HAJI MABRUR
“Kamu tidak akan mendapatkan kebaikan (yang sempurna) sebelum kamu mendermakan sebagian dari hartamu yang kamu cintai.” (QS. Ali Imran: 92)
TIAP tahun jutaan orang Islam berziarah ke Makah al-Mukaramah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima, haji. Mengapa orang Islam bergegas untuk menjalankan ibadah haji yang biayanya tidak sedikit. Di negeri kita, biayanya sekarang mencapai Rp 20.000.000 sampai Rp. 37.000.000.
Mengapa beribadah harus keluar banyak biaya? Apakah tidak ada ibadah yang tidak memakan banyak biaya? Jawabnya banyak. Kita melihat dalam ibadah haji di negeri ini dari segi pembiayaan saja bertingkat-tingkat, tidak sama. Apa artinya? Artinya, ibadah haji di sini, atau mungkin juga di negara lain, telah melambangkan adanya tingkatan sosial yang berbeda. Tingkatan sosial ini berakibat pada apa yang dinamakan “status sosial”.
Dengan mengacu pada jenjang pembayaran haji, kita dapat menemukan banyak penafsiran tentang itu semua. Jika didramatisir sedikit, penafsiran tersebut kira-kira demikian. Haji yang bayarannya murah, adalah haji yang dijalankan kelompok masyarakat kelas bawah. Mereka mampu menjalankan haji karena harus menabung bartahun-tahun, sedikit-demi sedikit. Sebagai contoh. Musim haji tahun ini ada kisah dari seorang perempuan calon jemaah haji dari Sumatera Utara. Ia berumur 70, seorang janda, tapi tetap bergegas untuk menunaikannya.
Perempuan tua tadi membayar per-jalanan haji kelas ekonomi, karena hanya Rp 25.000.000. Uang itu adalah tabungan hasil panenan kelapa sawit tiap kali panen. Jelas, mengumpulkan uang sebanyak itu bukan perkara mudah bagi seorang ibu petani. Sudah barang tentu, kisah semacam itu telah banyak kita dengar.
Sebaliknya, banyak juga orang pergi haji dengan mulus. Tidak perlu bersusah- payah mengumpulkan uang bertahun-tahun, tidak perlu menjual sawah atau hewan ternaknya, pilihannya pun kelas eksekutif, minimal Rp 35.000.000. Biasa-nya, orang yang memilih kelas eksekutif ini juga tidak perlu dalam-dalam merogoh kantongnya. Apa maknanya dengan para calon haji yang hanya mampu membayar sedikit ketika berangkat? Adakah pem-bayaran itu mempengaruhi kemabruran hajinya? Apakah ada hubungannya dengan kesalehan tatkala tiba di tanah air sepulang haji? Demikian pula dengan mereka yang membayar lebih tinggi, sehingga dalam kategori strata sosial dikelompokkan menjadi kelas menengah ke atas?
Hakikat Haji
“Dan berserulah kepada umat manu-sia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang dengan jalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus (karena jauh dan sukarnya perjalanan yang ditempuh), mereka datang dari segenap penjuru,” (QS 22: 27). Dari ayat ini kita dapat menafsirkan bahwa haji itu adalah sebuah perjalanan yang sulit, memakan waktu, membutuhkan bekal dan mental yang cukup. Namun bekal material biasanya tampak terlihat ketim-bang immaterial, karena memang sifatnya spiritual. Sementara bekal material biasanya dalam banyaknya jumlah uang saku masing-masing jemaah haji. Bekal materi ini biasanya untuk membeli aneka macam oleh-oleh khas Arab.
Soal bekal, saya punya cerita yang datang dari sebuah kampung. Ceritanya begini: suatu saat sepasang suami istri konon hendak menjalankan haji dengan jalan kaki menuju bandara pelepasan, karena letaknya jauh dari tempat ting-galnya. Pasangan Suami-istri ini berjalan 35 km dari desanya. Pada saat per-jalanan mencapai 25 km pasangan suami istri ini mendapatkan sebuah desa di mana di desa itu tengah terlanda kela-paran. Orang desa kurang gizi, penyakit busung lapar dan malaria menyerang desa terbut. Sepasang suami istri yang sudah niat bulat untuk berangkat haji dengan bekal secukupnya untuk selama haji di Makah menjadi bimbang, apakah akan meneruskan perjalanan menuju bandara pelepasan atau pulang saja kerumah setelah membagi-bagikan bekal untuk haji.
Ternyata sepasang suami istri ini memilih membagi-bagikan bekal hajinya pada rakyat di sebuah desa tersebut sehingga habislah bekalnya. Dengan niat yang bulat, seluruh bekalnya dibagikan pada warga desa yang kena kelaparan akibat gagal panen, dan sebagainya. Setelah selesai membagi-bagikan bekal untuk hajinya, sepasang suami istri pulang ke kampung halaman di desanya.
Aneh, sungguh peristiwa tak terbayang-kan terjadi pada sepasang suami istri ini. Sesampai di rumah, yang jauh dari kota tersebut, datanglah kepada sepasang suami istri seorang memakai jubah putih, lalu menyampaikan selamat, jika mereka telah menjalankan ibadah haji tahun ini. Kontan saja sepasang suami istri ini kaget, lalu menjawab tidak, kami tidak jadi men-jalankan haji, karena bekal kami telah kami bagikan kepada rakyat di sebuah desa yang membutuhkan karena kelaparan. Tetapi, orang berjubah putih tadi tetap menyampaikan sa-lam atas hajinya itu, kemudian berpamitan. Konon orang berjubah tadi adalah malaikat Jibril yang diutus Tuhan untuk memberikan ka-bar gembira atas sese-orang yang telah berkorban untuk orang lain yang lebih membutuhkan dengan segala keihlasan.
Kisah ini memang sarat bermuatan sufi. Sering berbeda dengan pemahaman formal syariat yang ada di tengah masyarakat Islam. Kisah sufistik biasanya tidak masuk akal. Memang kisah-kisah sufistik tidak untuk diperdebatkan kebenarannya, tetapi perlu diambil hikmahnya. Hikmah dari kisah pasangan suami istri yang akan berhaji adalah adanya kerelaan mengorbankan harta benda (bekal naik hajinya) diberikan pada orang yang lebih membutuhkan, ketimbang mendahulukan kepentingan pribadinya, yakni tetap berangkat haji sekalipun orang lain sangat membutuhkan bantuannya.
Kisah di atas juga mengisyaratkan haji yang sesungguhnya adalah tidak melulu bersifat tata aturan haji. Ke-tulusan menjalankan amal saleh men-jadi syarat utama untuk mendapatkan ridha Allah. Dimensi kemanusiaan, dalam cerita di atas, jelas menjadi sesuatu yang sangat penting dalam ibadah haji. Ibadah ini tidak untuk pamer harta kekayaan, apalagi hanya untuk mendapatkan tambahan titel “H” atau “Hj”. Kemabruran haji akan terlihat sepulang dari Tanah Suci, apakah ia tetap sombong, apakah ia tetap kikir, apakah ia tetap dengki, atau sebaliknya.
Nilai ritual haji sangat terkait dengan pola hubungan di ma-syarakat, bukan semata-mata tugas pribadi. Adanya keseim-bangan antara hablum min Allah dan hablum min annas. Ada kesim-bangan dalam beribadah yang sifat-nya individual sekaligus sosial. Inilah haji yang mendapatkan kebaikan bagi para pelakunya, sehingga dikatakan men-dapatkan pujian haji mabrur. Jadi haji itu tidak diukur dari besarnya biaya yang dikeluarkan, tetapi kesalehan sepulang pergi haji.
Semoga para hujjaj sepulang dari berhaji mereka benar-benar menyem-purnakan ibadahnya dengan ber-perilaku soleh pada saat kembali ke masyarakat. Itulah saleh sosial pas-cahaji dan itulah, insya Allah yang dinamakan haji mabrur. (Zuly Qodir, alumnus PP. Al-Munawwir Krapyak, Anggota Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah).
Kiai Muda Naik Haji
Setiap bulan Dzul Hijjah, orang-orang Islam se-dunia datang ke Mekah. Mereka hendak menunaikan ibadah haji, demikian juga dengan orang Madura. Di Madura, ada perbedaan yang di dalam menyambut (ngamba‘) para jemaah haji. Mereka biasanya disambut dengan pesta pora. Oleh karena itu, pelbagai hal dipersiapkan oleh pihak keluarga. Para tetangga diundang untuk membantu dalam banyak hal, termasuk soal masak-memasak dan memasang terop (tenda).
Dalam tradisi Madura. Ngambe‘ biasanya diwujudkan dalam iring-iringan mobil yang tidak pernah dikonsultasikan atau dilaporkan pada pihak keluarga, sebulumnya. Biasnya, di antara iring-iringan tersebut, ada pick up yang mengangkut jemaah hadrah. Mereka mendendangkan shalawat di atas mobil dengan menggunakan laos piker (pengaras suara). Bahkan tidak hanya itu, keluarga juga mengundang konvoi sepeda motor. Para pengendara biasanya diberi rokok dan bensin ala kadarnya.
Fenomena ini, menurut saya, didasarkan atas padangan orang Madura terhadap Haji. Orang Madura menganggap bahwa haji merupakan ibadah teragung yang membutuhkan pengorbanan baik material maupun spritual. Oleh karena itu, mereka perlu dihormati, terutama saat mereka datang. Layaknya seorang habis perang bela negara.
Akan tetapi, situasi ini tidak terjadi pada seorang kiai muda, sebut saja namanya Ahmad, ketika ia datang dari Mekah. Sebelum berangkat, ia telah mewanti-wanti pada Abah dan Ummi-nya (sebutan bapak dan ibu bagi keluarga kiai di Madura) agar tidak ada orang Ngamba‘. Bahkan, ia berulang kali menelpon ke orang tuanya itu agar Ambaan ditiadakan. Waktu itu, ia berargumen bahwa masyarakat masih perihatin, ekonomi seret. “Jangan bebankan masyarakat dengan yang begitu-begituan,” ujar kiai Ahmad. Alasan ini, mungkin, diterima oleh pihak keluaraga, walaupun masyarakat meresponnya dengan dingin.
Hari yang telah dijadualkan kini tiba. Masyarakat dan para keluarga menunggu di rumah Pak kiai. Keluarga inti menyambutnya di kota dengan satu mobil. Tak ada iring-iringan mobil atau konvoi sepeda motor. Saat itu, ia datang dengan mengenakan pakaian sehari-hari, sarung, baju dan kopiah, khas kiai madura. Pakaian itu dianggap tidak lazim bagi orang yang naik haji, yang biasanya mengenakan Gamis (pakian model timur tengah), Surban (sejenis kerudung untuk pria) dan iqal (alat yang ditaruh di kepala agar surban tidak mudah lepas dari kepala).
Pro-kontra atas tindakan kiai muda itu berlangsung. Salah satu keluarga dekatnya mengatakan bahwa tindakannya itu tidak dapat ditolerir. Ia sama sekali tidak menghormati adat, dan tamu yang berkunjung kepadanya. Sang Abah tak meresponnya, mungkin karena penjelasan putranya. Ia memilih diam. Ia tahu betul bahwa diam, dalam konteks ini, lebih selamat. Namun, menurut rasan-rasan yang saya dengar, tindakan itu didasarkan oleh rasa ketawadduannya. Sang kiai muda merasa tidak pantas mengenakan pakaian-pakaian, yang menandakan kesucian itu. Sementara ia merasa berlumuran dosa. Oleh karenanya, ia memilih itu, walaupun konsekuensinya terkadang sangat sumbang dan menyakitkan. (M. Afifi orang Madura).
Dalam tradisi Madura. Ngambe‘ biasanya diwujudkan dalam iring-iringan mobil yang tidak pernah dikonsultasikan atau dilaporkan pada pihak keluarga, sebulumnya. Biasnya, di antara iring-iringan tersebut, ada pick up yang mengangkut jemaah hadrah. Mereka mendendangkan shalawat di atas mobil dengan menggunakan laos piker (pengaras suara). Bahkan tidak hanya itu, keluarga juga mengundang konvoi sepeda motor. Para pengendara biasanya diberi rokok dan bensin ala kadarnya.
Fenomena ini, menurut saya, didasarkan atas padangan orang Madura terhadap Haji. Orang Madura menganggap bahwa haji merupakan ibadah teragung yang membutuhkan pengorbanan baik material maupun spritual. Oleh karena itu, mereka perlu dihormati, terutama saat mereka datang. Layaknya seorang habis perang bela negara.
Akan tetapi, situasi ini tidak terjadi pada seorang kiai muda, sebut saja namanya Ahmad, ketika ia datang dari Mekah. Sebelum berangkat, ia telah mewanti-wanti pada Abah dan Ummi-nya (sebutan bapak dan ibu bagi keluarga kiai di Madura) agar tidak ada orang Ngamba‘. Bahkan, ia berulang kali menelpon ke orang tuanya itu agar Ambaan ditiadakan. Waktu itu, ia berargumen bahwa masyarakat masih perihatin, ekonomi seret. “Jangan bebankan masyarakat dengan yang begitu-begituan,” ujar kiai Ahmad. Alasan ini, mungkin, diterima oleh pihak keluaraga, walaupun masyarakat meresponnya dengan dingin.
Hari yang telah dijadualkan kini tiba. Masyarakat dan para keluarga menunggu di rumah Pak kiai. Keluarga inti menyambutnya di kota dengan satu mobil. Tak ada iring-iringan mobil atau konvoi sepeda motor. Saat itu, ia datang dengan mengenakan pakaian sehari-hari, sarung, baju dan kopiah, khas kiai madura. Pakaian itu dianggap tidak lazim bagi orang yang naik haji, yang biasanya mengenakan Gamis (pakian model timur tengah), Surban (sejenis kerudung untuk pria) dan iqal (alat yang ditaruh di kepala agar surban tidak mudah lepas dari kepala).
Pro-kontra atas tindakan kiai muda itu berlangsung. Salah satu keluarga dekatnya mengatakan bahwa tindakannya itu tidak dapat ditolerir. Ia sama sekali tidak menghormati adat, dan tamu yang berkunjung kepadanya. Sang Abah tak meresponnya, mungkin karena penjelasan putranya. Ia memilih diam. Ia tahu betul bahwa diam, dalam konteks ini, lebih selamat. Namun, menurut rasan-rasan yang saya dengar, tindakan itu didasarkan oleh rasa ketawadduannya. Sang kiai muda merasa tidak pantas mengenakan pakaian-pakaian, yang menandakan kesucian itu. Sementara ia merasa berlumuran dosa. Oleh karenanya, ia memilih itu, walaupun konsekuensinya terkadang sangat sumbang dan menyakitkan. (M. Afifi orang Madura).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar