Sabtu, 07 Juli 2007

BERLAKU DISKRIMINATIF,
NABI PUN DITEGUR

Dia bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang
seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali
ia ingin membersihkan dirinya? Atau dia mendapatkan
pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfa’at kepadanya?
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya.

ImageSYAHDAN, seorang sahabat tunanetra bernama Abdullah bin Ummi Maktum menghadap Nabi Muhammad. Keperluannya untuk belajar agama. Namun, karena Nabi tengah menjamu sejumlah tamu dari kalangan pembesar suku Qurays, dengan harapan agar pembesar-pembesar itu mau masuk Islam. Melihat yang datang seorang yang buta, Nabi lantas bermuka masam. Beliau tidak mempedulikan kedatangannya, dan hanya melayani pembesar suku Qurays. Melihat sikap Nabi seperti itu, segeralah Tuhan menegurnya dan memerintahkan untuk memperhatikan tamu lainnya, meski ia buta.

Cerita di atas mengambarkan betapa Tuhan tidak pernah membedakan tubuh dan latar belakang sosial seseorang. Teguran Allah terhapad peri laku diskriminatif (membedakan) Nabi terhadap orang yang buta tadi menjadi "ilham" (baca: sebab turunnya/sabab an-nuzul) untuk menurunkan surat dalam Al-Qur’an, yaitu surat ’Abasa. "Dia bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya? Atau dia mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfa’at kepadanya? Adapun orang yangmerasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. (QS. ‘Abasa:1-6)Lafadl ‘Abasa secara harfiyah ber-makna "bermuka masam".

Dan istilah bermuka masam biasanya menunjukkan sebuah sikap cuek, sinis, kurang peduli, atau acuh tak acuh. Bila dikaitkan dengan konteks difabel, surat ‘Abasa ini mengandung pesan kepada semua umat Islam untuk tidak bersikap diskriminatif terhadap kaum difabel. Kita diperintahkan untuk menerima kehadiran manusia secara sama, meskipun mereka mengalami kekurangan secara fisik.

Selain ‘Abasa, perihal awal mula munculnya difabel juga dijelaskan secara gamblang dalam Al-Qur’an. Dalam surat al-Hajj ayat 5 misalkan, di sana disebutkan, "… bahwa kami (Allah) telah menjadikan kamu (manusia) dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya (Mukhallaqatin) dan yang tidak sempurna (wa ghairu mukhalla-qatin) agar kami jelaskan kepadamu dan kami tetapkan sesudah itu dalam rahim apa yang kami kehendaki sampai waktu yang telah ditentukan. Kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi dengan berangsur-angsur sampai kamu dewasa…" Dari ayat di atas, muncul sejumlah penafsiran terkait dengan masalah asal-usul penciptaan manusia, termasuk di dalamnya difabel. Imam al-Thabari misalkan, menjelas-kan bahwa lafad mukhallaqah yang terdapat dalam di atas memiliki arti "seseorang yang lahir dalam keadaan sempurna, lengkap dengan segala anggotan fisiknya serta fungsinya". Sedangkan ghairu mukhallaqah punya arti "seseorang yang lahir akan tetapi belum sempurna (secara fisik) atau gugur pada saat masih di dalam kandungan". Dengan demikian, bagi al-Thabari, kata mukhallaqah dan ghairu mukhallaqah adalah sifat nutfah (mani) yang menjadikan manuisa itu sempurna dan tidak sempurna secara fisik.

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Baidhawi dan al-Qurthubi dalam tafsirnya yang mengutip pendapat para ulama sebelumnya, yaitu Ibnu Zaid dan Al-Farra’. Mereka berpendapat bahwa mukhallaqah punya arti "seseorang yang sempurna". Misalkan mempunyai dua tangan dan dua kaki dengan sempurna tanpa cacat dan begitu juga sebaliknya. Sementara menurut Tafsir al-Maraghi, Ghairu mukhallaqah berarti seseorang yang lahir serta berkembang menjadi manusia kecil, pendek, panjang, dan berlebih ataupun berkurang sebagaimana manusia yang lain.

Dengan demikian, bila kita mengacu pada penafsiran sejumlah ulama atas surah al-Hajj ayat 5 di atas, maka keberadaan difabel di muka bumi ini tidak lepas dari skenario Tuhan. Sehingga tidak heran, tidak sedikit kita jumpai seseorang yang secara fisik mengalami kekurangan namun secara non-fisik, baik itu inteletualitasnya, insting-nya, maupun kekuatan spiritualnya, menga-lami kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang sempurna secara fisik. Fenomena ini tentunya tidak lepas dari kemahaadilan Tuhan terhadap mahkluknya. Bahkan bagi orang-orang yang merasa sempurna secara fisik, ternyata tidak bisa menangkap pesan-pesan kemanusiaan, Allah menyebut lebih buruk daripada binatang ternak, " Dan sesu-ngguhnya Kami jadikan untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata tidak dipergunakannya untuk melihat , dan mereka mempunyai telinga tidak diperguna-kannya untuk mendengar . Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai" (QS: al-‘A’raf: 179).

Oleh sebab itu, keku-rangan fisik yang terdapat di tubuh seseorang tidak se-mestinya berdampak pada pengurangan hak mereka untuk memperoleh kese-mpatan di tengah-tengah masyarakat, baik itu dal-am pendidikan, kesehat-an, politik, ekonomi, ke-senian, bahkan agama. Sehingga dengan dibuka-nya semua kesempatan kepada mereka, kelebihan-kelebihan yang mereka miliki akan tersalurkan dengan baik dan bermanfaat, sama dengan lainnya. Demikian juga menyangkut hak-haknya dapat mengakses atau menggunakan tempat-tempat atau fasilitas publik.

Para agamawan seharusnya juga punya perhatian dalam membangun rumah ibadah yang dapat diakses oleh kaum difabel. Dalam Islam misalnya, masjid merupakan rumah ibadah yang diperuntuk-kan bagi semua umat Islam, baik yang cacat maupun yang tidak. Sehingga kelengkapan bangunan atau fasilitas-fasilitas harus memper-hatikan orang difabel. Ketika membangun tempat wudhu misalnya, sekurang-kurangnya kita juga menyediakan tempat wudhu yang ramah terhadap difabel, mulai dari jalan khusus kursi roda maupun kamar kecil yang disedia-kan khusus difabel.

Begitu juga fasilitas umum lainnya, semacam lembaga pendidikan, terminal/stasiun, kantor pemerintah, pasar, juga harus memperhatiakan hak-hak kaum difabel. Karena sebagaimana kita saksikan selama ini, bisa dibilang sedikit sekali fasi-litas umum yang dapat diakses dengan nyaman oleh difabel.

Oleh karena itu, sikap menghargai ter-hadap hak-hak difabel, mulai saat ini harus kita jadikan sebagai sikap yang menyatu dalam kesadaran kehidupan kita sehari-hari. Sehingga dalam setiap pola pikir, sikap, tindakan dan perilaku kita di masyarakat tidak lepas dari kepedulian terhadap hak-hak difabel.

Terakhir, pemerintah sebetulnya sudah membuat undang-undang tentang peny-andang cacat, yaitu UU Nomor 4 Tahun 1997. Namun, UU tersebut kurang disosialisasikan, sehingga tidak banyak khalayak yang tahu. Padahal implementasinya sangat dinanti-nantikan oleh kaum difabel. Aksi pemerintah kita tunggu. (Zunli Nadia, alumni Fak. Ushuludin IAIN SUKA, Yogyakarta)

Tidak ada komentar: