Sabtu, 07 Juli 2007

Membaca Sejarah Islam

Telah umum diketahui, pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) yang diajarkan di Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga Madrasah Aliah (MA) lebih mirip pelajaran Akidah Akhlak—mata pelajaran yang berisi tentang doktrin agama dan budi pekerti. SKI dimuati begitu banyak misi “meningkatkan keimanan dan ketakwaan” siswa. Mungkin pembaca akan menilai diksi saya ini berlebihan. Namun, Anda akan sepakat jika telah membaca panduan penulisan buku ajar SKI MI-MI yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI tahun 2004. Dalam buku panduan yang berlabel sesuai “Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)” itu, bertebaran indikator-indikator yang tidak jauh-jauh dari kata “meneladani”, “mencontoh”, atau sebaliknya, “menghindari”, “menjauhi”, dst. Misalnya, “meneladani sikap terpuji rasul”, “meneladani ketabahan rasul dan para sahabatnya”, “mencontoh keperwiraan rasul dalam perang anu”, atau “menghindari sifat tercela kaum kafir Quraisy”, “menjauhi sifat-sifat tercela orang Yahudi”, dst.

Dalam batas-batas tertentu, muatan-muatan seperti itu mungkin bisa dimaklumi, mengingat label agama yang tersemat pada mata pelajaran tersebut. Namun yang patut disayangkan, muatan-muatan itu kadang melebihi proporsi. Ketika “Islam” lebih ditekankan daripada “sejarah”-nya, maka SKI pun bukan sebagai ilmu, tapi doktrin. Dan, doktrin jelas berbeda dengan sejarah. Doktrin selalu mengasumsikan kebenaran mutlak tanpa kritik, sementara sejarah adalah sebuah upaya mengungkap kebenaran (masa lalu) yang selalu terbuka dengan kebenaran-kebenaran baru. Doktrin bertumpu pada keyakinan yang mantap, sementara sejarah berdiri di atas data dan fakta yang berubah dan tak pernah selesai. Jika sejarah telah terjebak menjadi doktrin, maka yang muncul adalah sebuah sejarah yang telah fix, mantap, tak terbantahkan, dan mutlak. Padahal, sejarah pada fitrahnya adalah sebuah rekonstruksi. Ia dirumuskan jauh setelah kejadian. Dalam jeda waktu antara kejadian dengan perumusan, begitu banyak kejadian—baik politis maupun sosial-kultural—yang memengaruhi penulisan sejarah tersebut. Lagi pula, sebagaimana ilmu pengetahun yang lain, ia tak pernah bisa kebal dari data-data dan fakta-fakta baru. Jadi, menganggap sejarah sebagai ke-benaran yang telah fix adalah pengingkaran atas fitrah sejarah itu sendiri.

Akibat lebih jauh dari sejarah yang jatuh menjadi doktrin adalah munculnya sejarah sebagai cerita heroik. Dalam sejarah yang seperti ini, berlaku hukum dan kaidah-kaidah cerita heroik: hitam-putih, benar-salah, kalah-menang, pahlawan-pecundang. Semua harus jelas. Tak ada ruang bagi yang abu-abu. Tak ada tempat untuk yang samar-samar. Dengan rumus seperti itu, jangan heran jika suatu saat dalam buku sejarah kita menemukan tokoh yang baiknya minta ampun atau jahatnya amit-amit.

Sebagai contoh, saya akan bicara tentang sejarah al-Khulafa’ur al-Rasyidun di buku-buku pelajaran SKI MI kita. Dalam hampir semua buku sejarah Islam untuk sekolah, sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun, lebih banyak dipenuhi oleh sejarah peperangan (dengan pihak muslim sebagai pemenangnya). Pada masa inilah terjadi penaklukan besar-besaran. Sejarah al-Khulafa’ur al-Rasyidun juga dipenuhi dengan berbagai pujian tentang akhlak keempat khalifah. Dan, di pada titik inilah biasanya kurikulum SKI sering terjebak terlalu jauh ke wilayah pelajaran “Akidah Akhlak”. Karena tuntutan menjadikan al-Khulafa’ur al-Rasyidun sebagi teladan anak-anak, buku-buku SKI MI harus mati-matian membersihkan noda (jika memang layak disebut demikian) dari keempat khalifah. Akhirnya, buku-buku tersebut tidak bisa bersikap jujur. Data dan fakta membuktikan bahwa pada masa inilah akar-akar per-pecahan dalam tubuh umat Islam mulai tumbuh. Perlu juga diingat bahwa masa ini Islam juga memiliki “sisi-sisi yang gelap”: intrik politik di lingkaran elit sahabat Nabi, egoisme suku yang kembali mencuat, dominasi Quraisy yang sangat kuat, dan juga motif-motif politik ekonomi di balik dalih tersebarnya agama Islam. Pada saat itu pula lahir faksi-faksi seperti Sunni, Syiah, atau Khawarij yang kemudian mewariskan konflik yang laten sampai saat ini. Padahal, tanpa memaparkan “sisi gelap” ini, siapa pun akan sulit menemukan konteks munculnya beberapa perang saudara seperti Perang Jamal atau Perang Siffin. Juga tentang fakta bahwa al-Khulafa’ al-Rasyidun terbunuh di ujung pedang para pembunuh gelap, kecuali sahabat Abu Bakar. Dua khalifah terakhir, Utsman dan Ali, bahkan dibunuh oleh saudaranya sesama muslim.

Disengaja atau tidak, kelalaian, jika boleh disebut demikian, memiliki konsekuensi yang tidak kecil bagi umat Islam. Bisa jadi, dari buku-buku sejarah di sekolah seperti SKI inilah akar konflik antarfaksi dalam Islam tak pernah bisa sembuh. Di Indonesia, misalnya, buku-buku SKI jelas sekali bernuansa Sunni. Dalam buku yang Sunni, jangan harap faksi lain mendapat tempat. Kecuali, sebagai pihak musuh. Dengan demikian, purbasangka yang telah tua itu tetap akan terpelihara. Klaim kebenaran, misalnya tentang satu-satunya golongan di antara 73 yang masuk surga, tetap akan bertahan. Dan rekonsiliasi pun akan berhenti sebagai mimpi. Perlu ditulis di sini, bahwa umat Islam Indonesia mayoritas adalah lulusan sekolah SD/MI. Dan, dengan keadaan ekonomi seperti ini, angka mayoritas ini akan tetap lestari. Artinya, satu-satunya sumber sejarah Islam yang mungkin bisa mereka akses bisa jadi hanyalah buku pelajaran SKI ini. Jika kurikulum SKI tetap seperti saat ini, jangan harap ada rekonsiliasi dalam tubuh Islam sendiri.

***

Apakah para pahlawan lahir tanpa kesalahan? Apakah teladan hanya bisa diambil dari sebuah kebenaran? Sepertinya ti-dak. Dalam Al-Quran sendiri, begitu banyak kisah tentang kesalahan para nabi. Dengan gamblang Al-Quran bercerita kesalahan Adam dan Hawa, tentang kegagalan Nuh AS me-ngajak anak dan istrinya, tentang keangkuhan Musa AS atas ketinggian ilmunya, kesom-bongan Sulaiman AS atas kekayaannya, juga tentang Nabi Yunus yang mutung menghadapi kebandelan umatnya. Bahkan tentang Muham-mad SAW yang ma’sum, kita bisa tahu muka masamnya terhadap Ummi Maktum yang buta. Juga tentang kesalahannya mengambil ke-putusan soal tawanan dalam Perang Badar. Kisah-kisah itu menunjukkan bahwa Tuhan pun tidak menutupi kesalahan orang-orang yang dikasihi-Nya itu. Sebab, Ia memang meng-hendaki manusia belajar dari kesalahan orang-orang tersebut. Kisah-kisah itu juga menunjukkan bahwa keteladanan tidak melulu diambil dari kebijakan, kesalehan, tapi juga kesalahan, bahkan kebiadaban.

Lalu, mengapa sejarah Islam begitu alergi dengan sisi gelap Islam? Padahal, dengan menulis sejarah yang apa adanya pah-lawan-pahlawan Islam tak akan pernah terkikis keagungannya. Juga, dengan keagungan Islam itu sendiri. Menulis tentang sabahat Umar yang cepat naik darah, sedikit-sedikit ancam menebas kepala, juga tentang nasionalisme Arabnya yang kental, tak akan pernah mem-buatnya menjadi lebih kerdil. Dunia tidak akan mungkin melupakan keadilannya tatkala menjadi kha-lifah. Umat Islam tak mungkin menurunkan rasa hormatnya. Para siswa pun tak akan meniru ke-lakuannya yang tak disukai. Sebab, mereka juga tahu bahwa al-Faruq –gelar Umar- memiliki sisi yang lembut dan welas asih. Demikian pula dengan Usman. Kelemahannya menghadapi kaum kerabatnya dari Bani Umayyah yang ambisius tak akan mengurangi kemulia-annya di mata umat Islam. Sifat nepotisnya tak perlu ditakutkan akan menular kepada siswa-siswa.

Dengan memaparkan yang apa adanya, para pahlawan Islam itu justru akan utuh sebagai manusia. Sebagai tokoh yang historis, bukan dewa-dewa. Menurut saya, sejarah yang ditulis dengan jujur dan apa adanya adalah teladan paling baik bagi pembacanya. Waallahu a’lam bishshawab. (Mahfud Ikhwan, alumni Fak. Ilmu Budaya, UGM. Kini bekerja di penerbit buku sekolah).



Belajar Dari Sejarah


Dulu, ketika saya masih sekolah SD, sejarah adalah salah satu pelajaran favorit saya. Beda dengan pelajaran-pelajaran lain, sejarah bagi saya waktu itu menyenangkan karena berisi cerita. Ya, tentu saja ada hal-hal yang menyebalkan bagi seorang anak kecil. Misalnya keharusan menghafal tanggal dan tahun-tahun terjadinya peristiwa. Tapi, selain perkara-perkara itu, sejarah tetaplah pelajaran yang lebih menyenangkan ketimbang yang lain-lain. Membaca buku sejarah lebih mirip membaca buku dongeng, dan mengikuti pelajaran sejarah serasa mendengarkan cerita. Dan saya, seperti layaknya anak-anak, memang suka membaca dan mendengar cerita.

Belakangan, meski tetap suka membaca buku-buku cerita, saya mulai bertanya-tanya, sebenarnya apa gunanya belajar sejarah, selain karena ia menyenangkan? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari sejenak mengingat apa yang dikatakan dua orang almarhum: Soekarno dan Kuntowijoyo. Yang pertama tak perlu saya kenalkan lagi, ia adalah Bung Karno, Sang Proklamator itu. Kata-katanya mengenai sejarah yang sering dikutip adalah “Jas Merah”, singkatan dari “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” Sedang yang kedua adalah guru besar sejarah UGM, juga sastrawan masyhur. Dalam salah satu bukunya, ia pernah menuliskan begini, “Bahwa sejarah terus saja ditulis membuktikan bahwa penulisan sejarah memang berguna.”

Sebenarnya, untuk tahu bahwa ada yang berguna dalam sejarah, kita hanya perlu menengok kehidupan sehari-hari. Cukup sering bukan, kita dapati orang-orang, tua-muda, bercerita mengenai masa lalu? Bahkan sebagian besar cerita pengantar tidur untuk anak-anak selalu bermula dengan “dahulu kala...”. Dan saya tak percaya bahwa alasan semua itu hanyalah karena sejarah, cerita, itu menyenangkan untuk dibaca, diceritakan, dan didengarkan. Rasanya tak sesederhana itu.

Akarnya barangkali adalah ingatan. Manusia punya ingatan, dan belajar dari ingatan. Saya sekarang tahu bahwa api itu panas karena dulu pernah menyentuhnya dan menangis. Dan saya masih mengingatnya. Saya tahu bahwa soto di warung sana itu enak karena seminggu yang lalu pernah makan di sana dan rasanya memang enak. Dan saya masih mengingatnya. Semua pengetahuan saya tertumpuk dalam ingatan. Dan ingatan itu pula yang membuat saya tidak harus mencoba-coba banyak hal dari nol.

Nah, bayangkan manusia yang memiliki ingatan itu adalah sebuah bangsa, sebuah masyarakat, sebuah kelompok. Sekelompok orang tentu saja mengalami banyak hal bersama-sama dan mengingatnya. Tapi masa hidup sebuah masyarakat jauh lebih panjang ketimbang hidup orang-per orang. Di sini ingatan perorangan menjadi tidak cukup untuk menyimpan beragam pelajaran yang didapat dari pengalaman. Sejarah, baik yang tertulis maupun diceritakan secara lisan, kemudian menjadi ingatan bersama.

Tapi, seperti halnya orang bisa salah ingat atau berbohong, sejarah juga bisa diceritakan secara salah, sengaja atau tidak. Yang sering terjadi adalah sebuah masa lalu diceritakan dengan cara demikian rupa untuk menguntungkan si pembuat cerita. Kalau saya, misalnya, bercerita mengenai asal-usul desa tempat tinggal saya, sangat mungkin saya melebih-lebihkan peran mbah buyut saya sebagai perintis desa. Dengan demikian, saya adalah keturunan perintis desa yang terhormat. Untuk kasus desa dan mbah buyut saya itu, akibatnya menguntungkan saya tapi mungkin tidak terlalu berbahaya untuk orang lain. Tapi bagaimana jika ceritanya dibuat begini: ada sekelompok orang yang dulu bertindak sangat jahat, dan karena itu sekarang, mereka dan keturunannya tidak perlu diperlakukan baik-baik?

Bahaya yang ada dalam sejarah yang diselewengkan adalah kita terancam belajar dari suatu kebohongan. Apa lagi yang bisa didapat dari kebohongan selain kesesatan. Seandainya salah mengingat bahwa di depan sana tidak ada jurang, saya mungkin akan terperosok. Bagaimana jika yang salah ingat bukan hanya saya, tapi sebuah masyarakat, atau sebuah bangsa? (I. Aunullah, Alumni UIN Sunan kalijaga Yogyakarta)

Tidak ada komentar: