Kamis, 31 Januari 2008

Siklus Sakit



Oleh : Haedar Nashir

Tuhan tak pernah membeda-bedakan orang sakit. Tak ada doa khusus untuk orang sakit kelas atas atau kelas bawah. Doanya sama yang itu-itu juga sebagaimana ajaran Nabi yang matsurah. Penyakit pun tak pernah cari-cari mangsa secara diskriminatif, kendati ada seloroh kalau wong cilik pada umumnya sakit gigi, sedangkan orang-orang ternama sakit jantung dan sejenisnya.

Sakit, sebagaimana sehat, juga lahir, hidup, dan mati, merupakan siklus hidup manusia yang niscaya. Tak ada orang yang selamanya sehat, bahkan bagi dokter sekalipun. Sakit dan sehat adalah siklus alamiah bagi setiap anak manusia.

Kalau terjadi perbedaan perlakuan orang terhadap siapa yang sakit sepenuhnya merupakan produk konstruksi sosial. Struktur dan situasi sosial sering kali memproduksi ketimpangan atau perbedaan, lebih-lebih di negara sedang berkembang dan bercorak patrimonial. Manakala orang-orang kecil sakit, tak ada publikasi, kecuali yang spesial sakitnya.

Berbeda jika yang sakit orang ternama atau public figure. Setiap detik ada neraca informasi perkembangan. Sakit menjadi isu publik yang meluas, tak jarang jadi konsumsi dan isu politik. Para tokoh dan handai tolan saling bersegera untuk menjenguknya.

Dalam sakit orang ternama bahkan dapat dibaca sosiogram, yakni relasi-relasi personal dan jarak sosial seberapa jauh derajat kedekatan dan hubungan antara yang dijenguk dan yang menjenguk lebih dari sekadar melaksanakan pesan agama dan kemanusiaan.

Biarlah konstruksi sosial berubah seiring dengan perkembangan dan kedewasaan masyarakat. Setiap orang selama menjadi manusia, akan terkena siklus sakit. Hewan dan tumbuhan pun demikian. Tak ada yang istimewa dengan sakit, kendati yang sakit diistimewakan banyak orang karena model perlakuan sosial.

Sakit punya siklus tertentu. Sakit akan selalu hadir bersama sehat dalam ritme yang tidak selalu linier, bahkan sering kali zig-zag. Kadang dokter ahli penyakit tertentu, tak jarang mengidap penyakit yang menjadi spesialisasinya. Itulah sakit sebagai bagian dari hidup, bukan peristiwa yang istimewa.

Karena itu jangan bermain-main dan mempermainkan sakit, apalagi menjadikannya sebagai komoditi dan siasat publik. Maka sungguh berani orang yang bermain-main dengan sakit, apalagi menjadikannya sebagai kiat menghindari jeratan hukum sebagaimana kecenderungan yang mulai dilakukan oleh para oknum pengacara di republik ini guna melindungi kliennya. Satu dua kali bisa dilakukan, tetapi selebihnya siapa yang kuasa melawan takdir atau siklus hidup yang niscaya seperti sakit?

Jangan pula berburuk sangka dengan orang sakit, bila perlu ikut mendoakan dan menjenguk sebagaimana kewajiban agama. Jika ada orang mengaitkan sakit seseorang dengan dosa dan kesalahannya, apalagi menganggapnya sebagai bala' dalam konotasi negatif, maka betapa semuci-nya orang itu.

Sikap semuci bukanlah watak orang beriman, bahkan boleh dikatakan memakai pakaian kebesaran Tuhan Yang Mahasuci. Semuci adalah simbol arogansi keagamaan, sekaligus kekerdilan mental. Orang zuhud dan wara', tidak akan menampakkan kesalehan dan kealimannya. Sikap semuci merupakan wujud ketakaburan.

Mengapa Doa Ditolak?


Oleh : M Subhi-Ibrahim

''Jangan salahkan Allah bila doa tak dikabulkan dan jangan pula menggerutu atau jemu,'' kata Abdul Qadir-Jailani dalam Mafatih al-Ghaib. Yang perlu dipertanyakan adalah mengapa doa kita tak terkabul? Ada dua sebab mengapa doa tertolak. Yaitu, pertama, tidak memperhatikan adab berdoa, baik adab lahir maupun adab batin.

Rasulullah SAW bersabda, ''Doa seorang hamba Allah tetap dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk suatu perbuatan dosa atau memutuskan silaturahim atau tak terburu-buru segera dikabulkan.'' Seorang sahabat bertanya, ''Wahai Rasulullah, apakah maksud terburu-buru?'' Rasulullah menjawab, ''Ia mengatakan, 'aku telah berdoa tapi aku tidak melihat doaku dikabulkan', sehingga ia mengabaikan dan meninggalkan doanya itu.'' (HR Muslim).

Ketika suatu doa tak segera menampakkan tanda-tanda terijabah, maka seharusnya seseorang tetap berbaik sangka kepada Allah SWT. Sebab, Allah SWT akan mengganti bentuk pengkabulan doa dengan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi si pemohon atau ditunda pengabulannya hingga hari akhirat dalam bentuk deposito pahala.

Kedua, perilaku buruk. Syaqiq al-Balkhi bercerita: ketika Ibrahim bin Adham berjalan di pasar-pasar Bashrah, orang-orang mengerumuni beliau. Mereka bertanya, mengapa Allah belum juga mengabulkan doa mereka padahal telah bertahun-tahun berdoa, serta bukankah Allah berfirman, ''Berdoalah kalian, maka Aku mengabulkan doa kalian.'' Ibrahim bin Adham menjawab, ''Hatimu telah mati dari sepuluh perkara.

'' Yakni, pertama, engkau mengenali Allah, tetapi tidak menunaikan hak-Nya. Kedua, engkau membaca kitab Allah, tetapi tidak mau mempraktikkan isinya. Ketiga, engkau mengaku bermusuhan dengan iblis, tetapi mengikuti tuntunannya. Keempat, engkau mengaku cinta Rasul, tetapi meninggalkan tingkah laku dan sunah beliau. Kelima, engkau mengaku senang surga, tetapi tidak berbuat menuju kepadanya.

Keenam, engkau mengaku takut neraka, tetapi tidak mengakhiri perbuatan dosa. Ketujuh, engkau mengakui kematian itu hak, tetapi tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Kedelapan, engkau asyik meneliti aib-aib orang lain, tetapi melupakan aib-aib dirimu sendiri. Kesembilan, engkau makan rezeki Allah, tetapi tidak bersyukur pada-Nya. Dan kesepuluh, engkau menguburkan orang-orang, tetapi tidak mengambil pelajaran dari peristiwa itu.

Menebar Salam


Oleh : Ummu Hasna Syahidah

''Sebarkanlah salam, hubungkanlah tali silaturahim, berilah makan dan dirikanlah shalat malam di saat manusia tertidur lelap. Niscaya kalian akan masuk surga dengan damai.'' (HR Al-Tirmidzi).

Ulama berbeda pendapat akan makna salam dalam kalimat assalaamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuhu. Sebagian ulama berpendapat, salam adalah salah satu nama dari nama-nama Allah sehingga kalimat assalaamu 'alaik berarti ''Allah bersamamu.'' Sebagian yang lain berpendapat makna salam adalah keselamatan sehingga maknanya, ''Keselamatan selalu menyertaimu.''

Nabi SAW sangat menganjurkan umatnya saling menebar salam, mengucapkan salam kepada sesama Muslim, baik yang belum dikenal maupun yang sudah dikenal.

Beliau juga mengatakan di salah satu hadis bahwa salah satu syarat agar dapat saling cinta-mencintai adalah dengan menebarkan salam, afsyu al-salam bainakum, demikian ungkap beliau. Dengan kata lain, Nabi SAW memerintahkan umatnya membangun dan menciptakan ''budaya salam'' dalam kehidupan sehari-hari.

Rasulullah SAW bersabda, ''Kamu sekalian tidak akan masuk surga sebelum beriman, dan kamu sekalian tidaklah beriman sebelum saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang apabila kamu kerjakan niscaya kamu sekalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di antaramu sekalian.'' (HR Muslim)

Kita dapat merasakan dan membuktikan betapa ucapan, assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu memiliki daya magnet yang luar biasa. Hati kita menjadi damai jika mendengar orang lain mengucapkannya, sekalipun salam itu tidak ditujukan kepada kita.

Tak heran, jika Nabi SAW sangat menganjurkan umatnya selalu mengucapkan salam secara sempurna, karena hal demikian akan mendapat pahala tiga puluh. Bahkan, secara etika dalam mengucapkan salam Nabi SAW memberikan bimbingan yang sangat konkret.

Seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, ''Hendaklah orang yang lebih kecil memberi salam kepada yang lebih besar darinya, orang yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan kaki, dan kelompok yang sedikit memberi salam kepada kelompok yang banyak.'' (Muttafaq 'Alaih).

Semestinya kita selalu bersemangat dalam melakukan kebaikan dan menghidupkan serta menyuburkan sunnah Rasulullah SAW. Menebar salam antarumat muslim adalah salah satu sunnah yang sangat dianjurkan Nabi SAW. Semoga dengan banyak menebar salam antarsesama muslim, rasa saling mencintai, mengasihi akan menjelma dalam kehidupan kita sehari-hari.

Ibrah Kematian


Oleh : Ali Farhan Tsani

Suatu ketika Abdullah bin Umar mendatangi majelis Rasulullah yang sedang berkumpul bersama sepuluh sahabat. Seorang sahabat Anshar di antara mereka bertanya, ''Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling cerdas dan pemurah itu?'' Beliau menjawab, ''Yaitu orang yang paling rajin mengingat kematian serta paling baik persiapannya dalam menghadapinya. Itulah orang cerdas yang akan memperoleh kehormatan di dunia dan kemuliaan di akhirat kelak.'' (HR Hakim, Thabrani, dan Tirmidzi).

Kemarin kita telah mendengar berita, menyaksikan melalui televisi, membaca di media massa, atau mungkin melihat langsung, seorang jenderal dan mantan presiden wafat dipanggil Allah SWT. Hari ini mungkin ada di antara saudara dan kerabat kita yang menyusul menghadap Sang Pencipta. Kemudian, kelak giliran kita yang akan menghadap Sang Khalik.

Walau kematian itu merupakan suatu yang ghaib, namun adalah suatu yang pasti terjadi menjemput setiap insan yang bernyawa. Malaikat Izra'il, sang pencabut nyawa, tidak pandang orang, apakah dia penguasa atau rakyat jelata, jenderal atau kopral, orang shaleh maupun penjahat, semua akan mendapat giliran.

Firman Allah SWT, ''Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memerdayakan.'' (QS Ali Imran [3]: 185).

Bagi mereka yang masih hidup, kematian seseorang merupakan ibrah (pelajaran) yang tak ternilai harganya. Pemimpin Muslim Umar bin Abdul Azis sering mengingatkan kaumnya, ''Tidakkah kalian mengambil ibrah dari kematian seseorang? Suatu pagi atau petang kalian ikut memandikan dan mengafankan seseorang? Menshalatkan, lalu kalian menempatkannya ke dalam liang lahat dan menjadikan tanah sebagai bantalnya?''

Imam Al-Qurthubi menjelaskan, ''Ingat mati dapat menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, melunakkan hati yang keras, menghapus kebanggaan terhadap dunia, dan meringankan masalah.''

Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kiamat kecil yang satu persatu dialami para pendahulu kita. Betapa hidup ini hanya sejenak saja, terlalu sayang bila disia-siakan dengan perbuatan yang tidak bermanfaat.

Memberi Maaf



Rabu, 30 Januari 2008


Oleh : Alwi Shahab

Islam mengajak manusia untuk saling memaafkan dengan memberikan posisi tinggi kepada si pemberi maaf. Karena, seperti dikemukakan oleh Alquran dan hadis Nabi, sifat pemaaf merupakan bagian dari akhlak luhur, yang harus menyertai seorang Muslim yang takwa. ''... dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.'' (Ali Imran 134). Nabi Muhammad SAW sendiri dikenal sebagai seorang yang pemaaf dan berlapang dada.

Hal ini dapat kita buktikan saat pembebasan Kota Makkah, ketika Nabi di hadapan orang-orang yang selama belasan tahun memusuhinya, bahkan berupaya untuk menghilangkan nyawanya. Kepada mereka Rasulullah berkata, ''Wahai orang-orang Quraisy. Menurut pendapat kamu sekalian, apa yang akan aku perbuat terhadap kamu sekarang?'' Jawab mereka, ''Yang baik-baik. Saudara yang pemurah, sepupu kami yang pemurah.'' Mendengar jawaban itu Nabi berkata, ''Pergilah kamu sekalian. Kamu sekarang sudah bebas!''

Dari peristiwa ini, kita melihat betapa luhur dan lapang dadanya Nabi dalam memberikan maaf justru terhadap mereka yang selama ini telah memusuhi, membenci, menghina, dan menyakitinya. Tanpa menunjukkan sedikit pun tanda-tanda kebencian maupun rasa ingin membalas dendam. Padahal ketika itu, seluruh pasukannya yang berjumlah sekitar 10 ribu orang siap melakukan apa saja yang diperintahnya, dan tinggal menunggu isyarat Beliau. Penulis sejarah Nabi Muhamaad SAW, Muhammad Husain Haekal, mencatat peristiwa penaklukan Makkah itu sebagai pengampunan umum (amnesti) massal pertama di jagad ini.

Pernah Rasulullah, sebagai seorang komandan, menata sendiri dan menyusun barisan dalam Perang Badar. Beliau mendatangi seorang prajurit yang berdiri agak ke depan dari barisan pasukan. Rasul menekan prajurit tersebut dengan tongkatnya agar dia mundur sedikit ke belakang, sehingga barisan menjadi lurus.

Prajurit itu berkata, ''Wahai Rasulullah, tongkat itu menyakiti perutku. Aku harus membalas!'' Rasulullah memberikan tongkatnya kepada prajurit itu seraya berkata, ''Balaslah!'' Orang itu maju ke depan dan mencium perut Nabi sambil berkata, ''Aku tahu, bahwa aku akan terbunuh hari ini. Dengan cara ini aku menyentuh tubuhmu yang suci.'' Belakangan dia menghambur ke depan, menyerang musuh dengan pedangnya, hingga syahid dalam Islam.

Sikap Nabi Muhammad SAW yang penyayang, penyantun, dan pengampun, menunjukkan bahwa beliau bukanlah manusia yang suka permusuhan. Dalam surah An-Nur ayat 22 Allah berfirman: ''... dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.'' Dalam Al-Baqarah ayat 237 yang artinya ''... dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa ...

Rabu, 16 Januari 2008

Hikmah Sakit



Thareq Barasabha

Islam adalah agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil 'alamin). Oleh karena itu, ajaran-ajaran Islam pun cocok untuk diterapkan dalam setiap bidang kehidupan manusia. Salah satu contohnya di bidang kesehatan. Islam mengajarkan kita untuk melakukan amalan yang dapat membuat tubuh kita sehat.

Banyak contoh yang dapat menunjukkan Islam mengajarkan kepada kita untuk hidup sehat, misalnya perintah mengonsumsi makanan yang halal dan thayyib (baik). Berbagai larangan yang ada dalam Alquran juga bermanfaat untuk mencegah diri kita dari penyakit. Salah satu contohnya larangan mengonsumsi minuman yang memabukkan, karena zat-zat berbahaya yang terkandung di dalamnya tidak hanya merusak fisik seseorang, tetapi juga mentalnya.

Keadaan sehat merupakan karunia dari Allah SWT yang harus kita syukuri. Jangan sampai dengan karunia sehat tersebut, kita malah menjadi lupa dan jauh dari mengingat Allah SWT.

Namun, tidak sepanjang hidup kita bisa merasakan kesehatan. Allah SWT dapat memberikan kondisi sakit kepada kita sewaktu-waktu. Sakit dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan perubahan atau gangguan nyata terhadap kerja tubuh yang normal.

Orang yang sakit memang dianjurkan berikhtiar dengan cara konsultasi ke dokter atau tenaga ahli medis lainnya. Tetapi, kita harus menyadari bahwa segala sesuatu tentunya berdasarkan atas kehendak Allah SWT.

Dalam Alquran surat Asy-Syu`araa ayat 79-80 diceritakan bahwa Nabi Ibrahim AS berkata, ''Dan Tuhanku, yang Dia memberi makan serta minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang Menyembuhkan aku.''

Mungkin sakit dapat dikatakan sebagai ujian dari Allah SWT terhadap keimanan manusia, supaya manusia dapat menghadapinya dengan sabar dan memohon perlindungan kepada-Nya. Sakit bisa juga dianggap sebagai peringatan dari Allah SWT kepada hamba-Nya, agar manusia kembali ingat kepada Allah SWT.

Tetapi, ada sisi lain dari sakit yang patut disyukuri jika kita ikhlas menerima cobaan tersebut. Aisyah pernah meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak ada musibah yang menimpa diri seorang Muslim, kecuali Allah mengampuni dosa-dosanya, walau sakitnya karena tertusuk duri sekalipun.'' (HR Bukhari).

Sayangnya, tidak semua orang memahami makna sehat dan sakit. Padahal, Allah SWT selalu menciptakan sesuatu lengkap dengan hikmah atau pelajaran yang terkandung di dalamnya. Yang perlu kita lakukan ialah mencari hikmah dari keadaan sehat dan sakit yang kita jalani, sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wallahu a'lam bish-shawab.

Usia di Dunia



Oleh : Muhamad Abduh

Naluri dasar setiap manusia adalah ingin merasakan kenikmatan dan kesenangan dalam hidup ini selama mungkin. Kita tak pernah berhenti mencari cara agar kenikmatan tersebut tidak hilang dari diri kita.

Namun, kebanyakan kita telah lupa, bahwa bukanlah kehidupan di dunia yang menjadi tujuan akhir dalam kehidupan, akan tetapi kehidupan yang kekal nanti di akhirat. Kehidupan di dunia ini hanyalah sekejap mata saja, sehingga jika usia ini tidak dipergunakan sebaik mungkin untuk beramal, maka penyesalan kita yang akan tertinggal.

Allah SWT berfirman, ''Dia (manusia) mengatakan, 'Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini'. Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya. Dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya.'' (QS Alfajr [89]: 24-26) Sungguh usia kita di dunia tidak berarti sama sekali jika dibandingkan dengan kehidupan yang akan kita jalani di akhirat nanti. Allah SWT berfirman, ''Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?'' (QS Albaqarah [2]: 28).

Perhatikanlah dua kehidupan yang serupa tetapi berbeda itu, kehidupan di dunia, dan kehidupan di akhirat. Jika kita melihat usia terpanjang umat Muhammad SAW, maka kehidupan di dunia ini mungkin akan dirasakan sampai 120 tahun saja, akan tetapi kehidupan di akhirat itu kekal abadi, atau tidak terhingga oleh hitungan waktu.

Maka, jika berdasarkan kaidah ilmu matematika, suatu nilai berapapun jika dibandingkan dengan nilai tak berhingga hasilnya adalah nol. Dari sini dapatlah kiranya kita yakinkan bahwa kehidupan di dunia yang rata-rata dinikmati selama 63 tahun, tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan kehidupan di akhirat yang kekal. Nilainya adalah NOL besar. Wallahu a'lam.

Al-Amin



Oleh : Ahmad Rifa'i

Al-amin secara bahasa berarti yang setia, jujur, dan tepercaya. Seorang pemimpin yang mempunyai sifat ini ketika menerima tugas akan menjalankannya dengan jujur dan penuh dedikasi. Sifat seperti ini muncul pada orang yang selalu melihat tugas dan jabatan itu sebagai amanah dari Allah. Ia meyakini amanah itu akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat.

Setiap manusia terlahir sebagai pemimpin. Rasulullah bersabda, ''Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin itu akan ditanya tentang yang dipimpinnya.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Kita tentu kenal Umar bin Khathab. Ia adalah salah seorang khalifah yang sangat terkenal dengan kejujuran dan kehebatannya dalam memimpin. Kehidupannya sangat sederhana. Seorang utusan dari Persia bahkan sempat kesulitan mengenalinya. Waktu itu ia mendapati Umar RA tidur di bawah pohon beralaskan tanah tanpa pengawalan. Tak tampak darinya kemewahan apalagi atribut seorang raja dan pemimpin dunia.

Tak jauh beda dengan cucunya, Umar bin Abdul Aziz. Khalifah yang memerintah pada era Daulah Umawiyyah ini terkenal sangat jujur. Ia sangat takut menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadinya. Ia rela berbincang dengan putranya dalam keadaan gelap gulita daripada menggunakan lampu dan minyak milik negara.

Begitulah cara seorang yang amin (jujur dan tepercaya) dalam menjalankan tugas. Ia melihat jabatan merupakan amanah yang sarat peluang. Bukan peluang untuk menumpuk harta dan memperkaya diri. Tapi, peluang untuk mempermulus terlaksananya tugas utama sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi ini. Melalui jabatannya, ia tebarkan nilai-nilai keadilan di tengah masyarakat.

Pemimpin seperti ini akan menjadi panutan dan selalu dicintai rakyatnya. Masyarakat akan merasa tenang di bawah kepemimpinannya. Di akhirat kelak ia akan mendapat penghargaan khusus dari Allah. Dalam sebuah hadis disebutkan: ''Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan di sisi Allah di saat tidak ada naungan kecuali naungan dari Allah, salah satu di antaranya adalah pemimpin yang adil.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Lawan al-amin adalah khianat. Cara memimpin pemimpin khianat penuh kecurangan, tidak amanah, dan jauh dari nilai-nilai keadilan. Mereka tidak peduli dengan jeritan rakyat yang dipimpinnya.

Di akhirat kelak mereka akan menuai kesengsaraan. Rasulullah bersabda, ''Tidaklah seorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya maka diharamkan baginya surga.'' (Bukhari dan Muslim). Sudahkah kita memiliki kesiapan mempertanggungjawabkan amanah yang dipikulkan kepada kita?

Rabu, 09 Januari 2008

Rotasi Hidup



Oleh : Yunan Nasution

Adanya pergantian dalam kehidupan ini merupakan harga yang tidak bisa kita tawar. Ada kehidupan tentunya ada kematian, terangnya siang akan diganti dengan gelapnya malam, ada kalanya kita berada pada posisi yang kita kehendaki tapi adakalanya juga kita harus siap berada pada kondisi yang tidak kita harapkan.

Hal tersebut merupakan wewenang dan hak prerogatif Allah SWT sebagai pengatur jalannya roda kehidupan manusia di muka bumi ini karena tidak seorang pun yang bisa menafikan itu semua. Sebagaimana disinggung dalam firman-Nya, ''Engkau (Allah) masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukan siang ke dalam malam. Dan Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup ...'' (QS Ali-Imran [3]: 27).

Lebih lanjut Allah SWT menyatakan, ''Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) [Ali-Imran 3:140]. Ayat tersebut mengisyaratkan kita harus cerdas dalam menilai setiap pergantian yang pada hakikatnya sudah ada dalam skenario-Nya.

Masih banyak manusia yang tidak menyadari arti dari sebuah pergantian dalam hidup. Seringkali kita berontak ketika pergantian tersebut tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Padahal, ibroh (pelajaran) di balik itu semua adalah sebagai ujian bagi kita sudah sampai sejauhmana keimanan kita terhadap Allah seperti disinggung pada ayat di atas. ''Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan ''kami telah beriman'', sedangkan mereka tidak diuji?'' (Al-Ankabut 29:2).

Ujian tersebut tidak hanya diberikan untuk sebagian orang atau sekelompok kalangan, tapi mencakup semua manusia dan umat Islam khususnya. ''Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.'' (QS Al-Ankabut [29]: 3)

Tak ada yang kekal di dunia ini, selain perubahan itu sendiri. Maka, tawakal dan ikhlas adalah hal utama yang harus dipegang setiap individu. Bertawakal, lalu mengerjakan segala urusan dengan sungguh-sungguh, dan ikhlas terhadap apa yang akan datang dan pergi. Karena dunia hanya tempat 'mampir' semata.

Hujan


Oleh : Arda Dinata

Allah SWT berfirman, ''Ingatlah ketika ia membuat kamu mengantuk untuk memberi ketenteraman dari pihak-Nya kepada kamu. Dan menurunkan hujan kepadamu dari langit guna membersihkan dirimu dengan itu, dan menghilangkan noda setan, memperteguh hatimu dan menapakkan kakimu kuat-kuat.'' (QS al-Anfal [8]: 11).

Ayat di atas sangat inspiratif akan pentingnya hidup tenteram. Seperti datangnya kantuk yang bikin manusia cepat tertidur. Begitupun ketika setelah sekian lama kita merasakan musim kemarau, lalu Allah SWT menurunkan hujan. Sungguh itu nikmat yang menyejukkan dan menenteramkan penghuni bumi. Turunnya hujan ini dapat membersihkan manusia dari berbagai polutan atau kotoran yang menempel selama ini. Sebab, air itu adalah zat pelarut yang sangat baik. Diketahui, satu molekul air terdiri atas satu atom oksigen yang besar (bermuatan positif) ditempeli dua atom hidrogen yang kecil (bermuatan negatif). Karenanya, bagian oksigen molekul air tersebut masih dapat menarik atom hidrogen dari molekul air lainnya, termasuk zat-zat kimia lain.

Selain sebagai pelarut yang baik, air juga termasuk makanan yang sangat penting bagi manusia, setelah oksigen dari udara untuk bernapas. Faktanya, tiap bagian tubuh manusia mengandung air --tulang 25-30 persen, kulit 70 persen, gigi 19 persen, otot 75 persen, jaringan syaraf 85 persen, dan darah 92 persen. Begitu pula halnya agar kita terlindung dari godaan setan dan untuk menyucikan diri, kita diperintahkan berwudlu menggunakan air. Tujuannya, agar kita ada dalam keadaan bersih dan suci sewaktu mendirikan shalat atau mengkaji ayat-ayat Alquran.

Lebih dari itu, yang pasti air yang turun dari langit adalah air yang bersih dan berguna menyuburkan tanah, untuk memberi minum kepada sebagian besar makhluk hidup, seperti yang tersirat dalam QS Al-Furqan [25]: 48-49, ''Dan Dialah yang mengirimkan angin sebagai kabar gembira yang mendahului rahmat-Nya, dan Kami menurunkan air yang bersih dari langit. Dengan itu Kami hidupkan negeri yang sudah mati, dan Kami beri minum segala yang Kami ciptakan, hewan ternak dan manusia yang banyak.''

Jadi, sesungguhnya Allah SWT menurunkan hujan itu sebagai rahmat. Tak layak bagi kita untuk menggerutu bila hujan datang. Bila kemudian di beberapa daerah ada terjadi bencana banjir, semata-mata adalah akibat rusaknya alam pelindung air oleh tangan-tangan manusia yang serakah. Hujan, sejatinya, adalah bahan perenungan yang baik bagi kita.

Ikhsan


Oleh : Juman Rofarif

Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW mendapat pelajaran penting tentang makna iman, Islam, dan ikhsan dari Malaikat Jibril yang mendatangi beliau dengan menjelma menjadi manusia biasa.

Secara berurutan, Nabi menjawab pertanyaan ujian Malaikat Jibril. Apa yang disebut iman? Nabi menjawab, ''Iman adalah engkau percaya kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab Allah, percaya akan adanya perjumpaan dengan Allah, percaya kepada para rasul, dan percaya adanya hari kebangkitan.'' Apa yang disebut Islam? Nabi menjawab, ''Islam adalah engkau menghamba kepada Allah dan tidak menyekutukannya, melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, dan puasa di bulan Ramadhan.''

Apa arti ikhsan? ''Engkau beribadah kepada Allah dengan kondisi seolah-olah engkau melihatnya dengan mata. Jika tidak, yakinilah bahwa Allah sedang melihatmu,'' demikian jawab Nabi. (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Iman, Islam, dan ikhsan adalah satu kesatuan komponen agama Islam yang tak terpisahkan. Ketiga komponen tersebut seharusnya terintegrasi secara berimbang dalam keberislaman seorang Muslim. Dan pengurutan seperti itu bukanlah kebetulan. Iman didahulukan karena ia adalah pokok dari Islam.

Selanjutnya, iman di dalam hati menjadi tidak bermakna jika tidak dimanifestasikan dalam tindakan nyata, yang diimplementasikan dalam Islam. Agama Islam pada diri seorang Muslim harus dibenarkan dengan hati (iman) dan dipraktikkan dengan perbuatan (Islam). Dan ikhsan adalah penyatuan dari iman dan Islam. Artinya, seseorang tidak akan bisa melihat Allah SWT, jika tidak percaya akan Mahawujud-Nya, serta tidak mengamalkan apa yang menjadi perintah dan larangan-Nya. Ikhsan bisa diraih jika iman dan Islam telah menjadi satu kesatuan tak terpisahkan dalam diri seorang Muslim. Sebab, iman tidak bermakna tanpa Islam. Dan Islam tanpa iman akan rapuh.

Namun, ada sebagian ulama yang mendahulukan Islam, kemudian iman, dan ikhsan. Alasannya adalah karena Islam adalah amalan lahir yang rasional, sedangkan iman adalah amalan batin yang suprarasional. Dan ikhsan adalah puncak pencapaian dari keduanya dan melampaui keduanya. Kenapa ikhsan diakhirkan? Hal itu menjadi isyarat bahwa ia adalah hal yang sulit dilakukan. Jika Islam terbatas pada lahiriah, iman terbatas pada batiniah, maka ikhsan tidak terbatas pada keduanya, karena berusaha memfokuskan kesadaran kita akan Allah SWT setiap saat.

Pembaruan Niat


Oleh : Mohammad Zakki Azani

''Sesungguhnya amalan itu bergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya (akan diterima) sebagai hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang hendak dinikahinya, maka ia akan mendapati apa yang ia inginkan.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Makna niat adalah pendorong kehendak manusia untuk mewujudkan suatu tujuan. Seorang mukmin yang baik, pendorongnya hendaklah mementingkan apa yang ada di sisi Allah SWT daripada yang ada di sisi manusia. Ia menjadikan niat, perkataan, dan amalnya hanya untuk Allah semata.

Allah berfirman, ''Katakanlah, sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama menyerahkan diri (kepada Allah).'' (QS Al An'aam [162]: 162-163). Sesungguhnya kita setiap hari minimal 17 kali dalam shalat selalu membaca kalimat-Nya pada ayat yang di atas, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbarui niat kita.

Allah SWT berfirman tentang setiap amal yang dimaksudkan untuk selain Allah bagaikan debu-debu yang beterbangan. ''Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan. (Al-Furqan [25]: 23). Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh, Umar bin Khathab berkata, ''Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, 'Di antara manusia ada orang-orang yang memiliki niat yang tinggi nilainya, sementara ada pula yang memiliki niat yang rendah, hingga ada kalanya dua orang yang mengamalkan suatu bentuk amalan yang sama dari awal, pertengahan, bahkan sampai akhir pelaksanaannya, sama gerakannya, perbuatannya, ataupun diamnya dan juga bacaannya, namun hasilnya berbeda jauh, sejauh antara langit dan bumi. Yang demikian ini disebabkan perbedaan niatnya'.''

Walhasil, setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan: jika Anda berniat karena Allah dan untuk negeri akherat dalam amalan menjalankan syariat, maka Anda akan mendapatkannya. Namun, jika Anda berniat untuk dunia, maka kadang dapat dan terkadang Anda tidak dapat. Mari kita jadikan tahun Hijriyah 1429 sebagai tahun pembaharuan niat menuju jalan ridha-Nya.

Minggu, 06 Januari 2008

Hujan



Oleh : Arda Dinata

Allah SWT berfirman, ''Ingatlah ketika ia membuat kamu mengantuk untuk memberi ketenteraman dari pihak-Nya kepada kamu. Dan menurunkan hujan kepadamu dari langit guna membersihkan dirimu dengan itu, dan menghilangkan noda setan, memperteguh hatimu dan menapakkan kakimu kuat-kuat.'' (QS al-Anfal [8]: 11).

Ayat di atas sangat inspiratif akan pentingnya hidup tenteram. Seperti datangnya kantuk yang bikin manusia cepat tertidur. Begitupun ketika setelah sekian lama kita merasakan musim kemarau, lalu Allah SWT menurunkan hujan. Sungguh itu nikmat yang menyejukkan dan menenteramkan penghuni bumi. Turunnya hujan ini dapat membersihkan manusia dari berbagai polutan atau kotoran yang menempel selama ini. Sebab, air itu adalah zat pelarut yang sangat baik. Diketahui, satu molekul air terdiri atas satu atom oksigen yang besar (bermuatan positif) ditempeli dua atom hidrogen yang kecil (bermuatan negatif). Karenanya, bagian oksigen molekul air tersebut masih dapat menarik atom hidrogen dari molekul air lainnya, termasuk zat-zat kimia lain.

Selain sebagai pelarut yang baik, air juga termasuk makanan yang sangat penting bagi manusia, setelah oksigen dari udara untuk bernapas. Faktanya, tiap bagian tubuh manusia mengandung air --tulang 25-30 persen, kulit 70 persen, gigi 19 persen, otot 75 persen, jaringan syaraf 85 persen, dan darah 92 persen. Begitu pula halnya agar kita terlindung dari godaan setan dan untuk menyucikan diri, kita diperintahkan berwudlu menggunakan air. Tujuannya, agar kita ada dalam keadaan bersih dan suci sewaktu mendirikan shalat atau mengkaji ayat-ayat Alquran.

Lebih dari itu, yang pasti air yang turun dari langit adalah air yang bersih dan berguna menyuburkan tanah, untuk memberi minum kepada sebagian besar makhluk hidup, seperti yang tersirat dalam QS Al-Furqan [25]: 48-49, ''Dan Dialah yang mengirimkan angin sebagai kabar gembira yang mendahului rahmat-Nya, dan Kami menurunkan air yang bersih dari langit. Dengan itu Kami hidupkan negeri yang sudah mati, dan Kami beri minum segala yang Kami ciptakan, hewan ternak dan manusia yang banyak.''

Jadi, sesungguhnya Allah SWT menurunkan hujan itu sebagai rahmat. Tak layak bagi kita untuk menggerutu bila hujan datang. Bila kemudian di beberapa daerah ada terjadi bencana banjir, semata-mata adalah akibat rusaknya alam pelindung air oleh tangan-tangan manusia yang serakah. Hujan, sejatinya, adalah bahan perenungan yang baik bagi kita.

UJIAN


Oleh : Aang Gunawan

Hidup di dunia laksana sebuah diklat atau sekolah. Untuk melangkah dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi harus melalui serangkaian ujian. Ujianlah yang akan membuktikan sejauh mana kebenaran, dan kesungguhan keimanan kita (QS Al Ankabut [29]: 2-3).

Betapa pentingnya ujian bagi orang beriman sampai-sampai Allah memberikan sindiran kepada orang yang ingin masuk surga tanpa melewati ujian yang berat. ''Apakah kalian mengira akan masuk surga sedangkan belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, 'Bilakah datangnya pertolongan Allah?' Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.'' (QS Al-Baqarah [2]: 214).

Ada empat macam ujian yang Allah berikan kepada orang beriman. Pertama, ujian yang berbentuk perintah. Contoh paling ekstrem adalah perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya yang sangat ia cintai. Kedua, adalah ujian berbentuk larangan. Contohnya adalah apa yang terjadi pada Nabi Yusuf yang diuji dengan seorang perempuan cantik, istri seorang pembesar Mesir yang mengajaknya berzina.

Ketiga, adalah ujian yang berbentuk musibah, seperti terkena penyakit serta ditinggalkan orang yang dicintai. Nabi Ayub diuji Allah dengan penyakit yang sangat buruk sehingga tidak ada sebesar lubang jarum pun dalam badannya yang selamat dari penyakit itu selain hatinya. Delapan belas tahun lamanya ia menanggung penyakit itu.

Keempat adalah ujian melalui pihak ketiga. Apa yang dialami oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya terutama ketika masih berada di Makkah kiranya cukup menjadi pelajaran bagi kita, betapa keimanan itu diuji dengan berbagai cobaan berat yang menuntut pengorbanan harta benda bahkan nyawa.

Rasulullah bersabda, ''Sesungguhnya besarnya pahala sesuai dengan besarnya cobaan (ujian), Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai satu kaum Ia akan menguji mereka, maka barangsiapa ridha baginyalah keridhaan Allah, dan barangsiapa marah baginyalah kemarahan Allah.'' (HR At-Tirmidzi).

Mudah-mudahan kita diberikan ketabahan dan kesabaran oleh Allah dalam menghadapi setiap ujian yang diberikan oleh-Nya. Alangkah ruginya orang yang berputus asa dengan ujian yang dihadapinya, tanpa mampu meneladani para nabi dan orang-orang saleh ketika mereka diuji oleh Allah.