Selasa, 25 Maret 2008

Hakikat Perbedaan

Rabu, 26 Maret 2008

Oleh : Tri Handoyo

''Perbedaan umatku adalah rahmat.'' (Al Jaami' ash-Shaghiir fii Ahadiits al-Basyiir an-Nadziir).

Pada dasarnya ada dua jenis perbedaan dalam Islam, yaitu perbedaan kontradiktif dan perbedaan variatif. Perbedaan kontradiktif merupakan bencana yang harus diatasi oleh umat Islam, sedangkan perbedaan variatif merupakan rahmat, sehingga tidak boleh dihilangkan.

Dalam terminologi fikih, perbedaan kontradiktif adalah perbedaan yang terjadi pada hal-hal yang ushul (pokok), seperti lafal syahadat, jumlah rakaat shalat wajib, dan Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Sedangkan perbedaan variatif adalah perbedaan yang terjadi pada hal-hal yang furu' (cabang), seperti jumlah rakaat shalat Tarawih, doa qunut dalam shalat Subuh, dan penetapan tanggal satu Syawal.

Perbedaan variatif ini sengaja dijadikan Allah SWT dengan berbagai hikmah, antara lain, sebagai kemudahan dan kelapangan bagi manusia. ''Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas kalian hal-hal yang fardhu, maka janganlah kalian meninggalkannya. Dia telah melarang kalian dari berbagai hal, maka janganlah dilanggar. Dia telah memberi batas-batas dalam setiap hal, maka janganlah melewatinya. Dia juga telah membiarkan (mendiamkan) berbagai hal sebagai rahmat bagi kalian, bukan karena alpa, maka janganlah kalian mencari-carinya (mempersulit diri).'' (HR ad-Daruquthni).

Perbedaan antarmazhab, termasuk perbedaan variatif, karena itu perbedaan antarmazhab merupakan rahmat, sehingga tidak boleh dipersoalkan apalagi dihilangkan. Itu sebabnya ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid hendak membuat semua orang sepakat menggunakan kitab Al-Muwathta-nya Imam Malik, Imam Malik menolaknya dengan berkata, ''Wahai Amirul Mukminin, perbedaan antara para ulama adalah rahmat Allah atas umat ini, biarkanlah setiap orang mengikuti apa yang benar menurutnya.'' (Min Uquud al-Jumaan dan Kasyf al-Khafaa).

Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat Dr Yusuf Al-Qaradhawi, ''Perbedaan antarmazhab dalam masalah fikih bukan merupakan cacat, kekurangan, ataupun suatu kontradiksi dalam agama kita.'' (Dr Yusuf Al-Qaradhawi, Memahami Khazanah Klasik, Mazhab dan Ikhtilaf). Semoga dengan memahami hakikat perbedaan, hal-hal seperti itu dapat diminimalisasi, sehingga cita-cita persatuan umat tidak terlalu jauh dari jangkauan kita.

Manajemen Muhammad SAW

Erwin FS
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta

Pada 12 Rabiul Awal telah ditakdirkan menjadi hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, seorang Nabi penutup dan pemimpin yang namanya paling sering diucapkan oleh umat manusia setiap saat hingga kini. Kelahirannya di tengah alam yang gersang dan jahiliyah memberikan arti baru kehidupan manusia dan memunculkan kembali fitrah manusia.

Muhammad adalah pembawa rahmat untuk seluruh alam. Nilai-nilai Islam yang universal telah ditegakkannya sehingga membuat dunia terang dengan keikhlasan, kejujuran, tolong-menolong, keadilan, kemanusiaan, dan berbagai nilai universal lain yang sebelumnya terkunci rapi di gudang kejahiliyahan.

Muhammad SAW adalah sosok yang paradoks bagi kaum kafir pada waktu itu. Mereka sangat membenci Muhammad karena menyebarkan Islam, tetapi mereka memercayakan harta mereka dititipkan kepada beliau karena akhlaknya yang mulia. Mereka sangat ingin membunuh Muhammad karena Islam mengancam jabatan mereka. Namun, mereka meminta dipersatukan oleh Muhammad ketika berseteru dalam peletakan batu Kabah.

Muhammad menjelma menjadi pemimpin yang mengimplementasikan manajemen strategis. Beliau pemimpin yang memiliki etika bisnis tinggi, sangat dipercaya kejujurannya. Inilah dunia manajemen strategis yang terdapat pada kehidupan Muhammad SAW dan Allah secara tidak langsung meminta hambanya yang shaleh untuk melaksanakan manajemen strategis dalam kehidupan umat Islam.

Ketika menjalani perniagaan pun etika bisnis tinggi yang diperlihatkannya menjadikannya sebagai pedagang yang berhasil dan memikat hati Siti Khadijah. Etika bisnis yang kini banyak dilupakan orang telah membuat perekonomian tidak berada pada posisi yang adil bagi masyarakat.

Misalnya, pedagang kecil semakin terpinggirkan serta sulit mendapat pinjaman dan pedagang bermodal besar mudah mendapatkannya. Konsumen banyak ditipu dan masyarakat banyak yang dirugikan akibat etika bisnis yang tidak dijalankan dengan baik.

Etika bisnis yang luar biasa juga diperlihatkan oleh Muhammad dalam menghadapi perjanjian Hudaibiyah. Ini dirasa paradoks oleh kaum Muslimin (termasuk Umar bin Khaththab), tetapi diimplementasikan oleh Muhammad SAW. Kelak keputusan Muhammad SAW ini yang semakin memperkuat barisan umat Islam.

Keputusan Muhammad SAW ini sangat strategis bagi perkembangan Islam selanjutnya. Dalam perjanjian Hudaibiyah, penduduk yang datang dari Makkah ke Madinah bisa dikembalikan lagi ke Makkah dan penduduk yang datang dari Madinah menuju Makkah tidak bisa dikembalikan ke Madinah. Muhammad SAW menerima dan melaksanakan perjanjian ini karena melihat peluang strategis akibat implementasi perjanjian tersebut.

Implementasi lain yang dilakukan Muhammad adalah menjalani kepemimpinan strategis. Dalam memimpin ia mendengar dan menerima pendapat dari kaum Muslimin. Tradisi ini diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin.

Salah satu peristiwa yang cukup diingat sejarah adalah ketika Muhammad SAW meminta masukan tentang upaya melindungi Madinah dari serangan kaum kafir Makkah. Salman Al Farisi kemudian tampil dengan ide cemerlang, melindungi Madinah dengan parit.

Sejarah mencatat terjadi perang Khandaq antara kaum Muslimin Madinah dan kaum kafir Makkah. Kaum Muslimin melindungi dirinya dengan parit.

Implementasi manajemen strategis berikutnya yang dilakukan Muhammad dalam perjuangan hidupnya adalah membangun kompetensi inti kaum Muslimin. Kompetensi inti biasanya terkait dengan kemampuan atau keahlian. Kompetensi inti yang dibangun Muhammad adalah penguatan fondasi pemahaman keislaman dan pembinaan diri yang berkelanjutan.

Tidak heran setelah masuk ke dalam Islam banyak sahabat yang menorehkan prestasi besar peradaban, seperti Umar bin Khaththab yang pernah mengubur anak perempuannya pada masa jahiliyah, tetapi menjadi pemimpin yang sangat bertanggung jawab kepada rakyatnya setelah masuk Islam. Pembangunan kompetensi inti ini dipimpin langsung oleh Muhammad SAW.

Berbagai potensi yang muncul dari sahabatnya dan kaum Muslimin diaktualisasikan pada posisi-posisi kenegaraan dan kemasyarakatan yang ada dengan mengacu kepada kompetensi inti. Kompetensi inti ini yang membuat orang seperti Umar bin Khaththab bersikap amanah. Demikian juga sahabat yang lain. Kompetensi inti ini yang sekarang hilang dari umat Islam, digerus oleh materialisme dan sekularisme.

Etika bisnis yang tinggi, kepemimpinan strategis, dan membangun kompetensi inti dilakukan oleh Muhammad SAW yang tidak bisa membaca, tetapi memiliki kecerdasan dan akhlak yang mulia. Keberhasilan Muhammad menyampaikan Islam dalam sudut pandang ilmu manajemen adalah mengimplementasikan manajemen strategis.

Kaum kafir yang memusuhi Muhammad SAW begitu banyak menyusun rencana strategis melenyapkan Muhammad SAW, keluarganya, kaum Muslimin, dan ajaran Islam. Namun, karena Muhammad SAW juga mengimplementasikan manajemen strategi (yang langsung dibimbing oleh Allah SWT), akhirnya bisa memenangkan pertarungan dengan membangun kompetensi inti yang sangat bagus sehingga Allah menyatakan bahwa kamu adalah umat terbaik, yang menyeru kepada kebaikan dan mengajak meninggalkan kemungkaran.

Ketika terjadi penaklukan Makkah oleh kaum Muslimin, sebagai pemenang perang Muhammad SAW berhasil meniadakan pertumpahan darah. Kaum kafir yang berada di ujung tanduk begitu senang ternyata Muhammad SAW tidak membunuh mereka.

Tertarik Islam
Akibat dari kebijakan ini, banyak penduduk Makkah masuk Islam. Nilai pada diri Muhammad sebenarnya telah diketahui oleh kaum kafir Makkah. Namun, ketika mereka melihat sendiri bagaimana Muhammad SAW memperlakukan mereka sewaktu kalah perang, mereka mengakui nilai-nilai Islam yang dibawa Muhammad SAW.

Kemenangan Muhammad dalam penaklukan Makkah tanpa pertumpahan darah membuktikan Islam begitu menghormati manusia dan bukan haus darah yang selama ini banyak dihembuskan oleh pihak-pihak Barat. Kenyataannya justru darah umat Islam yang banyak tumpah saat ini.

Kehidupan Muhammad bukanlah kehidupan yang biasa saja. Beliau menerapkan manajemen strategis dalam perjuangan hidupnya saat menyampaikan Islam bersama sahabatnya dan kaum Muslimin. Ini sesuai dengan sunatullah, setiap suatu keberhasilan disertai dengan kerja keras dan pemikiran yang cerdas.

Kita yang hidup saat ini bisa mengambil pelajaran dari kehidupan Muhammad SAW. Kita sebagai bagian dari umat Islam menginginkan umat menjadi maju, sejahtera, dan berperadaban tinggi. Ini perlu didorong dengan menjalani manajemen strategis, tidak bisa asal berjalan saja. Manajemen strategis adalah alat bantu yang sangat berharga bagi para pemimpin umat untuk membawa umat kepada kehidupan lebih baik yang diridhai oleh Allah SWT, keadilan ditegakkan dan nyawa manusia sangat dihargai.

Muhammad SAW dalam 23 tahun masa kenabiannya telah melakukan perombakan besar terhadap tatanan kehidupan manusia. Muhammad SAW berhasil menunjukkan kepada dunia indahnya syariat Islam.

Al Ghazali menyebutkan bahwa tujuan utama syariat adalah mendorong kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan kepada keimanan, kehidupan, akal, keturunan, dan kekayaan mereka. Apa pun yang menjamin terlindungnya lima perkara ini akan memenuhi kepentingan umum dan dikehendaki.

Berbagai peristiwa dalam kehidupan Muhammad SAW telah dikaji oleh berbagai pakar berbagai bidang ilmu. Dari perspektif ilmu manajemen, Muhammad SAW telah mengimplementasikan manajemen strategis dalam kehidupannya menyampaikan Islam dan memimpin umat serta menjadi teladan yang mengagumkan. Sudah sepatutnya para pemimpin umat mengimplementasikan manajemen strategis dalam mengajak umat kembali kepada ajaran Islam yang mulia dan menjadi rahmat untuk seluruh alam.

Ikhtisar:
- Muhammad berhasil karena memiliki akhlak mulia. - Umat hanya sukses bila mampu bersatu.

Nurani

Selasa, 25 Maret 2008

Oleh : Indra Komar Purnama

''Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya. Maka Allah mengilhamkan kepadanya jiwa (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan (jiwa itu). Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.'' (QS Asy-Syams [91]: 7-10).

Nurani adalah sebuah sifat rohaniah yang mengajak manusia agar berpikir dan berperilaku baik, membantunya berpikir lurus dan mengatakan mana yang benar dan mana yang salah.

Salah satu aspek penting dari nurani ini adalah dia ada dalam diri semua orang. Dengan kata lain, apa yang dirasa benar oleh nurani seseorang juga dirasa benar oleh nurani semua orang lainnya, asalkan berlaku kondisi yang sama.

Nurani seseorang tidak pernah berbeda dengan nurani orang lain. Alasannya terletak pada sumber nurani itu: dia adalah ilham dari Allah. Melalui nurani, Allah membiarkan kita tahu mana sikap dan perilaku baik yang akan menyenangkan-Nya, agar kita ambil.

Dalam ayat di atas, Allah menyatakan Dia telah mengilhamkan kepada nafs (diri) dengan fujur (berbuat dosa, tidak taat, menyimpang, berbohong, berpaling dari kebajikan, berbuat kerusakan, keburukan akhlak). Lawan katanya adalah takwa (gentar dan takut kepada Allah yang mengilhamkan kepada seseorang untuk waspada terhadap perbuatan yang salah dan bersemangat untuk melakukan amal yang disukai Allah). Nurani ini jugalah yang menjauhkan manusia dari perbuatan buruk dan menunjukkan jalan yang benar.

Satu hal pokok yang harus dicamkan baik-baik bahwa setiap manusia, saat akil baligh, bertanggung jawab atas apa yang diilhamkan Allah kepadanya dan apa yang dibisikkan nuraninya. Jika dia mau mendengar nuraninya, dia akan mendapatkan kebaikan di dunia dan kehidupan yang kekal di surga Allah. Namun, jika dia mengikuti nafsunya, dia akan menemui kurungan api neraka yang abadi.

Minggu, 23 Maret 2008

Membela Rakyat

Fenomena gizi buruk dan penyakit busung lapar semakin hari semakin memprihatinkan. Belum lama ini terjadi sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan negeri ini, yaitu meninggalnya seorang ibu hamil bersama puterinya yang berusia lima tahun akibat tidak makan (kelaparan) selama tiga hari di sebuah kota di wilayah timur Indonesia. Sedangkan puteranya yang lain, dirawat secara intensif di sebuah rumah sakit di kota tersebut, dan beruntung dapat diselamatkan.

Demikian pula dengan kasus gizi buruk yang melanda wilayah-wilayah lain di Tanah Air. Bahaya yang mengancam masa depan bangsa sangat jelas terlihat akibat gizi buruk yang menimpa anak-anak bangsa. Bagaimanapun, mereka adalah harapan kita di masa depan. Begitu pula dengan keadaan sosial masyarakat Indonesia yang dirasakan semakin hari semakin berat. Daya beli masyarakat sebagai contoh, semakin lama semakin mengalami penurunan.

Berdasarkan kajian Tim Indonesia Bangkit, upah riil petani pada 2007 mengalami penurunan sekitar 0,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Demikian pula dengan upah riil buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dan tukang potong rambut, mengalami penurunan masing-masing sebesar dua persen, 0,5 persen, dan 2,5 persen.

Masih dalam periode yang sama, upah riil buruh industri mengalami penurunan sebesar 1,2 persen. Menurunnya upah riil kelompok rakyat kecil tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi tahun lalu sesungguhnya lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas (Beik dan Hakiem, 2008).

Sementara itu, harga minyak goreng juga terus melambung. Di kota-kota besar nampak terlihat dengan jelas masyarakat antre untuk mendapatkan minyak goreng curah. Sebuah kondisi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebuah negeri yang subur, tempat berbagai tanaman dapat tumbuh dengan baik, namun ternyata mengalami fenomena banyaknya orang yang kelaparan, kurang gizi, harga-harga barang kebutuhan pokok yang terus merambat naik, dan angka pengangguran serta kemiskinan yang juga tinggi.

Kita khawatir negeri ini seperti yang digambarkan oleh Allah SWT dalam QS 16 : 112, Allah berfirman : "Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat."

Sesungguhnya pemerintah telah berusaha untuk keluar dari situasi ini. Sejumlah kebijakan telah dilaksanakan oleh pemerintah, seperti bantuan langsung tunai, bantuan tunai bersyarat hingga program raskin (beras untuk orang miskin). Termasuk pula kebijakan untuk mengembangkan UKM. Namun demikian, seringkali kebijakan-kebijakan tersebut tidak efektif di lapangan karena tidak amanahnya sebagian pejabat dan aparat yang bertanggung jawab dalam proses eksekusinya.

Akibatnya seringkali terjadi, rakyat yang seharusnya menerima bantuan namun ternyata tidak menerima karena kesalahan dalam pendataan. Untuk itu diperlukan adanya proses perbaikan yang kontinyu ke depan. Tiga Pilar Solusi Di tengah beratnya situasi yang dihadapi, optimisme harus senantiasa tumbuh dalam diri setiap warga negara. Kembali pada Alquran dan sunnah merupakan sebuah kebutuhan dan keharusan.

Ada tiga langkah solusi yang dapat dilaksanakan sebagaimana yang dinyatakan dalam QS 106 : 3-4. Allah SWT berfirman : "Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan pemilik rumah ini (Ka'bah) (3). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar, dan mengamankan mereka dari ketakutan (4)."

Pertama, pemerintah dan rakyat harus lebih meningkatkan kualitas keimanan, keyakinan dan ibadah kepada Allah SWT. Hal tersebut merupakan prasyarat mutlak untuk mendatangkan pertolongan Allah. Agar negeri ini mampu menghasilkan kualitas manusia yang demikian, maka pengembangan sektor pendidikan menjadi sebuah keniscayaan.

Ia merupakan pilar yang sangat penting di dalam menumbuhkan karakter bangsa yang berkualitas. Pendidikan yang dimaksud juga bukan sekadar transfer of knowledge. Melainkan lebih pada perubahan sikap dan karakter, dari sifat malas menjadi memiliki etos kerja yang kuat, dari pesimis menghadapi masa depan menjadi optimis, dan lain-lain.

Untuk itu, dibutuhkan adanya contoh dan teladan dari para pemimpin, termasuk para ulama dan pendidik. Salah satu sebab keberhasilan Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat Madinah pada saat itu, karena beliau memimpin dengan memberikan contoh. Sehingga masyarakat melihat apa yang dilakukannya. Dan bukan semata-mata apa yang dikatakannya.

Bukti perbuatan nyata lebih memberikan pengaruh yang signifikan dibandingkan dengan retorika semata. Hal lain yang juga sangat penting dalam konteks ini adalah alokasi anggaran untuk pendidikan dalam APBN yang secara konsisten harus memenuhi 20 persen dari total anggaran. Kedua, membebaskan masyarakat dari kelaparan, melalui pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi dengan cara memanfaatkan sumber daya alam lokal yang tersedia secara optimal (local-based resources).

Keberpihakan terhadap petani dan nelayan perlu menjadi agenda nasional, karena merekalah ujung tombak yang sangat mempengaruhi produksi pangan nasional. Peran BULOG dalam membela petani harus dioptimalkan. Demikian pula dengan penyediaan modal kerja bagi petani dan nelayan harus menjadi skala prioritas utama. Dalam hal ini, pemerintah dapat pula memanfaatkan instrumen sukuk sebagai gerbang investasi yang kini juga dimanfaatkan oleh negara-negara lain.

Ketiga, memberikan rasa aman kepada masyarakat baik secara fisik maupun mental, melalui optimalisasi peran aparat di dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat. Kita berharap peran aparat sebagai pelayan masyarakat dapat terus menerus ditingkatkan. Misalnya, melihat secara langsung kondisi masyarakat merupakan sebuah keniscayaan.

Ada baiknya pernyataan Umar bin Kaththab ketika menjadi khalifah dijadikan sebagai renungan. Beliau menyatakan "Pada masa pemerintahanku, jangankan manusia, binatang pun tidak boleh ada yang mati kelaparan". Wallahu'alam bi ash-shawab.

(KH Didin Hafidhuddin )

Jumat, 21 Maret 2008

Makanan Halal

Oleh : Tata Septayuda Purnama

''Akan datang suatu zaman ketika seseorang tidak akan peduli terhadap apa yang ia ambil, apakah itu halal atau haram.'' (HR Bukhari)

Dalam soal makanan, sesungguhnya umat Islam diperintahkan mengonsumsi makanan halal dan menjauhi yang haram. Allah SWT berfirman dalam QS Albaqarah (2): 172, ''Wahai orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu, dan bersyukurlah kepada Allah jika benar-benar kepada-Nya saja kamu menyembah.''

Makanan yang kita makan akan menjadi darah dan daging dalam tubuh. Karena itu, makanan akan berpengaruh pada tingkah laku seseorang. Makanan halal akan menciptakan perilaku positif. Sedangkan, makanan haram berdampak buruk bagi manusia.

Bahkan, salah satu penyebab doa dan shalat kita tidak diterima adalah makanan haram tersebut. Ibnu Abbas RA berkata, ''Allah tidak menerima shalat seseorang yang di dalam perutnya terdapat makanan haram.''

Karena itu, para Salafus Shalih sangat berhati-hati terhadap apa yang masuk dalam perut mereka. Mereka juga amat bersikap wara' dalam menjauhi hal-hal yang syubhat apalagi yang haram. Dalam kitab Shahih Albukhari diceritakan, Aisyah RA berkisah Abu Bakar mempunyai pembantu yang selalu menyediakan makanan untuknya. Suatu hari, sang pembantu membawa makanan. Abu Bakar pun memakannya. Setelah tahu bahwa makanan tersebut didapatkan dengan cara yang haram, ia pun memasukkan jari tangannya ke kerongkongan. Kemudian, ia muntahkan kembali makanan yang baru saja masuk dalam perutnya.

Makanan halal sudah jelas dalil dan batasannya. Yaitu, makanan tidak mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh agama, seperti bangkai, daging babi, dan darah. Tidak pula mengandung benda najis, tidak diproses dengan menggunakan alat-alat yang bernajis, dan saat pemrosesan tidak bersentuhan dengan benda-benda yang mengandung najis itu.

Ini berarti ketika diketahui tentang keharaman suatu zat tertentu berdasarkan dalil Alquran ataupun hadis, saat itu haram pula untuk memanfaatkannya. Selain itu, makanan haram bisa disebabkan oleh cara mendapatkannya yang haram, seperti mencuri, riba, curang dalam jual beli, korupsi, suap, dan lainnya.

Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya yang halal itu terang penjelasannya dan yang haram itu gamblang penjelasannya. Dan, di antara keduanya, ada perkara yang samar-samar (syubhat) yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Maka, barang siapa terjatuh dalam perkara yang demikian, pada saat itu dia telah terjatuh pada yang haram.'' (HR Bukhari dan Muslim)

Rabu, 19 Maret 2008

Makna Musibah

Oleh : Ruslani

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah SWT mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui." (QS Albaqarah [2]: 216).

Menurut Alquran dan hadis, musibah mempunyai paling sedikitnya tiga makna. Pertama, musibah sebagai hukum sebab akibat. Allah SWT menghukum manusia berupa bencana seperti banjir, tanah longsor, wabah penyakit. Itu semua disebabkan oleh perbuatan manusia karena berpaling pada aturan yang telah ditetapkan-Nya.

"Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah SWT, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka itu adalah dari kesalahan dirimu sendiri. (QS Annisa [4]: 79). Kedua, musibah sebagai penebus dosa. Allah SWT menghendaki datangnya musibah berupa kesusahan, rasa sakit, kekurangan harta, dan kematian tidak lain sebagai penghapus dosa hamba-hambanya. Nanti di akhirat ada dosa yang tak diperhitungkan lagi karena hukumannya sudah ditunaikan Allah SWT di dunia.

Rasulullah SAW bersabda, "Apabila Allah SWT menghendaki kebaikan bagi hamba-hambanya, maka didahulukan baginya hukuman di dunia dan bila Allah SWT menghendaki keburukan, maka dibiarkan dengan dosa-dosanya, sehingga dosa-dosanya itu dibalas pada hari kiamat." (HR Abu Daud). Ketiga, musibah sebagai ujian untuk kenaikan derajat di sisi Allah SWT.

Sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya orang-orang saleh akan diperberat (musibah) atas mereka. Dan tidaklah seorang Mukmin tertimpa suatu musibah, seperti tertusuk duri, atau lebih ringan dari itu, kecuali akan dihapuskan dosa-dosanya dan ditingkatkan derajatnya." (HR Ahmad, Ibnu Hiban).

Dalam hadis Qudsi disebutkan, "Siapa saja yang tidak rela terhadap ketetapan-Ku dan tidak berlaku sabar terhadap cobaan-Ku dan tidak bersyukur terhadap nikmat-nikmat-Ku, maka carilah olehmu Tuhan selain Aku."

Tak ada cara lain kecuali berserah diri kepada Allah SWT dan selalu beristighfar memohon ampun kepada-Nya. Karena, seperti disebutkan dalam cuplikan ayat tadi, bisa jadi yang tidak kita sukai justru baik bagi kita. Sebaliknya, bisa jadi juga yang kita sukai justru akan mencelakakan kita. Semoga kita senantiasa menjadi hamba yang sabar, namun teguh hati dan selalu istikamah terhadap apa pun yang akan datang dalam kehidupan kita

Selasa, 18 Maret 2008

Menghargai Waktu

Oleh : Agus Taufik Rahman

''Demi waktu. Sesungguhnya manusia ada dalam kerugian.'' Dalam Alquran surat Alashr ayat 1 dan 2 ini, Allah SWT bersumpah dengan salah satu makhluknya, yaitu waktu. Sumpah Allah ini menandakan bahwa waktu memiliki arti yang sangat penting untuk senantiasa diperhatikan oleh manusia.

Setiap manusia diberi jatah waktu yang sama oleh Allah SWT, selama 24 jam dalam sehari. Namun, kesadaran untuk memanfaatkannya tentu saja sangat beragam dan berbeda-beda penyikapnnya. Ada yang sigap, biasa-biasa saja, tapi ada pula yang cenderung berleha-leha. Tentu saja, hasil dari etos penyikapannya itu akan sangat bervariasi pula, terutama di mata Allah SWT. Dalam konteks ini, Allah SWT lebih menilai sebuah proses daripada hasil akhir.

Dalam Alquran, Allah SWT mendefinisikan waktu secara gamblang. Waktu memiliki arti kehidupan itu sendiri. Sebuah proses menjalani kehidupan untuk menilai siapa yang paling baik amalnya di sisi Allah SWT, sebelum akhirnya kematian menjemputnya. ''Dia yang menciptakan hidup dan mati, untuk menguji siapa di antara kamu yang paling baik amalnya, dan dia Mahaperkasa lagi Maha Pengasih.'' (QS Almulk [67]: 2).

Jika saja manusia ingin berpacu dengan waktu, tentu saja hal tersebut tidak akan bisa. Mengapa, karena jumlah pekerjaan dan amalan yang mulia lebih banyak ketimbang waktu yang tersedia. Oleh karenanya, teramat sayang apabila waktu terbatas yang kita miliki ini dihabiskan secara sia-sia tanpa makna apa pun.

Walaupun demikian, kondisi di atas tidak usah menjadikan kita berkecil hati. Kita harus terus mengerahkan seluruh potensi untuk beramal saleh. Minimal, dengan kemampuan kita untuk bisa menjawab beberapa pertanyaan yang akan dipertanggungjawabkan kelak di dihadapan Allah SWT.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadis shahih Abu Barzah Al-Aslamy. ''Tidak bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat, sehingga ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan. Tentang hartanya, dari mana dia dapatkan, dan untuk apa dia infakkan. Serta tentang badannya untuk apa dia kerahkan.'' (HR Tirmidzi)

Senin, 17 Maret 2008

Negeri Bermasjid

Oleh : Fajar Kurnianto

Rasulullah SAW bersabda, ''Negeri yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya'' (HR Muslim dari Abu Hurairah). Ketika baru tiba di Madinah dalam hijrahnya dari Makkah, Rasulullah SAW langsung mendirikan masjid yang kemudian dikenal dengan Masjid Nabawi, di tempat untanya berhenti. Sebelumnya, di tengah jalan menuju Madinah, yakni di daerah Quba, beliau juga mendirikan masjid yang kemudian dikenal dengan Masjid Quba.

Apa makna di balik pendirian masjid oleh Rasulullah SAW tersebut? Pertama, aktivitas yang harus diutamakan adalah aktivitas ibadah yang juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan sarana ibadah. Dalam hal ini, masjid menjadi simbol tempat peribadahan manusia kepada Allah SWT. Ibadah kepada-Nya sendiri merupakan inti dari tauhid (keimanan), yakni tiada yang berhak diibadahi, kecuali Allah SWT semata, ''Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku'' (QS Adzdzariyat [51]: 56).

Kedua, manusia adalah makhluk yang sarat dengan perbedaan satu dengan lainnya. Dalam pandangan Allah SWT, yang membuat manusia sama adalah ketakwaannya. Dan, salah satu tanda ketakwaan itu adalah ketergantungan hati manusia dengan masjid.

Allah SWT menyebutkan bahwa masjid hanya layak untuk manusia-manusia yang bertakwa, ''Masjid yang layak kalian tempati adalah yang dibangun atas landasan takwa sejak pertama kali. Di dalamnya, orang-orang suka membersihkan diri dari dosa. Allah mencintai orang-orang yang membersihkan diri mereka'' (QS Attaubah [9]: 108).

Ketiga, masjid adalah tempat yang dimuliakan Allah SWT. Dari sinilah memancar karunia dan keberkahan Allah SWT untuk orang-orang yang hatinya selalu terkait dengan-Nya. Suatu tempat yang tidak ada satu pun masjid di dalamnya akan hampa dari keberkahan-Nya. Dan, tempat yang hampa dari keberkahan-Nya akan selalu dirundung masalah demi masalah yang membuat penghuninya hidup dalam ketidaknyamanan dan ketidaktenteraman.

Masjid adalah media yang bisa membuat Allah SWT mencintai manusia. Dengan catatan, masjid itu betul-betul difungsikan sebagaimana mestinya, yakni untuk tujuan beribadah hanya kepada-Nya dan meningkatkan ketakwaan sehingga karunia, rahmat, dan keberkahan Allah SWT betul-betul memancar kepada semuanya. Dan, negeri ini harus menjadi negeri bermasjid yang sesungguhnya dalam konteks dan pengertian demikian. Wallahu a'lam

Memakmurkan Masjid

Oleh : Indra K Purnama

''Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada-Nya dan hari kemudian, serta (tetap) mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun), kecuali kepada Allah. Maka, mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.'' (QS Attaubah [9]: 18).

Hal pertama yang dilakukan Rasulullah SAW ketika sampai di Madinah dalam rangkaian hijrahnya adalah membangun masjid. Dari sini, kita dapat mengambil pelajaran betapa pentingnya posisi masjid dalam perjuangan kaum Muslim. Masjid itulah yang mengawali perjuangan Rasulullah SAW dan para sahabat dalam menyebarkan risalah Islam.

Kita patut besyukur, di negeri ini masjid termasuk bangunan yang mudah ditemukan; dari pelosok kampung hingga kota-kota besar dengan beragam model dan ukuran. Tetapi, sudahkah masjid itu memenuhi fungsi yang semestinya? Setidaknya, masjid memiliki fungsi sebagai sarana menegakkan ukhuwah, persamaan, dan keadilan.

Semangat persamaan dan keadilan tidak mungkin dapat terwujud selama kaum Muslim tidak bertemu setiap hari dalam satu shaf (barisan) di hadapan Allah SWT --bersama-sama berdiri dengan satu tujuan, yakni untuk menghambakan diri kepada-Nya. Jika itu bisa dilakukan setiap hari, niscaya persatuan akan terjalin. Sifat egoisme dan keangkuhan setiap individu bisa diredam dan ditaklukkan.

Namun, sungguh ironis ketika kita menemukan banyak masjid yang berdiri megah dengan gaya arsitektur yang mengagumkan, hanya berisi kesunyian. Setiap hari, masjid-masjid itu sunyi dari aktivitas ibadah, juga sunyi dari semangat kebangkitan umat. Masjid yang seperti ini bukanlah masjid yang berfungsi sebagaimana yang diharapkan.

Kita semua tidak menginginkan hal itu terjadi. Seperti apa pun bentuknya, masjid harus dirawat dan "dihidupkan" kegiatannya.

Masjid ada untuk dimakmurkan. Masjid ada untuk menampung aktivitas umat dan menyatukannya. Itu sebabnya, Islam sangat menganjurkan para pemuda menambatkan hatinya di masjid. Pemuda adalah generasi penerus umat yang akan menentukan masa depan sebuah bangsa.

Cara memakmurkannya dengan menggiatkan berbagai aktivitas keagamaan yang didasari semangat penghambaan kepada Allah SWT. Masjid juga harus menjadi sentra pemberdayaan/pembinaan umat. Hanya dengan dimakmurkan, masjid akan memainkan fungsi strategisnya sebagai salah satu pilar kebangkitan umat.

Kesaksian Fajar

Oleh : Suprianto

Tak ada waktu yang paling istimewa yang diberikan Allah selama 24 jam selain waktu fajar. Karena, saat itulah para malaikat turun ke dunia untuk menyaksikan ketaatan seorang hamba yang melaksanakan ibadah atau hamba yang masih terlena dalam buaian mimpi indah.

Keimanan seorang hamba bisa diukur dari ibadah pada waktu sepertiga malam terakhir. Ia mengerjakan qiyamullail tahajud, tadabur Alquran, dan Subuh berjamaah di masjid. Orang yang sudah terbiasa dengan rutinitas ibadah seperti itu berhak mendapatkan hidayah fajar dari Allah SWT. Inilah yang disebut dalam Alquran: mereka laki-laki yang menyukai kesucian, melangkah ke tempat yang suci, berkendaraan menuju tempat yang suci, berbondong-bondong menuju tempat yang suci, dan Allah menyucikan mereka.

Selain Allah dan para malaikatnya, ada penyaksi aktivitas fajar kita, yaitu bumi yang kita injak. Bila kita mengimani kitab-Nya, maka disebutkan di dalamnya betapa bumi yang kita injak ini berbicara. Allah SWT berfirman, ''Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya, kerena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang demikian itu) padanya. (QS Az-Zalzalah [99]: 4-5).

Pada saat kiamat, bumi ini mengabarkan tentang penghuninya. Bumi ini berbicara. ''Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan, segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab yang jelas (lauh mahfudz).'' (QS Yasin [36]: 12).

Mungkin kita jarang menghitung berapa kali seorang Mukmin mencium bumi sehari semalam? Shalat wajib yang kita dirikan ada 17 rakaat, sama dengan sembilan tahiyat, 34 kali sujud. Berarti sehari kita mencium bumi minimal 34 kali. Belum ditambah shalat sunat qabliyah, badiyah, dhuha, tahajjud, shalat hajat, dan seterusnya. Bumi menjadi saksi dan kelak di hari Akhir, dia akan mengungkapkan kesaksiannya.

Orang yang cinta dunia tidak akan suka pada hal ini. Orang yang mata kepalanya materialistis tidak akan suka mengerjakan hal yang sungguh ''berat'' bagi mereka ini. Hanya yang yakin ada hari pembalasan yang mau melakukan ini, mau melangkah di waktu Subuh, menembus udara dingin dan menahan kantuk untuk menyambut seruan adzan Subuh: berjamaah memuji-Nya.

Hidup Bahagia

Oleh : Ust Bobby Herwibowo

''Wahai bibi, tolong ceritakan kepadaku bagaimana kalian membina rumah tangga?'' Urwah, kemenakan Aisyah RA melontarkan pertanyaan, saat dia menemani hari-hari Aisyah yang tengah berkabung atas kepergian Rasulullah SAW ke pangkuan Sang Khaliq. Sambil tersenyum getir, Aisyah mencoba mengulang kembali kenangan indah yang paling berkesan saat ia masih menjadi istri baginda Rasul. ''Demi Allah wahai kemenakanku. Sungguh kami pernah melihat bulan sabit berganti di langit sampai tiga kali berturut-turut dalam dua bulan. Selama itu tidak pernah tungku api menyala di seluruh rumah istri Rasulullah SAW.''

Aisyah RA masih tetap tersenyum meski kalimat itu telah terhenti. Mendengarnya, Urwah kaget dan berkata, ''Wahai bibi, bagaimana kalian bisa bertahan hidup bila sedemikian?''

Aisyah lalu menjawab, ''Dengan dua benda hitam; yaitu kurma dan air yang tidak jernih. Namun, terkadang beberapa tetangga Rasulullah SAW dari golongan Anshor yang memiliki domba suka mengirimkan susu kepada kami untuk diminum.'' (Muttafaq Alaihi).

Subhanallah! Itulah kebahagiaan keluarga bumi yang berhati langit. Ketiadaan materi tidak membuat mereka panik, berespons keras atau meminta cerai dari Rasulullah SAW. Benar, episode hidup keluarga ini telah dipertontonkan Allah SWT kepada umat dan kita semua, bahwa pilihan hidup bahagia meski tak berlandaskan materi dapat dijalankan dengan damai.

Kebersahajaan hidup Rasulullah SAW juga tergambar dalam sebuah hadis riwayat Anas RA; Dari Anas Ra, ''Nabi SAW menggadaikan baju besinya dengan sejumlah tepung gandum. Karenanya, aku pun datang kepada Nabi SAW dengan membawa roti gandum dan minyak sayur. Sungguh aku pernah mendengar Beliau bersabda, 'Keluarga Muhammad tidak pernah memiliki satu sha gandum baik pada pagi maupun sore'.'' (HR Bukhari) Dalam sebuah ayat Allah berfirman, ''Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.'' (QS Aththalaaq [65]: 3) Keluarga Muhammad SAW tidak pernah memiliki nafkah yang cukup untuk menghidupi hari-hari mereka. Akan tetapi, kehidupan mereka berjalan mulia dan keharmonisan pun masih tetap mereka miliki. Jika mereka bisa hidup bahagia tanpa keberadaan nafkah, lalu bagaimana dengan kita?


Setan Itu Lemah

Oleh : Amir Faisol Fath

Banyak orang mengatakan melawan setan itu sulit. Setan terlalu hebat dan kuat. Jaringan dan programnya sangat rapi dan menyenangkan. Padahal Allah berfirman: ...perangilah kawankawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah. (QS Annisaa' [4]: 76).

Benar, setan sebenarnya sangat lemah, karena ia harus berhadapan dengan kekuatan Allah. Maka orang-orang yang beriman dan bersungguhsungguh menaati Allah, tidak akan bisa dikalahkan setan, sebab Allah menolongnya.

Allah berfirman: ''Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS Alfath [48]: 4). Setan yang mana yang bisa mengalahkan tentara Allah? Bukankah semua milik Allah? Bukankah semua mahluk di alam ini siap menjadi tentara Allah?

Simaklah lagi Allah berfirman: Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman (QS Alhajj [22]: 38). Ini janji Allah bahwa akan membela hamba-hamba-Nya, dan Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya. Masih kurang apa lagi? Tapi mengapa kok masih banyak yang ikut setan?

Padahal dalam banyak ayat, Allah SWT. Tidak pernah bosan menggambarkan keperkasaanNya. Dalam surah Al Munafiquun [63]: 7 Allah berfirman: "Kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang Mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. Dalam Almaidah [5]:56, ditegaskan bahwa golongan Allah (hizbullah) pasti menang: Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.

Lebih dari itu dalam banyak ayat Allah juga menggambarkan tidak ada setan yang pernah berbuat baik, bahkan ia adalah musuh yang membawa kehancuran bagi kemanusiaan. Allah berfirman: Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuhmu, karena sesungguhnya setan hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala (QS Fathir [35]: 6).

Perhatikan betapa pekerjaan syetan tidak ada lain kecuali mengajak ke neraka. Maka orang-orang yang ikut setan, mereka hanya capek-capek hidup, setelah itu mereka menjadi bahan bakar neraka. Wallahu a'lam bishshswab.

Katakan Insya Allah

''Walaa taquulanna li syain innii faa'ilun dzaalika ghodan illa an yasyaa' Allah.'' ''Dan, jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut) Insya Allah'' (QS Alkahfi [18]: 23-24).

Dalam Tafsir Alquran Aladzhim karya Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, beliau menyebutkan asbabun nuzul dari ayat ini terkait dengan kisah sebagai berikut. Syahdan, suatu hari, Rasulullah SAW ditanya oleh salah seorang sahabat tentang kisah Ashabul Kahfi. Pertanyaan itu adalah berapa tahun Ashabul Kahfi berlindung dan menghabiskan masa persembunyiannya di dalam Gua Alkahfi? Dan, berapa jumlah anggota yang tergabung dalam Ashabul Kahfi ketika itu? Lima orang dengan seekor anjingnya atau tujuh beserta anjingnya?

Rasulullah SAW saat itu tidak sanggup memberi jawaban yang pasti. Lantas, beliau berkata kepada sahabat yang bertanya, ''Jawabannya akan kuberikan besok.'' Biasanya, pada saat-saat seperti itu, turunlah sebuah wahyu sebagai jawaban pada keesokannya.

Keesokan harinya, fajar telah menyingsing dan menyambut mentari terbit di ufuk timur. Sang surya kian menyemai panas sehingga tiba waktu dzuhur. Namun, wahyu dari Sang Khalik tak kunjung turun memberitakan sebuah jawaban. Akhirnya, sore kian tampak. Senja pun memerah mengantar kegelapan malam.

Berhari-hari Rasulullah SAW menanti wahyu itu. Lima belas hari berlalu, turunlah wahyu sebagai jawaban disertai teguran dalam surat Alkahfi. Adapun jawaban atas pertanyaan sahabat tadi tertera di dalam ayat 22, 25, dan 26. Sejak saat itu, Rasulullah SAW tidak pernah lagi alpa menyebut "Insya Allah" setiap kali berjanji kepada umatnya untuk hal-hal yang akan beliau ucapkan dan lakukan.

Sebagaimana sebuah hadis sahih dari Abdullah ibnu 'Amru yang berkata, Rasulullah SAW pernah berujar saat singgah di Thaif bersama para sahabatnya, ''Innaa qaafiluuna ghodan Insya Allah'' (Besok, kita akan berangkat melanjutkan perjalanan, Insya Allah) (HR. Bukhari/Muslim). Inilah sebuah petunjuk mulia dari Allah. Bahwa kedudukan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya tidak lantas menjadikan dirinya dengan mudah memastikan kehendak.

Adalah sebuah adab hamba (setiap muslim) kepada Tuhannya. Jika dia sudah bertekad untuk mengerjakan suatu hal pada waktu mendatang, dia tetap menyandarkan segalanya pada kehendak Allah semata (fi masyi'atillah).

Minggu, 16 Maret 2008

Manfaatkan Kemajuan Zaman untuk Mengefektifkan Dakwah


19-June-2006

Dakwah menjadi langkah penting dalam penyebaran ajaran Islam. Ini terkait dengan bagaimana umat Islam mampu memahami ajarannya dan melaksanakannya dalam laku kehidupan sehari-hari. Meski jalan dakwah memang tak semudah yang dibayangkan.

Jalan dakwah mesti ditempuh dengan cara-cara yang sesuai dengan kondisi masyarakat. Lalu apa sebenarnya dakwah itu dan bagaimana pula dakwah itu harus dilakukan. Berikut petikan wawancara mantan Menteri
Agama, KH Dr Tarmizi Taher, mengenai hal ihwal dakwah:

Menurut Anda apa yang dimaksud dengan dakwah?

Dakwah merupakan proses untuk mengubah kehidupan manusia atau masyarakat dari yang tidak Islami ke kehidupan yang Islami. Bagi yang belum Islam diajak menjadi Muslim dan bagi mereka yang telah Islam diajak untuk menyempurnakan keIslamannya.

Dalam praktiknya, dakwah itu mestinya dilakukan tak sebatas penyampaian yang dilakukan dari mulut ke telinga. Namun, harusnya dakwah itu dari hati ke hati. Ini merupakan upaya untuk memanggil kembali hati nurani guna menghilangkan sifat-sifat yang buruk. Selain itu, dakwah juga mestinya dilakukan dengan cara yang moderat dan bersifat kontekstual.

Dalam sejarah perkembangan Islam, bagaimana dakwah Islam dilakukan?

Kini, Islam menjadi agama yang membumi dan menjelma menjadi kekuatan pembebas bagi umat manusia. Kondisi seperti ini terwujud karena metode-metode dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.
Ajaran Islam mereka sebarkan dengan cara yang begitu menyentuh.

Mereka dengan santun menyampaikan ajaran Islam, menebar empati, berpihak pada kaum yang lemah sehingga mengakar di kalangan bawah. Tak kalah pentingnya, dalam upaya penyebaran ajaran Islam, mereka
menghindari cara-cara kekerasan dan pemaksaan kehendak.

Berdasarkan pengalaman sejarah tersebut, bagaimana mestinya dakwah Islam dilakukan?

Ada tiga cara dakwah yang dapat kita lakukan dalam menjalankan kegiatan dakwah. Pertama adalah hikmah, yaitu berdakwah dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi sasaran dakwah. Artinya, dakwah dilakukan sesuai dengan tingkat intelektualitas, kondisi budaya, maupun kebiasaan kelompok masyarakat yang didakwahi.

Kedua, dakwah mestinya dilakukan secara mau’izhah hasanah. Ini berarti kegiatan dakwah dilakukan melalui penyampaian nasihat-nasihat atau ajaran Islam dengan rasa kasih sayang. Sehingga apa yang disampaikan itu dapat menyentuh hati.

Sedangkan yang ketiga yaitu mujadalah. Kegiatan dakwah dilakukan melalui cara bertukar pikiran dan melakukan pembantahan dengan cara yang baik dan santun.

Agar dakwah tetap relevan dengan kehidupan yang mengalami perubahan begitu cepat, hal apa yang penting diperhatikan?

Pada dasarnya, dakwah itu tak sekadar mengajak umat Islam untuk mengakui keberadaan akan Tuhannya. Tetapi juga bagaimana dakwah mampu melahirkan kesadaran bagi umat Islam untuk mengaktualisasikan akidah, akhlak, maupun syariah dalam kehidupannya sehari-hari.

Dengan demikian, isi dari dakwah akan sangat memberikan pengaruh atas keberhasilan sebuah kegiatan dakwah. Ini berarti bahwa dakwah Islam tak hanya melulu berisikan bagaimana cara menjalankan shalat atau zakat, tetapi juga harus bermuatan wawasan kontemporer yang dihadapi umat Islam.

Dampak apa yang mungkin muncul ketika hal tersebut diabaikan?

Menurut saya, dampaknya akan sangat besar. Bila isi pesan dakwah hanya bersifat monoton dan tak mampu memperluas wawasan umat Islam maka dakwah hanya akan melahirkan daya khayal, bukan daya amal. Dakwah
mestinya mampu mengasah intelektualitas objek dakwahnya.

Mestinya, dakwah mampu menggerakkan umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya dengan baik. Selain itu, dakwah Islam juga mestinya mampu menggerakkan umat Islam untuk merespons kondisi zamannya sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam.

Dengan tantangan zaman yang ada sekarang ini, apa langkah yang harus ditempuh seorang dai atau lembaga dakwah agar bisa berdakwah secara efeketif?

Mereka harus meningkatkan profesionalitas. Baik dalam artian manajemen maupun sumber daya manusianya. Ini dilakukan agar, penyampaian dakwah dapat sesuai dengan kondisi masyarakat yang memiliki pemikiran yang begitu kompleks dan munculnya kemajuan di berbagai bidang.

Selain itu, lembaga dakwah pada khususnya, mestinya mampu menggandeng para pakar teknologi komunikasi dan informasi Muslim untuk bergabung dalam barisan dakwah. Saya yakin, mereka dapat membantu untuk mengembangkan metode dakwah yang memadai.

Perlu juga adanya dorongan agar generasi-generasi muda Islam untuk lebih banyak menguasai teknologi komunikasi dan informasi. Termasuk dengan mengembangkan bidang teknologi dan informasi di lembaga pendidikan Islam.

Dari sinilah kita berharap lahirnya teknolog Muslim yang juga mampu mengemban amanat dakwah. Lembaga dakwah juga mestinya secara aktif melibatkan para seniman dan budayawan dalam medan dakwah. Ini juga
merupakan langkah yang penting agar bisa berdakwah melalui kesenian.

Bisa Anda contohkan keberhasilan dakwah melalui media kesenian?

Film The Messenger yang dibintangi Antoni Quinn mestinya menjadi contoh yang baik dalam kegiatan dakwah melalui media kesenian. Film ini ternyata telah membuka mata orang-orang Barat tentang keagungan
ajaran Islam. Bahkan film ini berada di papan atas selama beberapa waktu, baik di bioskop di Amerika maupun negara-negara Eropa.

Di Jepang, misalnya, banyak orang yang masuk Islam setelah melihat film ini. Dengan demikian, kini kita harus menentukan langkah apakah kita mampu memanfaatkan segala kemajuan yang ada untuk berdakwah pada masyarakat yang juga mengalami perubahan atau malah sebaliknya. (cmm)

Problematika Dakwah Masa Kini



Oleh: RB. Khatib Pahlawan Kayo

Metode dakwah Rasulullah SAW pada awalnya dilakukan melalui pendekatan individual (personal approach) dengan mengumpulkan kaum kerabatnya di bukit Shafa. Kemudian berkembang melalui pendekatan kolektif seperti yang dilakukan saat berdakwah ke Thaif dan pada musim haji.

Ada yang berpendapat bahwa berdakwah itu hukumnya fardhu kifayah, dengan menisbatkan pada lokasi-lokasi yang didiami para dai dan muballigh. Artinya, jika pada satu kawasan sudah ada yang melakukan dakwah, maka dakwah ketika itu hukumnya fardhu kifayah. Tetapi jika dalam satu kawasan tidak ada orang yang melakukan dakwah padahal mereka mampu, maka seluruh penghuni kawasan itu berdosa di mata Allah. Dengan demikian sebenarnya dakwah merupakan kewajiban dan tugas setiap individu. Hanya dalam pelaksana­annya disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi di lapangan.

Jadi pada dasarnya setiap muslim wajib melaksanakan dakwah Islamiyah, karena merupakan tugas ‘ubudiyah dan bukti keikhlasan kepada Allah SWT. Penyampaian dakwah Islamiyah haruslah disempurnakan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga cahaya hidayah Allah SWT tidak terputus sepanjang masa.

Para rasul dan nabi adalah tokoh-tokoh dakwah yang paling terkemuka dalam sejarah umat manusia, karena mereka dibekali wahyu dan tuntunan yang sempurna. Dibanding mereka, kita memang belum apa-apa. Akan tetapi sebagai dai dan muballigh, kita wajib bersyukur karena telah memilih jalan yang benar, yakni bergabung bersama barisan para rasul dan nabi dalam menjalankan misi risalah Islamiyah. Konsekuensi dari pilihan itu kita harus senantiasa berusaha mengikuti jejak para nabi dan rasul dalam menggerakkan dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, dalam kondisi dan situasi bagaimanapun.

Persoalan yang kita hadapi sekarang adalah tantangan dakwah yang semakin hebat, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tantangan itu muncul dalam berbagai bentuk kegiatan masyarakat modern, seperti perilaku dalam mendapatkan hiburan (entertain­ment), kepariwisataan dan seni dalam arti luas, yang semakin membuka peluang munculnya kerawanan-kerawanan moral dan etika.

Kerawanan moral dan etik itu muncul semakin transparan dalam bentuk kemaksiatan karena disokong oleh kemajuan alat-alat teknologi informasi mutakhir seperti siaran televisi, keping-keping VCD, jaringan Internet, dan sebagainya.

Kemaksiatan itu senantiasa mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas, seperti maraknya perjudian, minum minuman keras, dan tindakan kriminal, serta menjamurnya tempat-tempat hiburan, siang atau malam, yang semua itu diawali dengan penjualan dan pendangkalan budaya moral dan rasa malu.

Tidak asing lagi, akhirnya di negeri yang berbudaya, beradat dan beragama ini, kemaksiatan yang berhubungan dengan apa yang dinamakan sex industry juga mengalami kemajuan, terutama setelah terbukanya turisme internasional di berbagai kawasan, hingga menjamah wilayah yang semakin luas dan menjarah semakin banyak generasi muda dan remaja yang kehilangan jati diri dan miskin iman dan ilmu. Hal yang terakhir ini semakin buruk dan mencemaskan perkembangannya karena hampir-hampir tidak ada lagi batas antara kota dan desa, semuanya telah terkontaminasi dalam eforia kebebasan yang tak kenal batas.

Ledakan-ledakan informasi dan kemajuan teknologi dalam berbagai bidang itu tidak boleh kita biarkan lewat begitu saja. Kita harus berusaha mencegah dan mengantisipasi dengan memperkuat benteng pertahanan aqidah yang berpadukan ilmu dan teknologi. Tidak sedikit korban yang berjatuhan yang membuat kemuliaan Islam semakin terancam dan masa depan generasi muda semakin suram. Apabila kita tetap lengah dan terbuai oleh kemewahan hidup dengan berbagai fasilitasnya, ketika itu pula secara perlahan kita meninggalkan petunjuk-petunjuk Allah yang sangat diperlukan bagi hati nurani setiap kita. Di samping itu kelemahan dan ketertinggalan umat Islam dalam meng-akses informasi dari waktu ke waktu, pada gilirannya juga akan membuat langkah-langkah dakwah kita semakin tumpul tak berdaya.

Bertolak dari faktor-faktor tersebut, agar problematika dakwah tidak semakin kusut dan berlarut-larut, perlu segera dicarikan jalan keluar dari kemelut persoalan yang dihadapi itu. Dalam konsep pemikiran yang praktis, Prof. Dr. H. M. Amien Rais,MA. dalam bukunya Moralitas Politik Muhammadiyah, menawarkan lima ‘Pekerjaan Rumah’ yang perlu diselesaikan, agar dakwah Islam di era informasi sekarang tetap relevan, efektif, dan produktif.

Pertama, perlu ada pengkaderan yang serius untuk memproduksi juru-juru dakwah dengan pembagian kerja yang rapi. Ilmu tabligh belaka tidak cukup untuk mendukung proses dakwah, melainkan diperlukan pula berbagai penguasaan dalam ilmu-ilmu teknologi informasi yang paling mutakhir.

Kedua, setiap organisasi Islam yang berminat dalam tugas-tugas dakwah perlu membangun laboratorium dakwah. Dari hasil “Labda” ini akan dapat diketahui masalah-masalah riil di lapangan, agar jelas apa yang akan dilakukan.

Ketiga, proses dakwah tidak boleh lagi terbatas pada dakwah bil-lisan, tapi harus diperluas dengan dakwah bil-hal, bil-kitaabah (lewat tulisan), bil-hikmah (dalam arti politik), bil-iqtishadiyah (ekonomi), dan sebagainya. Yang jelas, actions,speak louder than word.

Keempat, media massa cetak dan terutama media elektronik harus dipikirkan sekarang juga. Media elektronik yang dapat menjadi wahana atau sarana dakwah perlu dimiliki oleh umat Islam. Bila udara Indonesia di masa depan dipenuhi oleh pesan-pesan agama lain dan sepi dari pesan-pesan Islami, maka sudah tentu keadaan seperti ini tidak menguntungkan bagi peningkatan dakwah Islam di tanah air.

Kelima, merebut remaja Indonesia adalah tugas dakwah Islam jangka panjang. Anak-anak dan para remaja kita adalah aset yang tak ternilai. Mereka wajib kita selamatkan dari pengikisan aqidah yang terjadi akibat ‘invasi’ nilai-nilai non islami ke dalam jantung berbagai komunitas Islam di Indonesia. Bila anak-anak dan remaja kita memiliki benteng tangguh (al-hususn al-hamidiyyah) dalam era globalisasi dan informasi sekarang ini, insya Allah masa depan dakwah kita akan tetap ceria.

Menyimak uraian-uraian di atas, dapat diprediksi bahwa missi dan tantangan dakwah tidaklah pernah akan semakin ringan, melainkan akan semakin berat dan hebat bahkan semakin kompleks dan melelehkan. Inilah problematika dakwah kita masa kini. Oleh sebab itu semuanya harus dimenej kembali dengan manajemen dakwah yang profesional dan dihendel oleh tenaga-tenaga berdedikasi tinggi, mau berkorban dan ikhlas beramal.

Mengingat potensi umat Islam yang potensial masih sangat terbatas, sementara kita harus mengakomodir segenap permasalahan dan tantangan yang muncul, maka ada baiknya kita coba memilih dan memilah mana yang tepat untuk diberikan skala prioritas dalam penanganannya, sehingga dana, tenaga, dan fikiran dapat lebih terarah, efektif, dan produktid dalam penggunaanya.

Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan dan petunjuk agar kita tidak salah pilih dan tidak terlambat, insya Allah.?

Dakwah Manhaji



Februari 1, 2008 oleh sapta nugraha


A. FIQUD DA’WAH SEBUAH PENDEKATAN GLOBAL

Makna dakwah

Islam adalah Dien Risalah dan dakwah [ Q.S 34:28, 16:125 ]. Dari konteks totalitas dan unersal Islam, maka dapat dikatakan bahwa seluruh proses aktivitas penyebaran Islam dapat dikatakan sebagai proses dakwah. Karena itu pada hakekatnya dakwah islam merupakan aktualitas dan manifestasi dalam suatu system kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang di laksanakan secara teratur untuk memperngaruhi cara merasa (syu’ur), berfikir (fikrah), bersikap (maufiq) dan bertindak ( suluk) dalam rangka mewujudkan Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu ( manhaj ). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dakwah Islam merupakan proses mengajak ummat manusia kejalan Allah dengan hikmah [ Q.S. 16:25 , 2:256-257 ]

Tujuan Dakwah

Tujuan dakwah dari segi arah dapat dirinci menjadi tujuan vertical yaitu suatu kehidupan yang di ridhoi oleh Allah [ QS. 2:207-365, 6:162-168, 19:6 ] dan tujuan horizontal yang terbagi dalam dua bagian yaitu
kebahagian dunia dan akhirat [ QS. 28:77, 7:15 dan 65 ]
rahmat bagi sesame manusia dan alam semesta [ QS. 21:207 ].

Dari segi satuan lingkunganya, maka dakwah Islam ingin membentuk:

1. Syakhshiyah Islamiyah

Terwujudnya pribadi yang di ridhai oleh Allah , yaitu pribadi muslim yang paripurna, yang taqwa kepada Allah SWT. [Q.S 2:22-28, 207]

2. Usrah Islamiyah

Terwujudnya rumah tangga yang di ridhai Allah, yaitu rumah tangga yang sakinah (tentram) penuh mawadah dan rahmah anugrah Illahi [ QS. 20:21 ]

3. Ijtima’yah Islamiyah

Terwujudnhya qoryah (lingkungan: kampung, kampus, kantor dsb ) yang di ridhai oleh Allah [ QS. 7:96 ]

4. Daulah Islamiyah

Terwujudnya negeri/Negara yang diridhai Allah yaitu baldah thayibah yang di liputi maghfiroh Allah SWT [ QS. 34:15 ]

5. Alam Islamiyah

Terwujudnya dunia yang di rihai Allah [ QS. 88:77, 7:156 ]


Aktivitas Dakwah ( Amal Dakwah )


Aktivitas da’wah Islami adalah

a. mengubah kondisi kebodohan maknawi ( juhala) kepada pengertian yang jelas tentang Islam ( Ma’rifat)

b. mengubah pengertian kepada pola fakir ( fikrah) yang islami

c. mengubah pola fakir menjadi aktifitas/gerakan (harakah)

d. mengubah aktivitas/gerakan menjadi keberhasilan ( natijah)

e. mengubah keberhasilan kepada tujuan (ghayah)

f. mengubah tujuan menjadi Mardhatilah


Perencanaan dakwah ( Takhtit Dakwah )


Secara garis besar perencanaan dakwah adalah sebagai berikut dengan menggunakan pendekatan perencanaan sistematik :

a. Identifikasi masalah

b. Merumuskan dan mimilah model-model pemecahan yang tepat

c. Menetapkan strategi perencanaan

d. Pelaksanaan

e. Evaluasi pelaksanaan


Proses Da’wah (Marhalah da’wah )

1. Tabligh (Informasi) [ QS. 5:56 ]

2. Ta’lim (Pemgajaran dan Pemdidikan) [ QS. 2:151 ]

3. Takwim (Kaderisasi) [ QS. 3:104, 2:9,112 ]

4. Tanzim ( Konsolidasi ) [ QS. 3:103, 61:4 ]

5. Tanfidz ( operasionalisasi ) [ QS. 9:105 ] Natijah Ghoyah


Karakteristik Seorang Da’I (Khashaisud Da’iyah)

Karakteristik yang di perlukan oleh seorang da’I adalah:

Meluruskan Niat ( niat ikhlas karena Allah)

Memberikan perhatian sepenuhnya sesuai dengan tugasnya. Mengingat betapa besar tanggung jawab

Melaksanakan tugas ini dengan hikmah, kebijaksanaan dan memilih cara terbaik (uslub).

Akhlakul karimah

Ma’iyatul medan/ mengenali medan atau mengenali seluk beluk dan cara masyarakat yang diterjuni.

Rajin Mempelajari dan Memahami dan mendalami Sirah Nabi Muhammad saw.

Bersungguh-sungguh mempelajari Al-Qur’an dan Hadits

Memadukan akal dan hati serta persaan manusia

Mujahadah, Muhasabah, Muraqabah dan Muraja’ah

Sabar dan istiqomah dalam menghadapi ujian dakwah

Allah adalah tujuan Akhir, Rosulullah adalah panutan kami, Alqur’an adalah sumber hukum kami, Jihad adalah jalan hidup kami, Mati syahid adalah cita-cita kami.



B. KARAKTERISTIK DAKWAH ISLAMIYAH


Dakwah Islam mempunyai karakteristik sebagaimana Dien Islam itu sendiri. Dibawah ini adalah beberapa karakteristik da’wah Islam:
Robbaniyyah ( berketuhanan )
Islamiyah Qobla Jam’iyah (kehidupan yang serba Islami sebelum bergabung kepada Jama’ah)
Syamilah Ghairu Juz’iyyah ( Menyeluruh tidak parsial )
Mu’ashirah Ghairu Taqlidiyah ( seiring dengan perkembangan zaman/kontenporer dan statis )
Mahaliyah Wa ‘Alamiyah ( Lokal dan Internasional)
Ilmiyah ( keilmuan)
Basyirah Islamiyah
Mana’ah Islamiyah (kekebalan Islami) Inqilabiyah Ghairu Tarqi’iyah ( Perubahan fundamental bukan tambal sulam)
Marhaliyah ( bertahap

POKOK-POKOK PIKIRAN TENTANG DAKWAH ISLAM DAN ‘AMAL JAMA’I



Da’wah Islam adalah sebuah proses taghyier (merubah) waqi’ al-jahily (realitas yang jahiliy) kepada waqi’ al-Islami (realitas yang Islami)
Perubahan yang dikehendaki oleh Da’wah Islam meliputi perubahan yang bersifat dakhily (ke dalam) seperti aspek ruhiyah, i’tiqodiyah, fikriyah, dan syu’uriyah, serta yang bersifat kharijy (ke luar) seperti aspek sulukiyah dan ‘amaliyah.
Perubahan tersebut di atas dimulai dari lingkaran fardi (individu), kemudian lingkaran usroh (keluarga) dan ijtima’i (masyarakat).
Untuk mencapai sasaran-sasaran dari proses taghyier ini diperlukan suatu ‘amal jama’i (kerja bersama)
Kejayaan Islam (= keberhasilan Da’wah Islam) adalah merupakan suatu yang bersifat aksiomatis (sudah pasti). Ia akan terwujud dengan atau tanpa kita (manusia / individu da’i) di dalamnya. Artinya : bukan kita yang memberikan keuntungan pada Islam dengan keimanan dan keterlibatan kita dalam ‘amal Islam, tapi kita lah yang beruntung bila kita beriman dan beramal Islami (ikut serta dalam da’wah Islam) itu. QS Al-Hujurat 17 dan QS Al-Maidah 54.
Hal yang penting disadari adalah bahwa yang melakukan aktivitas da’wah ‘amal jama’i ini adalah manusia (harakah al-Insan), yang memiliki kecenderungan buruk (fujur) dan baik (taqwa) QS Asy-Syams 8, bukan para malaikat (harakah al-Malaikah) yang hanya memiliki sifat tha’at. Sehingga hal-hal yang terjadi dalam realitas Da’wah Islam ini juga harus dilihat dengan perspektif kemanusiaan.

Konsep Berkomunikasi Dalam Islam

Konsep Berkomunikasi Dalam Islam



Oleh: Nur Atik Kasim

Bagaimana Seharusnya kita Berkomunikasi?

PKS Jaksel: Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah Anda akan menemukan contoh kongkrit bagaimana Allah selalu berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu. Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan melalui ayat-ayat tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk meredaksi wahyu-Nya melalui matan hadits. Baik hadits itu bersifat Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir (persetujuan) Rasul, kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga melalui tangan mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.

Selain itu, kita mendapati Rasulullah SAW dalam berkomunikasi dengan keluarga, sahabat dan umatnya. Komunikasi beliau sudah terkumpul dalam ratusan ribu hadits yang menjadi penguat, penjelas Al Qur’an sebagai petunjuk bagi kehidupan umat manusia.

Komunikasi dalam Islam dinilai penting, karena adanya kewajiban berda’wah kepada setiap orang-orang yang beriman sehingga nilai-nilai Al Qur’an dan haditsnya harus selalu dikomunikasikan kepada orang lain, khususnya keluarga guna menghindari siksaan api neraka.

Komunikasi sangat berpengaruh terhadap kelanjutan hidup manusia, baik manusia sebagai hamba, anggota masyarakat, anggota keluarga dan manusia sebagai satu kesatuan yang universal. Seluruh kehidupan manusia tidak bisa lepas dari komunikasi. Dan komunikasi juga sangat berpengaruh terhadap kualitas berhubungan dengan sesama.

Bagaimana Etika Berkomunikasi Dalan Islam?

Dalam Islam komunikasi harus dilandasi dengan cinta dan kasih sayang. Tidak ada alasan bagi anda untuk keluar dari etika-etika yang telah digaris bawahi oleh risalah Islam.

Hal tersebut telah dicontohkan langsung oleh Allah yang Maha Penyayang dalam Al Qur’an. Karenanya kita akan mendapati bahwa setiap surah dalam Al Qur’an selalu diawali dengan Bismillahi Rahmaani Rahiim (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang).

Komunikasi dalam Islam sangat erat kaitannya dengan misi Islam sebagai rahmatan lil'alamin. Misi itulah yang mendorong Rasulullah untuk menyampaikan da’wah dengan penuh kasih sayang.

Allah berfirman, "Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." (QS. 21 Ayat 207).

Ada beberapa etika yang harus anda perhatikan dalam berkomunikasi, yaitu:

1.Panggilah Dengan Panggilan Menyenangkan

Dalam berkomunikasi, Islam sangat menekankan untuk memulai komunikasi dengan panggilan yang menyenangkan sekalipun pesan yang disampaikan dalam komunikasi merupakan teguran dan peringatan.

Allah telah mencontohkan hal tersebut ketika sedang menegur kesalahan Rasulullah. Allah tetap memanggil beliau dengan sebutan “wahai Nabi”.

Allah berfirman; “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. 66 Ayat 1)

2.Tidak emosional

Berhati-hatilah memulai percakapan atau komunikasi dalam suasana yang emosional, karena suasana hati yang tidak tenang menimbulkan ketidakberaturan dalam berkata-kata. Tarik nafas anda kemudian hembuskan dengan pikiran tenang. Bayangkan kata-kata yang anda ucapkan guna menghindari kata-kata yang tidak beraturan dan emosional. Karena kata-kata yang diucapkan dalam kondisi emosi sering kali membuat hubungan menjadi kurang bagus, bahkan retak.

Paling parah adalah, Anda mengeluarkan kata-kata yang akhirnya membuat Anda harus meminta maaf pada lawan bicara anda. Tenanglah sedikit, pikirkan apa niat dan tujuan anda berkomunikasi. Jangan sampai keteledoran Anda yang tidak pandai mengatur pembicaraan membuat hubungan Anda tidak harmonis dengan orang-orang yang Anda sayangi.

Jika dalam berkomunikasi tidak mengandung unsur emosional maka komunikasi tersebut dapat disampaikan dengan kata yang teratur sehingga terhindar dari kesalahan-kasalahan dalam berkomunikasi dan dapat disampaikan dengan jelas, benar, serta teratur.

Allah berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka. Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (QS. Ali Imron ayat 159).

3.Membuka Dialog Dalam Berkomunikasi

Memulai komunikasi dengan memberikan pemahaman pesan dengan cara membuka dialog dan bersabar mendengarkan pesan dari sumbernya. Selanjutnya jadilah pendengar yang baik bagi lawan bicara Anda. Karena kebanyakan dari kita lebih betah berbicara dari pada mendengarkan pembicaraan. Lebih pandai berbicara dari pada pandai mendengar. Padahal kebanyakan dari kita adalah sangat suka didengar. Terlebih apa yang kita ucapkan didengar dengan antusias. Dapat di pastikan Anda akan merasa dihargai meskipun lawan Anda tidak memberikan solusi yang memuaskan terhadap permasalahan yang Anda hadapi.

Oleh karenanya, bukalah komunikasi dengan dialog yang ringan serta gunakan bahasa yang mudah dimengerti dan difahami. Hindari penggunaan kata-kata yang tidak jelas.

4.Komunikasi Dengan Berlapang Dada

Untuk berlapang dada, Anda perlu mempersiapkan hati yang penuh kesiapan untuk mendengarkan lawan bicara anda. Tujukkan wajah antusias Anda. Sekali-kali Anda boleh tersenyum sambil menatap matanya dengan lembut. Pertama memang susah, apalagi terhadap mereka yang terlalu banyak bicara. Tapi dengan usaha pelan-pelan, insya Allah Anda berhasil.

5.Menyikapinya Penuh Kedewasaan

Bukalah hati kita selebar-lebarnya dalam berkomunikasi agar Anda dapat berlapang dada, sehingga menimbulkan pembicaraan yang bersumber dari hati yang bersih dan ilmu yang benar. Selain itu akan memunculkan jiwa pemaaf dan berdo’a kepada Allah(QS.3:159).

Allah telah memberikan contoh untuk terlebih dulu memaafkan kesalahan Rasulullah sebelum menyampaikan tegurannya.

Allah berfirman, “Semoga Allah mema’afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka untuk tidak pergi berperang, sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keudzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?”

Membuka hati selebar-lebarnya juga sangat penting dalam berkomunikasi khususnya terhadap mereka yang pendidikannya jauh di bawah kita. Misalnya terhadap pembantu rumah tangga yang tidak sempat menamatkan sekolah dasarnya. Tentu kita harus selalu berusaha mengerti, jika mereka sering tidak nyambung dengan kita.

6.Berkomunikasi Dengan Pesan yang Efektif Dan Efisien

Memberikan pesan secara sederhana agar pesan dapat berlaku efektif dan efisien sangat penting dalam membangun komunikasi. Itulah dasar penting bagi Anda, agar sedapat mungkin menyampaikan pesan yang dapat sesuai dengan kemampuan penerima pesan. Rasulullah bersabda: “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akalnya.”

Ketika Rasulullah ingin mengetahui berapa jumlah orang kafir quraisy yang terlibat dalam perang Badar. Beliau mengetahui, bahwa seorang anak penggembala tidak mungkin tahu berapa jumlah tentara mereka. Maka Rasulullah bertanya dengan bahasa komunikasi yang efektif dan efisien, “Berapa ekor jumlah unta yang disembelih setiap hari oleh orang-orang Quraisy?. Anak penggembala menjawab, antara 9 dan 10 ekor. Beliau berkomentar dan menyimpulkan: Jumlah mereka (Tentara Kafir Quraish) antara 900 dan 1000 orang.”

Bagaimana Prinsip Berkomunikasi Dalam Al Qur’an?

Pertama, Qaulan Tsaqila (komunikasi yang berpengaruh)

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat” (QS 73: 5).

Prinsip ini menunjukkan bahwa setiap komunikasi yang kita sampaikan hendaknya kita persiapkan dengan sungguh-sungguh sehingga bisa memberikan pengaruh pada pihak yang kita ajak bicara.

Kedua, Qaulan Sadida (komunikasi yang tegas)

“…Dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS 4: 9)

Komunikasi yang tegas adalah komunikasi yang tidak mencla-mencle, penuh keraguan, ketidakpastian dan ketidak-percaya-dirian.

Dengan komunikasi yang tegas, orang lain akan memahami bagaimana sikap kita, apa posisi kita dan dengannya tidak akan menimbulkan kesalahpahaman maupun salah mengerti.

Ketiga, Qaulan Balighoh (komunikasi yang penuh makna)

“Dan katakan kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka” (QS 4: 63)

Prinsip ini mengarahkan kita untuk bisa menyampaikan setiap pemikiran, perasaan dan nasehat dengan menggunakan pilihan kata, gaya bahasa, yang penuh makna sehingga membekas dalam diri orang yang kita ajak bicara.

Keempat, Qaulan Layyina (komunikasi dengan lemah-lembut)

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS 20: 44)

Kelemah lembutan adalah satu faktor penting dalam berdakwah, bersosialisasi, bergaul, sehingga orang akan merasa tentram dan rela menerima pembicaraan kita.

Kelima, Qaulan Ma’rufa (komunikasi yang penuh nilai-nilai kebaikan)

“…kecuali mengatakan kepada mereka perkataan yang ma’ruf…” (QS 2: 235). “Ucapkanlah kepada mereka dengan perkataan yang baik” (QS 4: 5)

Komunikasi yang penuh dengan nilai kebaikan akan menghindarkan kita dari berkata dusta, keji atau menimbulkan kemudharatan pada pihak-pihak yang kita ajak bicara. Dan sebaliknya, kita bisa memberikan banyak manfaat kepada orang lain.

Lalu bagaimana dengan prinsip berkomunikasi dalam keluarga Islam?

Salah satu kunci pembentukan keluarga sakinah adalah komunikasi, maka suami istri tidak dapat menciptakan keluarga sakinah tanpa ada komunikasi. Tanpa komunikasi keberlangsungan keluarga sakinah sulit dipertahankan, sebab mereka hanya akan menjalani kehidupan berumah tangga dalam suasana ketertutupan, kesunyian, prasangka yang buruk, kesalahpahaman, bahkan boleh jadi saling bermusuhan.

Setiap keluarga punya bahasa untuk alat berkumunikasi.

Jika dengan bahasa lisan tidak dapat dimengerti atau sulit diungkapkan maka mereka akan menggunakan bahasa tubuh bahkan terkadang menggunakan kedua bahasa tersebut sekaligus.

Keluarga merupakan surga duniawi bagi suami istri. Ia sekaligus sebagai sekolah pertama dalam melahirkan generasi pemimpin yang sholeh dan sholehah. Pada saat yang sama keluarga juga sebagai basis da’wah dalam terciptanya masyarakat yang Islami. Untuk mewujudkan keluarga sebagai syurga, sekolah dan pondasi masyarakat Islami diperlukan adanya komunikasi di antara seluruh anggota keluarga.

Ada beberapa hal yang menjadi dasar bagi pentingnya berkomunikasi dalam keluarga dan saya akan meuraikan sebagai berikut:

- Mengungkapkan kegembiraan dan perasaan KASIH lainnya.

Rasulullah telah memerintahkan kepada orang-orang yang bersaudara karena Islam (berukhuwah Islamiyah) untuk menyampaikan rasa cintanya. Maka sepatutnya rasa cinta ini selalu diungkapkan oleh suami istri dan anak-anaknya.

- Menjadi sarana peningkatan harmonisasi keluarga.

Keharmonisan keluarga membutuhkan komunikasi,sehingga keluarga menjadi tenpat untuk saling berbagi kebahagiaan dan memecahkan masalah dan menyempurnakan kekuarangan yang ada.Sebab suami istri berfungsi sebagai pakaian bagi pasangannya.

Allah berfirman:“Mereka (istri-istri) adalah pakaian bagi kalian (suami), dan kalian adalah pakaian bagi mereka.” (QS 2: 187)

- Sebagai sarana bermusyawarah.

Setiap keluarga membutuhkan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai urusan. Sebab hasil musyawarah akan lebih sempurna dibandingkan hasil pemikiran seseorang dan dapat dipertanggungjawabkan oleh seluruh anggota keluarga sehingga rasa kebersamaan akan menjadi milik bagi seluruh anggota keluarga.

Allah berfirman: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam suatu urusan” (QS 3:159)

- Sebagai sarana pemenuhan hak setiap anggota keluarga.

Setiap anggota keluarga mempunyai hak yang harus terpenuhi. Untuk memenuhi hak tersebut memerlukan komunikasi. Dengan berkomunikasi maka mereka akan mendapatkan hak-haknya sesuai dengan kebutuhannya.

- Sebagai sarana pendidikan anak.

Pendidikan anak memerlukan kasih sayang dan perhatian orang tua sebagaimana pendidikan anak juga memerlukan pujian, nasehat, teguran, peringatan, dialog dan bercerita. Kesemuanya itu memerlukan komunikasi yang baik dan efektif.

Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 6: 66).

Abnu Abbas menafsirkan ayat tersebut dengan, “Didiklah dan arahkanlah keluargamu untuk taat kepada Allah dan menjauhi larangan-Nya."

- Sebagai sarana da’wah

Keluarga merupakan medan da’wah pertama sebelum berda’wah ditengah masyarakat. Kesuksesan da’wah dalam keluarga menjadi langkah pertama menuju kesuksesan da’wah di masyarakat. Bahkan keberhasilan da’wah di keluarga menjadi tolak ukur kesuksesan da’wah di masyarakat. Sedangkan kesuksesan da’wah itu bergantung pada kesuksesan komunikasi dalam keluarga dan masyarakat.

Allah berfirman:“Serulah pada jalan Robbmu dengan hikmah dan nasehat yang baik. Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS 16: 125).

- Meneladani komunikasi dalam keluarga Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW merupakan satu-satunya orang yang mendapatkan pendidikan langsung dari Allah SWT. Beliau bersabda: “Robbku telah mendidik aku, maka sebaik-baik pendidikan adalah pendidikan yang diberikan kepadaku.”

Oleh karena itu, dalam berkomunikasi dengan keluarga harus meneladani Rasulullah SAW. Adapun komunikasi yang dilakukan oleh Rasulullah kepada keluarganya sebagai berikut

+ Bermuara pada rasa cinta dan kasih sayang

Jadikanlah komunikasi anda sebagai muara cinta dan kasih sayang yang tulus karena Allah, sebab semua pesannya merupakan rahmat bagi keluarga bahkan bagi seluruh alam.

Abu Sulaiman Bin Al Huwairi berkata, kami datang kepada Rasulullah SAW dan kami tinggal bersamanya selama dua puluh hari. Tenyata Rasulullah SAW orang yang dipenuhi oleh kasih sayang dan kelembutan kepada keluarganya sehingga kami menjadi rindu kepada keluarga kami. Kemudian beliau menanyakan keluarga yang kami tinggalkan, maka kami menceritakannya kepada beliau. Kemudian beliau bersabda: “pulanglah kepada keluargamu dan penuhilah hak-hak mereka serta didiklah mereka dan berbuat baiklah kepada mereka……”

+ Memanggil nama anggota keluarganya dengan panggilan yang menyenangkan

Seperti ketika Rasulullah memanggil Fatimah dengan sebutan “Wahai Ananda”dan memanggil Aisyah dengan sebutan “Ya Humairo’) atau Ya AaIsy (orang-orang yang hidup).

+ Berkomunikan tanpa emosi.

Berkomunikasi tanpa emosi membuat beliau dapat menyampaikan pesan sesuai dengan misinya. Sehingga beliau bisa berbicara dengan kata-kata yang berbobot, penuh makna, mengandung nilai-nilai kebaikan dengan penuh kelembutan. Sekalipun ketika beliau menegur Aisyah di saat Aisyah membuang makanan yang dikirim oleh Ummu Salamah. Beliau bersabda: “Ibumu sedang cemburu, Hai Aisyah, satu nampan yang engkau terima harus engkau antar satu nampan juga.”

Begitu juga ketika Aisyah tidur setelah sholat subuh, beliau bersabda kepadanya: “Hai Aisyah, jemputlah rizkimu dan janganlah engkau menolaknya.”

Beliau sering mengiringi bahasa lisannya dengan bahasa tubuhnya.

Disaat beliau ingin mengekspresikan rasa cintanya seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah beberapa hadits berikut ini: Aisyah berkata: “saya biasa minum dari gelas yang sama ketika haid, lalu Nabi mengambil gelas tersebut, dan meletakkan mulutnya di tempat saya meletakkan mulut saya lalu beliau minum kemudian saya mengambil cangkir lalu saya menghirup isinya. Kemudian beliau mengambilnya dari saya lalu beliau meletakkan mulutnya pada tempat meletakkan mulut saya. Lalu beliau pun menghirupnya. (HR.Abu Rozaq dan Sa’id Bin Mansur).

Dari Aisyah: “bahwa Rasulullah, biasa mencium istrinya setelah wudhu, kemudian beliau sholat dan tidak mengulangi wudhunya."

Beliau menyampaikan pesan dengan kalimat yang sederhana (tidak bertele-tele).

Ketika Aisyah marah, Rasulullah bersabda kepadanya: “Hai Aisyah, berlaku lembutlah, sesungguhnya apabila Allah menghendaki kebaikan kepada sebuah keluarga maka Allah akan memberikan kelembutan kepada mereka."

Berlapang dada

Berlapang dada dengan kelemahan yang ada dalam anggota keluarga, sehingga komunikasi dimulai dengan memaafkan kesalahan mereka terlebih dahulu. Anas berkata: “saya tidak pernah mendengar Rasulullah SAW berkata, mengapa kamu tidak melaksanakan ini, mengapa kamu tidak melaksanakan itu, mengapa kamu tidak begini dan mengapa kamu tidak begitu. Padahal dia tinggal bersama Rasulullah selama sepuluh tahun."

Suatu hari Rasulullah ditanya oleh seorang sahabat: "Ya Rasulullah, berapa kali engkau memaafkan pelayanmu dalam satu hari ?”

Beliau tidak menjawab. Tetapi setelah pertanyaan yang ketiga baru beliau menjawab: “Aku maafkan kesalahan pelayanku 70 x dalam sehari”.

Maka semua pesan dalam komunikasi beliau selalu menyenangkan untuk didengar, mudah untuk dipahami, dan bersemangat untuk direspon.

PENUTUP

Demikianlah konsep berkomuniakasi dalam Islam. Sedapat mungkin kita sebagai umat dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari kita, sehingga tujuan akhir dari kehidupan kita tidak terhalang lagi oleh akhlak yang tidak islami. Karena sebaik-sebaik kita adalah yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Hati yang penuh iman. Hati yang penuh syukur. Hati yang penuh taqwa. Dan jiwa yang penuh ketenangan dan kemuliaan dari Allah. Berharap Allah mengabulkan…semoga kita sekeluarga terhindar dari siksaan NERAKA. Keluarga besar kita…terhindar dari ancaman siksa kubur dan kita bermanfaat di dunia…jaya di akherat. (Nur Atik Kasim)

Beberapa Kaedah Komunikasi Islam

 

Ahmad Sufyan Che Abdullah

Komunikasi adalah asas dalam kehidupan seseorang manusia. Dalam sesebuah organisasi, komunikasi ibarat nadi yang menggerakkan fungsi pengurusan sesebuah organisasi. Komunikasi menjadi medum penyebaran maklumat daripada seorang manusia kepada manusia yang lain. Justeru, sistem pengurusan organisasi atau masyarakat akan tergendala tanpa komunikasi. Semakin berkesan system komunikasi di amalkan, semakin cekaplah pengurusan dan pentadbiran yang sesebuah organisasi tersebut. Sama ada komunikasi itu melalui saluran rasmi atau tidak rasmi, sistem komunikasi perlu melalui kaedah yang betul dengan etika yang baik untuk memastikan keberkesanannya.

Islam sebagai cara hidup yang komprehensif telah menyediakan alternatif kepada sistem komunikasi biasa yang sering menimbulkan masalah. Islam bukan sekadar menyediakan etika, bahkan Islam juga menyediakan teknik-teknik komunikasi yang berkesan untuk menjamin pelaksanan pengurusan dan pentadbiran yang efektif melalui teladan yang ditunjukkan oleh Sunah Nabi Muhammad. Itu pun jika kita melihat Sunah secara universal dan pandai mentafsirkannya mengikut kesesuaian realiti semasa. Dalam Islam, sistem komunikasi bermula dengan kepastian mengenai ketepatan maklumat, kejujuran dan ketelusan dalam komunikasi, keadah-kaedah komunikasi, serta amalan-aman dalam komunikasi yang menjamin keberkesanan komunikasi dan pengurusan, seterusnya meningkatkan kualiti dan produktiviti pekerja.

Prinsip Pertama: Semakan Ketepatan Fakta

Kaedah yang pertama dalam sistem komunikasi Islam ialah prinsip ketepatan fakta dalam penyampaian sesuatu maklumat. Dalam Islam, fakta-fakta yang diterima hendaklah ditapis, disaring dan disahkan kebenarannya sebelum disampaikan kepada orang lain. Amalan menerima dan terus menyebarkan fakta kepada orang lain tanpa memeriksa dahulu ketepatan maklumat adalah jelas menyalahi ajaran Islam. Firman Allah di dalam al-Quran ini jelas menunjukkan betapa pentingnya pengesahan sesuatu maklumat: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepada kamu seorang fasik membawa sesuatu berita, maka selidikilah (untuk menentukan) kebenarannya, supaya kamu tidak menimpakan sesuatu kaum dengan perkara yang tidak diingini dengan sebab kejahilan kamu (mengenainya) sehingga menjadikan kamu menyesali apa yang kamu telah lakukan” [al-Hujurat:6]

Fakta-fakta hendaklah disahkan daripada sumber berautoriti sebelum disebarkan kepada orang lain. Dengan cara ini, organisasi boleh mengawal komunikasi ‘grapevine’ daripada menyebarkan spekulasi yang lebih banyak memberikan kesan buruk berbanding kesan yang baik. Dalam kes ini juga, maklumat-maklumat yang masih spekulatif atau semata-mata sangkaan wajar dielakkan daripada disebarkan. Firman Allah: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari maklumat berupa sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa” [al-Hujurat: 12]. Dengan ini, hanya maklumat-maklumat yang benar sahaja yang tersebar dan keadaan ini akan memantapkan lagi operasi sesebuah organisasi.

Pilih Maklumat Yang Sesuai Dengan Penerima Yang Sesuai

Kaedah kedua dalam komunikasi ialah pemilihan terhadap maklumat yang ada sebelum disebarkan kepada orang lain. Jika anda seorang pengurus, tidak semua maklumat yang anda terima perlu disebarkan, tetapi ketepatan memilih maklumat berasaskan fungsi yang boleh dilakukan oleh penerima maklumat. Maklumat yang tepat, jika diberikan kepada penerima yang tidak sepatutnya, boleh menyebabkan kesilapan berlaku. Jika dilihat dalam sejarah Rasulullah, bagaimana baginda berkomunikasi dengan pelbagai jenis dan darjat manusia, adakalanya baginda memperincikan perkara yang sama dengan maklumat yang berbeza-beza, sesuai dengan fungsi yang dapat diamalkan oleh penerima tersebut. Dalam suatu keadaan Rasulullah menyatakan sebaik-baik amalan ialah beriman kepada Allah [Sahih Bukhari, Kitab al-Iman, no 26] dan dalam situasi yang lain Rasulullah menyatakan sebaik-baik amalan ialah mengerjakan sembahyang dalam waktunya dan berbuat baik kepada ibu bapa [Sahih Bukhari, Kitab Mawaqit al-Solah, 396]. Menurut seorang penulis pengurusan, Stephen P. Robbin, kesilapan dalam memilih saluran dan maklumat yang tepat boleh menjadi antara halangan dalam komunikasi efektif dan membantutkan perjalanan organisasi. Seseorang pengurus perlu memilih maklumat yang sesuai, atau memilih penerima yang sesuai untuk menerima sesuatu maklumat.

Kekuatan Bahasa dan Kepetahan Berbicara

Penggunaan bahasa yang jelas dengan kepetahan berkata-kata juga penting dalam komunikasi yang berbesan. Ini merupakan salah satu daripada kaedah komunikasi yang ditunjukkan oleh al-Quran dan Sunah. Dalam kisah dakwah Nabi Musa yang dijelaskan oleh al-Quran, Nabi Musa pernah meminta kepada Allah, “Dan lepaskanlah simpulan dari lidahku, supaya mereka faham perkataanku; dan jadikanlah bagiku, seorang penyokong dari keluargaku. Iaitu Harun saudaraku” [Ta Ha: 27-30] Daripada kisah ini, menurut Dr Iqbal Yunus, dapatlah difahami bahawa komunikasi efektif memerlukan kepada kemahiran berkata-kata untuk menyampaikan mesej dengan jelas kepada penerima. Justeru, jika anda ingin menjadi pengurus yang baik, anda wajar melatih diri supaya petah berkata-kata, atau melantik juru cakap yang petah berkata-kata, sebagaimana Nabi Musa meminta Harun membantu baginda berdakwah kepada Firaun.

Prinsip Hikmah Dalam Komunikasi

Islam juga meletakkan prinsip hikmah dalam berkomunikasi. Firman Allah di dalam al-Quran: “Serulah ke jalan Tuhanmu (wahai Muhammad) dengan penuh hikmah kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik, dan berbahaslah dengan mereka (yang engkau serukan itu) dengan cara yang lebih baik” [al-Nahl: 125] Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam kuliah Ramadan beliau tahun lalu menghuraikan bahawa ayat ini memberi panduan dalam berkomunikasi dengan mereka yang sealiran dan yang tidak sealiran. Dalam mana-mana organisasi sering terjadi konflik dua pihak. Maka Allah menyeru agar kita berbicara dengan penuh hikmah dengan memberi pengajaran yang baik kepada mereka yang sealiran dengan kita, manakala berbincang dan berbahas dengan cara terbaik dengan mereka yang berkonflik dengan kita. Konflik tidak boleh dibiarkan berlalu tetapi perlu diselesaikan dengan cara komunikasi dengan cara-cara yang difikirkan terbaik.

Prinsip Taqwa

Dalam organisasi, sistem komunikasi yang berjaya ialah dengan menggunakan pelbagai saluran, saluran rasmi dan saluran tidak rasmi. Krisis sering terjadi apabila saluran komunikasi tidak rasmi tidak dikawal dengan nilai dan etika. Sebab itu Islam meletakkan taqwa sebagai salah satu kaedah penting berkomunikasi. Hal ini kerana Dalam organisasi sudah tentu terdapat pelbagai bangsa, kaum, budaya dan ragam manusia. Dengan adanya taqwa, manusia akan menjaga batas-batas komunikasi mereka secara lebih berkesan. Firman Allah: “Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu dengan yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih takwanya di antara kamu, (bukan yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam PengetahuanNya (akan keadaan dan amalan kamu).” [al-Hujurat: 13]
Takwa bererti sentiasa mengambil langkah berhati-hati dalam melalukan sesuatu perkara dengan mengelakkan diri daripada dosa dan sifat tercela. Islam mencela sifat memburuk-burukkan kaum dan puak lain [al-Hujurat: 11], juga mengumpat dan membuka aib orang lain kepada umum. [al-Hujurat: 12]. Saluran komunikasi tidak rasmi di dalam sesebuah organisasi sudah tentu beroperasi dengan licin tanpa ada masa mengumpat dan memburuk-burukkan pekerja lain. Takwa juga menjadikan seseorang itu sentiasa manjauhi sifat buruk sangka terhadap orang lain. Stephen P. Robbin juga pernah menyeraikan sifat buruk sangka ini sering menimbulkan suasana tidak selesa dalam organisasi. Keadaan boleh terjadi andainya pengurus memuji seseorang pekerja di hadapan pekerja lain, maka orang yang buruk sangka akan menganggap pekerja yang dipuji itu suka membodek pengurus sedangkan alangkah baiknya jika dia bersangka baik dan mahu berusaha pula untuk menjadikan dirinya yang terbaik juga.


Orang yang bertakwa dalam berkomunikasi sentiasa menjaga batas suara ketika berbicara, mengelakkan diri daripada menipu dan berdusta, menggunakan perkataan yang manis dan menjaga adab-adab dalam berkomunikasi sesama manusia. Rasulullah bersabda dalam memberikan adab-adab komunikasi: “Tidak beriman seseorang itu sepenuhnya selagi dia berdusta ketika bergurau dan bertengkar dengan orang lain sekalipun ia benar” [Musnad Ahmad, no 8276] Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: “Sesiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka dia hendaklah mengucapkan yang baik-baik atau pun dia hanya diam” [Sahih Muslim, Kitab al-Iman, no 67].

Firman Allah: “Demi Masa! Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian; Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh dan mereka pula berpesan-pesan dengan kebenaran serta berpesan-pesan dengan sabar.” [al-Asr: 1-3] Ayat ini menjelaskan tentang adab-adab yang perlu diamalkan dalam komunikasi oleh seorang perkerja yang beriman dan produktif. Pekerja yang produktif tidak menghabiskan masanya dengan berbual-bual kosong di kafe atau gerai-gerai minum, tetapi sentiasa melakukan kerja yang produktif. Dia juga sentiasa menjaga komunikasinya daripada menyampaikan berita-berita yang tersasar daripada kebenaran juga mengingatkan tentang hari akhirat pada waktu senang. Pada waktu susah, pekerja ini sentiasa berpesan supaya bersabar menghadapi ujian dan kesukaran dalam pekerjaan. Etika, adab, dan prinsip dalam komunikasi Islam bukanlah untuk mengehadkan kebebasan manusia, tetapi menjamin keberkesanan organisasi sekali gus meningkatkan produktiviti negara.