Mas Rofiq dan Maulidun Nabi
Oleh : KH A Hasyim Muzadi
Menurut hitungan kalender Hijriyah, hari Ahad ini kita tengah memasuki bulan baru, bulan paling menentukan sejarah kehidupan manusia. Ahad ini adalah tanggal 1 bulan Rabi'ul Awwal. Dua belas hari kemudian, hampir satu setengah abad yang lalu, Allah SWT mengejawantahkan titah-Nya. Maka kuasa-Nya yang telah ada sejak wujud-Nya, dan iradah-Nya yang ada bersama qidam-Nya, lahirlah seorang kekasih bernama Muhammad.
Sesosok manusia yang yang pengaruhnya sungguh tak tertandingi dan rasa empati dan cintanya menyebar entah sampai di mana. Laqad jaa-akum rasuulun min anfusikum, 'azzizun alaihi ma'anittum hariishun 'alaikum bil mu'miniina ra-uufun rahiim Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan [keimanan dan keselamatan] bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Demikian antara lain sebuah penggalan ayat dalam Alquran yang mendeklarasikan kehadiran Baginda Rasul di alam semesta. Sebuah penggambaran yang sungguh menyejukkan dan mengharubiru kamanusiaan kita.
Syahdan, karena ingin menunjukkan rasa cinta kepada junjungan yang mulia ini, kaum Muslimin di kampung-kampung nan udik, selalu melakukan persiapan khusus menyambut hari kelahiran Sang Baginda. Para orangtua mengajar anak-anaknya untuk membuat ancak dari pelapah daun pisang. Dirangkai membentuk kubus dan diisi dengan aneka ragam makanan khas kampung.
Nasi kuning, telur rebus, macam-macam buah hingga lauk sekadarnya. Menjelang sore hari, jalan-jalan kecil menuju masjid setempat sudah ramai dengan aliran panjang anak manusia menjinjing ancak sebelum akhirnya dipertukarkan dengan ancak-ancak lainnya milik tetangga dekat dan tetangga jauh. Malam hari, adalah saat di mana puja-puji dalam rangkaian kalimat barzanji mengalun nari mulut-mulut mungil nan suci manusia kampung. Mereka pulang dengan ancak yang isinya sudah berbeda dengan sebelumnya karena mereka mendapatkan ancak hasil pertukaran. Pulang membawa berkah kecintaan mereka keada Baginda Rasul.
Arkian, Mas Rofiq Hadi termasuk salah seorang di antara anak-anak kecil masa lalu di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, yang kini sudah tinggal di Jakarta. Sekali waktu, ia sempat mengeluh karena kehidupan modern telah membuat semua tradisi masa lalu seperti sengaja dipinggirkan bahkan dihilangkan dengan berbagai dalih dan motivasi. Memperingati hari kelahiran Baginda Rasul dianggap tradisi tanpa dasar dan tak memiliki rujukan dalil agama.
Beberapa malah menilainya sebagai bid'ah. Karena alasan itu pulalah, maka kini kita merasa kesulitan menikmati alunan shalawatan dan barzanji saat seorang bayi lahir, dan saat dia akan dikhitankan. Bahkan menjelang akil baligh hingga memasuki masa pernikahannya, puja-pujian kepada Baginda Rasul seperti lenyap entah ke mana. Padahal, katanya mengenang, bila bayi lahir, lalu menjadi pengantin sunat, hingga ia menikah dan lalu meninggal, hanya satu yang setia menemaninya; pembacaan shalawat. Itu dulu. Kini, ke manakah gerangan tradisi yang sejatinya merupakan percikan cinta terdahsyat kepada Sang Rasul ini?
Hari Maulidun Nabi atau Miladur Rasul, kini tak lebih dari sekadar sebuah angka pada kalender dengan warna merah. Anak-anak kita sudah tak terbiasa mendengar lantunan shalawat. Pada memori mereka boleh jadi sudah tak terdapat indeks soal nama besar Nabi Muhammad SAW. Dunia kita benar-benar telah mengantarkan generasi Muslim masa kini kepada dunia yang sungguh kering tanpa cinta.
Kita bahkan terbiasa mendidik anak-anak kita untuk menjadi megaloman sehingga tak pernah lewat satu tahun pun untuk tidak mengenang tanggal kelahiran mereka sendiri. Maka mengalunlah melauki sound system atau organ tunggal lagu wajib Selamat Ulang Tahun sebagai pengganti shalawatan. Setelah itu, maka sudah terhidangkan di hadapan anak-anak yang lucu-lucu ini sebuah situasi di mana mereka siap mencari bentuk jati dirinya. Maka tak heran kalau kader-kader entertainer jauh lebih banyak jumlahnya dibanding kader-kader dalam profesi lainnya.
Sains modern menyebutkan bahwa bayi-bayi dan anak-anak yang masih suci itu memiliki daya rekam yang sangat kuat dalam memori mereka. Dokter spesialis dan pertumbuhan anak, kadang menyarankan para orangtua untuk memperdengarkan alunan lagu klasik versi Mozart atau Beethoven agar dapat membantu pembentukan kepribadian.
Kedua komponis ini memang telah melahirkan karya cipta yang luar biasa tetapi Baginda Rasul jauh lebih luar biasa dari keduanya. Para orangtua kita dahulu, di kampung, sejatinya telah membuatkan sebuah medium yang mengasyikkan bagaimana kita mencinta Rasulullah. Kalau sedari kecil pendengaran kita sudah terbiasa dengan shawatan dan salam kepada orang yang paling kita cinta, maka ke depan, cermin kita adalah apa yang menjadi tempat curahan cinta kita.
Manusia modern, lalu secara sistematis, mendegradasi bentuk-bentuk cinta kepada Rasul sebagai sebuah stigma yang sangat negatif. Setelah dianjurkan untuk ditinggalkan, memperingati Maulidun Nabi, bahkan dianggap sebagai sebuah tindakan kultus individu. Sebuah stigma yang sungguh menyakitkan. Tetapi begitu anak kita hafal beberapa lagu dan nama seorang penyanyi, maka kita akan memberikan tempat khusus kepada anak kita. Duh Gusti!
Stigma ini semakin menjadi pukulan telak begitu kita mencinta Baginda Rasul lalu dianggap sebagai sebuah bid'ah. Setiap bid'ah adalah menyesatkan dan setiap yang sesat di neraka. Kalau kategori ini dijadikan alat justifikasi dan labelisasi, maka tentu tak terbilang berapa jumlahnya muslimin-muslimat 'kampung' yang tak mengenal Mozart dan Beethoven, bakal terhantam julukan menyakitkan sebagai pelaku praktik bid'ah.
Dunia kini, bukan saja telah sukses membuat kita semakin jauh dari cinta kepada Baginda Rasul, tetapi juga telah merasa berkuasa menentukan kapling-kapling surga dan neraka. Cinta kita di dunia ini sejatinya adalah cinta tak berbalas sedang cinta kepada Rasul adalah cinta sejati. Kata-kata seperti apalagi yang dapat menjelaskan betapa agungnya kecintaan Rasul kepada kita, sampai-sampai menjelang tarikan napasnya yang terakhir, yang muncul justru desahan ummati-ummati [umatku-umatku] dari dua belahan bibir beliau. Karena itu, sebuah riwayat menjelaskan, jika seorang ummat Islam berziarah lalu menyampaikan salam, maka Baginda Rasul akan memohon kepada Allah agar mengembalikan rohnya untuk menjawab salam tersebut.
Sekali waktu menjelang shalat berjamaah di Masjidin Nabi, seorang badui Arab bertanya kepada Rasulullah kapan kiamat datang. Karena shalat terlanjur dididirikan, pertanyaan tak sempat dijawab. Begitu selesai, Rasululullah menanyakan apa persiapan yang telah dilakukan menghadapi kiamat. ''Hamba tidak mempersiapkan bekal yang memadai kecuali bahwa hamba mencinta Allah dan Rasul-Nya,'' ujar Si Badui. Jawaban Rasulullah singkat, ''Anta ma'a man ahbabta. (Engkau akan bersama dengan yang engkau cinta)''
Sahabat Anas Bin Malik menggambarkan, ''Aku belum pernah melihat kaum Muslimin berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu seperti bahagianya mereka ketika mendengar sabda Nabi itu.'' Kita semestinya sadar bahwa amal sebesar apa pun tak akan mampu mengantar kita bertemu Allah. Hanya cinta kepada-Nya dan kepada Rasulullah, maka hidup ini sampai ke titik kulminasinya. Selamat menyambut Maulidun Nabi Muhammad SAW. Wallaahu a'lamu bishshawaab.
Oleh : KH A Hasyim Muzadi
Menurut hitungan kalender Hijriyah, hari Ahad ini kita tengah memasuki bulan baru, bulan paling menentukan sejarah kehidupan manusia. Ahad ini adalah tanggal 1 bulan Rabi'ul Awwal. Dua belas hari kemudian, hampir satu setengah abad yang lalu, Allah SWT mengejawantahkan titah-Nya. Maka kuasa-Nya yang telah ada sejak wujud-Nya, dan iradah-Nya yang ada bersama qidam-Nya, lahirlah seorang kekasih bernama Muhammad.
Sesosok manusia yang yang pengaruhnya sungguh tak tertandingi dan rasa empati dan cintanya menyebar entah sampai di mana. Laqad jaa-akum rasuulun min anfusikum, 'azzizun alaihi ma'anittum hariishun 'alaikum bil mu'miniina ra-uufun rahiim Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan [keimanan dan keselamatan] bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Demikian antara lain sebuah penggalan ayat dalam Alquran yang mendeklarasikan kehadiran Baginda Rasul di alam semesta. Sebuah penggambaran yang sungguh menyejukkan dan mengharubiru kamanusiaan kita.
Syahdan, karena ingin menunjukkan rasa cinta kepada junjungan yang mulia ini, kaum Muslimin di kampung-kampung nan udik, selalu melakukan persiapan khusus menyambut hari kelahiran Sang Baginda. Para orangtua mengajar anak-anaknya untuk membuat ancak dari pelapah daun pisang. Dirangkai membentuk kubus dan diisi dengan aneka ragam makanan khas kampung.
Nasi kuning, telur rebus, macam-macam buah hingga lauk sekadarnya. Menjelang sore hari, jalan-jalan kecil menuju masjid setempat sudah ramai dengan aliran panjang anak manusia menjinjing ancak sebelum akhirnya dipertukarkan dengan ancak-ancak lainnya milik tetangga dekat dan tetangga jauh. Malam hari, adalah saat di mana puja-puji dalam rangkaian kalimat barzanji mengalun nari mulut-mulut mungil nan suci manusia kampung. Mereka pulang dengan ancak yang isinya sudah berbeda dengan sebelumnya karena mereka mendapatkan ancak hasil pertukaran. Pulang membawa berkah kecintaan mereka keada Baginda Rasul.
Arkian, Mas Rofiq Hadi termasuk salah seorang di antara anak-anak kecil masa lalu di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, yang kini sudah tinggal di Jakarta. Sekali waktu, ia sempat mengeluh karena kehidupan modern telah membuat semua tradisi masa lalu seperti sengaja dipinggirkan bahkan dihilangkan dengan berbagai dalih dan motivasi. Memperingati hari kelahiran Baginda Rasul dianggap tradisi tanpa dasar dan tak memiliki rujukan dalil agama.
Beberapa malah menilainya sebagai bid'ah. Karena alasan itu pulalah, maka kini kita merasa kesulitan menikmati alunan shalawatan dan barzanji saat seorang bayi lahir, dan saat dia akan dikhitankan. Bahkan menjelang akil baligh hingga memasuki masa pernikahannya, puja-pujian kepada Baginda Rasul seperti lenyap entah ke mana. Padahal, katanya mengenang, bila bayi lahir, lalu menjadi pengantin sunat, hingga ia menikah dan lalu meninggal, hanya satu yang setia menemaninya; pembacaan shalawat. Itu dulu. Kini, ke manakah gerangan tradisi yang sejatinya merupakan percikan cinta terdahsyat kepada Sang Rasul ini?
Hari Maulidun Nabi atau Miladur Rasul, kini tak lebih dari sekadar sebuah angka pada kalender dengan warna merah. Anak-anak kita sudah tak terbiasa mendengar lantunan shalawat. Pada memori mereka boleh jadi sudah tak terdapat indeks soal nama besar Nabi Muhammad SAW. Dunia kita benar-benar telah mengantarkan generasi Muslim masa kini kepada dunia yang sungguh kering tanpa cinta.
Kita bahkan terbiasa mendidik anak-anak kita untuk menjadi megaloman sehingga tak pernah lewat satu tahun pun untuk tidak mengenang tanggal kelahiran mereka sendiri. Maka mengalunlah melauki sound system atau organ tunggal lagu wajib Selamat Ulang Tahun sebagai pengganti shalawatan. Setelah itu, maka sudah terhidangkan di hadapan anak-anak yang lucu-lucu ini sebuah situasi di mana mereka siap mencari bentuk jati dirinya. Maka tak heran kalau kader-kader entertainer jauh lebih banyak jumlahnya dibanding kader-kader dalam profesi lainnya.
Sains modern menyebutkan bahwa bayi-bayi dan anak-anak yang masih suci itu memiliki daya rekam yang sangat kuat dalam memori mereka. Dokter spesialis dan pertumbuhan anak, kadang menyarankan para orangtua untuk memperdengarkan alunan lagu klasik versi Mozart atau Beethoven agar dapat membantu pembentukan kepribadian.
Kedua komponis ini memang telah melahirkan karya cipta yang luar biasa tetapi Baginda Rasul jauh lebih luar biasa dari keduanya. Para orangtua kita dahulu, di kampung, sejatinya telah membuatkan sebuah medium yang mengasyikkan bagaimana kita mencinta Rasulullah. Kalau sedari kecil pendengaran kita sudah terbiasa dengan shawatan dan salam kepada orang yang paling kita cinta, maka ke depan, cermin kita adalah apa yang menjadi tempat curahan cinta kita.
Manusia modern, lalu secara sistematis, mendegradasi bentuk-bentuk cinta kepada Rasul sebagai sebuah stigma yang sangat negatif. Setelah dianjurkan untuk ditinggalkan, memperingati Maulidun Nabi, bahkan dianggap sebagai sebuah tindakan kultus individu. Sebuah stigma yang sungguh menyakitkan. Tetapi begitu anak kita hafal beberapa lagu dan nama seorang penyanyi, maka kita akan memberikan tempat khusus kepada anak kita. Duh Gusti!
Stigma ini semakin menjadi pukulan telak begitu kita mencinta Baginda Rasul lalu dianggap sebagai sebuah bid'ah. Setiap bid'ah adalah menyesatkan dan setiap yang sesat di neraka. Kalau kategori ini dijadikan alat justifikasi dan labelisasi, maka tentu tak terbilang berapa jumlahnya muslimin-muslimat 'kampung' yang tak mengenal Mozart dan Beethoven, bakal terhantam julukan menyakitkan sebagai pelaku praktik bid'ah.
Dunia kini, bukan saja telah sukses membuat kita semakin jauh dari cinta kepada Baginda Rasul, tetapi juga telah merasa berkuasa menentukan kapling-kapling surga dan neraka. Cinta kita di dunia ini sejatinya adalah cinta tak berbalas sedang cinta kepada Rasul adalah cinta sejati. Kata-kata seperti apalagi yang dapat menjelaskan betapa agungnya kecintaan Rasul kepada kita, sampai-sampai menjelang tarikan napasnya yang terakhir, yang muncul justru desahan ummati-ummati [umatku-umatku] dari dua belahan bibir beliau. Karena itu, sebuah riwayat menjelaskan, jika seorang ummat Islam berziarah lalu menyampaikan salam, maka Baginda Rasul akan memohon kepada Allah agar mengembalikan rohnya untuk menjawab salam tersebut.
Sekali waktu menjelang shalat berjamaah di Masjidin Nabi, seorang badui Arab bertanya kepada Rasulullah kapan kiamat datang. Karena shalat terlanjur dididirikan, pertanyaan tak sempat dijawab. Begitu selesai, Rasululullah menanyakan apa persiapan yang telah dilakukan menghadapi kiamat. ''Hamba tidak mempersiapkan bekal yang memadai kecuali bahwa hamba mencinta Allah dan Rasul-Nya,'' ujar Si Badui. Jawaban Rasulullah singkat, ''Anta ma'a man ahbabta. (Engkau akan bersama dengan yang engkau cinta)''
Sahabat Anas Bin Malik menggambarkan, ''Aku belum pernah melihat kaum Muslimin berbahagia setelah masuk Islam karena sesuatu seperti bahagianya mereka ketika mendengar sabda Nabi itu.'' Kita semestinya sadar bahwa amal sebesar apa pun tak akan mampu mengantar kita bertemu Allah. Hanya cinta kepada-Nya dan kepada Rasulullah, maka hidup ini sampai ke titik kulminasinya. Selamat menyambut Maulidun Nabi Muhammad SAW. Wallaahu a'lamu bishshawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar