Selasa, 30 September 2008

Posisi Takwa Itu Mahal


Ahmad Syafii Maarif

Dalam upaya mengkritik diri sejujur-jujurnya, saya ingin mengatakan bahwa saya belum yakin apakah posisi takwa sebagai tujuan yang hendak diraih dalam puasa dan ibadah lainnya telah menjadi milik saya setelah berpuasa selama hampir 70 tahun. Dalam surat Albaqarah ayat 183, Alquran memang menggunakan ungkapan la'allakum tattaqun (semoga kamu berhasil meraih posisi takwa) dengan menjalankan puasa itu.

Istilah takwa merupakan salah satu konsep kunci dalam Alquran di samping iman dan Islam. Tidak kurang dari 242 kali konsep itu dalam berbagai bentuk dapat dilacak dalam kitab suci ini. Dengan demikian, fungsinya sangat sentral. Dari segi akar kata, takwa berasal dari tiga huruf w-q-y yang bermakna menjaga diri, baik dari kehancuran moral maupun dari kemurkaan Allah akibat penyimpangan perilaku seseorang dari jalan lurus.

Takwa adalah salah satu buah iman yang tulus. Iman yang tidak tulus adalah sebuah sandiwara, tidak punya bekas yang positif dalam mengarahkan perilaku kita ke jalan yang diridhai. Sebab itu, pemaknaan takwa dengan takut (kepada Allah) tidaklah terlalu tepat. Sebab, rasa takut akan menjauhkan seseorang dari yang ditakuti. Sementara itu, takwa kepada Allah justru sebaliknya, kita rindu untuk senantiasa mendekat kepada-Nya. Dalam perjalanan hidup, saya rasa rindu kepada Allah hanya datang kadang-kadang. Artinya, kualitas iman saya ternyata belum memadai.

Apa indikator takwa itu? Berbagai ayat Alquran telah menjelaskannya. Kita ambil yang paling sering dibaca pada bulan Ramadhan: ayat 133-136 surat Ali Imran yang artinya, "Dan, cepat-cepatlah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan bagi mereka yang telah berhasil meraih posisi takwa.

[Yaitu] orang-orang yang memberikan infak, baik di saat lapang maupun di saat sempit, dan orang-orang yang mampu mengendalikan marah serta bersedia memaafkan [kesalahan] orang lain. Dan, Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan [juga], mereka yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri [segera] mengingat Allah dan mohon ampun atas segala dosanya. Dan, siapakah yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan, mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, padahal mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Dan, [itulah] sebaik-baik balasan bagi orang yang beramal."

Cobalah simak baik-baik beberapa indikator takwa dalam ayat 34-35 di atas. Rasanya, saya sendiri belum pernah memiliki indikator itu secara utuh dan sempurna. Bolong dan kendalanya banyak sekali. Tentu, karena tingkat ketakwaan saya masih saja rendah. Padahal, usia sudah 73 tahun, liang kubur sudah sangat dekat. Inilah yang mencemaskan, inilah yang merisaukan. Dalam beribadah dan beramal, saya rasanya hanyalah seorang minimalis, Allah-lah yang Mahatahu akan segala kelemahan dan kekurangan diri saya.

Kadang-kadang, muncul pertanyaan ini, apakah hidup saya ini bernilai di sisi Allah? Jika jawabannya negatif, tentu berarti sebuah kegagalan, sesuatu yang sangat menakutkan. Tetapi, tentu saja kita tidak boleh berputus harap akan ampunan Allah atas segala dosa, kekurangan, dan kelemahan yang mengitari diri. Di sinilah barangkali fungsi doa yang harus terus-menerus kita sampaikan kepada Maha Pencinta hidup dan mati. Dalam masalah doa, memang saya tidak pernah lupa, sekalipun tidak selalu disertai hati yang khusuk, bening, dan rindu. Kadang-kadang, doa hanya asal dibaca, tidak sungguh-sungguh, sedangkan rahmat Allah kepada saya sekeluarga telah turun berjibun, tidak henti-hentinya, datang dari berbagai penjuru.

Hentakan Alquran adalah ini, "Belumkah datang saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk secara khusuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan? Dan, janganlah mereka jadi seperti orang-orang yang telah diberi kitab sebelumnya. Kemudian, mereka melalui masa yang panjang, lantas hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik/durhaka." (Alhadid: 16). "Ya Allah, bimbinglah aku ke jalan yang lempang agar terhindar dari jurang kedurhakaan. Amin!"

Semua yang ditulis ini adalah pengalaman hidup yang saya lalui, tidak dibuat-buat, karena itulah kenyataannya. Dengan harapan, agar para pembaca akan jauh lebih manis dari apa yang saya rasakan. Posisi takwa bagi saya ternyata masih terlalu mahal untuk diraih, sekalipun telah berpuasa puluhan tahun.

Minal Aidin Wal Faizin

Oleh Muhammad Arifin Ilham

Kemenangan hakiki adalah kembali suci (lihat QS 91: 9). Setiap Bani Adam pasti berdosa dan sebaik-baik mereka yang berdosa adalah bertobat, demikian sabda Nabi Muhammad SAW. Dan, orang bertakwa bukanlah orang yang tidak pernah bersalah; pernah bersalah kemudian insaf dan tidak pernah lagi mengulangi perbuatan dosanya (lihat QS 3:135). Pertama dan terakhir, itulah tanda taubatan nashuha. Tidak ada lagi keinginan melakukan dosa.

Orang bertakwa dan ahli ibadah pun diingatkan oleh Allah untuk tidak merasa paling suci karena Allah paling mengetahui siapa yang paling suci dan siapa kita sebenarnya (53;32). Tentu, peringatan Allah ini disebabkan sayangnya Allah pada mereka agar tidak 'GR' karena kealiman mereka. Dan, justru dengan peringatan ini, Allah ingin agar mereka yang bertakwa untuk tetap istikamah dengan ketakwaan mereka.

Sungguh kesempatan yang bersejarah dalam hidup ini dan lebih baik dari pada dunia dengan segala isinya adalah kesempatan bertaubat. Inilah karunia Allah yang paling besar, "Andaikan bukan karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun di antara kamu diberi kesempatan bertaubat kepada-Nya." ( QS 24:21). Karena itulah, jangan pernah menunda dan meremehkan kesempatan itu.

Bagi kita, Ramadhan adalah karunia dan rahmat besar itu. Ramadhan itu bermakna pembakaran. Tentu, sesuatu itu adalah yang dibakar oleh hal-hal yang tidak bermanfaat. Kalaupun dibakar, itu barang baik; tentu untuk lebih baik lagi, seperti besi dibakar agar menjadi gergaji, palu, atau pisau. Demikian pula kita di-Ramadhan-kan selama sebulan penuh karena Allah ingin agar orang-orang beriman itu memiliki pribadi yang canggih, yaitu pribadi bertakwa (lihat QS 2: 183).

Mari, kita becermin lagi menjelang berakhirnya bulan suci ini. Semoga tahun depan kita masih bisa bertemu Ramadhan lagi. Selamat Hari Raya Idul Fitri.

Enam Hari di Bulan Syawal

Oleh Ali Muakhir

Tanpa terasa, bulan Ramadhan telah berakhir. Selepas Ramadhan, bukan berarti anjuran melakukan ibadah terhenti. Rasulullah SAW bersabda dalam satu hadisnya menganjurkan umat Muslim melanjutkan ibadahnya dengan melakukan shaum sunah enam hari di bulan Syawal.

Shaum enam hari bulan Syawal selepas mengerjakan puasa wajib bulan Ramadhan banyak keutamaan dan imbalan pahala bagi yang mengerjakannya. Di antara keutamaannya adalah Allah akan menulis bagi yang mengerjakannya pahala shaum selama satu tahun penuh (jika ia berpuasa pada bulan Ramadhan).

Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis sahih dari Abu Ayyub ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringi dengan puasa enam hari bulan Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun penuh." (HR Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, dan Ibnu Majah). Rasulullah telah menjabarkan lewat sabda beliau, "Barangsiapa mengerjakan puasa enam hari bulan Syawal selepas Idul Fitri berarti ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Dan setiap kebaikan diganjar 10 kali lipat."

Para ahli fikih mazhab Hambali dan Syafi'i menegaskan bahwa puasa enam hari bulan Syawal selepas mengerjakan puasa Ramadhan setara dengan puasa setahun penuh, karena pelipatgandaan pahala secara umum juga berlaku pada puasa-puasa sunah. Juga setiap kebaikan dilipatgandakan pahalanya 10 kali lipat.

Salah satu faidah terpenting shaum enam hari bulan Syawal adalah menutupi kekurangan puasa wajib pada bulan Ramadhan. Sebab, puasa yang kita lakukan pada bulan Ramadhan pasti tidak terlepas dari kekurangan atau dosa yang dapat mengurangi keutamaannya. Pada hari akhir nanti akan diambil pahala shaum sunah tersebut untuk menutupi kekurangan puasa wajib.

Rabu, 24 September 2008

Memakmurkan Masjid Oleh Muhammad


Arifin Ilham

Sudah menjadi tradisi pada setiap awal Ramadhan, masjid penuh oleh jamaah. Tetapi, pertengahan Ramadhan apalagi pengujung Ramadhan berakhir pula makmurnya jamaah di masjid. Padahal, banyak keutamaan berjamaah di masjid yang adalah rumah Allah (lihat QS An-Nur [31] ayat 36), sebelum, selama, atau sesudah Ramadhan.

Allah menyebut mereka yang gemar berjamaah di masjid sebagai kekasih-Nya. Allah berfirman, ''Rumah-Ku di muka bumi adalah masjid, para kekasih-Ku adalah mereka yang memakmurkan rumah-Ku. Barang siapa yang ingin berjumpa dengan-Ku hendaklah ia datang ke rumah-Ku, sungguh wajib bagi tuan rumah menghormati para tamunya.'' (Hadis Qudsi). Karena itulah, azan bukan panggilan muazin, tapi panggilan Allah untuk para kekasih-Nya.

Rasulullah SAW tak pernah lepas dari beribadah di masjid. Ketika beliau sakit menjelang akhir hayatnya, tatkala mendengar azan Bilal, beliau berkata kepada Saidah Aisyah RA, ''Antarkan aku ke rumahku!'' Saidah Aisyah keheranan dan seraya bertanya, ''Bukankah ini rumah engkau wahai kekasih Allah?'

' Rasulullah menjawab, ''Bukan, rumahku adalah masjid.'' pada kesempatan lain beliau bersabda, ''Seandainya umatku mengetahui keutamaan shalat berjamaah di masjid, merangkak pun mereka tetap shalat berjamaah di masjid.'' (Muttafaqun `Alaiha).Masjid adalah juga rumah para malaikat Allah. Dalam hadis riwayat Ahmad ditegaskan, ''Para malaikat itu mendoakan dan mengaminkan doa mereka yang memakmurkan masjid.''

Masjid adalah rumah orang-orang mukmin. Dalam Alquran Surah At-Taubah ayat 18 ditegaskan, ''Sesungguhnya hanya hamba Allah yang benar-benar beriman kepada Allah dan benar-benar beriman pada Hari Akhirat, merekalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah.'' Pada zaman sahabat, salah satu penanda untuk mengetahui orang-orang munafik adalah kondisi masjid di waktu Subuh. ''Orang-orang munafik sangat berat shalat berjamaah di masjid terutama di waktu Subuh.'' (HR Bukhari).

Malam Kemuliaan


Oleh: KH Tarmizi Taher

Tanpa terasa kita telah masuk dalam 10 hari terakhir ibadah puasa Ramadhan tahun ini. Masa di mana Allah SWT menurunkan Lailatul Qadar. Lailatul Qadar diturunkan Allah SWT untuk Muslim yang rajin beribadah kepada-Nya dan beramal untuk kemanusiaan.

Kita beribadah dalam kuantitas dan kualitas yang banyak serta berharap mendapatkan Lailatul Qadar. Namun, kapan malam Qadar itu datang? Yang beruntung mendapatkannya adalah mereka yang setiap malam di bulan Ramadhan tekun beribadah dan beramal saleh.

Lailatul Qadar bisa berarti malam penetapan atau pengaturan Allah SWT bagi perjalanan kehidupan manusia di hari mendatang; malam yang sangat mulia dan tiada bandingnya karena malam tersebut dipilih sebagai waktu turunnya Alquran serta menjadi titik tolak segala kemuliaan yang dapat diraih; atau malam yang bercahaya karena malaikat-malaikat Allah SWT turun ke bumi. Begitulah sebagian gambaran keistimewaan Lailatul Qadar.

Tiada malam yang mendapat sebutan lebih indah selain Lailatul Qadar. Malam itu disebutkan memiliki kebaikan yang melebihi seribu bulan (QS Al Qadr [97]: 3). Di samping itu, Allah SWT juga menggambarkan keagungannya dengan mengajukan pertanyaan, ''Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?'' (QS Al Qadr [97]: 2). Pertanyaan semacam ini muncul di Alquran sebanyak 13 kali.

Semua objek yang dipertanyakan tentang malam mulia itu merujuk pada sesuatu yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal manusia.

Banyak dari kita berusaha untuk mendapatkan malam yang penuh kemuliaan itu. Tetapi, Allah SWT tidak memberitahukan kepastian datangnya Lailatul Qadar. Kerahasiaan ini membuat kita akan giat beribadah lebih banyak, bahkan akan menghidupkan seluruh malam Ramadhan kita dengan ibadah.

Selasa, 23 September 2008

Menjadi Manusia di Atas Rata-rata


Senin, 22 September 2008 | 03:00 WIB

Ismah Salman

Nanang Qosim Yusuf, penulis muda berbakat sekaligus penulis buku laris The 7 Awareness, menulis ”kapsul kecil yang mujarab” yang dapat menyembuhkan penyakit hati dan pencerahan kalbu. Tulisannya dapat menyentuh lubuk hati yang paling dalam untuk memunculkan kesadaran insan dalam beragama dan mengamalkan ajaran agama.

Tulisannya dikemas sedemikian rupa, disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh berbagai kalangan yang berbeda usia dan profesi. Sajiannya menarik bagai mutiara, dirangkai indah menghias kalbu seorang Muslim yang beriman dan berpuasa.

Tulisan ini membahas tiga materi besar sebagai anak tangga yang harus dilalui seseorang yang berharap puasanya sebagai wadah untuk menata diri sebagai Muslim yang beriman menuju derajat yang tertinggi, yaitu takwa di sisi Allah SWT, yaitu tafakur, tadabur, dan tasyakur.

Puasa mengarahkan manusia untuk menemukan kesadaran beragama, dan agama dijadikan petunjuk, pelita yang menerangi dan mengarahkan hidup, serta memberi makna kehidupan.

Buku ini ditulis untuk mengarahkan manusia agar mengaktifkan kesadaran dalam memaknai hidup. Arahan dimulai dari awal Ramadhan secara bertahap, dimulai dari tafakur, yaitu mengenali diri sendiri, dan melakukan kontrol pada diri, serta berusaha membina hubungan baik kepada Allah, serta hubungan baik kepada sesama manusia dan kepada sesama makhluk ciptaan Allah.

Puasa memiliki dimensi spiritual yang sangat tinggi karena memberikan kesadaran kepada setiap diri yang melakukannya. Puasa melatih manusia untuk menghilangkan kebohongan, menjadi manusia yang sadar untuk berlaku jujur dalam segala kegiatan hidup dan kehidupan.

Nanang mengambil ayat Al Quran sebagai dasar-dasar pemikiran, dan menyisipkan pula contoh-contoh yang membuat tulisan ini menjadi menarik dan hidup, serta mengasyikkan, sekaligus menyentuh akal, rasa, dan membuat penyajian menjadi tidak menjemukan.

Di samping itu, Nanang membagi manusia menjadi lima kategori: (1) orang yang culas, yang hanya melihat diri, sangat mencintai diri, dan iri terhadap kesuksesan orang lain; (2) orang yang cerdik, yang hanya memikirkan keuntungan diri; (3) orang yang pintar, yang sesuatu ia nilai dengan logika dan penilaian matematis, perasaan menjadi pudar, dan yang dihitung hanyalah untung dan rugi; (4) orang yang cerdas, orang yang menyeimbangkan antara pikiran dan hati; dan pada level terakhir, adalah (5) orang yang sadar/tersadarkan, yaitu mereka yang selalu melakukan sesuatu yang benar walaupun tidak ada yang melihat, mereka memiliki integritas yang tinggi dalam hidup ini, yang disebut muttaqin.

Penulis mengibaratkan puasa sebagai jembatan yang menjadi penghubung antara hamba dan Khalik-nya, dan penghubung pula antara hamba dan sesamanya. Puasa dijalankan dengan melakukan tafakur (merenung) tentang diri, bagaimana dalam 11 bulan yang lalu dan tahun sebelumnya segala sesuatu yang buruk ditinggalkan, menghilangkan kedustaan dan kepura-puraan, lalu melakukan tadabur- extrospection (merenung keluar); ada orang lain di sekitar dan ada alam makhluk lainnya, bagaimana seharusnya berinteraksi yang seimbang dengan mereka sehingga hubungan tersebut menjadi indah.

Kemudian, tasyakur-appreciation of life; bersyukur dengan perbuatan, hati yang ikhlas, apa yang terjadi dirasakan indah, bukan saja baik, dan disadari akan manfaatnya. Yang demikian itu adalah orang yang mendapat kemenangan, dan fitri.

Buku ini membimbing kita untuk mencapai tahap ini melalui tahap demi tahap, mulai 1 Ramadhan sampai akhir, seseorang yang berpuasa mampu berdialog dengan dirinya, dan dengan Tuhan-nya, serta alam sekitarnya.

Diam merenung dapat menghasilkan hati yang jernih, lapang, sabar, dan bersyukur. Tadabur bukan saja dengan membaca kitab suci, tetapi juga dengan membaca ”kitab sesama”, dan kitab alam semesta.

Ramadhan mengajak manusia untuk menghayati makna cinta yang sesungguhnya, cinta kepada sang Khalik, dan beribadah dengan ikhlas, cinta kepada sesama dengan cara memberi, dan cinta kepada alam dengan menjaga, memelihara, serta bersyukur, lalu menggunakannya dalam kebaikan. Puasa adalah pelatihan untuk mengendalikan diri dari hal lahiriah dan batiniah.

Tulisan yang disajikan Nanang mengandung uraian yang retorik, dan menggugah pembacanya untuk merenung serta menghayati uraian yang menggugah kalbu. Akalnya bekerja, hatinya turut merasa, diharapkan muncul kesadaran yang mendalam untuk berbuat, beramal, dan berupaya untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa. Muncul kesadaran sebagai hamba. Nilai-nilai religius terus mengalir dan dapat dinikmati oleh pembacanya karena menarik dan diselingi kisah-kisah teladan.

Panduan berpuasa

Tulisan ini dituangkan untuk konsumsi 30 hari bagi pembacanya karena ditulis sebanyak 30 chapter sehingga bagai air yang mengalir ke muara kesadaran bagi pembacanya. Tulisan ini mengajak pembaca untuk menghayati makna puasa, dan dibawa kepada kesadaran melihat makna hidup, lalu berbuat untuk memecahkan masalah, serta menjernihkan pikiran dalam berbuat amal yang bermanfaat. Di samping itu, menghindari perbuatan mubazir, menyia-nyiakan waktu, dan mampu memecahkan masalah sendiri.

Buku ini juga menjadi panduan dalam menghadapi Ramadhan, dan menuntun bagaimana dan apa yang harus dilaksanakan dalam berpuasa. Dengan demikian, puasa dapat benar-benar bermakna sebagaimana yang dimaksudkan oleh ibadah tersebut bahwa Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, dan magfirah, serta mulia.

Buku ini secara keseluruhan membina pembacanya dalam menata ibadah puasa menuju kesempurnaan. Langkah demi langkah disusun, mulai dari hari pertama Ramadhan sampai hari ke-30, bagaikan berjalan menuju satu titik, yaitu takwa. Ditata dengan membersihkan hati, pikiran, dan jiwa; membuang seluruh keburukan, sifat-sifat yang dibenci oleh Allah dan manusia, yaitu sombong, kikir, munafik, simbol-simbol/topeng yang merusak pergaulan antarsesama.

Perenungan dilakukan di awal Ramadhan dengan menyadarkan diri akan makna dan tujuan hidup. Pada buku Awareness of Ramadan dan dalam buku The 7 Awareness (dua buku tulisan Nanang Qosim Yusuf terdahulu) disebutkan bahwa manusia pada dasarnya lahir dalam kebahagiaan. Dante menyebutnya sebagai paradiso. Namun, karena kelemahan manusia, akhirnya jatuh ke dalam kesengsaraan/purgatorio.

Namun, jika manusia itu mampu menyadari dan berbuat baik, ia akan kembali ke alam kebahagiaan (paradiso), seperti Nabi Adam yang semula berada di surga, kemudian turun ke dunia, penuh dengan ujian dan persoalan dalam hidup. Namun, Allah menuntun manusia (anak-cucu Adam) dengan ajaran agama, dan beribadah, di antaranya dengan berpuasa agar kembali kepada kebahagiaan.

Allah mendidik manusia untuk berpuasa sebagai jalan menuju kemenangan dan ganjarannya adalah surga. Manusia semula berada dalam rahim ibu, di dalamnya manusia hidup nyaman. Namun, setelah dilahirkan ke alam dunia, manusia memiliki kelemahan, yaitu dikendalikan oleh nafsu dan berbagai godaan di sekitar hidupnya. Dari 12 bulan, dalam satu tahun, diciptakan Allah satu bulan; yaitu Ramadhan; sebagai alam purgatorio (pengampunan/magfirah). Apabila manusia mampu menjadi diri yang baik, yaitu muttaqin, akan masuk kembali ke dalam kebahagiaan, yaitu surga yang abadi.

Allah mengajarkan manusia untuk berpuasa dengan tujuan membentuk kepribadian yang tangguh, menumbuhkan ketajaman mata hati, peka terhadap penderitaan orang lain, lalu tumbuh sifat positif, yaitu kasih sayang kepada sesama.

Berpuasa sebulan penuh berdampak kepada kemauan untuk berbagi rezeki dengan zakat fitrah, sedekah, dan zakat mal. Di samping itu, tumbuh pula rasa syukur yang mendalam, menimbulkan perbuatan baik, ikhlas beramal, dan sabar jika menghadapi ujian.

Dengan berpuasa, diharapkan seseorang dapat membina hubungan yang semakin baik antara dirinya dengan Allah. Demikian juga antarsesama manusia. Kemudian muncul kesadaran yang tinggi dalam melaksanakan tugas sebagai orang tua, anak, suami/istri, karyawan, pengusaha, majikan, dan semua profesi tanpa pengecualian. Jika dihubungkan dengan situasi masa kini, banyak problem yang dihadapi dalam hidup. Namun, jika manusia itu orang yang sadar akan keberadaan dirinya di dunia ini, mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, tentu hidup dan kehidupannya semakin tenang, harmonis, dan jauh dari perselisihan, kejahatan, dan kerusakan. Dengan demikian, kedamaian dan keamanan akan tercipta di dunia ini.

Menurut Al-Ghazali, manusia memiliki nafs muthmainnah (tenang/damai), nafs kamilah (sempurna), nafs insaniah (kecenderungan kepada kebaikan, dan kesucian), nafs insaniah (kecenderungan berbuat baik), nafs lawwamah (menyesal jika bersalah), nafs bahiniah (naluri untuk mempertahankan hidup), dan nafs sabu’iyyah (kecenderungan untuk menjadikan orang lain sebagai mangsa atau memanfaatkan orang lain).

Dengan berpuasa, nafsu sabu’iyyah dan bahiniah dikendalikan, dan nafsu lawwamah diarahkan ke bertobat dan memohon ampun. Adapun nafsu kamilah diarahkan untuk berbuat baik dan menuju kesempurnaan. Nafsu insaniah disuburkan dengan zakat, sedekah, dan amal saleh. Demikian juga dengan nafsu muthmainnah, agar tumbuh ketenangan dan terwujud kebahagiaan.

Setelah berpuasa satu bulan, manusia kembali kepada fitrahnya, bersih dari dosa dan kesalahan, serta ikhlas dalam beramal. Lalu akan lahir seorang yang jujur, bersyukur terhadap nikmat Allah, sabar menghadapi ujian, dan baik hubungan antara dirinya dengan Tuhan dan sesama makhluk.

Buku ini menuntun pembacanya untuk membuat program untuk menghadapi hari esok. Visi dan misi yang jelas, langkah yang teratur, dan amal yang nyata, serta mengerti akan tujuan hidup di permukaan bumi ini sebagai Khalifah Allah.

Ismah Salman Guru Besar Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Senin, 08 September 2008

Tipologi Orang Bertakwa


Oleh: Prof Dr KH Ali Mustafa Yakub

Tujuan disyariatkannya puasa Ramadhan, seperti disebutkan dalam QS Albaqarah ayat 183, adalah agar kita menjadi orang yang bertakwa. Kata tattaqun menggunakan fiil mudhari' yang memberikan konotasi 'selalu' atau 'terus-menerus'. Karena itu, manusia bertakwa yang dibina melalui pendidikan moral puasa tidak hanya bertakwa sesaat atau setelah selesai beribadah puasa, tetapi ketakwaan itu seyogianya terus berlanjut sepanjang tahun.

Alquran memberikan tipologi orang bertakwa dalam dua surat. Pertama, dalam surat Albaqarah ayat 1-4 yang menyebutkan bahwa orang bertakwa mempunyai lima karakter, yaitu beriman kepada yang gaib; mendirikan shalat; menginfakkan sebagian dari rizki yang diberikan Allah; beriman kepada kitab-Nya; dan berkeyakinan terhadap kehidupan akhirat. Dari lima karakter ibadah itu, hanya satu yang berdimensi sosial, yaitu infak.

Kedua, dalam surat Ali Imran ayat 133-135, ''Dan, bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dalam keadaan senang ataupun susah, orang-orang yang menahan amarahnya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan, (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu memohon ampunan akan dosa-dosa mereka. Dan, siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan, mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui.''

Tipologi orang bertakwa dalam surah Ali Imran ini ada enam karakter: tiga pertama berkaitan dengan ibadah sosial dan tiga terakhir berkaitan dengan ibadah individual.

Apabila kedua surat itu digabungkan, tipologi orang bertakwa ada 11 karakter. Empat karakter ibadah sosial dan tujuh karakter ibadah individual. 

Yang menarik, karakter ibadah sosial (infak) disebutkan dua kali dalam dua surat itu. Hal ini memberikan isyarat bahwa masalah infak adalah sesuatu yang sangat penting dan menjadi salah satu tipologi orang bertakwa. Seseorang tidak mungkin menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah apabila karakter selalu berinfak tidak menjadi bagian dari perilakunya sehari-hari.

Alquran dan hadis lebih banyak menekankan pentingnya ibadah sosial daripada ibadah individual. Nabi SAW bahkan menegaskan, ''Tidak disebut beriman orang yang perutnya kenyang, sementara tetangganya kelaparan.''
(-)

Puasa Mengasah Jiwa

Puasa Mengasah Jiwa 

Oleh: KH Tarmizi Taher

Dalam kehidupan seorang Muslim, pikiran dan perbuatannya selalu diharapkan supaya senantiasa bertitik tolak dari iman kepada Allah SWT. Iman yang bersemayam dalam hati manusia itulah yang mewarnai tata pikir dan tata perbuatan manusia yang muncul dalam perilaku kehidupan sehari-hari.

Begitu dominannya keimanan yang bersemayam dalam hati itu, sehingga Allah menukikkan penilaian pada hati terlebih dahulu atas tata pikir dan tata perbuatan kita. Hal itu pernah ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat pada jasad dan tidak pula pada suara kita, akan tetapi Allah melihat pada hati nurani kita.

Bulan Ramadhan mempunyai peran signifikan bagi pembentukan iman, jiwa, dan hati nurani. Di bulan Ramadhan kaum Muslim dituntut untuk mengekang nafsu yang dapat merusak puasa. Tentunya, pengendalian hawa nafsu yang merusak itu tak hanya dilakukan pada bulan Ramadhan saja.

Untuk dapat mengendalikan hal-hal yang merusak puasa, peran hati begitu sentralnya dalam kacamata Allah SWT, sehingga suatu pikiran atau perbuatan yang kita mulai niatkan saja telah mendapat imbalan pahala dari Allah SWT, asalkan pikiran dan perbuatan yang kita niatkan itu suatu yang baik.

Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang terkenal itu, yaitu: Innamal a'malu binniyati (sesungguhnya segala perbuatan itu dinilai dari niatnya). Kesadaran inilah yang melandasi ketakwaan atau hakikat dari takwa, dan yang akan membimbing kaum Muslim ke arah tingkah laku yang baik serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak diri sendiri dan orang lain.

Ketika menjalani puasa Ramadhan, tak ada orang lain yang tahu bahwa kita benar-benar berpuasa atau tidak. Sebab, ibadah puasa adalah ibadah yang bersifat pribadi atau personal. Bahkan, ibadah puasa adalah rahasia antara seorang manusia dan penciptanya.

Kerahasiaan ibadah puasa ini mengandung hikmah yang sangat luar bisa bagi pendidikan jiwa. Karena Allah SWT Mahatahu atas segala perbuatan kita dan tak satu perbuatan sekecil biji atom pun yang lolos dari pengawasan-Nya. Dengan demikian, kesempatan Muslim yang berpuasa mencapai derajat takwa lebih terbuka dan jiwa menjadi terasah bersama Allah SWT.
(-)

Minggu, 07 September 2008

Tipologi Orang Bertakwa

Oleh: Prof Dr KH Ali Mustafa Yakub

Tujuan disyariatkannya puasa Ramadhan, seperti disebutkan dalam QS Albaqarah ayat 183, adalah agar kita menjadi orang yang bertakwa. Kata tattaqun menggunakan fiil mudhari' yang memberikan konotasi 'selalu' atau 'terus-menerus'. Karena itu, manusia bertakwa yang dibina melalui pendidikan moral puasa tidak hanya bertakwa sesaat atau setelah selesai beribadah puasa, tetapi ketakwaan itu seyogianya terus berlanjut sepanjang tahun.

Alquran memberikan tipologi orang bertakwa dalam dua surat. Pertama, dalam surat Albaqarah ayat 1-4 yang menyebutkan bahwa orang bertakwa mempunyai lima karakter, yaitu beriman kepada yang gaib; mendirikan shalat; menginfakkan sebagian dari rizki yang diberikan Allah; beriman kepada kitab-Nya; dan berkeyakinan terhadap kehidupan akhirat. Dari lima karakter ibadah itu, hanya satu yang berdimensi sosial, yaitu infak.

Kedua, dalam surat Ali Imran ayat 133-135, ''Dan, bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dalam keadaan senang ataupun susah, orang-orang yang menahan amarahnya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan, (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu memohon ampunan akan dosa-dosa mereka. Dan, siapa lagi yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan, mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedangkan mereka mengetahui.''

Tipologi orang bertakwa dalam surah Ali Imran ini ada enam karakter: tiga pertama berkaitan dengan ibadah sosial dan tiga terakhir berkaitan dengan ibadah individual.

Apabila kedua surat itu digabungkan, tipologi orang bertakwa ada 11 karakter. Empat karakter ibadah sosial dan tujuh karakter ibadah individual. 

Yang menarik, karakter ibadah sosial (infak) disebutkan dua kali dalam dua surat itu. Hal ini memberikan isyarat bahwa masalah infak adalah sesuatu yang sangat penting dan menjadi salah satu tipologi orang bertakwa. Seseorang tidak mungkin menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah apabila karakter selalu berinfak tidak menjadi bagian dari perilakunya sehari-hari.

Alquran dan hadis lebih banyak menekankan pentingnya ibadah sosial daripada ibadah individual. Nabi SAW bahkan menegaskan, ''Tidak disebut beriman orang yang perutnya kenyang, sementara tetangganya kelaparan.''
(-)

Merugi


Oleh Erwan Roihan 

''Katakanlah, maukah kalian kuberi tahu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Mereka adalah orang-orang yang sia-sia perbuatannya di dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.'' (Alkahf [18] : 103-104).

Mujahid, ahli tafsir terkemuka dari kalangantabi'in, menyatakan bahwa al akhsarina a'malan (orang-orang yang paling merugi perbuatannya) adalah Ahli Kitab, yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani. Abu Hayyan menyimpulkan, dari berbagai pendapat ulama tentang al akhsarina a'malan bahwa mereka adalah semua orang yang menjalani agama selain Islam, orang yang memamerkan amalannya (riya'), dan orang-orang yang mengerjakan bid'ah.'' (Albahr Almuhith 8/7). Merujuk pada keterangan Abu Hayyan, untuk menghindari kerugian besar-besaran saat kita amat memerlukan 'keuntungan' dari amalan kita, sudah seharusnya kita menghindarkan diri dari riya` dan bid'ah. Mengapa? Karena, keduanya akan menjerumuskan kita ke jurang kerugian tanpa batas.

Menghindarkan diri dari riya` hanya dapat dilakukan dengan mengikhlaskan setiap amalan dengan niatan hanya untuk menggapai keridhaan Allah semata-mata. Ketika beramal saleh, hendaknya kita tidak memedulikan apa kata orang terhadap kita. Apabila kita tidak bertambah semangat ketika dipuji orang lain dan tidak patah semangat atau putus asa ketika dicerca orang lain, itulah tanda bahwa amalan kita ikhlas karena Allah semata. Menghindari bid'ah hanya bisa kita lakukan dengan mengetahui sunah Nabi karena semua amalan yang bukan sunah itu dinamakan bid'ah. Untuk mengetahui sunah, kita mempelajari hadis, baik berupa perbuatan nabi, sabda beliau, maupun ketetapan beliau. Apabila kita sudah memastikan bahwa semua amalan kita sesuai sunah Rasulullah SAW, kita akan terhindar dari bid'ah.

Satu yang harus selalu kita ingat, jangan pernah berpaling dari Alquran dan sunah. Dengan menaati Allah, yakni mengikuti arahan Alquran dan menaati Rasulullah dengan menjalankan sunah, kita tidak hanya terhindar dari kerugian besar di akhirat, tetapi juga akan menggapai keuntungan yang besar. Hal ini sesuai janji Allah, ''Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan, barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah menggapai keuntungan yang besar.'' (Al Ahzab [33] : 71).  

Mahacinta

Oleh Desy Arisandy

Cinta merupakan suatu fitrah emosional yang dianugerahkan Allah SWT kepada setiap makhluk. Namun, apakah cinta sebenarnya? Tentunya, setiap individu memiliki definisi tersendiri tentang cinta. Seorang penyiar akan berbeda mendefinisikan cinta dengan seorang penyair. Begitupun dengan seorang pelukis atau seorang sastrawan.


Berbicara mengenai cinta, tentu tidak akan pernah membosankan. Karena, cinta hadir dalam setiap napas kehidupan dan selalu hadir dalam jiwa anak manusia. Namun, apakah kita menyadari, kepada siapakah cinta itu seharusnya dilabuhkan?

Di dalam Islam, tentunya cinta seseorang harus berlandaskan pada ketaatan sebagaimana firman Allah SWT, ''Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.

 Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS Ali Imran [3]: 31). Dan, jika ''berselingkuh'' dari mencintai Allah, derajat kita akan sangat rendah. ''Katakanlah, taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.'' (QS Ali Imran [3]:32). Allah merupakan mata air cinta, telaga bagi jiwa yang haus akan kasih-Nya. Hanya Dia-lah sumber dari segala sumber yang ada, kekal dan Maha mencintai makhluk-Nya.

 ''Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.

Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.'' (QS Almaidah [5]: 54). Maka, kepada siapa lagi kecintaan manusia akan bermuara, jika semua jawaban atas pertanyaan tertuju pada Sang Khalik. Jelaslah bahwa cinta yang sejati dan tidak akan pernah mati hanya kecintaan yang tertuju kepada Allah.

Sejatinya, apabila manusia menginginkan kesempurnaan cinta, keselamatan abadi, dan kebahagiaan hakiki, hendaklah ia serahkan segala cintanya kepada yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemberi, dan Mahahakiki.

Begitupun jika kita dihadapkan untuk mencintai sesama, cintailah karena Allah SWT semata. Begitupun sebaliknya, jika membenci, bencilah karena Allah SWT dan jangan berlebihan.
(-)

Multilevel Pahala

Asep Sulhadi


Istilah multilevel pada hakikatnya tidak hanya kita dapatkan pada bisnis semata. Namun, pahala pun bisa menjadi multilevel bagi kita. Bagaimana caranya? Rasulullah SAW menjelaskan, ''Jika anak Adam meninggal, amalnya terputus, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya (orang tuanya).'' (HR Muslim).

Hadis di atas dengan jelas menginformasikan kepada kita bahwa walau kita sudah meninggal dunia dan amal perbuatan kita sudah terputus, kesempatan untuk mendapatkan pahala tetap terbuka bagi kita dengan mengamalkan salah satu dari ketiga hal di atas.
Semakin sering orang melakukan sedekah jariyah atau wakaf, semakin banyak pahala yang akan ia dapatkan di akhirat kelak. Pahala tersebut tidak akan terputus selama orang yang masih hidup itu terus merasakan manfaat dari sedekah atau wakaf tersebut.

Begitu juga dengan mengamalkan ilmu atau mengajar. Jika pada level pertama kita hanya memiliki sepuluh orang murid, kemudian setiap satu orang dari murid tersebut juga mengajarkan ilmu yang kita ajarkan kepada sepuluh orang yang lain; kita pun sudah mendapatkan pahala sebanyak seratus pahala. Semakin banyak murid kita yang mengamalkan ilmunya, semakin banyak pula pahala yang akan kita dapatkan di akhirat kelak.

Semakin sering ilmu tersebut mereka amalkan, semakin banyak pula pahala yang mengalir kepada kita. Itulah yang dimaksud dengan multilevel pahala atau yang dalam bahasa agama disebut pahala yang mengalir. Menurut Imam Al Suyuti (wafat 911 H), bila semua hadis mengenai multilevel pahala dikumpulkan, semuanya berjumlah sepuluh amal. Mulai dari ilmu yang bermanfaat; mewakafkan buku, kitab, atau Alquran; berjuang dan membela Tanah Air; membuat sumur dan irigasi; membangun tempat penginapan bagi para musafir; hingga membangun tempat ibadah dan tempat belajar.

Itulah sebabnya para ulama pada zaman dulu berlomba-lomba mengerjakan amal-amal di atas. Mereka semua membuang jauh-jauh egonya untuk mementingkan diri sendiri. Kiranya, sudah saatnya bagi kita meneladani apa yang mereka lakukan pada zaman dulu. Sehingga, timbangan amal kebaikan kita lebih berat daripada timbangan amal buruk. Wallahu a'lam bishshawab

Selasa, 02 September 2008

'Abu Jahal' Modern

'

Oleh: Mukhamad Fahrudin 

''Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan sholat?'' (QS Al 'Alaq [76]: 9-10). 

Kalau kita merujuk ke beberapa kitab tafsir, seperti Jalalain, Altafsiru Almuyassar, Ibn Katsir, Aisaru Altafasir, dan lain-lainnya, akan kita dapati bahwa orang yang melarang itu adalah Abu Jahal. Sedangkan, seorang hamba yang dilarang mengerjakan shalat tersebut adalah Nabi Muhammad SAW.
 
Mengenai sabab al nuzul ayat ini, Imam Jalaludin Al Sayuthi dalam Lubab Alnuqul-nya menyebut sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas. Ia berkata, ''Ketika Rasulullah SAW akan mengerjakan shalat, tiba-tiba Abu Jahal datang lalu melarang Nabi SAW mengerjakan shalat, lalu Allah menurunkan ayat Ara aita al ladzi yanha, 'abdan idza sholla hingga ayat kadzibatin khotiah. 

Itulah Abu Jahal empat belasan abad yang lalu. Dia dengan terang-terangan melarang seorang hamba Allah, Muhammad SAW, yang akan bermunajat kepada Rabb-nya. 

Zaman berganti. Namun, karakter Abu Jahal tak pernah mati. Dia bisa benda hidup atau juga benda mati. Tidakkah kita merasa bahwa selama ini kita ternyata dikelilingi juga oleh benda-benda yang berpotensi untuk menjadi 'Abu Jahal Modern' yang mengusung spirit setan. 

Jika Abu Jahal zaman dulu dengan terang-terangan melarang Nabi SAW shalat, para 'Abu Jahal Modern' ini dengan cara halus, cara yang tidak kita sadari. Bila tidak untuk melupakan shalat, minimal menunda-nunda waktu shalat. Berapa banyak teman-teman kita, saudara-saudara kita, keluarga kita yang ketika adzan sudah dikumandangkan masih asyik menonton televisi atau asyik masyuk bertelepon ria dengan ponselnya. Nanggung, demikian alasannya.
 
Hal yang sepele, tapi kadang mengalahkan suatu kewajiban yang sudah jelas perintahnya. Semakin modern zaman, semakin modern pula cara-cara setan menggoda anak cucu Adam. Ungkapan ini setidaknya dapat membuat kita untuk lebih berhati-hati dalam menghadapi tipu daya setan di sekitar kita, apa pun bentuknya. 

Mau tidak mau, kita sendiri yang harus bisa mengatur dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai justru kita sendiri yang menciptakan 'Abu Jahal Modern', yang memberi kenikmatan sesaat, namun menjerumuskan kita ke dalam kekufuran pada Allah SWT. Naudzubillahi min dzalik.
(-)

Ramadhan 3

Kepompong Ramadhan 

Oleh: Untung Kasirini

Dalam terminologi fikih, puasa adalah aktivitas ibadah dengan menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya (seperti makan, minum, dan berhubungan suami istri), dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Di dalam surat Albaqarah ayat 187 Allah SWT berfirman, ''Makan dan minumlah kalian hingga terang bagimu antara benang putih dari benang hitam, yaitu saat fajar.''

Setelah melalui puasa Ramadhan, individu Muslim diharapkan meraih kesempurnaan diri yang dikenal dengan istilah 'takwa'. Di dalam surat yang sama ayat 183 dikatakan, ''Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana (telah) diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.''

Perihal ketakwaan, dalam banyak ayat Alquran disebutkan, ''Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah (adalah) yang paling baik takwanya.''
Mengapa dengan puasa seseorang bisa berevolusi menuju kesempurnaan diri? Jawabannya ada pada makna dan manfaat yang terkandung dalam ibadah puasa itu sendiri. Pertama, manfaat fisik. Selama proses puasa, di dalam tubuh hanya terdapat sedikit zat makanan dalam proses pencernaan. Hal tersebut kemudian 'memaksa' tubuh melakukan pembakaran lemak dan zat-zat yang berbahaya (toksin). Banyak ahli kesehatan yang menganjurkan puasa atau yang mirip dengannya seperti diet sebagai terapi bagi pasien dalam menjaga kesehatan.

Kedua, puasa sebagai pendidikan mental. Dengan puasa, seseorang dididik untuk bersabar dan melatih kedisiplinan. Untuk kembali makan dan minum (berbuka), kita harus bersabar hingga waktu Maghrib tiba. Puasa juga menuntut kita berdisiplin dalam berbagai hal seperti waktu sahur, berbuka, shalat tarawih, dan tilawah Alquran.

Ketiga, manfaat moral-spiritual. Puasa membangun ketakwaan dan keikhlasan. Dengan ketakwaan, manusia akan memperoleh kasih sayang, ampunan, diberi kemudahan menghadapi masalah kehidupan, dijauhkan dari api neraka, dan mendapat kebahagiaan abadi, surga. Puasa juga melatih kita berempati terhadap sesama dengan menahan rasa lapar seperti yang dialami jutaan manusia yang hidup dalam kemiskinan dan kelaparan.

Dalam kehidupan, puasa ibarat evolusi biologis makhluk hidup menuju bentuk sempurna yang disebut dengan metamorfosis. Dari seekor ulat yang bagi kebanyakan orang dianggap menjijikkan, berubah secara bertahap ke dalam wujud kepompong. Akhirnya, lahirlah kupu-kupu, serangga rupawan yang dicintai banyak orang. Maka, tidak salah kiranya jika menyebut orang yang berpuasa dengan metafor ''kepompong Ramadhan.''
(-)

Ramadhan 2

Bulan Kemuliaan 
Oleh: Alwi Shahab 

Alhamdulillah, mulai Senin 1 Ramadhan 1429 H umat Islam akan melaksanakan ibadah puasa, rukun Islam keempat. Tidak ada bulan yang demikian banyak mendapat sebutan kemuliaan seperti Ramadhan. Nabi Muhammad SAW menyebutnya sebagai bulan berkah, bulan pengampunan, bulan kebaikan, dan masih banyak lagi keutamaannya. Mencerminkan nilai khusus spiritual dari bulan suci itu.
 
Pahala dan hukum yang berkaitan dengan puasa demikian dipandang penting sehingga Allah akan melaksanakan pemberian pahala dan siksa itu. Ini tercermin dalam salah satu hadis Qudsi, ''Semua amal manusia itu adalah untuknya, kecuali puasa. Puasa ini untuk-Ku dan Aku yang akan mengganjarnya.'' 

Puasa bila dilakukan sesuai dengan kaidah dan ajaran agama akan menjadi sarana yang kuat untuk memerdekakan kita dari belenggu keinginan, hasrat, dan segala nafsu fisik yang negatif. Di samping itu, akan membersihkan kita dari kekotoran dosa-dosa badani.  

Rasulullah SAW bersabda kepada sahabat Jabir bin Abdullah Al Anshari. ''Jabir ini adalah bulan kemuliaan. Barang siapa yang berpuasa di siang harinya dan tetap sadar dan ingat pada Allah di malam harinya, menjaga perutnya dari apa yang diharamkan, dan menjaga kehormatannya dari kekotoran, serta menahan lidahnya maka ia akan terlepas dari dosa-dosa seperti lepasnya bulan Ramadhan dari dia.''

Kini makin disadari bahwa puasa yang dilakukan dengan iman akan memberi pengaruh kepada seseorang yang menjalaninya. Dalam ilmu kedokteran--termasuk para dokter dari dunia Barat--memuji kaidah-kaidah puasa. Karena, menurut mereka, pengendalian diri merupakan obat paling manjur untuk meredam berbagai penyakit. Mereka menyimpulkan bahwa kemarahan, kebencian, dengki, sakit hati, dan dendam--kesemuanya oleh agama diminta agar kita meredamnya--adalah sikap-sikap yang memperburuk kesehatan karena merusak daya tahan tubuh. Banyak penyakit seperti jantung, hipertensi, dan stroke diperberat oleh sikap-sikap demikian.

Selama puasa kita juga diperintahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah serta merasakan kehadiran-Nya. Selain itu, kita juga dianjurkan untuk mempererat solidaritas sosial serta rasa kasih sayang sesama umat. 

Dengan demikian, mereka merasakan adanya persamaan yang mengurangi rasa kelebihan dalam mengecap kenikmatan rezeki yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sehingga, akan ada tolong-menolong antara yang kuat dan lemah, kaya dan miskin, baik dalam bentuk zakat, sedekah, maupun infak. Bismillah. Mari menyiapkan diri menyambut bulan mulia penuh hikmah.
(-)

Ramadhan

Amalan Nabi di Bulan Suci
Oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yakub

Sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW, kita perlu mengetahui apa saja yang dilakukan beliau pada bulan Ramadhan. Hal itu agar dalam menjalankan ibadah Ramadhan kita tidak menyimpang dari tuntunan beliau.Setiap malam pada bulan Ramadhan, Malaikat Jibril datang menghadap Nabi SAW dan mendengarkan bacaan Alquran dari Nabi SAW.

Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, ''Nabi SAW adalah orang yang paling dermawan dalam melakukan kebajikan, lebih-lebih pada Ramadhan. Karena Malaikat Jibril menemuinya setiap malam di bulan Ramadhan sampai Ramadhan habis. Nabi SAW membacakan Alquran kepada malaikat Jibril. Bagi Jibril, Nabi SAW adalah orang yang paling dermawan dalam melakukan kebajikan bagaikan angin yang kencang. (HR Imam Al-Bukhari).

Tadarus ini kemudian ditradisikan oleh umat Islam dengan membaca Alquran sebanyak-banyaknya setiap datang bulan Ramadhan.Nabi SAW adalah seorang yang dermawan. Dan pada bulan Ramadhan Nabi SAW lebih dermawan ketimbang bulan-bulan lainnya. Kedermawanan Nabi SAW ini oleh shahabat Abdullah bin Abbas RA diibaratkan seperti dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari tadi, sebagai angin yang kencang ( al-rih al-mursalah).

Pada masa Nabi SAW shalat malam yang dilakukan khusus pada bulan Ramadhan disebut Qiyamul Ramadhan (shalat malam Ramadhan). Belakangan istilah shalat malam Ramadhan ini dibakukan menjadi shalat tarawih.Dalam hadis yang shahih (valid) Nabi SAW bersabda, ''Siapa yang melaksanakan qiyamul Ramadhan (shalat tarawih) dengan penuh keimanan dan mengharap ridha Allah, maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu. (HR Imam al-Bukhari).

Nabi SAW membagi bulan Ramadhan menjadi dua periode. Periode pertama, tanggal satu sampai 20 Ramadhan. Periode kedua, tanggal 21 sampai akhir Ramadhan. Pada periode pertama, Nabi SAW masih biasa-biasa saja dalam beribadah. Tetapi, pada periode kedua, beliau tancap gas, mengonsentrasikan diri untuk beribadah di masjid, khususnya pada malam hari.
(-)

Diam

Oleh Ust M Arifin Ilham

Puasa adalah diam. Tentu bukan sembarang diam, bukan takut kebenaran, bukan karena bodoh, tetapi diam bernilai ibadah karena sedang berpuasa. Kalau diamnya saja bernilai ibadah, apalagi kalau beraktivitas ibadah dan beramal saleh, membaca Alquran, menuntut ilmu, sedekah, mencari nafkah yang halal, sampai berdakwah. Maka, sungguh pantaslah mereka berpuasa mendapat nilai berlipat ganda dari Allah.Subhanallah.

Diamnya orang mukmin adalah tafakur dan tadabbur; Dari mana aku? Di mana Aku? Ke mana aku akhirnya? Rotasi dan evolusi alam ini dalam miliaran galaksi yang mencengangkan para kosmolog, renungan inilah membuat orang beriman itu bersujud di haribaan Allah.

Allah SWT berfirman dalam surat Qaf ayat 18, ''Tidaklah berkata satu kata kecuali dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid.'' Rasulullah SAW pun mengingatkan, ''Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhirat hendaklah berkata baik, benar, jujur, sopan, santun, mulia, kalau tidak maka lebih baik diam.'' Karena itu aktivitas lisan orang mukmin hanya dua, kalau tidak bisa bicara baik maka diam, tetapi kalau bisa bicara baik itu lebih baik daripada diam.

Sungguh tepat sikap Siti Maryam menghadapi fitnah dengan diam, ''Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa berdiam untuk Tuhan Yang Mahakuasa maka aku tidak berbicara dengan siapa pun pada hari ini.'' Ada waktu untuk bicara, ada tempatnya untuk bicara, bahkan kadang tidak hanya untuk menyampaikan tetapi yang lebih penting adalah sampai, karena itu ayat-ayat Alquran menggambarkan ucapan orang yang takut kepada Allah; qaulan sadiidan ucapan tegas (lihat QS Al Azhab [33]: 70), qaulan tsaqiilan ucapan berbobot (lihat QS Al Muzzammil [73]: 5),qaulan layyinan ucapan lembut (lihat QS Thaahaa [20]: 44), dan qaulan ma'ruufan ucapan baik, sopan (lihat QS An-Nisaa [4]: 5). Sungguh betapa banyak orang yang diam-diam itu tatkala berbicara mengagumkan karena ia berdiam, mendengar, merenung baru berbicara, Subhanallah.
(-)