Oleh : AHMAD NURCHOLISH/SYIRAH
Dari Anas, Rasulullah saw bersabda:
“Kamu sekalian lebih mengetahui tentang urusan duniamu.” (HR. Muslim)
Hadis yang terdapat dalam Shahih Muslim (Juz IV, h. 1836) ini mempunyai asbab al-wurud (sebab yang melatari munculnya hadis), yakni pada suatu saat, Nabi lewat di hadapan para petani yang sedang mengawinkan serbuk (kurma pejantan) ke putik (kurma betina).
Lantas, Nabi berkomentar: “Sekiranya kamu sekalian tidak melakukan hal itu, niscaya kurmamu akan baik.”
Mendengar komentar itu, para petani lalu tidak lagi mengawinkan kurma mereka. Setelah beberapa lama, Nabi lewat kembali ke tempat itu dan menegur para petani: “Mengapa pohon kurmamu itu?”
Para petani lalu melaporkan yang telah dialami oleh kurma mereka, yakni banyak yang tidak jadi. Mendengar keterengan mereka itu, Nabi lalu bersabda sebagaimana dikutip di atas.
Banyak kalangan yang memahami hadis tersebut secara tekstual. Mereka menyatakan bahwa Nabi saw tidak mengetahui banyak tentang urusan dunia dan menyerahkan urusan dunia itu kepada para sahabat (umat Islam).
Ada pula yang berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis itu, maka Islam membagi aktivitas hidup secara dikotomi, yakni aktivitas dunia dan aktivitas akhirat (agama). Pemahaman yang demikian itu telah mengantarkan umat Islam berfikir dikotomis: mengutamakan aktivitas agama dan menomorduakan aktivitas dunia atau sebaliknya.
Dalam sejarah, sebagaimana dipaparkan HM Syuhudi Ismail (1994: 57), Nabi berkali-kali memimpin peperangan dan menang. Perang yang dilakukan Nabi dan para sahabat beliau itu adalah urusan dan aktivitas keduniaan, di samping juga aktivitas keagamaan.
Sebelum diangkat sebagai rasul, beliau pernah sukses dalam melakukan aktivitas bisnis (tepatnya dagang). Berdagang adalah salah satu aktivitas dunia, selain juga sebagai kepala negara yang berhasil, yang aktivitasnya banyak berhubungan dengan urusan dunia, selain agama tentunya.
Hadis tersebut sesungguhnya tidaklah menyatakan bahwa Nabi saw sama sekali buta dalam urusan dunia. kata “dunia” yang termuat dalam hadis di atas lebih tepat diartikan sebagai profesi atau bidang keahlian.
Dengan demikian, maksud hadis tersebut ialah bahwa Nabi tidak memiliki keahlian sebagai petani; karenanya, para petani lebih mengetahui tentang dunia pertanian daripada Nabi saw.
Pemahaman kontekstual dari hadis itu adalah Nabi saw memberikan penghargaan terhadap kehlian profesi, dan bidang keahlian itu bersifat universal.
Hal ini sejalan dengan firman Allah swt.:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang layak menerimanya. Dan apabila kamu mengadili di antara manusia, bertindaklah dengan adil. Sungguh Allah mengajar kamu dengan sebaik-baiknya, karena Allah Maha Mendengar, Maha Melihat” (an-Nisa’/ 4:58 )
Oleh Hamka, ayat ini merupakan ajaran Islam yang wajib dipegang oleh penguasa-penguasa, memberikan amanat hendaklah kepada ahlinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar