Senin, 17 Maret 2008

Katakan Insya Allah

''Walaa taquulanna li syain innii faa'ilun dzaalika ghodan illa an yasyaa' Allah.'' ''Dan, jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut) Insya Allah'' (QS Alkahfi [18]: 23-24).

Dalam Tafsir Alquran Aladzhim karya Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, beliau menyebutkan asbabun nuzul dari ayat ini terkait dengan kisah sebagai berikut. Syahdan, suatu hari, Rasulullah SAW ditanya oleh salah seorang sahabat tentang kisah Ashabul Kahfi. Pertanyaan itu adalah berapa tahun Ashabul Kahfi berlindung dan menghabiskan masa persembunyiannya di dalam Gua Alkahfi? Dan, berapa jumlah anggota yang tergabung dalam Ashabul Kahfi ketika itu? Lima orang dengan seekor anjingnya atau tujuh beserta anjingnya?

Rasulullah SAW saat itu tidak sanggup memberi jawaban yang pasti. Lantas, beliau berkata kepada sahabat yang bertanya, ''Jawabannya akan kuberikan besok.'' Biasanya, pada saat-saat seperti itu, turunlah sebuah wahyu sebagai jawaban pada keesokannya.

Keesokan harinya, fajar telah menyingsing dan menyambut mentari terbit di ufuk timur. Sang surya kian menyemai panas sehingga tiba waktu dzuhur. Namun, wahyu dari Sang Khalik tak kunjung turun memberitakan sebuah jawaban. Akhirnya, sore kian tampak. Senja pun memerah mengantar kegelapan malam.

Berhari-hari Rasulullah SAW menanti wahyu itu. Lima belas hari berlalu, turunlah wahyu sebagai jawaban disertai teguran dalam surat Alkahfi. Adapun jawaban atas pertanyaan sahabat tadi tertera di dalam ayat 22, 25, dan 26. Sejak saat itu, Rasulullah SAW tidak pernah lagi alpa menyebut "Insya Allah" setiap kali berjanji kepada umatnya untuk hal-hal yang akan beliau ucapkan dan lakukan.

Sebagaimana sebuah hadis sahih dari Abdullah ibnu 'Amru yang berkata, Rasulullah SAW pernah berujar saat singgah di Thaif bersama para sahabatnya, ''Innaa qaafiluuna ghodan Insya Allah'' (Besok, kita akan berangkat melanjutkan perjalanan, Insya Allah) (HR. Bukhari/Muslim). Inilah sebuah petunjuk mulia dari Allah. Bahwa kedudukan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya tidak lantas menjadikan dirinya dengan mudah memastikan kehendak.

Adalah sebuah adab hamba (setiap muslim) kepada Tuhannya. Jika dia sudah bertekad untuk mengerjakan suatu hal pada waktu mendatang, dia tetap menyandarkan segalanya pada kehendak Allah semata (fi masyi'atillah).

Tidak ada komentar: