Sabtu, 07 Juli 2007

Musibah (Bala’) Sebagai Tanda Cinta dari Allah Swt


Image"Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dan sedikit ketakutan, penyakit, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar". (QS. Al Baqarah : 153 )

"Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (Qs. al-Taghâbun [64]: 11).

"Dan Allah sekali-kali tidak mengadzab mereka, sedang kamu berada diantara mereka, dan tidaklah (pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka minta ampun". (QS. An Anfal : 33).

***

Paska ‘tragedi’ gempa bumi di Yogyakarta-Jawa Tengah (27/05/06). Beredar desas-desus, bencana yang telah mengeringkan air mata itu adalah bukti kutukan dari Tuhan atas hamba-Nya yang ‘mesum’. Dan hampir saja mereka menyamakan Tuhan dengan Stalin yang suka menghukum bagi siapa saja yang berani membangkangnya. Astagfirullahal ‘Adzim. Padahal ketiga ayat tersebut, dengan jelas telah membedakan definisi antara bala’ (ayat pertama), musibah (ayat kedua) dan ‘adzab (ayat ketiga).
Bala’. Secara bahasa, al-bala’ bermakna al-ikhtibar (ujian). Istilah bala’ sendiri digunakan untuk menggambarkan ujian yang baik maupun yang buruk (Imam ar-Razi, Mukhtâr al-Shihâh, hal. 65). Dalam kitab al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an dinyatakan, bala’ memiliki tiga bentuk; ni’mat (kenikmatan), ikhtibaar (cobaan atau ujian), dan makruuh (sesuatu yang dibenci) (Syihâb al-Dîn Ahmad, al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an, juz 1, hal. 85). Di dalam al-Quran, kata bala’ disebutkan di enam tempat, dengan makna yang berbeda-beda; (Qs. al-Baqarah [2]: 49; Qs. al-A’râf [7]: 141; Qs. al-Anfâl [8]: 17; Qs. Ibrahim [14]: 6; Qs. ash-Shafât [37]: 106; Qs. ad-Dukhân [44]: 33). Ada yang bermakna cobaan dan ujian yang dibenci manusia. Ada pula yang berarti kemenangan atau kenikmatan (bala’ hasanan).

Musibah. Secara bahasa adalah al-baliyyah (cobaan) dan semua perkara yang dibenci oleh manusia. Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisân al-‘Arab menyatakan, musibah adalah al-dahr (kemalangan, musibah, dan bencana) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 535). Menurut Imam al-Baidhawi, musibah adalah semua kemalangan yang dibenci dan menimpa umat manusia. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, "Setiap perkara yang menyakiti manusia adalah musibah." (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 1, hal. 431). Kata musibah disebutkan di sepuluh ayat, dan semuanya bermakna kemalangan, musibah, dan bencana yang dibenci manusia. Namun demikian, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk menyakini, semua musibah itu datang dari Allah SWT, dan atas ijinNya.

Sedangkan adzab. Arti secara bahasa, ‘adzab adalah al-nakâl wa al-‘uqûbah (peringatan bagi yang lain, dan siksaan [hukuman]) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 585). Al-nakâl adalah peringatan yang berupa siksaan atau hukuman kepada yang lain. Kata al-‘adzab biasanya digunakan pada konteks hukuman atau siksaan kelak di hari akhir. Allah SWT berfirman dalam Qs. al-Baqarah [2]: 7, Qs. al-Isrâ’ [17]: 10, Qs. al-Fath [48]: 25. Tatkala menafsirkan ayat ini, Ali ash-Shabuni mengatakan, "Seandainya orang-orang kafir itu dipisahkan satu dengan yang lain, kemudian dipisahkan antara yang mukmin dengan yang kafir, tentulah Allah akan mengadzab orang-orang kafir dengan adzab yang sangat keras, berupa pembunuhan, penawanan, maupun pengusiran dari negeri mereka-negeri mereka." (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 3, hal. 48).

Kini jelas sudah, ‘tragedi’ yang baru saja menimpa DIY-Jawa tangah, bukanlah sebagai kutukan (‘adzab) Tuhan, seperti yang telah dijatuhkan Allah SWT kepada umat terdahulu, seperti kaumnya Nabi Nuh, kaum Tsamud, dan lain sebagainya. Kaum-kaum tersebut telah dimusnahkan Allah SWT akibat pengingkaran mereka terhadap tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Melainkan suatu musibah, atau bala’ dari Alllah Swt yang MahaPengasih lagi Maha Penyayang. Sebab jika ‘adzab sudah pasti tiada yang tersisa, kecuali orang-orang mukmin salihin.

Seorang sahabat, Sa’ad bin Abi Waqqash, mengajukan serangkaian pertanyaan kepada Nabi Muhammad SAW tentang tingkatan musibah atau bala’ yang dialami manusia.

"Ya Rasulullah, siapa di antara manusia yang paling pedih balanya di dunia?"

"Para Nabi," jawab Rasulullah.

"Kemudian siapa lagi?"

"Para Wali."

"Kemudian siapa lagi?"

"Orang yang mirip dengan itu."

Kata terakhir, "orang yang mirip dengan para Nabi dan Wali", menurut Jumhur Mufassir bisa saja ulama, atau pemimpin umat. Dan hadist ini cukup kuat menunjukkan kepada kita, bahwa semakin tinggi keimanan dan tanggung jawab seseorang, semakin berat musibah atau ujian yang ditimpakan Allah kepadanya. Semua itu bisa kita simak dalam buku Sirrah an-Nabawiyah, Ibnu Hisyam. Di sana banyak dikisahkan penderitaan yang sangat, telah dialami oleh para Nabi pendahulu. Seperti Nabi Ayub As. yang menjadi utusan Allah menerima sakit. Dalam sebuah riwayat disebutkan, saat ia sujud, ulat yang ada di borok kepalanya terjatuh, tetapi dipungutnya dan dikembalikannya ke tempat semula. Begitu juga kelaparan yang dialami ummat Nabi Muhammad Saw. Saat berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Kemudian Nabi bersabda, "Innallaha idza ahabba qauman ibtalahum - Sesungguhnya Allah kalau mencintai suatu kaum, diberi-Nya bala’, dan pada riwayat yang lain menyebutkan, "Ma min muslimin, ‘ushiba bi mushibatin min adza, au maradhin hatia syaukatin tusyakkuhu ilia ka anna lahu bihi kaffarah - Tak seorang Muslim yang ditimpa musibah, baik berupa rasa susah, atau sakit bahkan sebuah dun menusuk kulitnya, kecuali hal itu menjadi kaffarah baginya".

Maka dalam konteks ini, bahwa datangnya musibah (bala) adalah benar sebagai sebuah berita gembira bagi orang yang bersabar, sebab itulah yang disebut kaffarah (Allah menutupi dosa-dosa bagi hamba-Nya). Dan bagi orang yang selamat juga sebuah ujian, harus berbuat apa saat musibah ini sudah menimpa? Karena itu, dari pada kita menghasut. Mari segera kita mengirim doa, melaksanakan qunut nazilah, atau shalat gaib bagi mereka yang mati syahid, membentuk regu-regu relawan, dan menyumbangkan sebagian rizki kita untuk meringankan derita mereka. (Julung. Relawan bencana di Bantul. Mahasiswa Ushuluddin, Jurusan Akidah Filsafat UIN Yogyakarta)

Tidak ada komentar: