Rabu, 11 Juli 2007

Kemudahan Bersama Kesulitan (QS. Al-Insyirah: 1-8)
Oleh : AHMAD NURCHOLISH

Alam nasyrah laka shadrak. Wa wadza’nâ anka wizrak. Alladzî anqazadzahrak. Wa rafa’nâ laka dzikrak. Fa’inna ma’a al-‘usyri yusyra. Inna ma’a al-yusyri yusyra. Faidza faraghta fanshab. Wa ilâ rabbika farghab

Artinya:

“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu? Yang memberatkan punggungmu. Dan Kami tinggikan bagimu sebutanmu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”.

Melalui ayat ini Allah menyatakan bahwa Ia telah memberikan kelapangan dada setiap manusia. Menghilangkan beban yang kerap kali menghimpit derap langkah kehidupan manusia. Tetapi Allah juga berjanji bahwa setiap kali ada kesulitan yang menerpa kita, akan ada pula kemudahan menghampiri kita.

Setiap kali kita melangkahkan kaki ke luar rumah, berjalan menyusuri lorong kota atau desa, dan meniti gang-gang sempit, kita sadar bahwa di hadapan kita terbentang jalan yang tak datar. Pada kalanya kita melewati jalan menurun, tapi tak jarang pula kita harus mampu meniti jalan mendaki yang kadangkala terasa berat.

Hidup adalah perjalanan; bertolak dari, sedang berada di, serta menuju ke suatu tempat, di dalamnya terdapat kesukaran dan kesulitan bagaikan pendakian yang berat.

Senada dengan pendakian yang berat itu Allah swt berfirman dalam Surat al-Baqarah 124, 155 – 157 yang mengingatkan kita kepada beberapa hal; pertama, munculnya rasa takut; kedua, kepalaran; ketiga, kekurangan harta; keempat, kehilangan anak; kelima, kekurangan buah-buahan; keenam, malapetaka/kesengsaraan/keguncangan; dan seterusnya.

Mengacu pada pemahaman para ahli tafsir (mufassirin) yang mengembangkan makna harfiah ayat-ayat tersebut, dapatlah dikatakan bahwa kita tengah berada pada pendakian yang berat. Pendakian yang berat itu berupa ketimpangan ekonomi yang kian njomplang, harga-harga terus melambung, gejolak politik yang tak berkesudahan, bencana alam datang silih berganti, korupsi kian merajalela, dan sebagainya.

Kondisi yang memberatkan ini, terlepas apakah itu merupakan cobaan bagi orang-orang yang beriman atau akibat keasalahan manusia, adalam hambatan dan rintangan menuju baldatun thayyibatun wa rabbun Ghafur. Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerta raharja. Sebuah negeri yang sejahtera dan aman sentosa. Mudah-mudahan.

Oleh karena pendakian yang berat adalah bagian dari kehidupan setiap bangsa dan masyarakat, demikian pula jalan menurun, maka tak sepantasnya kita berkeluh kesah, mengumpat nasib, apalagi putus asa. Acuan yang baik dalam menghadapai pendakian yang berat adalah ajaran yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya untuk ikhlas dan tawakkal.

Dalam menghadapi pendakian yang berat, menurut Abd. Chair (2000:7), keikhlasan bagaikan sumber energi yang memasok bahan bakar agar tak berhenti di tengah jalan atau surut ke belakang. Ikhlas juga seperti air bagi tumbuh-tumbuhan, apabila tanaman itu dirawat dan disiram dengan air akan berubah dan mendatangkan manfaat bagi kehidupan manusia.

Sementara itu, tawakkal adalah sifat yang membawa percaya diri. Sebab dengan tawakkal para rasul mampu menghadapi rintangan dan tantangan serta mengatasi kesulitan.

Ayat di atas hendak menyakinkan kepada manusia bahwa di balik semua kesulitan yang dihadapinya pasti ada kemudahan sesudahnya. Ada hikmah di balik semua pristiwa yang dialami oleh manusia, baik itu pristiwa yang menggembirakan maupun kejadian yang menyengsarakan.[]


Tidak ada komentar: