Kamis, 31 Januari 2008

Siklus Sakit



Oleh : Haedar Nashir

Tuhan tak pernah membeda-bedakan orang sakit. Tak ada doa khusus untuk orang sakit kelas atas atau kelas bawah. Doanya sama yang itu-itu juga sebagaimana ajaran Nabi yang matsurah. Penyakit pun tak pernah cari-cari mangsa secara diskriminatif, kendati ada seloroh kalau wong cilik pada umumnya sakit gigi, sedangkan orang-orang ternama sakit jantung dan sejenisnya.

Sakit, sebagaimana sehat, juga lahir, hidup, dan mati, merupakan siklus hidup manusia yang niscaya. Tak ada orang yang selamanya sehat, bahkan bagi dokter sekalipun. Sakit dan sehat adalah siklus alamiah bagi setiap anak manusia.

Kalau terjadi perbedaan perlakuan orang terhadap siapa yang sakit sepenuhnya merupakan produk konstruksi sosial. Struktur dan situasi sosial sering kali memproduksi ketimpangan atau perbedaan, lebih-lebih di negara sedang berkembang dan bercorak patrimonial. Manakala orang-orang kecil sakit, tak ada publikasi, kecuali yang spesial sakitnya.

Berbeda jika yang sakit orang ternama atau public figure. Setiap detik ada neraca informasi perkembangan. Sakit menjadi isu publik yang meluas, tak jarang jadi konsumsi dan isu politik. Para tokoh dan handai tolan saling bersegera untuk menjenguknya.

Dalam sakit orang ternama bahkan dapat dibaca sosiogram, yakni relasi-relasi personal dan jarak sosial seberapa jauh derajat kedekatan dan hubungan antara yang dijenguk dan yang menjenguk lebih dari sekadar melaksanakan pesan agama dan kemanusiaan.

Biarlah konstruksi sosial berubah seiring dengan perkembangan dan kedewasaan masyarakat. Setiap orang selama menjadi manusia, akan terkena siklus sakit. Hewan dan tumbuhan pun demikian. Tak ada yang istimewa dengan sakit, kendati yang sakit diistimewakan banyak orang karena model perlakuan sosial.

Sakit punya siklus tertentu. Sakit akan selalu hadir bersama sehat dalam ritme yang tidak selalu linier, bahkan sering kali zig-zag. Kadang dokter ahli penyakit tertentu, tak jarang mengidap penyakit yang menjadi spesialisasinya. Itulah sakit sebagai bagian dari hidup, bukan peristiwa yang istimewa.

Karena itu jangan bermain-main dan mempermainkan sakit, apalagi menjadikannya sebagai komoditi dan siasat publik. Maka sungguh berani orang yang bermain-main dengan sakit, apalagi menjadikannya sebagai kiat menghindari jeratan hukum sebagaimana kecenderungan yang mulai dilakukan oleh para oknum pengacara di republik ini guna melindungi kliennya. Satu dua kali bisa dilakukan, tetapi selebihnya siapa yang kuasa melawan takdir atau siklus hidup yang niscaya seperti sakit?

Jangan pula berburuk sangka dengan orang sakit, bila perlu ikut mendoakan dan menjenguk sebagaimana kewajiban agama. Jika ada orang mengaitkan sakit seseorang dengan dosa dan kesalahannya, apalagi menganggapnya sebagai bala' dalam konotasi negatif, maka betapa semuci-nya orang itu.

Sikap semuci bukanlah watak orang beriman, bahkan boleh dikatakan memakai pakaian kebesaran Tuhan Yang Mahasuci. Semuci adalah simbol arogansi keagamaan, sekaligus kekerdilan mental. Orang zuhud dan wara', tidak akan menampakkan kesalehan dan kealimannya. Sikap semuci merupakan wujud ketakaburan.

Tidak ada komentar: