnu Taimiyah pun dalam kitabnya As-Siatusy-Syariyah mengatakan bahwa wajiblah atas penguasa menyerahkan suatu tugas dari tugas-tugas kaum muslimin kepada orang yang cukup untuk melaksanakan pekerjaan itu.

Dengan dasar itu, Hamka (1983:123 – 124) menekankan bahwa menjadi tanggungjawab bagi imam kaum muslimin meletakkan suatu amanat pada ahlinya, yang sesuai dengan kesanggupan dan bakatnya.

Bahkan, merujuk pada hadis di atas, Hamka juga melarang seorang pemimpin hanya mementingkan keluarga atau golongan, sedang mereka itu tidak ahli di bidangnya. Sebab itu adalah khianat kepada Allah dan Rasul serta orang yang beriman.

Bagi Hamka, menyia-nyiakan amanat adalah khianat. Mengkhianati amanat adalah salah satu karakter orang munafik. Menerima satu amanat untuk menghianatinya adalah satu penipuan.

Kata-kata amanat satu rumpun dengan kata aman. Kalau tiap orang memegang amanatnya dengan benar akan amanlah negeri dan bangsa ini.

Kata amanat juga bersaudara dengan iman. Iman kita pahami sebagai kepercayaan dan amanat ialah bagaimana melancarkan iman itu. Dan simpulan amanat ialah amanat Allah kepada insan manusia, agar mengikuti kebenaran yang dibawa oleh para Rasul.

Dalam konteks manusia sebagai khalifah (wakil/deputi) Allah, mulanya amanat itu pernah ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun semuanya menolak karena merasa berat memikulnya.

Maka tampillah insan (manusia) ini ke muka untuk memikul amanat itu. Sayangnya, manusia selalu abai, khianat, tidak bertanggungjawab dan tidak berterimakasih (QS. Al-Ahzab/33:72).

Oleh sebab itu, karena setiap kita adalah pemimpin (paling tidak pemimpin bagi keluarga, organisasi, atau diri sendiri), maka merefleksikan kembali hadis di atas merupakan langkah awal untuk merealisasikan keamanahan kita sebagai pemimpin. Wallahua’lam.[]


Tidak ada komentar: