Banyak orang mati-matian memanfaatkan waktunya untuk mengejar dunia, padahal ia tidak tahu kapan ia bisa menikmati jerih payahnya tersebut. Boleh jadi ia mendapatkan sejumlah besar uang, tapi ia tidak tahu kapan bisa merasakan nikmatnya uang tersebut. Karena itu, Al-Quran mengulang-ulang akan pentingnya waktu agar manusia tidak sampai melalaikannya.
Menunda-nunda adalah satu penyakit kronis manusia yang sangat berbahaya. Ia menangguhkan sebuah amal karena berpikir bahwa amal tersebut bisa dikerjakannya esok hari. Padahal, dengan menunda ia akan menyesal ketika tidak mampu lagi mengerjakan pekerjaan tersebut dilain waktu. Harta hilang mungkin bisa dicari. Namun jika waktu yang hilang, sedikit pun tidak akan pernah bisa diganti. Kerugian menunda tidak sekadar di dunia, tapi juga di akhirat kelak. Seseorang akan melihat bekas-bekas waktu yang ia lewati tanpa ada amal kebaikan di dalamnya. Walau hanya satu menit, akan terlihat bekasnya. Menit ini terisi, menit ini kosong, menit ini hitam, merah, atau putih, semuanya akan terlihat jelas.
Karena itu, Rasulullah SAW selalu menasihati para sahabat agar tidak menunda amal yang bisa segera dikerjakan. “Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara. Pertama, kehidupanmu sebelum datang kematianmu. Kedua, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Ketiga, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu. Keempat, masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Kelima, masa kayamu sebelum datang masa miskinmu.” (HR Hakim).
Dilihat dari “pelakunya”, ada dua tipe penunda pekerjaan yang dapat diidentifikasi, yaitu tipe penggerak dan tipe penghindar. Tipe penggerak selalu menunda pekerjaan karena menyukai ketegangan dalam menyelesaikan pekerjaan secara terburu-buru dan di akhir waktu. Sedangkan tipe penghindar, selalu menunda pekerjaan untuk menghindar dari berbagai sebab, mulai dari takut gagal sampai keinginan untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan. Orang seperti ini sangat percaya kalau mereka akan lebih baik tidak mencoba daripada mencoba dan gagal.
Kedua tipe ini sama tidak baiknya. Yang pertama cenderung mudah terkena stres sehingga hasil pekerjaannya tidak maksimal. Sedangkan yang kedua cenderung gagal, sulit berkembang, dan akan menyesal di akhir. Kenapa saya tidak mencobanya? Kalau seandainya saya melakukannya sejak dulu, nanti saja, 'kan masih ada waktu! dsb, adalah kata-kata standar yang biasanya diucapkan orang yang menunda pekerjaan dan selalu takut mencoba hal yang baru.
Menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi, ada beberapa alasan yang menyebabkan Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk tidak menunda-nunda pekerjaan. Pertama, kita tidak dapat menjamin untuk bisa hidup sampai esok hari. Boleh jadi sekarang kita hidup, tapi siapa tahu esok atau lusa kita mati.
Kedua, selain kita tidak dapat menjamin tetap hidup esok hari, kita pun tidak akan bebas seratus persen dari gangguan-gangguan seperti penyakit ataupun kesibukan-kesibukan baru. Pantas kalau Rasulullah SAW mengatakan, “Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara yang lain: masa hidupmu sebelum datang kematianmu; masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu; masa luangmu sebelum datang masa sibukmu; masa mudamu sebelum datang masa tuamu; dan masa kayamu sebelum datang masa miskinmu.” (HR Hakim).
Ketiga, sesungguhnya bagi setiap hari ada aktivitasnya dan bagi setiap waktu ada kewajibanya. Jelasnya, tidak ada waktu yang kosong dari pekerjaan. Ibnu 'Ata berkata, “Kewajiban-kewajiban pada tiap waktu mungkin untuk diganti, namun hak-hak dari setiap waktu tidak mungkin untuk diganti.”
Keempat, mengakhirkan pelaksanaan perintah dan menunda pekerjaan yang baik, akan menyebabkan seseorang terbiasa melakukannya, untuk kemudian berurat dan berakar dalam jiwanya hingga membentuk akhlak yang buruk. Dan terakhir, bahwa bekerja itu adalah kebutuhan vital bagi seorang manusia yang hidup. Orang yang tidak mau bekerja atau menunda-nunda pekerjaannya, secara tidak langsung telah “kehilangan hak” untuk hidup.
Sesungguhnya, menunda hanya boleh dilakukan dalam kerangka skala prioritas. Para ulama mengungkapkan beberapa bentuk prioritas, di antaranya: fardhu, wajib, sunnah, atau makruh. Adanya bentuk-bentuk prioritas ini menuntut seorang Muslim agar mampu membagi nilai waktu. Misal, saat bangun tidur. Ketika itu, kondisi kita masih sangat segar dan pikiran masih jernih. Maka, jangan sampai kita menyia-nyiakan waktu yang baik tersebut dengan melakukan perbuatan yang bisa dilakukan pada waktu yang lain. Seperti membaca koran atau majalah, itu bisa dilakukan ketika kita sedang capek. Sedangkan untuk tadabur Alquran memerlukan suasana dengan konsentrasi tinggi. Maka gunakanlah wantu yang baik tersebut untuk mengerjakan sebuah aktivitas yang “berat” dan yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Jangan sampai waktu “terbaik” kita habis oleh amal yang ringan.
Kebiasaan menunda wajib dihilangkan dari pribadi seorang Muslim. Sebaliknya, yang harus diperhatikan adalah membaca masa lalu untuk kepentingan sekarang. Allah SWT berfirman, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Hasyr [59]: 18). Dalam ayat lain disebutkan bahwa tak ada seorang pun yang mengetahui apa yang akan terjadi besok. …Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang diusahakannya besok (QS. Luqman [31]: 34).
Jadi bagaimana kita bisa memprogram hari esok dengan pasti? Rencana boleh, tapi bukan sesuatu yang pasti akan terjadi. Intinya, merencanakan masa depan adalah kewajiban kita. Masa lalu harus dijadikan pelajaran, masa sekarang kita jadikan sebagai pengamalan, dan masa depan kita programkan dengan sebaik mungkin, sedang hasilnya ada dalam genggaman Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar