Selasa, 03 Juli 2007

Yang Membedakan di antara Kita adalah Taqwa 9-4-2007
Oleh : AHMAD NURCHOLISH/SYIRAH

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya ayahmu satu dan sesungguhnya ayahmu satu. Ketahuilah, tidak ada keunggulan orang Arab atas non-Arab, tidak pula non-Arab atas orang Arab, serta tidak pula orang berkulit hitam atas orang yang berkulit merah. Yang membedakan adalah taqwanya.” (HR. Ahmad).

Hadis ini (Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Jilid V, h. 411) secara tegas menerangkan bahwa pada dasarnya semua manusia itu sama. Karena itu, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar apa pun, kecuali taqwanya kepada Allah swt. Islam secara tegas menolak adanya dominasi manusia terhadap manusia lain. Karena hal tersebut merupakan akar penyebab dari semua kejahatan dan keburukan di dunia, baik secara langsung maupun tidak.

Menurut Al-Maududi (1993:153), diskriminasi inilah yang menjadi cikal-bakal semua bencana dalam kehidupan umat manusia, dan bahkan sampai hari ini tetap menjadi penyebab utama semua bencana dan malapetaka yang dialami manusia.

Dalam hadis lain disebutkan pula:

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk atau rupa kamu, juga tidak kepada harta benda kamu. Akan tetapi, Allah swt memandang kepada hati dan amal perbuatanmu semata.” (HR. Ibn Majah).

Hadis yang terdapat dalam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah (Jilid II, h. 153) di atas menerangkan bahwa semua manusia sama di hadapan Allah. Manusia, dengan merujuk hadis ini, tidak layak membanggakan bentuk dan rupa lahiriah mereka, sereta harta benda yang mereka miliki karena semua itu tidak ada artinya bagi Allah SWT. Dia hanya memerhatikan niat dan amal perbuatan manusia.

Oleh Husein Haikal, ajaran persamaan ini perlu ditonjolkan, mengingat masyarakat Arab sebelum Islam adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai kabilah (suku bangsa). Setiap kabilah selalu membanggakan ‘ashabiyah (fanatisme yang tinggi terhadap keluarga, kesukuan, dan golongan) dan nasab (asal keturunan) mereka masing-masing sehingga tidak mengherankan jika kehidupan komunitas tersebut selalu diwarnai dengan pertentangan, pertikaian politik, dan konflik sosial.

Masyarakat Arab yang berdasarkan ‘Ashabiyah ini tidak mengenal prinsip persamaan di antara sesama manusia, sebagaimana diajarkan oleh Islam. Setiap kabilah merasa kabilahnya paling tinggi dan lebih terhormat daripada kabilah lain. Setiap kabilah juga memandang kabilah lain sebagai musuh yang harus dimusnahkan sehingga peperangan di antara mereka pun tidak dapat dihindarkan.

Tidak ada kepedulian sosial di antara kabilah-kabilah tersebut, karena setiap kabilah sibuk dengan urusan dan kepentingan mereka masing-masing. Kondisi inilah yang dilukiskan oleh al-Quran sebagai kondisi jahiliyah, serbuah zaman yang oleh para ahli sering diterjemahkan dengan “zaman kepicikan” (time of ignorance) atau “zaman kebiadaban” (time of barbarism).

Kondisi yang demikian itulah yang hendak diperbaiki Nabi melalui dakwah islamiyahnya. Nabi melihat bahwa system kehidupan bermasyarakat yang dijalani oleh bangsa Arab itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu, ketika Nabi Muhammad SAW telah memiliki kedudukan yang mantap sebagai pemimpin masyarakat di Madinah, beliau segera membuat perjanjian tertulis yang dikenal dengan nama “Piagam Madinah” yang di dalamnya, antara lain, dinyatakan bahwa seluruh penduduk Madinah memperoleh status dan perlakuan sama dalam kehidupan masyarakat.

Dalam konteks keindonesiaan, meski kita sudah merdeka selama 62 tahun, namun, kondisi ‘ashabiyah ini masih mewarnai kehidupan sosial kemasyarakatan dan politik kita. Oleh karenanya mengingat dan mencermati serta merenungi kembali hadis di atas merupakan langkah awal untuk mendorong terciptanya kehidupan masyarakat yang egaliter, setara, demokratis, dan berperadaban.[]


Tidak ada komentar: