Sabtu, 07 Juli 2007

Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan:

Islam Bukan Melulu Doktrin


ImageSejarah, masa lalu, yang selalu digambarkan dengan sangat idealis, berdampak pada masyarakat yang selalu bermimpi untuk kembali mengulang sejarah masa lalu. Masa Nabi Muhammad SAW atau masa para Sahabatnya, adalah potret masa lalu yang oleh generasi sesudahnya dipandang sebagai masa keemasan yang patut dihadirkan kembali sebagai contoh. Di satu sisi, barangkali hal tersebut bisa dimaklumi karena kita, dari kejauhan, “melihat” aturan atau disiplin tertentu berjalan dan dipatuhi. Tapi, di sisi lain, kita tampak tidak peduli bahwa waktu, tempat, latar belakang sosial, dan lain sebagainya, telah mengalami perubahan dan perkembangan. Nah, dari sinilah muncul pertanyaan-pertanyaan: bagaimana sejarah harus dibaca? Bagaimana sejarah harus disikapi? Dan bagaimana pula sejarah itu bila dihadap-hadapkan dengan problem umat yang ada di depan kita saat ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Buletin Jumat Al-Ikhtilaf edisi ini menyajikan hasil wawancara Ahmad Munir (AM) dengan Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan (AMM). Berikut ini petikan wawancara yang dilakukan di kediamannya, Perumahan Kanwil Departemen Agama DIY, Yogyakarta, pada tanggal 21 Januari 2006.

Islam sangat erat sekali dengan sejarah. Sebenarnya, menurut Anda, bagaimana hubungan Islam dengan sejarah itu sendiri?

Saya menemukan (seperti) “Nuzulul Qur’an” sebagai peristiwa wahyu yang sakral kemudian menyejarah, waktu tempat, dan latar belakang sosial-budaya. Sehingga Islam itu sejarah, tidak melulu doktrin. Maka Islam tidak bisa dipahami tanpa dalam konteks sejarah. Nah, misi Islam itu sebagai pengawal sejarah, sebagai kritik sejarah. Oleh karena itu, memahami, menerapkan dan memfungsikan Islam tidak bisa kecuali dalam kerangka sejarah. Maksudnya, persoalan masa lalu akan berbeda dengan persoalan sekarang, masa depan. Ada ayat wa lal akhirotu khoirun laka min al- ula, berarti masa depan (kehidupan akhirat) itu lebih baik dari masa lalu (kehidupan dunia). Kalau tidak setuju dengan kontekstualisasi atau pembacaan Islam yang subtantif, (maka) ada persoalan-persoalan baru yang perlu dijawab.

Dalam masyarakat kita, khususnya masyarakat Muslim, ada sebagian yang selalu mengimpikan sejarah masa lalu, seperti pada masa Nabi, terulang dan bisa diterapkan lagi. Menurut Anda bagaimana?

Ya, itu gejala universal ketika orang mempunyai memori masa lalu yang kebetulan digambarkan begitu ideal. Pada saat-saat menghadapi krisis, problem yang rumit kemudian orang cenderung romantis. Apalagi masa lalu diceritakan, disosialisasikan dengan gambaran yang begitu idealis tanpa merpertimbangkan konteks, tanpa menjelaskan situasi sosial saat itu. Kemudian romantisme menimbulkan persepsi literal, simbolik. Sesungguhnya, ada dua romantisme. Yang pertama, romantisme pada nilai-nilai substantifnya, dan semua ajaran seperti itu. Dan yang kedua, romantisme simbolik. Yang dihadirkan adalah simbol yang dipergunakan masa lalu, misal pakaian dan bentuk-bentuk fisik seperti jenggot dan gamis. Dan semua masyarakat mengalami itu apalagi masyarakat yang sedang mengalami krisis.

Apa sebenarnya efek yang ditimbulkan terhadap sikap seperti itu?

Ada persoalan ketika romantisme diikuti sikap kurang kritis sehingga yang banyak adalah romantisme simbolik. Ketika masyarakat itu menghadirkan simbol-simbol masa lalu kemudian muncul masalah lagi ketika ternyata problem-problem itu tidak selesai. Ini memunculkan gejala yang lebih keras lagi yakni eskapisme: lari dari situasi. (Di samping itu) ada juga yang kemudian lahir anak-anak muda yang (mungkin) dipandang ekstrim. Bahkan ini lahir di semua kalangan Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan lain-lain. Mereka menghadirkan romantisme subtantif dengan menggali apa pesan-pesan subtantif sejarah masa lalu yang kemudian dihadapkan dengan persoalan-persoalan kontemporer. Sehingga muncul tafsir baru yang berbeda dengan tafsir–tafsir lama.
Menurut Anda, bagaimana seharusnya kita membaca sejarah?

Memori historis, sekali lagi, itu universal. Tapi harus dibaca dengan sikap kritis. Maksudnya, dulu pada masa Nabi, penduduknya belum sebanyak sekarang dan persoalan sosial belum serumit sekarang, karena ini natural bukan hanya karena sikap orang yang tidak suka dengan Islam. Arab sekarang tidak seperti dulu. Jadi, membaca sejarah itu harus kontekstual, lalu kemudian mencoba menangkap pesan esensial kenabian, misal pembelaan terhadap mustadl’afin (rakyat kecil—Red). Intinya itu, tapi bentuk bagaimana membela itu yang berbeda. Lalu tentang akhlakul karimah. Itu harus ditangkap bukan perilakunya tetapi tujuannya—kalau dalam syari’ah, ya maqasyidnya. Kemudian membentuk formula baru sehingga bisa menjawab persoalan baru sehingga misi univesal tersampaikan. Ini bukan persoalan Islam menyesuaikan tetapi bagaimana menerapkan Islam dalam persoalan-persoalan yang berbeda. Itu terlihat dari Nabi sendiri ketika ditanya ornag yang berbeda , jawab Nabi pun berbeda juga. Jadi secara ringkas, adalah membaca sejarah secara kritis dan kontekstual.

Bagaimana Anda menyikapi umat yang cenderung romantisme simbolik?

Pertama-tama, Ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah itu doktrin yang agak sulit. Itu universal. Menurut saya, sumbernya dari sana cuma bentuk dan caranya itu perlu dikaji ulang. Doktrinnya qath’iy, cuma,menerapkan yang qoth’i itu yang perlu dikaji ulang, bagaimana bentuk konteksnya dalam masyarakat sekarang. Saya kira semua setuju tentang al-Qur’an dan as-Summah, cuma bagaimana penerapannya, itu yang berbeda. Maka ada dua jalan (untuk menghadapai perbedaan itu—red) yakni pertama, kesediaan untuk dialog dan yang kedua uji publik, saling fastabiqul khairat. Anda pakai itu dan kami pakai ini, nanti sejarah yang akan menguji. Tetapi jangan saling kecam, berdebat terus tetapi persoalan justru tidak disentuh.

Saat ini Islam sedang menghadapi masalah serius dengan problem sosial umatnya. Bagaimana Islam memandanag problem-problem tersebut, seperti kemiskinan, pendidikan dan sebagainya?

Harus disadari bahwa problem sosial tidak akan selesai. Mungkin kalau pakai rangking, sekarang menghadapi sepuluh persoalan, pada suatu saat lima persoalan. Kalau kita berangan-angan akan memecahkan semua persoalan, kita justru akan putus asa. Mengenai kemiskinan, ada persoalan-persoalan yang perlu penafsiarn ulang, tidak literal. Karena, sekali lagi, sekarang problemnya sudah sangat kompleks. Kompleksnya bukan karena semata-mata dibuat oleh orang yang tidak suka kepada Islam tetapi karena natural, demografi, pertambahan penduduk dan sebagainya. Tentang kemiskinan, kita punya doktrin yang sulit ditemukan di agama lain. Misal zakat, yang paling populer tetapi paling tidak efektif, kemudian Fitrah, itu efektif tetapi tidak dikelola dengan baik. Lalu Qurban, Infak, Sedekah dan sebagainnya. Itu luar biasa kalau dikelola dengan baik. Ada hadits yang mengatakan bahwa masjid lebih baik dari rumah. Menurut saya jangan kemudian sedekah itu ditumpahkan untuk membangun masjid seindah-indahnya sementara masyarakatnya miskin. Jadi, masjid digunakan sesuai fungsinya sementara infak dan sedekah yang lewat masjid (juga) untuk meningkatkan mutu kehidupan umat. Tentang Qurban, apakah sesungguhnya itu sekedar menumpahkan darah hewan lalu di situ religius atau ada fungsi-fungsi sosial. Nah, ini tidak dimanfaatkan karena romantisme klasik yang literal, simbolik. Di sini ada banyak persoalan-persoalan kemiskinan, pendidikan yang belum terpecahkan. Tentang haji, menurut saya, Istitho’a itu tidak personal tetapi juga sosial. Ketika seseorang punya kemampuan secara pribadi naik haji tetapi ada tetangganya yang miskin, ya, dia belum istitho’a. Dengan itulah kita bisa melawan atau memberi alternatif bagi ekonomi modern kapitalistik. Bukan sekedar menghujat ekonomi modern tapi kita tidak punya solusi.[]



Pak Darosah


Senin, 16 Desember 2005 lalu, sehabis sholat Dzuhur di sebuah masjid dis Kauman, Purbalingga, Jawa Tengah. Sehabis sholat berjama’ah, imam memberikan ceramah singkat. Salah satu isi ceramahnya adalah tentang perlunya menengok kembali sejarah masa lalu. “Sebagai seorang muslim, segala tindak dan prilaku kita harus mencontoh apa-apa yang Nabi lakukan, mulai dari cara makan, bersosial dan bernegara. Itu harus sama seperti apa yang telah Nabi contohkan” kata sang imam dalam ceramahnya dengan lantang. Ceramah pun lalu usai. Sebagian jama’ah telah meninggalkan masjid itu.

Namun, ada beberapa orang yang sempat duduk-duduk di serambi masjid sembari mengobrolkan isi ceramah sang imam. Kebetulan saya ikut nimbrung. “Bagaimana ya cara kita mencontoh sementara kondisinya sudah berubah ?” kata salah seorang dari mereka bertanya setengah menggugat. Saya dan beberapa orang yang ada sempat diam, agak enggan untuk menjawab.

“Bagi saya ya harus mencontoh apa adanya, seperti waktu itu” kata Daryo (25) berusaha menjawab. “Menurut saya perlu disesuaikan dengan keadaan sekarang. Kan berbeda dengan zaman Nabi. Kita ambil inti ajarannya saja, bentuknya bisa beragam”, jawab salah seorang lagi dengan logat Banyumasan yang kental.

Obrolan siang itu pun usai dengan membawa kesimpulan masing-masing. Dengan pandangan yang beragam pula. Tetapi, pengalaman bertemu dengan beberapa orang siang itu meninggalkan pertanyaan yang sepenuhnya belum juga mampu saya jawab.

Sesampai di rumah, saya mengutarakan kegelisahan pikiran kepada ustadz Darosah (56), guru ngaji waktu kecil yang juga mengajar di sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Swasta di desa Tangkisan, Mrebet, Purbalingga. Menurutnya, kita memang harus mencontoh tauladan nabi. Sebab sejarah nabi penuh dengan suri tauladan yang mulia. “Namun, banyak hal yang perlu kita cocokkan dengan zaman sekarang”, ujarnya.

“Di sinilah pentingnya membedakan antara kebiasaan yang berasal dari diri Nabi dan wahyu yang diturunkan oleh Allah” lanjutnya. Ia menjelaskan bahwa jika sebuah kebiasan Nabi yang berkaitan dengan kebiasan bangsa Arab saat itu, maka bisa disesuaikan dengan kebiasan daerah masing-masing umatnya.

“Sejarah itu memang penting kita pelajari, tetapi jangan hanya berangan-angan dengan itu. Ada banyak persoalan di depan kita yang harus diselesaikan. Dan tak cukup dengan bermimpi dengan sejarah. Ambil pelajaran dari sejarah untuk menyelesaikan masalah saat ini” kata Pak Darosah memberi wejangan-nya.

Bagi saya pikiran Pak Darosah cukup maju, walau hidup di daerah yang barangkali jauh dari hiruk pikuk peradaban kota. Ada nilai-nilai penting yang bisa saya petik dari Pak Darosah. Hari sudah agak petang, dan percakapan kami pun kami akhiri. (Slamet Riadi, Warga Purbalingga)

Tidak ada komentar: