Selasa, 31 Juli 2007

Syukur Itu Indah


Oleh : Muhammad Noor Fajril Huda

''Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.'' (QS Al-Baqarah [2]: 243). Bisa jadi selama ini kita menjalani kehidupan tanpa rasa syukur. Kita merasa semua yang kita dapat sudah selayaknya menjadi hak kita. Karena itu, ketika kita tidak mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, kita menjadi kesal. Mungkin juga kecewa, lalu mencela kehidupan.

Kita sering memusatkan perhatian pada keinginan kita, meski sebenarnya apa yang kita inginkan itu tidak kita butuhkan. Perhatian kita tidak berpusat pada apa yang telah menjadi milik kita. Akibatnya, kita masih merasa kurang dengan apa yang kita miliki saat ini. Selain itu, kita cenderung membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita menganggap orang lain lebih beruntung.

Seringkali kita menetapkan syarat yang sangat sulit untuk bisa kita penuhi agar bisa bahagia. Kita akan bahagia kalau mempunyai sesuatu yang dimiliki orang lain. Namun, begitu mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan sesaat. Kita tetap tak puas dan menginginkan yang lebih lagi. Kita tak pernah merasa cukup dengan banyaknya harta yang kita miliki. Bila itu yang terjadi, kita memang belum bersyukur. Nafsu yang bersemayam di dalam hati menjadi berhala, dan justru kita sendiri yang menjadi budaknya. Inilah akar segala ketidakbahagiaan.

Orang yang tidak bersyukur adalah orang yang tidak berterima kasih. Hatinya dikuasai oleh keserakahan sehingga ia tidak peduli, sebanyak apa pun dia memperoleh, dia menjadi semakin serakah. Ketika hanya memperoleh sedikit daripada yang telah ia rencanakan, ia menolak untuk berterima kasih.

Dalam hidup ini, kita tak selalu mendapatkan apa yang kita sukai. Karena itu, kita mesti belajar menyukai apa pun yang kita dapatkan. Kita belajar untuk mewujudkan perasaan syukur. Bersyukur adalah sikap menerima dengan lapang dada, senang, tulus, pasrah, dan berterima kasih.

Dengan demikian, syukur merupakan kualitas hati yang terpenting. Orang 'kaya' bukanlah orang yang memiliki banyak hal, tapi orang yang dapat menikmati apa pun yang mereka miliki. Hidup akan lebih bahagia kalau kita dapat menikmati apa yang kita miliki. Dengan bersyukur, perasaan damai dan tenteram akan senantiasa meliputi diri kita. Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan senantiasa membebani kita. Kita akan selalu merasa kurang dan tak bahagia. Wallahu a'lam bish-shawab.

Sabtu, 28 Juli 2007

“Body-Guard” Tuhan

Ketika Negara Menjadi “Body-Guard” Tuhan
Oleh : YUDHIS MUHAMMAD BURHANUDDIN*

Ketika membaca Pasal-Pasal Delik Agama yang tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (lihat www.syirah.com, 10/07/2007), respon pertama saya adalah: “siapa yang paling berhak (bukan berhak karena wewenang kekuasaan!) menilai dan menghakimi hal-hal yang dianggap salah ini?” Dan, “mengapa pula harus negara yang terlibat?”

Delapan pasal dalam draf RUU KUHP ini mengatur agama. Adalah pasal 341, 342, dan 343 dalam draf ini yang perlu dicermati secara holistik dan dalam, serta tidak bisa didekati secara parsial saja. Saya mengutip sebagian yang penting, misalnya, di pasal 341 tercantum “... menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang sifatnya penghinaan terhadap agama,...” Di pasal 342 tercantum “...menghina keagungan Tuhan, firman, dan sifat-Nya,...” Dan di pasal 343 tercantum “...mengejek, menodai agama, rasul, kitab suci, ajaran agama atau ibadah keagamaan,...”

Maksud dan tujuannya adalah “melindungi kesucian agama”. Namun, di balik niat baik ini tersimpan kelemahan dan kekurangan di sana-sini—niat baik saja tidak cukup; dibutuhkan kemampuan kognisi yang handal dan ekspertasi yang mumpuni untuk mewujudkan niat baik agar menjadi kehendak umum, bukan kehendak bersama.

Jika dicermati dengan baik dan teliti, pasal-pasal ini mengandung banyak sekali ketidakjelasan (ambiguisitas) makna dari maksud yang sebenarnya. Alih-alih menjaga kesucian agama, justru kecenderungan golongan tertentu (mayoritas), termasuk negara, untuk menjadikannya sebagai tangan besi atau body guard guna memberangus secara legal segala macam bentuk yang dianggap penyimpangan agama, penghinaan, dan melecehkan Tuhan, semakin terbuka lebar. Masalahnya, kata ‘menghina’, ‘menodai’, ‘mengejek’, dan ‘merendahkan’ tidak memiliki kejelasan makna dan rujukan—multi tafsir.

Kelemahan pasal-pasal ini, mengutip Dr. Siti Musdah Mulia dari Indonesian Conference on Religions and Peace (ICRP), selain tidak melindungi subjeknya, juga cenderung menjadi jebakan bagi subjek jika ia berupaya melakukan ijtihad secara mandiri dan merdeka. Padahal hakikat beragama adalah “la ikraha fiddin...tidak ada paksaan dalam agama.” Selain bahwa, kebebasan berijtihad adalah hak primordial manusia yang tidak bisa diintervensi oleh negara.

Hukum positif yang disponsori negara, dilihat dari sisi manapun, sebetulnya tidak memiliki wewenang dalam menentukan siapa yang sesat, siapa yang benar, karena keyakinan, agama, dan interpretasi teks-teks agama adalah keniscayaan perjalanan zaman yang sudah menjadi catatan sajarah bahwa kecenderungan ini selalu muncul di setiap generasi sebagai upaya kontekstualisasi teks atas tuntutan ruang dan waktu.

Kelemahan lainnya adalah implementasinya. Sayangnya di Indonesia, kita tidak memiliki sebuah lembaga agama yang independen—yang bisa bersikap obyektif—dan mewakili semua golongan, madzhab atapun aliran, serta diakui oleh semua umat tanpa terkecuali (memiliki otoritas penuh) atas penafsiran-penafsiran kitab suci. Yang ada hanyalah lembaga yang bernaung di bawah golongan tertentu dan atau didominasi oleh beberapa golongan yang dianggap resmi oleh negara.

Melihat kenyataan ini, sudah bisa dipastikan bahwa kelompok yang legal menurut negara inilah (walaupun hanya mewakili golongan tertentu) yang nantinya diharapkan memberi masukan (berupa fatwa) kepada pemerintah tentang apa, mengapa, bagaimana dan siapa-siapa saja yang sudah melanggar isi pasal-pasal ini. Dan bagi yang tidak sejalan dengan mainstream, siap-siap saja dituding macam-macam yang tidak jelas parameternya.

Kegagalan Hukum Positif—Tinjaun Historis

Yang paling naif (untuk menghindari kata “lucu”) di antara semua pasal ini adalah Pasal 342 yang berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman, dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara 5 tahun atau denda paling banyak kategori IV.”

Karena pasal ini sungguh sangat naif, saya pun ingin menanggapinya secara naif terlebih dahulu. Begini, jika pasal 342 ini kelak menjadi Undang-Undang, maka satu-satunya negara di dunia ini yang paling berhak menerima Noble Prize In Recognition Of God’s Body Guard (atas jasa-jasanya menjaga Tuhan) adalah Indonesia.

Entah logika apa lagi yang mesti kita gunakan untuk mengatakan bahwa pasal ini universal dan diterima nalar sehat. Bagaimana mungkin manusia melindungi Tuhan dengan undang-undang? Bukankah Tuhan lah yang kuasa untuk melindungi manusia? Maka benar kata Gus Dur, “Tuhan, kok, dibela?!”

Di samping itu, perbedaan pendapat di kalangan Islam, baik itu soal-soal ushuliyyah (prinsip-prinsip agama) maupun furu’iyyah (cabang-cabang agama), masih terus berlangsung sampai saat ini. Walaupun demikian, perbedaan ini masih berada dalam wilayah sumber-sumber primer hukum Islam (al-Quran dan sunnah). Dengan adanya pasal-pasal ini, kecenderungan yang akan terjadi adalah pihak yang merasa terdesak dengan adanya arus pemikiran kritis karena tuntutan semangat zaman—biasanya kalangan konservatif ortodoks dalam beragama yang celakanya jumlahnya selalu mayoritas di sepanjang rentang waktu sejarah Islam—serta-merta akan menuding pemikiran-pemikiran kritis dan analitis ini sebagai pelecehan agama, Tuhan, dan menyimpang dari kitab suci.

Jika misalnya saya membaca “...fa ainama tuwallû fatsammâ wajhullâh”, lalu saya berpendapat bahwa ternyata Tuhan memiliki wajah sebagaimana arti ayat ini, dengan menggunakan pasal-pasal tersebut, sudah pasti saya dianggap “menghina Tuhan. Padahal ayat ini sejak masa Tabi’it tabi’in (generasi sesudah sahabat) sudah memancing perdebatan sengit (sampai sekarang masih berlangsung) di kalangan penganut Kalamiyah (ilmu kalam).

Dengan kata lain, karena ayat tersebut, ada pihak yang memaknai bahwa Tuhan berwajah hanya saja wajahnya tidak sama dengan wajah makhluk-Nya—Kaum Salaf—dan ada juga yang sama sekali menolak sifat-sifat antropomorfisme (kemanusiaan) Tuhan—kaum Rasionalis, para filosof dan Mu’tazilah.

Belum lagi misalnya bila RUU ini disahkan sudah pasti akan digunakan untuk membidik kelompok Ahmadiyah yang, bagi penganut mainstream, ia dituding sesat dalam ber-Islam. Begitu juga dengan anak-anak muda kritis lainnya, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal) yang sampai saat ini keberadaannya masih terus dipersoalkan secara sepihak.

Membaca pasal 342 RUU KUHP ini saya jadi teringat tragedi Mas’at al-Hallaj karya Salah Abdul Saleh—dalam versi Inggris-nya Murder in Baghdad dan dalam versi Indonesianya Tragedi Al-Hallaj (penerjemah Abdul Hadi W.M., 1976). Husayn Ibnu Mansur al-Hallaj atau lebih dikenal dengan sebutan Al-Hallaj, dihukum gantung dan disalibkan di tengah keramaian kota Baghdad, dipertontonkan kepada penduduk setempat, dan setelah itu jenazahnya dimutilasi kemudian dibakar dan abunya dibuang ke Sungai Tigris.

Tragedi kemanusiaan ini disebabkan oleh pernyataannya yang kontroversial: “Ana al-haq”; Aku adalah Engkau, tanpa ragu / Mahasuci Dikau, mahasuci daku / Tauhid-Mu adalah tauhidku / Memaksiati-Mu adalah memaksiatiku / Membuat marah-Mu adalah membuat marahku / Dan ampunan-Mu adalah ampunanku (Fudoli Zaini, 2000:40). Oleh para hakim Fikih waktu itu, para Fukaha, dia dijatuhi hukuman mati setelah dicap, dituding, dipersalahkan oleh pengadilan yang memang berkolaborasi dengan negara, dengan kesalahan bahwa Al-Hallaj telah menghina Tuhan. Fikih, begitu juga hukum modern, yang sangat positivistik itu, gagal menyelami makna-makna di balik teks—apa saja.

Dari kacamata hukum positif (termasuk fikih), jelas, puisi Al-Hallaj di atas adalah penghinaan kepada Tuhan. Tetapi apakah pernyataan puitik ini betul-betul penghinaaan, ini yang perlu dikaji dari berbagai sisi dan pendekatan. Letak kegagalan hukum (dan fikih)—sehingga ia bisa semena-mena justru kepada orang yang tidak bersalah sama sekali—ada di sini: bahwa hukum, yang bersifat positivistik itu, tidak mampu membedakan antara penghinaan dan pemujaan dalam dimensi estetika dan relijiusitas—Sufistik. Ini hanya salah satu contoh.

Filosof-filosof Islam, seperti Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina, dituduh kafir, dan darah mereka dihalalkan secara sepihak oleh golongan lain (Kaum Salaf) yang mayoritas. Kalangan ini, yang sangat positivistik, literer, dan kaku dalam mencerna teks-teks menolak spritualitas berdasarkan filsafat dan sufistik, karena mereka menganggapnya Khurafat dan Bid’ah.

Karena waktu itu para penganut kekakuan teks ini (salaf) adalah mayoritas, jadilah para filosof, sufi dan aliran Mu’tazilah yang minoritas ini dituduh melecehkan Tuhan dan agama. Seperti algojo Al-Hallaj, para penganut kekakuan teks ini (sepanjang sejarah selalu mayoritas) tidak mampu mencerna dan membandingkan antara pernyataan melecehkan Tuhan dan pernyataan yang mengagungkan Tuhan dalam dimensi filsafat, estetika, dan relijiusitas.

Sepanjang sejarah Islam, nasib para mujtahid (sufi, filosof dan Mu’tazilah) ini selalu berakhir di tangan algojo. Sufi yang lain, Ibnu ‘Arabi, juga mengalami nasib serupa—dihukum mati—setelah secara sepihak dinyatakan telah menghina Tuhan dan agama. Persoalannya, hukum positif, termasuk fikih, tidak memiiki perangkat khusus, selain prmahaman yang literer dan kaku, untuk menembus teks agar mencapai makna di baliknya.

Kembalikan Agama dan Tuhan Kepada Kebebasan Manusia

Ada banyak tragedi berdarah dalam sejarah Islam yang sumbernya berasal dari kolaborasi antara hukum positif (fikih) dan kepentingan penguasa—rezim. Di atas hanya sebagian yang bisa saya sebutkan dalam ruang ini. Karena memang pada umumnya, korban-korban tuduhan pelecehan agama dan Tuhan ini selalu bersikap kritis kepada rezim sehingga eksistensi mereka cukup menggerahkan rezim yang sedang berkuasa.

Salah satu cara efektif dan jitu untuk menghabisi pengkritik rezim ini adalah dengan cara rezim menggandeng salah satu golongan, kemudian golongan ini disahkan olehnya sebagai agama yang sah. Dari sini, dengan gampangnya, rezim memenjarakan, mengasingkan, bahkan menghilangkan paksa para pengkritik. Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas adalah sebagian dari mereka yang menjadi korban tirani negara yang didominasi oleh golongan tertentu. Makanya negara dan golongan yang resmi menjadi mainstream negara adalah Body-Guard Tuhan. Semoga negara dan bangsa ini sadar akan sejarah tersebut.

Terakhir, yang dibutuhkan bangsa ini bukan produk hukum yang mengantarkan kita semua berjalan mundur ke belakang, tetapi produk hukum yang memacu kita menatap masa depan bangsa yang gemilang. Oleh sebab itu, sudah waktunya agama disimpan di dalam lubuk hati kita masing-masing. Tidak perlu diundangkan, apalagi memaksa negara untuk turut campur mengaturnya. []

* ADALAH ESAIS YANG KINI SEDANG MENDALAMI AGAMA DAN FILSAFAT HINDU PADA PROGRAM PASCASARJANA (S2) ILMU AGAMA DAN KEBUDAYAAN, UNIVERSITAS HINDU INDONESIA (UNHI), DENPASAR, BALI.


Jumat, 27 Juli 2007

Syariat Islam Tak Perlu Diberlakukan Pada Tingkat Negara

PBNU: Syariat Islam Tak Perlu Diberlakukan Pada Tingkat Negara

Jakarta - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, menyatakan, syariat Islam tak perlu diberlakukan di tingkat negara, namun cukup diamalkan oleh orang Islam.

"Pada level masyarakat, silakan syariat dilaksanakan. Nonsense beragama tanpa menjalankan syariat. Tapi syariat tidak perlu diberlakukan di level negara," kata Hasyim dalam Dialog Islam dan Negara, di Jakarta, Kamis (26/07) kemarin.

Di dalam negara bangsa yang beragam seperti Indonesia, kata Hasyim, pemaksaan penerapan syariat Islam di tingkat negara justru akan menimbulkan persoalan yang bisa memecah keutuhan negara.

Mengenai konsep totalitas Islam (kaffah) yang menjadi jargon kelompok Islam tertentu, Hasyim berpendapat totalitas dalam menjalankan ajaran Islam itu harus dilekatkan pada individu, bukan institusi.

"Jadi, menurut saya, konsep kaffah itu cukup menyentuh orangnya, tidak perlu institusi, apalagi distempelkan pada negara," kata Hasyim yang menolak hadir pada Konferensi Khilafah Internasional yang akan digelar Hizbut Tahrir Indonesia di Jakarta, 12 Agustus mendatang.

Sementara itu salah satu Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, menyatakan bentuk negara republik yang dianut Indonesia sudah tepat dan tidak perlu dipersoalkan.

"Secara normatif, bentuk terdekat negara yang diinginkan Islam itu republik, bukan kerajaan. Sekarang tinggal bagaimana mengisinya," katanya.

Karena itu, tambah Yunahar, fokus gerakan Muhammadiyah bukanlah mewujudkan negara Islam, melainkan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. "Jadi lebih pada masyarakatnya, bukan negara," katanya.

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, KH Ma`ruf Amin, menilai gerakan yang mengupayakan penerapan syariat Islam di tingkat negara merupakan penyakit lama yang timbul kembali.

"Dan ini karena ada provokasi dari luar. Baik gerakan sekuler maupun fundamentalis provokatornya dari luar, yang disebut Pak Hasyim Muzadi sebagai ideologi transnasional," katanya.[]

Mengumpat

Oleh : Jamalullail Mahfudz

''Orang mukmin bukanlah orang yang suka menghina, suka mengutuk, suka melakukan perbuatan keji, dan mengatakan perkataan yang kotor.'' (HR Tirmidzi).

Rasulullah SAW mengecam orang yang saling mengumpat dan saling mencaci-maki. ''Dua orang yang saling mencaci-maki, dosa cacian yang mereka ucapkan ditimpakan kepada mereka berdua, sampai orang yang teraniaya (orang yang mulai dimaki) melampaui batas.'' (HR Muslim). Apalagi jika yang saling mencaci maki itu sesama kaum Muslim, menurut Rasulullah, ini adalah suatu kefasikan. (HR Bukhari dan Muslim). Juga perhatikan firman Allah SWT, ''Wahai orang-orang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.'' (QS Al Ahzab [33] : 70).

Mengumpat sangat berbahaya jika dilakukan dan menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya akan dimasukkan ke neraka kepada orang yang suka mengumpat, dengan mengucapkan kata-kata kotor. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW ditanya, ''Perkara apakah yang paling penting yang memasukkan seseorang ke dalam surga?'' Rasulullah menjawab, ''Takut kepada Allah dan bertabiat baik.'' Beliau ditanya lagi, ''Perkara apakah yang paling telak yang menyebabkan seseorang masuk neraka jahanam?'' Rasulullah SAW menjawab, ''Mulut dan kemaluan.''

Dari Abu Sa'id Al Khudriy RA berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Apabila datang waktu pagi maka semua anggota badan anak Adam (manusia) memperingatkan kepada lidahnya, di mana anggota-anggota badan itu berkata, 'Takutlah kepada Allah dalam memelihara keselamatan kami, karena nasib kami tergantung kamu, bila kamu lurus maka kami pun lurus, dan bila kamu menyeleweng maka kami pun menyeleweng.'' (HR Tirmidzi).

Mengumpat juga akan jauh dari rahmat Allah SWT, ini karena Allah sangat membenci hamba-Nya yang berkebiasaan mengumpat. Ibnu Umar RA berkata, ''Manusia yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah orang yang suka memaki dan mengutuk.'' Islam mengajarkan berhati-hati dalam berucap, bertindak, dan bersikap, apalagi hanya karena hal-hal yang sepele. Terlalu sayang mengeluarkan kata-kata buruk. Bukan semata tak ada manfaatnya, malah mendatangkan kebencian Allah.

Minggu, 22 Juli 2007

Ilmu yang Bermanfaat

Oleh : Nasrullah Nurdian al-Khayyath

Ilmu disebut bermanfaat apabila mengandung kebaikan (maslahat), memiliki nilai-nilai positif bagi sesama manusia ataupun alam. Namun, manfaat tersebut menjadi kecil artinya bila faktanya tidak membuat pemiliknya semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Imam Malik bin Anas RA (wafat 179 H) mendiskripsikan tentang ilmu yang bermanfaat itu. Ia berkata, "Yang disebut ilmu bermanfaat itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan sesuatu (hadis), melainkan nur (cahaya) Allah yang Mahasuci yang dimasukkan ke dalam hati manusia, yang selalu menerangi pemiliknya dalam setiap saat, baik dalam keadaan jelas (zhahir) atau tersembunyi (khali).''

Dengan ilmu, derajat seseorang akan terangkat, menyelami hidup ini dengan penuh semangat dan optimistis, terbukanya tabir kegelapan, serta semakin kokoh keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman, ''Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kalian dengan beberapa derajat.'' (QS Al-Mujadalah [58]: 11).

Lalu, bagaimana cara memperoleh ilmu yang dapat menerangi hati kita dari kegelapan? Imam Syafi'i RA (wafat 204 H) ketika masih menuntut ilmu pernah mengeluh dan mengadukan suatu problematika kepada gurunya. Kata beliau, ''Wahai Guru, mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah dipahaminya?'' Lalu Imam Waki' RA (Sang Guru) menjawab, ''Ilmu itu ibarat cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.'' (Diwan al-Syafi'i).

Oleh sebab itu, sudah sepatutnya bagi penuntut ilmu selalu berhati bersih, mempunyai perangai yang mulia, menjauhkan maksiat, serta meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela (al-akhlak al-madzmumah) yang jelas-jelas tidak disukai Allah dan Rasul-Nya. Hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari sifat tamak (rakus) terhadap urusan duniawi dan tidak pernah digunakan menzalimi sesama.

Menjaga Kebersihan

Oleh : Muhammad Al Khaththath

''Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.'' (QS Albaqarah [2]: 222). Islam mengajarkan kepada umatnya cara hidup bersih dan suci. Bersih dalam arti fisik, bebas dari najis. Suci dalam arti senantiasa menjaga diri tidak berhadas. Dan setiap kali mukmin hendak beribadah, maka disyaratkan baginya untuk bersih dan suci.

Dalam sebuah hadis diriwayatkan, Rasulullah SAW pernah bertanya kepada sahabat Bilal RA tentang rahasianya sehingga Rasulullah SAW mendengar terompah sahabatnya tersebut di surga. Bilal RA mengatakan bahwa dia selalu menjaga wudlunya. Setiap kali batal wudlu, sahabat Nabi ini wudlu lagi lalu shalat dua rakaat.

Dengan hukum-hukum yang rinci tentang bersuci (thaharah), apalagi itu dikaitkan dengan ibadah di mana misi hidup setiap Muslim adalah beribadah, maka keadaan umat Islam senantiasa bersih dan suci. Dengan indikasi hidup sehat luar dalam itu diharapkan umat Islam memiliki capaian yang signifikan dalam memacu keunggulan komparatifnya.

Namun sayang, dalam kehidupan masyarakat plural yang ada di negeri Muslim terbesar ini, indikasi hidup bersih dan suci ini tidak muncul. Kalau kita jalan-jalan ke mal-mal, terminal bus atau stasiun kereta api, toiletnya hampir dipastikan jorok dan bau. Padahal, ada yang menjaga dan mengutip retribusi.

Dari segi pengguna toilet, sama saja. Bahkan, tidak jarang di bandara yang paling bagus sekalipun, tidak sedikit penumpang pesawat, yang notabene orang berduit, tidak melaksanakan adab buang hajat yang menjaga kebersihan dan kesucian. Na'udzubillah.

Kenapa terjadi? Ada satu faktor, yakni tidak digunakan akal dalam perilaku. Seorang Muslim yang masih mengingat doa masuk WC, mestinya dia berpikir, kalau terhadap setan yang tidak terlihat saja, kita mohon perlindungan kepada Allah akan bahayanya, apalagi bahaya najis akibat buang air kecil maupun air besar yang jelas kasat mata. Bagaimana bisa tidak berlindung dari bahayanya?

Seorang Muslim yang masuk WC umum, setelah berdoa, dia mesti memastikan bahwa WC tersebut bersih dari najis, supaya tidak membahayakan dirinya. Dan sebelum keluar dari WC, dia mesti memastikan bahwa WC tersebut bersih dari najis supaya tidak membahayakan pengguna berikutnya. Mari kita mulai mewujudkan negeri ini menjadi negeri yang bersih dan suci dari diri kita sendiri. Jadikan diri kita Muslim yang selalu menjaga kebersihan dan kesucian.

Kamis, 19 Juli 2007

Ilmu yang Bermanfaat

Oleh : Nasrullah Nurdian al-Khayyath

Ilmu disebut bermanfaat apabila mengandung kebaikan (maslahat), memiliki nilai-nilai positif bagi sesama manusia ataupun alam. Namun, manfaat tersebut menjadi kecil artinya bila faktanya tidak membuat pemiliknya semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Imam Malik bin Anas RA (wafat 179 H) mendiskripsikan tentang ilmu yang bermanfaat itu. Ia berkata, "Yang disebut ilmu bermanfaat itu bukanlah kepandaian atau banyak meriwayatkan sesuatu (hadis), melainkan nur (cahaya) Allah yang Mahasuci yang dimasukkan ke dalam hati manusia, yang selalu menerangi pemiliknya dalam setiap saat, baik dalam keadaan jelas (zhahir) atau tersembunyi (khali).''

Dengan ilmu, derajat seseorang akan terangkat, menyelami hidup ini dengan penuh semangat dan optimistis, terbukanya tabir kegelapan, serta semakin kokoh keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dalam Alquran, Allah SWT berfirman, ''Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kalian dengan beberapa derajat.'' (QS Al-Mujadalah [58]: 11).

Lalu, bagaimana cara memperoleh ilmu yang dapat menerangi hati kita dari kegelapan? Imam Syafi'i RA (wafat 204 H) ketika masih menuntut ilmu pernah mengeluh dan mengadukan suatu problematika kepada gurunya. Kata beliau, ''Wahai Guru, mengapa ilmu yang sedang kukaji ini susah dipahaminya?'' Lalu Imam Waki' RA (Sang Guru) menjawab, ''Ilmu itu ibarat cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.'' (Diwan al-Syafi'i).

Oleh sebab itu, sudah sepatutnya bagi penuntut ilmu selalu berhati bersih, mempunyai perangai yang mulia, menjauhkan maksiat, serta meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela (al-akhlak al-madzmumah) yang jelas-jelas tidak disukai Allah dan Rasul-Nya. Hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari sifat tamak (rakus) terhadap urusan duniawi dan tidak pernah digunakan menzalimi sesama.

Muslim Malawi
Giatkan Fungsi Sosial Masjid

Masjid bukan hanya sarana ibadah saja. Kegiatan sosial kemasyarakatan bukan hal yang tabu dilakukan di masjid. "Di zaman Rasulullah, semua aktivitas berpusat di masjid," ujar David Odali, tokoh Muslim yang juga dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia Malawi.

Itu sebabnya, masjid-masjid di Malawi kini membuka gerbangnya lebar-lebar. Aneka program sosial digelar. Program teranyar, masjid-masjid menyediakan air bersih bagi warga sekitar tanpa membedakan latar belakang agama dan etnik karena beberapa bulan ini Malawi mengalami krisis air bersih.

Menurut Syekh Dinala Chabulika dari Biro Informasi Islam, hampir semua masjid di Malawi memang mempunyai instalasi air bersih sendiri. Bila dulu hanya digunakan untuk kepentingan jamaah, maka kini akses bagi warga dibuka lebar. Terutama bagi warga di kota Blantyre dan Lilongwe yang mengalami krisis air paling parah.

Selain itu, mereka juga membuka balai pengobatan gratis bagi warga. Selain menangani rawat jalan, para dokter relawan di klinik ini juga menangani operasi sederhana di salah satu ruangan masjid yang disulap menjadi poliklinik.

Beberapa masjid mendirikan rumah sakit kecil. Yang paling laris adalah Madina Social Service yang menempel di masjid Madina, delapan kilometer dari Blantyre dan Klinik Assalam di masjid Assalam yang terletak di distrik Muslim Mangochi. Tiap hari kedua pusat layanan kesehatan ini dibanjiri ratusan pasien baik Muslim maupun non-Muslim. Semua layanan kesehatan diberikan cuma-cuma.

Bahkan, kedua klinik ini sekarang dijadikan model untuk diterapkan di semua masjid di negara yang terletak di bagian tenggara benua Afrika ini. Yang menarik, pengoperasian mobile clinic di Malawi dioperasikan bulan oleh pemerintah tetapi oleh klinik ini. "Kini banyak lembaga yang memberi mandat pada kami untuk mengelola pusat layanan kesehatan di berbagai tempat di Malawi," tambah Syekh Chabulika.

Dari mana klinik itu mendanai operasionalisasinya? Dia menyatakan, ada sejumlah lembaga penyandang dana yang berada di balik klinik-klinik ini. Sebut misalnya Bilal Trust, Munadhamat Dawah Islamia (MDI), Al Barakah Charity Trust, dan Association of Sunni Madrasahs (ASUM). Mereka yang menghimpun dana dan menyalurkannya pada klinik-klinik itu.

Namun jangan dikiran karena gratis maka pelayanannya tidak profesional. Justru, tenaga-tenaga terbaiklah yang bekerja di lembaga ini. "Tiap tahun kami mengirim pemuda Malawi untuk mengikuti pendidikan atau training yang relevan," ujar Altaf Gani, pimpinan World Association for Friends of Africa (WAFA) yang berkedudukan di Blantyre. "Ketika pulang, mereka akan langsung mengabdi di klinik-klinik itu."

Berkiprah di berbagai sektor
Peran sosial masjid tak berhenti sampai di sini. Masjid-masjid di Lilingwe, ibu kota Malawi, juga bergabung dalam Community Policing Forum. Forum lintas bidang ini dibentuk dengan tujuan untuk menekan angka kriminalitas di Malawi.

Selain itu, masjid-masjid juga mendukung peningkatan pendidikan masyarakat, terutama kaum wanita. Tiap tahun, sebanyak 65 wanita Malawi tanpa dilihat latar belakang agamanya diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan. "Ini murni bagian dari peran sosial masjid, bukan dengan maksud menyebarkan paham-paham Islam di kalangan non-Islam," ujar Muhammad Aqeel, koordinator nasional Asosiasi Muslim Malawi. "Bukan dengan cara ini kami menarik orang agar masuk Islam."

Upaya kaum Muslim ini mendapat apresiasi dari pemerintah Malawi dan masyarakat sekitarnya. Dalam setiap pengambilan kebijakan, suara kaum Muslim kini di dengar. Perwakilan Muslim juga sering dimintai masukan oleh pemerintah setempat.

Muslim di Malawi jumlahnya 12 persen dari seluruh populasi yang jumlahnya sekitar 13 juta jiwa. Islam adalah agama terbesar kedua di negara ini setelah Kristen. Namun berdasar perkiraan Asosiasi Muslim Malawi, jumlah penganut Islam kini 36 persen dari populasi. n tri/islamonline

Malawi
Ibu kota: Lilongwe
Lokasi: Afrika bagian selatan, timur Zambia
Luas: 118.480 km persegi
Populasi: 13.603.181 jiwa
Kelompok etnik: Chewa, Nyanja, Tumbuka, Yao, Lomwe, Sena, Tonga,
Ngoni, Ngonde, Asia, Eropa
Agama: Kristen 79,9 persen, Muslim 12,8 persen.

( )

Budaya Malu Sebagai Obat Bangsa

Di sebuah jalan sunyi yang menghubungkan ibu kota sebuah propinsi dengan kabupaten penunjangnya kerap dilakukan operasi lalu-lintas. Beredar prasangka bahwa operasi ini tidak dinaungi aspek legal yang mencukupi. Hingga suatu hari muncul sebuah kehebohan. Di tembok rendah pembatas jalan serta di sebuah baliho iklan real estate yang berukuran cukup besar, terlihat grafiti bertuliskan, "Bawa pulang uang haram tidak malu, tanya kenapa?" Tulisan ini rupanya "bertuah". Sejak itu tidak ada lagi operasi lalu-lintas yang digelar di sana.

Fenomena ini sungguh menarik untuk diperdebatkan. Apakah budaya malu masih mendapat tempat dalam proses penyembuhan bangsa yang tengah sakit? Sebagai gambaran, saat ini bangsa Indonesia tengah terjebak dalam pusaran arus involutif. Di mana ciri-ciri kemunduran akhlak telah menggejala dan merasuki hampir semua proses kehidupan. Perilaku dan budaya instan tidak hanya terjadi di lembaga-lembaga formal saja melainkan sudah menjalar ke dalam institusi rumahtangga dan keluarga.

Sebagai makhluk sosial, Allah SWT telah mengaruniakan kemampuan kepada manusia untuk membangun komunikasi serta interaksi. Dalam kedua proses tersebut terjalin suatu mekanisme pendistribusian tanggung jawab. Ada hal-hal yang secara aklamasi disepakati menjadi bagian tanggung jawab bersama (social obligation). Dalam konteks agama biasa disebut fardhu kifayah. Social obligation ini adalah keniscayaan yang dikaruniakan Allah dalam rangka fastabiqul khairaat, atau berlomba untuk menyebarkan kebajikan bersama. Dan, rasa malu merupakan salah satu parameter untuk mengukur seberapa besar kontribusi seseorang dalam menjalankan kewajiban sosialnya.

Peran seseorang dalam masyarakat dapat ditentukan melalui tingkat asertifitas, atentifitas dan empatifitasnya. Budaya malu yang bersifat inter dan transpersonal ini akan menempatkan seseorang untuk berkontemplasi dan melakukan introspeksi diri, apakah dirinya sudah cukup berkontribusi? Apakah dirinya sudah cukup kooperatif dan tidak menjadi ganjalan dalam perputaran roda kehidupan umat? Apakah dirinya sudah berada dalam posisi yang tidak mempermalukan dirinya sendiri melalui pengaburan dan pembonsaian potensi?

Efektifitas budaya malu dan penanaman benih rasa malu sebagai bagian dari iman kiranya tepat dijadikan sebagai salah penangkal budaya korupsi, baik yang bersifat sistemik-struktural-kultural, maupun yang bersifat legal-formal.

Adakah korupsi yang legal dan formal? Ada, yaitu korupsi yang secara syariat benar tetapi diinisiasi oleh niat yang keliru (tidak lurus). Misalnya, sekelompok eksekutif berkolaborasi dengan sekelompok legislator untuk menghasilkan regulasi yang bersifat menguntungkan secara sementara. Keuntungan yang diperoleh sudah ditaksir dan diperhitungkan akan mendatangkan keuntungan bagi daerah dan kelompoknya di waktu mereka masih berkuasa serta beberapa waktu sesudahnya. Hanya itu saja. Niat ini jelas sedari awal sudah mengelimininasi kemungkinan terciptanya multiplier effect yang akan bergulir secara perlahan tapi pasti. Bahkan dapat menjamin kesejahteraan banyak orang secara berkesinambungan (continuity and sustainable).

Upaya konstruktif untuk menghilangkan kesempatan munculnya multiplier effect yang menguntungkan ini tentu akan dihisab sebagai proses yang tergolong ke dalam penyakit hati (serakah, rakus, atau tamak). Banyak kebijakan yang bisa menjadi contoh kasus. Pengenaan biaya yang tinggi dan proses birokrasi perizinan yang rumit misalnya. Lalu pengenaan pungutan dan pajak daerah yang hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan daerah tanpa disertai adanya regulasi tata ruang, peruntukan wilayah dan penyediaan infrastruktur penunjang lainnya.

Bila terakumulasi, kondisi ini akan melahirkan iklim bisnis tidak kondusif. Banyak perusahaan akan buka-tutup, dan tidak langgeng dalam menjalankan poses bisnisnya karena overhead cost yang tinggi. Dampak lanjutannya adalah tidak terserapnya tenaga kerja lokal dan juga tidak bergulirnya efek dan dampak mutual benefit dari sebuah lingkungan usaha (business environment). Pendapatan asli daerah memang akan berkontraksi sesaat, di mana pendapatan dari sektor pungutan, bea, dan pajak akan meningkat, tapi setelah itu akan terjadi deselerasi atau perlambatan dalam proses investasi.

Bila kita masih memiliki budaya malu, maka kebijakan dan pengkondisian instan seperti ini akan segera kita hindari. Mengapa? Sebab kita malu karena tidak mensyukuri nikmat Allah berupa akal budi. Kita pun akan malu bila dikenal sebagai generasi perompak oleh anak cucu. Generasi yang menguras harta negara yang seharusnya dimiliki bersama serta dioptimalkan pemanfaatannya secara berkesinambungan. Dalam kondisi kita memiliki rasa asertif, atentif dan empatif, maaliyah ijtima'iyah (harta karun sosial) ini akan menjadi kunci pembuka gerbang makhroja, gerbang yang mengawali sebuah jalan keluar dari berbagai macam kebuntuan dalam hidup. Wallaahu a'lam.


Makanan Berkah, Keluarga Berkah

Suatu malam tampak Umar bin Khathab bersama Aslam, asistennya, berjalan menyusuri lorong-lorong kota Madinah yang sunyi senyap. Sudah menjadi rutinitas Umar, yang kala itu menjabat Amirul Mukminin, untuk melakukan inspeksi, melihat-lihat keadaan rakyatnya secara langsung. Lama perjalanan membuat lelaki berjuluk Al-Faruq ini kelelahan. Ia pun bersandar di sebuah dinding rumah salah seorang rakyatnya. Rumah itu demikian sederhana. Cukup memberi tanda bahwa sang penghuni bukanlah orang berpunya.

Di antara rasa penat yang menggeliat di antara tulang-tulangnya yang tak lagi sekuat masa mudanya, dan di antara rasa dingin yang menusuk, sayup-sayup terdengar dua orang wanita tengah bercakap-cakap. Setelah didengarkan dengan seksama, tahulah Umar bahwa pemilik rumah itu adalah seorang ibu penjual susu dengan anak perempuannya. “Wahai putriku, ambilah susu itu dan campurilah ia dengan air!

Dengan nada menolak, putrinya menjawab, “Wahai Ibu, apakah Ibu tidak tahu keputusan Amirul Mukminin hari ini? Memangnya keputusan apa yang beliau ambil? Beliau memerintahkan rakyatnya agar tidak menjual susu yang dicampur air. Ambil saja susu itu dan campurkanlah dengan air. Lihatlah, saat ini engkau berada di suatu tempat yang tidak mungkin terlihat oleh Umar, Ibu, tidak mungkin bagiku untuk menaatinya di saat ramai dan mendurhakainya di saat sepi.

Dialog ibu dan anak tersebut telah menyita perhatian Umar bin Khathab. Semuanya terekam dengan amat jelas. Umar lalu bergegas pergi. Sesampainya di rumah, ia segera menugaskan Aslam untuk menemui keluarga itu. “Wahai Aslam, pergilah ke rumah itu, dan selidiki siapa wanita yang menjawab seperti itu dan siap pula perempuan tua yang menjadi lawan bicaranya. Apakah mereka mempunyai suami?

Setelah mendatangi rumah perempuan itu, Aslam segera melaporkan penemuannya kepada Umar, bahwa yang menyuruh mencampurkan susu dengan air adalah ibunya. Sedangkan yang menolak mencampur susu dengan air adalah anaknya yang masih gadis. Sedangkan di rumah tersebut tidak ada seorang pun laki-laki.

Setelah semuanya jelas, Umar lantas memanggil semua anak laki-lakinya. Kepada mereka ia berkata, “Apakah di antara kalian ada yang membutuhkan seorang perempuan yang akan aku nikahkan dengannya? Andaikan ayah kalian masih berminat pada seorang perempuan, tentu kalian tidak akan bisa mendahuluinya untuk mendapatkan anak gadis itu.

Abdullah bin Umar, anak sulungnya, berkata bahwa ia tidak berminat karena sudah mempunyai istri. Demikian pula adiknya, Abdurrahman, menjawab sama seperti Abdullah. Barulah Ashim, anak laki-laki Umar yang lain, bersedia menikah dengan wanita pilihan ayahnya tersebut.

Tak lama berselang, Umar mengirim utusan kepada keluarga itu untuk melamar anaknya dan menikahkannya dengan 'Ashim. Lamaran itu pun diterima, hingga terjadilah prosesi pernikahan. Sederhana memang. Namun keberkahan menyelimuti pernikahan putra Amirul Mukminin dengan putri seorang penjual susu. Untaian doa terucap dari keluarga dan para sahabat, “Baarakallahu laka wa baaraka 'alaika wa jama'a bainakum fi khairan.” Sebuah doa yang sangat indah, “Semoga Allah memberkahi kalian, baikan dalam keadaan senang maupun susah, dan senantiasa mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Allah pun berkenan mengabulkan doa tersebut. Rumahtangga 'Ashim dan istrinya diberkahi Allah. Wanita ini pun melahirkan seorang putri. Pena sejarah mencatat, dari rahim anak perempuan inilah lahir Umar bin Abdul 'Aziz. Seorang pemimpin besar Islam yang digelari Khulafaur Rasyidin kelima. Pada masa pemerintahannya kaum Muslimin mencapai kejayaan dan kemakmuran lahir batin yang sulit mencari tandingannya.

Keberkahan Makanan
Rangkaian fragmen kisah ini sungguh luar biasa. Lihatlah bagaimana sebuah kebaikan berbuah kebaikan, lalu berbuah kebaikan lagi. Berawal dari keinginan untuk jujur dan memperoleh harta halal (walau sedikit), terjadilah sebuah pernikahan yang diberkahi. Dan dari pernikahan ini, lahir keturunan-keturunan mulia yang diberkahi Allah. Keberkahan mereka pun terus menyebar hingga menyentuh generasi-generasi sesudahnya.

Kisah ini menginspirasi agar kita tidak menyepelekan sekecil apa pun amal. Karena kecil dalam pandangan kita belum tentu kecil dalam pandangan Allah SWT. Termasuk dalam hal makan. Namun, saking sering dan rutinnya makan ini, sebagian orang kerap menyepelekan. Padahal dalam makan ada kebaikan yang teramat besar. Sebaliknya, ketika kita salah menyikapinya, maka makan pun bisa membawa kemudharatan yang besar pula.

Itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk berdoa sebelum makan. “Allaahumma baarik lanaa fiimaa razaqtanaa wa qinaa 'adzabannaar. Bismillaahirrahmanirrahiim.” Artinya, “Ya Allah berkahilah kami dalam rezeki yang telah Engkau limpahkan kepada kami, dan peliharalah kami dari siksa neraka. Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (HR Ibnu As Sani).

Dilihat dari susunan redaksinya, makna doa ini sangat luar biasa dan universal. Setidaknya, ada dua pesan utama yang terkandung di dalamnya. Pertama, memohon keberkahan dari rezeki yang telah Allah karuniakan, sehingga kita terpelihara dari aneka keburukan. Apa artinya? Kita makan bukan sekadar menangkal rasa lapar dan memenuhi selera semata, tapi juga untuk menjaga ketaatan kepada Allah SWT. Dengan makan kita berharap bisa konsisten dalam ketakwaan. Dengan makanan kita bisa makin mantap beribadah. Sebab ada yang makan, namun makanan yang dikonsumsinya tidak membawa kebaikan apa-apa, hanya sekadar memenuhi kebutuhan perut belaka.

Kedua, memohon bimbingan Allah dalam aktivitas yang kita lakukan, sehingga setiap amal bernilai ibadah di sisi-Nya. Permohonan ini terangkum dalam kalimat basmalah, Bismillaahirrahmanirrahiim. “Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Dengan demikian, ada dua konsep penting yang senantiasa kita ulang-ulang. Yaitu konsep berkah dan konsep basmalah. Keduanya memiliki makna filosofis yang dalam. Andai saja kita mampu menyelami kedalaman maknanya, lalu mengaplikasikan dalam proses mencari dan menikmati rezeki, maka akan melahirkan efek kebaikan yang luar biasa. Tidak hanya kebaikan di dunia, tapi juga kebaikan hakiki akhirat kelak. Semoga kita mendapatkannya, seperti yang didapatkan Umar bin Khathab, 'Ashim, putri penjual susu, serta anak cucunya, terutama Umar bin Abdul 'Aziz. Amin.

Membagi Waktu

Banyak orang mati-matian memanfaatkan waktunya untuk mengejar dunia, padahal ia tidak tahu kapan ia bisa menikmati jerih payahnya tersebut. Boleh jadi ia mendapatkan sejumlah besar uang, tapi ia tidak tahu kapan bisa merasakan nikmatnya uang tersebut. Karena itu, Al-Quran mengulang-ulang akan pentingnya waktu agar manusia tidak sampai melalaikannya.

Menunda-nunda adalah satu penyakit kronis manusia yang sangat berbahaya. Ia menangguhkan sebuah amal karena berpikir bahwa amal tersebut bisa dikerjakannya esok hari. Padahal, dengan menunda ia akan menyesal ketika tidak mampu lagi mengerjakan pekerjaan tersebut dilain waktu. Harta hilang mungkin bisa dicari. Namun jika waktu yang hilang, sedikit pun tidak akan pernah bisa diganti. Kerugian menunda tidak sekadar di dunia, tapi juga di akhirat kelak. Seseorang akan melihat bekas-bekas waktu yang ia lewati tanpa ada amal kebaikan di dalamnya. Walau hanya satu menit, akan terlihat bekasnya. Menit ini terisi, menit ini kosong, menit ini hitam, merah, atau putih, semuanya akan terlihat jelas.

Karena itu, Rasulullah SAW selalu menasihati para sahabat agar tidak menunda amal yang bisa segera dikerjakan. “Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara. Pertama, kehidupanmu sebelum datang kematianmu. Kedua, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Ketiga, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu. Keempat, masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Kelima, masa kayamu sebelum datang masa miskinmu.” (HR Hakim).

Dilihat dari “pelakunya”, ada dua tipe penunda pekerjaan yang dapat diidentifikasi, yaitu tipe penggerak dan tipe penghindar. Tipe penggerak selalu menunda pekerjaan karena menyukai ketegangan dalam menyelesaikan pekerjaan secara terburu-buru dan di akhir waktu. Sedangkan tipe penghindar, selalu menunda pekerjaan untuk menghindar dari berbagai sebab, mulai dari takut gagal sampai keinginan untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan. Orang seperti ini sangat percaya kalau mereka akan lebih baik tidak mencoba daripada mencoba dan gagal.

Kedua tipe ini sama tidak baiknya. Yang pertama cenderung mudah terkena stres sehingga hasil pekerjaannya tidak maksimal. Sedangkan yang kedua cenderung gagal, sulit berkembang, dan akan menyesal di akhir. Kenapa saya tidak mencobanya? Kalau seandainya saya melakukannya sejak dulu, nanti saja, 'kan masih ada waktu! dsb, adalah kata-kata standar yang biasanya diucapkan orang yang menunda pekerjaan dan selalu takut mencoba hal yang baru.

Menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi, ada beberapa alasan yang menyebabkan Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk tidak menunda-nunda pekerjaan. Pertama, kita tidak dapat menjamin untuk bisa hidup sampai esok hari. Boleh jadi sekarang kita hidup, tapi siapa tahu esok atau lusa kita mati.

Kedua, selain kita tidak dapat menjamin tetap hidup esok hari, kita pun tidak akan bebas seratus persen dari gangguan-gangguan seperti penyakit ataupun kesibukan-kesibukan baru. Pantas kalau Rasulullah SAW mengatakan, “Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara yang lain: masa hidupmu sebelum datang kematianmu; masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu; masa luangmu sebelum datang masa sibukmu; masa mudamu sebelum datang masa tuamu; dan masa kayamu sebelum datang masa miskinmu.” (HR Hakim).

Ketiga, sesungguhnya bagi setiap hari ada aktivitasnya dan bagi setiap waktu ada kewajibanya. Jelasnya, tidak ada waktu yang kosong dari pekerjaan. Ibnu 'Ata berkata, “Kewajiban-kewajiban pada tiap waktu mungkin untuk diganti, namun hak-hak dari setiap waktu tidak mungkin untuk diganti.”

Keempat, mengakhirkan pelaksanaan perintah dan menunda pekerjaan yang baik, akan menyebabkan seseorang terbiasa melakukannya, untuk kemudian berurat dan berakar dalam jiwanya hingga membentuk akhlak yang buruk. Dan terakhir, bahwa bekerja itu adalah kebutuhan vital bagi seorang manusia yang hidup. Orang yang tidak mau bekerja atau menunda-nunda pekerjaannya, secara tidak langsung telah “kehilangan hak” untuk hidup.

Sesungguhnya, menunda hanya boleh dilakukan dalam kerangka skala prioritas. Para ulama mengungkapkan beberapa bentuk prioritas, di antaranya: fardhu, wajib, sunnah, atau makruh. Adanya bentuk-bentuk prioritas ini menuntut seorang Muslim agar mampu membagi nilai waktu. Misal, saat bangun tidur. Ketika itu, kondisi kita masih sangat segar dan pikiran masih jernih. Maka, jangan sampai kita menyia-nyiakan waktu yang baik tersebut dengan melakukan perbuatan yang bisa dilakukan pada waktu yang lain. Seperti membaca koran atau majalah, itu bisa dilakukan ketika kita sedang capek. Sedangkan untuk tadabur Alquran memerlukan suasana dengan konsentrasi tinggi. Maka gunakanlah wantu yang baik tersebut untuk mengerjakan sebuah aktivitas yang “berat” dan yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Jangan sampai waktu “terbaik” kita habis oleh amal yang ringan.

Kebiasaan menunda wajib dihilangkan dari pribadi seorang Muslim. Sebaliknya, yang harus diperhatikan adalah membaca masa lalu untuk kepentingan sekarang. Allah SWT berfirman, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Hasyr [59]: 18). Dalam ayat lain disebutkan bahwa tak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi besok. …Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang diusahakannya besok (QS. Luqman [31]: 34).

Jadi bagaimana kita bisa memprogram hari esok dengan pasti? Rencana boleh, tapi bukan sesuatu yang pasti akan terjadi. Intinya, merencanakan masa depan adalah kewajiban kita. Masa lalu harus dijadikan pelajaran, masa sekarang kita jadikan sebagai pengamalan, dan masa depan kita programkan dengan sebaik mungkin, sedang hasilnya ada dalam genggaman Allah SWT.

Menginternalisasikan Basmalah

Setiap amal yang dilandasi basmalah, insya Allah akan baik, indah dan sempurna. Sebab kita meniatkan dan mempersembahkannya untuk Allah. Pantaskah kita memberikan sesuatu yang buruk kepada Allah?

Dari seratus empat belas surat dalam Alquran hanya satu surat yang tidak diawali basmalah, yaitu QS At Taubah [9]. Apa artinya? Basmalah menduduki posisi sangat penting dalam Islam. Ia akan menentukan nilai sebuah amal, apakah bernilai ibadah atau tidak. Sehingga, semua yang kita lakukan harus berlandaskan basmalah. Kita dituntut untuk menggantungkan semua amal perbuatan kepada Allah, serta menghiasi amal-amal tersebut dengan kasih sayang.

Secara syar'i, membaca basmalah hukumnya bisa wajib dan juga bisa sunat. Saat menyembelih hewan misalnya, membaca basmalah hukumnya wajib. Jika tidak diucapkan maka daging hewan sembelihan menjadi tidak halal. Dalam situasi khusus, misalnya saat suami dan istri hendak beribadah, maka basmalah harus diucapkan. Basmalah pun hukumnya bisa sunat, misalnya saat kita makan dan minum. Ketika kita tidak mengucapkannya, makanan dan minuman yang kita konsumsi statusnya tetap halal.

Makna basmalah
Dilihat dari susunan katanya, basmalah berisi kata bi yang artinya dengan, dan kata ismillah yang artinya menyebut nama Allah. Dalam kaidah lughah, kata bi itu harus ada muta'alif-nya, seperti misalnya dengan pulpen. Apa yang dengan pulpen? Artinya menulis dengan pulpen. Contoh lain dengan sendok. Apa yang dengan sendok? Makan misalnya, berarti memakan dengan menggunakan sendok.

Nah, dalam kalimat basmalah, Dengan menyebut nama Allah, di mana letak muta'alif-nya atau sebelumnya? Para ulama mengondisikan muta'alif itu sesuai dengan situasi tertentu. Misalnya saat makan kita mengucapkan basmalah, maka artinya kita sedang makan dengan menyebut nama Allah. Muta'alif itu sendiri berati amal yang mengiringi kata dengan atau bi.

Allah adalah lafdu jalallah; artinya Allah adalah lafadz yang sangat agung. Dalam bahasa Arab, lafadz Allah tidak memiliki asal kata. Kita tahu unsur kata Allah bukan dari buatan manusia namun langsung dari Allah sendiri. Karena itu, kata Allah inilah yang disebut sebagai lafadz yang sangat agung. Bahwa Allah memiliki nama dan sifat yang sangat agung, maka kita paham bahwa setiap kali mengucapkan basmalah, maka kita memulai ucapan dengan nama yang teramat agung yaitu Allah.

Dalam basmalah termaktub dua asma' Allah teragung, yaitu Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim. Walau ada sembilan puluh sembilan nama Allah, namun hanya Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim atau Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang yang disebutkan. Mengapa? Sebab dua sifat ini yang mendominasi dan paling umum. Dilihat secara bahasa untuk setiap kata-katanya, Bismillah, lalu Ar-Rahmaan, kemudian Ar-Rahiim. Arti dari kalimat pertama adalah Dengan menyebut nama Allah. Kalimat berikutnya, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Hal ini membuktikan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang terhadap semua makhluk ciptaan-Nya.

Penyebutan Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim ini mengandung dua konsekuensi. Pertama, kata Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim ini adalah hak prerogatif Allah. Dia berkehendak menyebutkan namanya sesuai dengan Alquran dan hadis. Kedua, dengan kata Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim, Allah seakan memperkenalan Diri kepada makhluk-Nya agar mereka lebih dekat dan lebih jelas dalam mengenal Dzat Pencipta.

Hikmah basmalah
Pengucapan basmalah dengan penuh pemahaman, akan melahirkan efek yang luar biasa. Ketika kita mengawali aktivitas dengan basmalah, kita akan merasa disertai Allah. Semua yang kita lakukan pun akan bernilai ibadah. Dengan basmalah kita pun bisa bersyukur kepada Allah. Betapa tidak, dengan kasih sayangnya kita bisa hidup dan menikmati hidup. Ketika melakukan suatu kegiatan yang diawali basmalah, kita harus meyakini bahwa aktivitas tersebut terjadi karena izin Allah. Kita adalah makhluk lemah yang memerlukan bantuan Allah. Karena itu, setelah kita mengucapkan basmalah, kita pun disyaratkan untuk mengucapkan hamdalah.

Ketika mengucapkan basmalah, idealnya kita harus mengerti, apa basmalah itu dan mengapa ia harus diucapkan. Kita harus paham bahwa selain sebagai perintah agama, basmalah pun memiliki dasar-dasar hukum tersendiri. Jelas satu ayat ini bermakna sangat dalam. Ia termasuk kata mukjizat. Jika kita mengatakannya sepenuh penghayatan, maka kita akan menjadi orang jujur dan amanah serta optimal dalam bekerja. Itulah sebabnya, setiap amal yang dilandasi basmalah, insya Allah akan baik, indah dan sempurna. Mengapa? Sebab kita meniatkan dan mempersembahkannya untuk Allah. Pantaskah kita memberikan sesuatu yang buruk kepada Allah?

Meresapi basmalah
Bagaimana agar kalimat basmalah tersebut terinternalisasikan dalam diri seorang Muslim? Hal ini terkait erat dengan pemaknaan tauhid. Dalam arti bukan sekadar mengenal arti basmalah, tapi juga memahami hakikat yang dikandungnya. Allah SWT berfirman dalam QS Al Mukmin [40] ayat 65, Dialah (Allah) yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.

Agar basmalah meresap dalam jiwa, maka kita harus ma'rifatullah atau mengenal Allah terlebih dahulu. Lalu meyakininya sebagai prinsip hidup, untuk kemudian menjalankannya secara bertahap. Setelah melewati tahap ini kita ia bisa menjadikan basmalah sebagai ruh kehidupan. Untuk mengenal dan mengetahui Allah itu, medianya adalah Rasulullah. Maka seri mengenal Allah bisa dilakukan melalui seri mengenal Rasul. Dari sanalah kita akan mengenal Allah lebih jauh seperti diungkapkan dalam Alquran dan hadis.


Hidup Sehat Cara Rasulullah SAW

Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya. Cukuplah beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan.” HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban

Konon, selama hidupnya Rasulullah SAW hanya sakit dua kali. Yaitu setelah menerima wahyu pertama, ketika itu beliau mengalami ketakutan yang sangat sehingga menimbulkan demam hebat. Yang satunya lagi menjelang beliau wafat. Saat itu beliau mengalami sakit yang sangat parah, hingga akhirnya meninggal. Ada pula yang menyebutkan bahwa Rasul mengalami sakit lebih dari dua kali.

Berapa pun jumlahnya, dua, tiga atau empat kali, memperjelas gambaran bahwa beliau memiliki fisik sehat dan daya tahan luar biasa. Padahal kondisi alam Jazirah Arabia waktu itu terbilang keras, tandus dan kurang bersahabat. Siapa pun yang mampu bertahan puluhan tahun dalam kondisi tersebut, plus berpuluh kali peperangan yang dijalaninya, pastilah memiliki daya tahan tubuh yang hebat.

Mengapa Rasulullah SAW jarang sakit? Pertanyaan ini menarik untuk dikemukakan. Secara lahiriah, Rasulullah SAW jarang sakit karena mampu mencegah hal-hal yang berpotensi mendatangkan penyakit. Dengan kata lain, beliau sangat menekankan aspek pencegahan daripada pengobatan. Jika kita telaah Alquran dan Sunnah, maka kita akan menemukan sekian banyak petunjuk yang mengarah pada upaya pencegahan. Hal ini mengindikasikan betapa Rasulullah SAW sangat peduli terhadap kesehatan. Dalam Shahih Bukhari saja tak kurang dari 80 hadis yang membicarakan masalah ini. Belum lagi yang tersebar luas dalam kitab Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, Baihaqi, Ahmad, dsb.

Cara Rasulullah menjaga kesehatan
Ada beberapa kebiasaan positif yang membuat Rasulullah SAW selalu tampil fit dan jarang sakit. Di antaranya:
Pertama, selektif terhadap makanan. Tidak ada makanan yang masuk ke mulut beliau, kecuali makanan tersebut memenuhi syarat halal dan thayyib (baik). Halal berkaitan dengan urusan akhirat, yaitu halal cara mendapatkannya dan halal barangnya. Sedangkan thayyib berkaitan dengan urusan duniawi, seperti baik tidaknya atau bergizi tidaknya makanan yang dikonsumsi. Salah satu makanan kegemaran Rasul adalah madu. Beliau biasa meminum madu yang dicampur air untuk membersihan air lir dan pencernaan. Rasul bersabda, “Hendaknya kalian menggunakan dua macam obat, yaitu madu dan Alquran” (HR. Ibnu Majah dan Hakim).

Kedua, tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Aturannya, kapasitas perut dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu sepertiga untuk makanan (zat padat), sepertiga untuk minuman (zat cair), dan sepertiga lagi untuk udara (gas). Disabdakan. ”Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya. Cukuplah bagi mereka beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan” (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Ketiga, makan dengan tenang, tumaninah, tidak tergesa-gesa, dengan tempo sedang. Apa hikmahnya? Cara makan seperti ini akan menghindarkan tersedak, tergigit, kerja organ pencernaan pun jadi lebih ringan. Makanan pun bisa dikunyah dengan lebih baik, sehingga kerja organ pencernaan bisa berjalan sempurna. Makanan yang tidak dikunyah dengan baik akan sulit dicerna. Dalam jangka waktu lama bisa menimbulkan kanker di usus besar.

Keempat, cepat tidur dan cepat bangun. Beliau tidur di awal malam dan bangun pada pertengahan malam kedua. Biasanya, Rasulullah SAW bangun dan bersiwak, lalu berwudhu dan shalat sampai waktu yang diizinkan Allah. Beliau tidak pernah tidur melebihi kebutuhan, namun tidak pula menahan diri untuk tidur sekadar yang dibutuhkan. Penelitian Daniel F Kripke, ahli psikiatri dari Universitas California menarik untuk diungkapkan. Penelitian yang dilakukan di Jepang dan AS selama 6 tahun dengan responden berusia 30-120 tahun mengatakan bahwa orang yang biasa tidur 8 jam sehari memiliki resiko kematian yang lebih cepat. Sangat berlawanan dengan mereka yang biasa tidur 6-7 jam sehari. Nah, Rasulullah SAW biasa tidur selepas Isya untuk kemudian bangun malam. Jadi beliau tidur tidak lebih dari 8 jam.

Cara tidurnya pun sarat makna. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dalam buku Metode Pengobatan Nabi mengungkapkan bahwa Rasul tidur dengan memiringkan tubuh ke arah kanan, sambil berzikir kepada Allah hingga matanya terasa berat. Terkadang beliau memiringkan badannya ke sebelah kiri sebentar, untuk kemudian kembali ke sebelah kanan. Tidur seperti ini merupakan tidur paling efisien. Pada saat itu makanan bisa berada dalam posisi yang pas dengan lambung sehingga dapat mengendap secara proporsional. Lalu beralih ke sebelah kiri sebentar agar agar proses pencernaan makanan lebih cepat karena lambung mengarah ke lever, baru kemudian berbalik lagi ke sebelah kanan hingga akhir tidur agar makanan lebih cepat tersuplai dari lambung. Hikmah lainnya, tidur dengan miring ke kanan menyebabkan beliau lebih mudah bangun untuk shalat malam.

Kelima, istikamah melakukan saum sunnat, di luar saum Ramadhan. Karena itu, kita mengenal beberpa saum sunnat yang beliau anjurkan, seperti Senin Kamis, ayyamul bith, saum Daud, saum enam hari di bulan Syawal, dsb. Saum adalah perisai terhadap berbagai macam penyakit jasmani maupun ruhani. Pengaruhnya dalam menjaga kesehatan, melebur berbagai berbagai ampas makanan, manahan diri dari makanan berbahaya sangat luar biasa. Saum menjadi obat penenang bagi stamina dan organ tubuh sehingga energinya tetap terjaga. Saum sangat ampuh untuk detoksifikasi (pembersihan racun) yang sifatnya total dan menyeluruh.

Selain lima cara hidup sehat ini, masih banyak kebiasaan Rasulullah SAW yang layak kita teladani. Dalam buku Jejak Sejarah Kedokteran Islam, Dr Ja’far Khadem Yamani mengungkapkan lebih dari 25 pola hidup Rasul berkait masalah kesehatan, sebagian besar bersifat pencegahan. Di antaranya cara bersuci, cara ”memanjakan” mata, keutamaan berkhitan, keutamaan senyum, dsb.

Yang tak kalah penting dari ikhtiar lahir, Rasulullah sangat mantap dalam ibadah ritualnya, khususnya dalam shalat. Beliau pun memiliki keterampilan paripurna dalam mengelola emosi, pikiran dan hati. Penelitian-penelitian terkini dalam bidang kesehatan membuktikan bahwa kemampuan dalam memenej hati, pikiran dan perasaan, serta ketersambungan yang intens dengan Dzat Yang Mahatinggi akan menentukan kualitas kesehatan seseorang, jasmani maupun ruhani.


Sinergi Sabar dan Shalat

Shalatlah kamu sebagaimana kamu lihat aku shalat. Demikian sabda Rasulullah SAW ketika memerintahkan ibadah shalat kepada umatnya. Perintah ini menunjukkan betapa pentingnya nilai shalat bagi seorang Muslim, sampai gerakan dan bacaannya dicontohkan secara detail oleh beliau.

Sejatinya, shalat adalah ibadah paripurna yang memadukan olah pikir, olah gerak dan olah rasa (sensibilitas). Ketiganya terpadu secara cantik dan selaras. Kontemplasi dan riyadhah yang terintegrasi sempurna, saling melengkapi dari dimensi perilaku/lisan (al-bayan), respons motorik, rasionalitas (menempatkan diri secara proporsional), dan kepekaan terhadap jati diri--untuk merasakan cinta dan kasih sayang Allah SWT. Yang menarik, Alquran kerap menggandengkan ritual shalat dengan sikap sabar. Misalnya dalam QS Al Baqarah [2] ayat 155, Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Perintah senada terungkap pula dalam QS Al Baqarah [2] ayat 45.

Mengapa sabar dan shalat?
Sebelumnya, mari kita lihat makna sabar. Secara etimologi, sabar (ash-shabr) bermakna menahan (al-habs). Dari sini sabar dimaknai sebagai upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridha Allah (QS Ar Ra'd [13]: 22).

Lebih dari seratus kali kata sabar disebut dalam Alquran. Tidak mengherankan, karena sabar adalah poros sekaligus asas segala macam kemuliaan akhlak. Jika kita menelusuri hakikat akhlak mulia, maka sabar selalu menjadi asas dan landasannya. 'Iffah [menjaga kesucian diri misalnya, adalah bentuk kesabaran dalam menahan diri dari memperturutkan syahwat. Syukur adalah bentuk kesabaran untuk tidak mengingkari nikmat dari Allah. Qana'ah [merasa cukup dengan apa yang ada] adalah sabar dengan menahan diri dari angan-angan dan keserakahan. Hilm [lemah-lembut] adalah kesabaran dalam mengendalikan amarah. Pemaaf adalah sabar untuk tidak membalas dendam. Demikian pula keutamaan akhlak lainnya. Pengukuh agama semuanya bersumbu pada kesabaran.

Dari sini terlihat bahwa sabar itu cakupannya sangat luas. Sehingga sabar bernilai setengah keimanan. Setengah lainnya adalah syukur. Sabar ini terbagi ke dalam tiga tingkatan. Pertama, sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan; seperti musibah, bencana atau kesusahan. Kedua, sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat. Ketiga, sabar dalam menjalankan ketaatan.

Tidak berputus asa saat menghadapi musibah (atau sesuatu yang tidak enak) merupakan tingkat terendah dari kesabaran. Satu tingkat di atasnya adalah sabar untuk menjauhi maksiat dan kesabaran berlaku taat. Mengapa demikian? Kesabaran menghadapi musibah disebut kesabaran idhthirari (tidak bisa dihindari). Pada saat ditimpa musibah, seseorang tdak memiliki pilihan kecuali menerima cobaan tersebut dengan sabar.

Dengan tidak sabar pun, musibah tetap terjadi. Lain halnya dengan sabar menjauhi maksiat dan sabar dalam taat, keduanya bersifat ikhtiari (bisa dihindari). Dengan kata lain, manusia dihadapkan pada pilihan, bisa melakukan bisa pula tidak.

Dari sini, secara psikologis kita bisa memaknai sabar sebagai sebuah kemampuan untuk menerima, mengolah, dan menyikapi kenyataan. Dengan kata lain, sabar adalah upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridha Allah.

Jiwa yang tenang
Salah satu ciri orang sabar adalah mampu menempatkan diri dan bersikap optimal dalam setiap keadaan. Sabar bukanlah sebuah bentuk keputusasaan, melainkan optimisme yang terukur. Ketika menghadapi situasi di mana kita harus marah misalnya, maka marahlah secara bijak dan diniatkan untuk mendapatkan kebaikan bersama. Karena itu, mekanisme sabar dapat melembutkan hati, menghantarkan sebuah kemenangan yang manis atas dorongan syaithaniyah untuk menuruti ketidakseimbangan hawa nafsu.

Dalam shalat dan proses sabar terintegrasi proses latihan yang meletakkan kendali diri secara proporsional, mulai dari gerakan (kecerdasan motorik), inderawi (kecerdasan sensibilitas), aql, dan pengelolaan nafs menjadi motivasi yang bersifat muthma'innah. Jiwa yang tenang inilah yang akan memiliki karakteristik malakut untuk mengekspresikan nilai-nilai kebenaran absolut. Hai jiwa yang tenang (nafs yang muthmainah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang bening dalam ridha-Nya (QS Al Fajr [89]: 27-28).

Orang-orang yang memiliki jiwa muthma'innah pada akhirnya akan mampu mengaplikasikan nilai-nilai shalat dalam kesehariannya. Nilai shalat adalah nilai-nilai yang didominasi kesabaran paripurna. Praktiknya tercermin dari sikap penuh syukur, pemaaf, lemah lembut (hilm), penyayang, tawakal, merasa cukup dengan yang ada (qana'ah), pandai menjaga kesucian diri ('iffah), konsisten (istiqamah), dsb.

Tak heran jika Rasulullah SAW, para sahabat dan orang-orang saleh menjadikan shalat sebagai istirahat, sebagai sarana pembelajaran, sebagai media pembangkit energi, sebagai sumber kekuatan, dan sebagai pemandu meraih kemenangan. Ketika mendapat rezeki berlimpah, shalatlah ungkapan kesyukurannya. Ketika beban hidup semakin berat, shalatlah yang meringankannya. Ketika rasa cemas membelenggu, shalatlah yang membebaskannya. Khubaib bin Adi dapat kita jadikan teladan.

Ketika akan menjalani dieksekusi mati, seorang dedengkot kafir Quraisy memberi Khubaib kesempatan untuk mengungkapkan keinginan terakhirnya. Apa yang ia minta? Ternyata, Khubaib minta diberi kesempatan untuk shalat. Permintaan itu dikabulkan. Dengan khusyuk ia shalat dua rakaat. Selepas itu pengagum berat Rasulullah SAW ini berkata, Andai saja aku tidak ingin dianggap takut dan mengulur-ulur waktu, niscaya akan kuperpanjang lagi shalatku ini!.

Ya, shalat yang baik akan menghasilkan kemampuan bersabar. Sebaliknya kesabaran yang baik akan menghasilkan shalat yang berkualitas. Ciri shalat berkualitas adalah terjadinya dialog dengan Allah sehingga melahirkan ketenangan di hati. Komunikasi dengan Allah tidak didasari titipan kepentingan. Dengan terbebas dari gangguan kepentingan tersebut, shalat akan mencapai derajat komunikasi tertinggi. Komunikasi dengan Dzat Yang Mahakuasa, Pemilik Alam Semesta.

Siapa pun yang mampu merasakan nikmatnya berdialog dengan Allah SWT, hingga berbuah pengalaman spiritual yang dalam, niscaya ia tidak akan sekali pun melalaikan shalat. Ia rela kehilangan apa pun, asal tidak kehilangan shalat. Jika sudah demikian, pintu pertolongan dari Allah SWT akan terbuka lebar.


Kenyang

Oleh : Ganda Pekasih

''Tidak ada bejana yang yang diisi anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam untuk menegakkan tulang punggungnya. Sepertiga perutnya untuk makanannya, sepertiga untuk minumnya dan sepertiga lagi untuk nafasnya.'' (HR At Tirmidzi) Makan, sesungguhnya jelas tidak hanya sekadar penghalau rasa lapar. Apalagi saat ini. Makan menjadi bagian dari gaya hidup dan tujuan kesenangan serta gengsi. Maka tempat-tempat makan prestisiuspun tak pernah sepi dari pengunjung. Bahkan, ada yang memesan kursi jauh sebelumnya.

Walau jenis makanan yang dimakan halal adanya, tapi berhati-hatilah ketika batas proporsional tidak lagi diindahkan. Allah berfirman, ''Makan dan minumlah, tapi jangan berlebih lebihan. Sesungguhnya Allah tidak senang terhadap orang yang berlebih lebihan.'' (QS Ala'raaf [7]: 31).

Dikisahkan Nabi Yahya AS berjumpa iblis yang sedang membawa alat pancing. Bertanya Yahya AS, ''Untuk apa alat pancing itu?'' ''Inilah syahwat untuk mengail anak Adam.'' ''Adakah padaku yang dapat kau kail?'' Iblis menjawab, ''Tidak ada, hanya pernah terjadi pada suatu malam engkau makan agak kenyang hingga kami dapat menggaet engkau sehingga berat untuk mengerjakan shalat.'' Yahya AS terkejut. ''Kalau begitu aku tak akan mau kekenyangan lagi seumur hidupku.''

Kekenyangan membuat tubuh menjadi malas bergerak. Mengerjakan ibadah jadi berat sehingga mudah bagi iblis membisikkan tipu dayanya. Tanpa kita sadari otak pun menjadi tidur, tubuh jadi gemuk, lemak menumpuk.

Itu sebabnya, Rasulullah berpesan agar kita makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Para sahabat pun mengikuti ajaran itu. Imam Ghazali mengutip ucapan Abu Bakar Shiddiq RA dalam hal ini, ''Sejak aku memeluk Islam, belum pernah aku mengenyangkan perutku karena ingin dapat merasakan manisnya beribadah, dan belum pernah aku kenyang minum karena sangat rindunya aku pada Ilahi.''

Jelaslah mengapa Alquran dengan lantang membenci tindakan berlebih-lebihan, dalam hal ini banyak makan (kekenyangan). Di samping dari sisi kesehatan akibat banyak makan tentu bisa menimbulkan berbagai penyakit, banyak makan memberatkan pula seseorang untuk beribadah dan lebih celaka lagi, akan mematikan hati nurani.

Istri Shalehah

Oleh : Bahron Anshori

Istri yang shalehah adalah yang mampu menghadirkan kebahagiaan di depan mata suaminya, walau hanya sekadar dengan pandangan mata kepadanya. Seorang istri diharapkan bisa menggali apa saja yang bisa menyempurnakan penampilannya, memperindah keadaannya di depan suami tercinta. Dengan demikian, suami akan merasa tenteram bila ada bersamanya.

Mendapatkan istri shalehah adalah idaman setiap lelaki. Karena memiliki istri yang shalehah lebih baik dari dunia beserta isinya. ''Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri shalehah.'' (HR Muslim dan Ibnu Majah).

Di antara ciri istri shalehah adalah, pertama, melegakan hati suami bila dilihat. Rasulullah bersabda, ''Bagi seorang mukmin laki-laki, sesudah takwa kepada Allah SWT, maka tidak ada sesuatu yang paling berguna bagi dirinya, selain istri yang shalehah. Yaitu, taat bila diperintah, melegakan bila dilihat, ridha bila diberi yang sedikit, dan menjaga kehormatan diri dan suaminya, ketika suaminya pergi.'' (HR Ibnu Majah).

Kedua, amanah. Rasulullah bersabda, ''Ada tiga macam keberuntungan (bagi seorang lelaki), yaitu: pertama, mempunyai istri yang shalehah, kalau kamu lihat melegakan dan kalau kamu tinggal pergi ia amanah serta menjaga kehormatan dirinya dan hartamu ...'' (HR Hakim).

Ketiga, istri shalehah mampu memberikan suasana teduh dan ketenangan berpikir dan berperasaan bagi suaminya. Allah SWT berfirman, ''Di antara tanda kekuasaan-Nya, yaitu Dia menciptakan pasangan untuk diri kamu dari jenis kamu sendiri, agar kamu dapat memperoleh ketenangan bersamanya. Sungguh di dalam hati yang demikian itu merupakan tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi kaum yang berpikir.''(QS Ar Rum [30]: 21).

Beruntunglah bagi setiap lelaki yang memiliki istri shalehah, sebab ia bisa membantu memelihara akidah dan ibadah suaminya. Rasulullah bersabda, ''Barangsiapa diberi istri yang shalehah, sesungguhnya ia telah diberi pertolongan (untuk) meraih separuh agamanya. Kemudian hendaklah ia bertakwa kepada Allah dalam memelihara separuh lainnya.'' (HR Thabrani dan Hakim).

Namun, istri shalehah hadir untuk mendampingi suami yang juga shaleh. Kita, para suami, tidak bisa menuntut istri menjadi 'yang terbaik', sementara kita sendiri berlaku tidak baik. Mari memperbaiki diri untuk menjadi imam ideal bagi keluarga kita masing-masing.