Rabu, 11 Juli 2007

Nabi Muhammad Membawa Ajaran Kehanifan yang Lapang
Oleh : AHMAD NURCHOLISH/SYIRAH

“Aku tidak diutus dengan keyahudian, juga tidak dengan kekristenan. Akan tetapi aku diutus dengan kehanifan yang lapang (al-hanifiyat al-samhah). Demi Dia yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, pergi pagi dan pulang petang di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya. Pastilah berdiri tegaknya seseorang di antara kamu (dalam barisan perjuangan) adalah lebih baik daripada sembahyangnya selama enam puluh tahun.” (HR. Imam Ahmad).

Latar riwayat dari hadis ini adalah ketika Abu Umamah dan sahabat-sahabatnya keluar bersama Rasulullah saw., dalam salah satu ekspedisi beliau. Kemudian seseorang melewati sebuah goa yang di situ ada air.

Orang itu berkata kepada dirinya sendiri untuk tinggal di goa itu dengan jaminan hidup dari air yang ada dan makanan tetumbuhan di sekitarnya kemudian melepaskan diri dari dunia.

Lalu, orang itu berkata: “Kalau nanti aku bertemu Nabi Allah saw, aku akan ceritakan perkara itu kepada beliau. Kalau beliau ijinkan, aku akan lakukan, kalau tidak, ya tidak.”

Maka datanglah ia menemui Nabi saw, dan menanyakan soal rencananya itu. Mendengar penuturan seorang sahabat itu, Rasulullah pun menjawab sebagaimana sabda di atas.

Dari hadis ini jelas bahwa ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw adalah ajaran kehanifan yang memberikan kelapangan yang antara lain dalam soal peribadatan.

Dalam hadis ini misalnya, lagi-lagi disebut keyahudian dan kekristenan di waktu itu sebagai kontras kehanifan yang lapang, karena di zaman Nabi, kedua agama itu diwujudkan dalam praktik-praktik peribadatan yang kurang memberi kelapangan.

Ketidaklapangan itu antara lain praktik peribadatan yang melawan fitrah manusia seperti karahiban atau rahbaniyah. Maka, secara analogis, peringatan serupa juga berlaku kepada sebagian dari kalangan muslim.

Sebagian karakteristik utama kehanifan itu ialah kelapangan (samhah) yang tulus dan bersih, fitri dan alami. Dari situlah kemudian kita menyebut kehanifan dan kemusliman sebagai agama fitrah. Yang oleh Nabi saw ditegaskan bahwa “sebaik-baiknya agama ialah kehanifan yang lapang”.

Begitupun ketika rasulullah saw ditanya, ‘Agama manakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab, ‘Kehanifan yang lapang’.

Kelapangan atau samhah itu merupakan bagian integral dari kehanifan yang merupakan naluri paling mendalam pada manusia untuk mencari, merindukan dan akhirnya memihak atau condong kepada kebenaran, kesucian, dan kebaikan.

Sikap ini harus dibiarkan bekerja dan berproses secara bebas dan lapang agar berhasil mencapai tujuannya.

Kelapangan ini juga ditegaskan Nabi saw dalam sebuah hadis, “Hari ini biarlah kaum Yahudi tahu bahwa dalam agama kita terdapat kelapangan (fushah). Sesungguhnya aku diutus dengan kehanifan yang lapang” (HR. Imam Ahmad).

Keberagamaan yang hanif sejatinya juga diajarkan dan dipraktikkan oleh Nabi dan Rasul sebelum Muhammad saw. Misalnya sebagaimana dicontohkan oleh perjalanan hidup Nabi Ibrahim.

Ia meninggalkan Ismail dan istrinya, Hajar, di lembah tandus tak bertumbuhan, dekat Baitullah yang suci, yaitu lembah Bakkah atau Makkah. Sementara Ibrahim sendiri tinggal di Kanaan.

Sejak itulah ajaran Ibrahim memengaruhi penduduk Makkah dan sekitarnya. Tetapi oleh karena perjalanan waktu yang panjang – 2000 sampai 3000 tahun – penduduk Makkah melupakan inti ajaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, meski mereka tetap mempertahankan upacara-upacara ritual keagamaan lahiriah seperti haji, kurban dll.

Namun demikian, ada sejumlah kecil orang Makkah yang bertahan dengan ajaran kehanifan Ibrahim itu. Mereka itulah yang memiliki moralitas yang bertentangan dengan tradisi Arab Jahiliah, di mana mereka (Arab Jahiliah itu) sangat membenci agama Ibrahim. Al-Quran menyebut orang itu sebagai “membodohi dirinya sendiri” (QS. Al-Baqarah/2:120). []

Tidak ada komentar: