Oleh: Luthfi Assyaukanie*
Pada akhir 2005, mantan presiden Abdurrahman Wahid menulis sebuah artikel di Wall Street Journal dengan judul seperti di atas ("Right Islam Versus Wrong Islam"). Tulisan itu kemudian diterbitkan ulang di beberapa koran ternama, seperti New York Times dan Washington Post, serta dimuat di ratusan website penting. Tulisan Gus Dur itu sangat relevan untuk kita baca dan renungkan kembali akhir-akhir ini, di saat kaum muslim terbelah dalam menyikapi penangkapan teroris Abu Dujana.
Saya menerima e-mail dari beberapa mailing list Islam, yang menunjukkan sikap simpati dan pembelaan terhadap Abu Dujana sambil mengecam tindakan polisi yang brutal. Beberapa media juga tampak berlebihan dalam mengecam sikap polisi yang sudah susah payah melakukan tugasnya yang penuh risiko. Merasa dipojokkan, Sabtu (23 Juni) lalu polisi mengeluarkan laporan kronologi penangkapan Abu Dujana. Tampak jelas bahwa polisi sudah melakukan prosedur penangkapan secara benar.
Tulisan Gus Dur satu setengah tahun silam itu mengajak kita semua untuk secara jernih membedakan mana Islam yang benar dan mana Islam yang salah. Menurut tokoh Nahdlatul Ulama itu, para teroris yang kerap mengatasnamakan Islam adalah orang-orang yang keliru. Mereka mewakili Islam yang salah. Untuk melawan mereka, "kaum muslim harus mengkampanyekan pemahaman Islam yang 'benar', yakni mereka harus berani mengecam ideologi ekstremis".
Saya mencoba merenung mengapa kaum muslim begitu sulit mengecam para teroris, padahal, selain telah menyusahkan ekonomi orang banyak (akibat hengkangnya para investor, misalnya), para teroris jelas-jelas sudah mencoreng-moreng wajah Islam. Kaum muslim semestinya menyadari bahwa apa yang dilakukan para teroris sejak beberapa tahun terakhir telah mencemari citra Islam jauh lebih buruk daripada yang pernah dilakukan penulis mana pun.
Kaum muslim kerap mengeluh dan mengecam para orientalis yang dianggap telah mencemari citra Islam, tapi apa yang dilakukan para teroris, menurut hemat saya, jauh lebih dahsyat dan memiliki dampak lebih luas ketimbang karya para orientalis itu. Ironisnya, belum pernah ada gerakan serius dari kaum muslim untuk mengecam terorisme.
Paling tidak sampai hari ini, saya belum pernah mendengar lembaga atau otoritas Islam, baik di Mesir, Pakistan, Iran, Kuala Lumpur, maupun di Indonesia, yang mengeluarkan fatwa mengecam Usamah bin Ladin. Satu-satunya pernyataan (fatwa) semacam ini dibuat oleh sebuah organisasi Islam di Spanyol. Tampaknya kaum muslim memang tidak peduli terhadap citra Islam di mata dunia internasional.
Saya berandai-andai, sekiranya Abu Dujana itu bernama lain yang melakukan tindakan terorisme karena menginginkan uang atau harta, mungkin kaum muslim tidak akan membelanya atau paling tidak tak akan memperlihatkan rasa empatinya, sekalipun, misalnya, para polisi melakukan tindakan lebih brutal dalam menangkapnya. Mungkin tak akan ada Tim Pembela Muslim (TPM) yang sangat gigih membela orang-orang yang selama ini dituduh teroris.
Sikap empati berlebihan terhadap para teroris yang mengatasnamakan Islam menunjukkan bahwa kaum muslim memang belum mampu membedakan apa yang oleh Gus Dur disebut "Islam benar" dan "Islam salah". Mereka seakan-akan masih menaruh kebimbangan terhadap apa yang dilakukan oleh para teroris itu: jangan-jangan apa yang dibuat para teroris tersebut ada benarnya; bukankah mereka sedang memperjuangkan Islam?
Memang tidak mudah menyamakan tindakan kriminal atas nama agama dengan kriminal umum, misalnya, atas nama uang. Kaum muslim selalu merasa bahwa ada yang luhur dari perjuangan atas nama agama. Apalagi para teroris itu selalu menggunakan istilah-istilah yang selama ini akrab di telinga mereka, seperti jihad, syahid, melawan thaghut, dan li i'lai kalimatillah (menegakkan kalimat Allah).
Tapi, kalau kaum muslim terus-menerus membela atau menaruh sikap simpati kepada para teroris, saya khawatir upaya negara menumpas terorisme dan kekerasan atas nama agama secara umum akan sia-sia, karena para teroris atau para pelaku tindak kekerasan akan terus merasa bahwa mereka tidak sendirian; ada orang yang secara diam-diam terus mendukung dan memberi simpati terhadap perjuangan mereka.
Akar dan penyebab munculnya terorisme tentu bermacam-macam: bisa karena persoalan ekonomi, politik, psikologi, rasa tertindas, dan bisa juga gabungan dari semua unsur itu. Tidak ada jalan pintas untuk mengatasi masalah ini. Namun, kerja sama dalam menumpasnya mutlak diperlukan. Yang harus dilakukan kaum muslim sekarang adalah memperlihatkan sikap tegas bahwa mereka tidak menyetujui para teroris. Otoritas agama, seperti Majelis Ulama Indonesia, saya kira sudah seharusnya berbicara.
Jika selama ini MUI begitu mudah mengeluarkan fatwa kepada kelompok-kelompok "sempalan" (seperti Ahmadiyah dan Salamullah), mengapa lembaga ini tidak juga mengeluarkan fatwa kepada kelompok yang jelas-jelas sudah jauh menyempal?
Penangkapan terhadap Abu Dujana adalah sebuah prestasi yang harus didukung, bukannya dikecam sambil terus mengeksploitasi emosi masyarakat untuk membenci polisi. Tanpa harus dikatakan, masalah hak asasi manusia adalah persoalan yang perlu diperhatikan, tapi sikap empati berlebihan terhadap para teroris akan berdampak buruk bagi upaya perang terhadap terorisme di masa depan.
Gus Dur telah memperlihatkan sikap yang sangat bijak ketika menanggapi para pengacara TPM yang mengecam polisi dan meminta polisi mencabut status teroris Abu Dujana. Dengan tegas, Gus Dur berkata, "Kenapa mesti dicabut? Mereka memang teroris, kok," (detik.com, 23 Juni). Sebaliknya, Gus Dur merasa keberatan dengan para teroris yang kerap menggunakan istilah-istilah Islam, seperti "jihad", untuk membenarkan tindak kejahatan mereka.
Bagi Gus Dur, mengetahui "Islam benar" dan "Islam salah" itu penting. Tapi lebih penting lagi menyatakan keduanya secara tegas. Kita berharap, beberapa hari mendatang, para tokoh Islam yang lain memiliki ketegasan sikap seperti Gus Dur dalam menyikapi kasus penangkapan Abu Dujana.
*Penulis adalah peneliti Freedom Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar