Sabtu, 30 Agustus 2008

Akal Pikiran

Oleh: Muhammad Shofwan

''Katakanlah: 'Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya'.'' (QS Al Ankabut [29]: 20).
Salah satu keistimewaan manusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah diberinya akal pikiran oleh Allah SWT. Akal merupakan penggerak yang memotivasi manusia dalam mengarungi kehidupan.

Islam menyeru kita agar terus menggunakan akal pikiran: memerhatikan, merenungi, dan memikirkan fenomena-fenomena alam serta keindahan ciptaan-Nya. Islam mengajak manusia berpikir karena merupakan pendorong yang sangat kuat bagi kaum Muslimin untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang luas.

Selain itu, dengan merenungi dan memikirkan kekuasaan-kekuasaan Allah, keindahan ciptaan-Nya, dan fenomena-fenomena alam dengan segala keteraturan sistem alam raya, merupakan suatu jaminan yang dapat mengantarkan keimanan seseorang kepada Sang Pencipta.

Meskipun dituntut untuk berpikir, kita harus berhati-hati dalam menggunakan akal pikiran. Agar kita tidak terjebak di dalam kesalahan berpikir. Rasulullah SAW selalu mengingatkan agar pemikiran kita selalu bersih dari aib-aib yang merusak kejernihan akal pikiran, seperti taklid dan tidak berdalil.

Taklid ialah mengikuti pemikiran atau pendapat orang lain tanpa mengetahui kebenarannya. Rasul bersabda, ''Janganlah kalian menjadi orang yang taklid (ikut-ikutan).'' (HR Tirmidzi).

Adapun yang dimaksud dengan tidak berdalil, yaitu mengeluarkan suatu keputusan, argumen, dan membuat simpulan tanpa didasari dengan dalil yang kuat. Kebanyakan manusia cenderung membuat simpulan, berargumentasi, memberikan keputusan tanpa didasari dalil yang kuat sehingga menjauhkan dari esensi kebenarannya. Allah berfirman, ''Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati akan dimintai pertanggungjawabannya.'' (QS Al Isra [17]: 36).

Pada hakikatnya, Allah memberi akal pikiran agar manusia selalu berpikir dan mengorganisasi segala tindak-tanduknya di dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang bisa mengendalikan akal pikirannya dengan baik maka ia telah memanifestasikan kebaikannya untuk kehidupan akhirat kelak.

Bulan Kemuliaan


Oleh: Alwi Shahab

Alhamdulillah, mulai Senin 1 Ramadhan 1429 H umat Islam akan melaksanakan ibadah puasa, rukun Islam keempat. Tidak ada bulan yang demikian banyak mendapat sebutan kemuliaan seperti Ramadhan. Nabi Muhammad SAW menyebutnya sebagai bulan berkah, bulan pengampunan, bulan kebaikan, dan masih banyak lagi keutamaannya. Mencerminkan nilai khusus spiritual dari bulan suci itu.

Pahala dan hukum yang berkaitan dengan puasa demikian dipandang penting sehingga Allah akan melaksanakan pemberian pahala dan siksa itu. Ini tercermin dalam salah satu hadis Qudsi, ''Semua amal manusia itu adalah untuknya, kecuali puasa. Puasa ini untuk-Ku dan Aku yang akan mengganjarnya.''

Puasa bila dilakukan sesuai dengan kaidah dan ajaran agama akan menjadi sarana yang kuat untuk memerdekakan kita dari belenggu keinginan, hasrat, dan segala nafsu fisik yang negatif. Di samping itu, akan membersihkan kita dari kekotoran dosa-dosa badani.

Rasulullah SAW bersabda kepada sahabat Jabir bin Abdullah Al Anshari. ''Jabir ini adalah bulan kemuliaan. Barang siapa yang berpuasa di siang harinya dan tetap sadar dan ingat pada Allah di malam harinya, menjaga perutnya dari apa yang diharamkan, dan menjaga kehormatannya dari kekotoran, serta menahan lidahnya maka ia akan terlepas dari dosa-dosa seperti lepasnya bulan Ramadhan dari dia.''

Kini makin disadari bahwa puasa yang dilakukan dengan iman akan memberi pengaruh kepada seseorang yang menjalaninya. Dalam ilmu kedokteran--termasuk para dokter dari dunia Barat--memuji kaidah-kaidah puasa. Karena, menurut mereka, pengendalian diri merupakan obat paling manjur untuk meredam berbagai penyakit. Mereka menyimpulkan bahwa kemarahan, kebencian, dengki, sakit hati, dan dendam--kesemuanya oleh agama diminta agar kita meredamnya--adalah sikap-sikap yang memperburuk kesehatan karena merusak daya tahan tubuh. Banyak penyakit seperti jantung, hipertensi, dan stroke diperberat oleh sikap-sikap demikian.

Selama puasa kita juga diperintahkan untuk mendekatkan diri kepada Allah serta merasakan kehadiran-Nya. Selain itu, kita juga dianjurkan untuk mempererat solidaritas sosial serta rasa kasih sayang sesama umat.

Dengan demikian, mereka merasakan adanya persamaan yang mengurangi rasa kelebihan dalam mengecap kenikmatan rezeki yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sehingga, akan ada tolong-menolong antara yang kuat dan lemah, kaya dan miskin, baik dalam bentuk zakat, sedekah, maupun infak. Bismillah. Mari menyiapkan diri menyambut bulan mulia penuh hikmah.

(-)

Maksimalisasi Usia Oleh Widia Nur Aini

''Sesungguhnya, Allah hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat. Dia-lah yang menurunkan hujan serta mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan, tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan, tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.'' (QS Luqman [31]: 34).

Salah satu rahasia Allah SWT yang tidak diketahui oleh manusia adalah perkara umur atau usia. Tak ayal, seorang yang dikira sehat tiba-tiba diberitakan tutup usia atau meninggal dunia. Sebaliknya, seorang yang diterka akan segera menemui ajal didapati masih menghela napas dan hidup lebih lama.

Adalah Khalifah Umar bin Khathab RA, contoh seorang yang benar-benar memerhatikan perkara umur. Suatu ketika, ia ingin meminjam uang kepada baitul mal untuk suatu hajat. Namun, sebelum memberikan pinjaman, pengurus baitul mal itu bertanya, ''Wahai Umar, adakah jaminan untuk pinjaman ini? Akankah engkau dapat menjamin hidupmu sampai hari esok?''

Mendengar ucapan pengurus itu, ia tertegun dan mengurungkan niatnya. Ia menyadari bahwa dirinya dan bahkan seluruh manusia tidak ada yang sanggup untuk menjamin sampai kapan hidupnya di dunia. Umar pun kembali ke rumah dan mengurungkan niatnya.Sifat manusia yang seolah-olah ingin hidup abadi di dunia menggambarkan keserakahan dan keegoisannya. Terlebih, itu merupakan kufur atas nikmat yang telah diberikan. Keabadian bukanlah sifat manusia, melainkan hanya milik Dzat yang Mahahidup (Alhayyu).

Jika demikian, berarti manusia telah kehilangan arti usia yang sesungguhnya. Karena, dalam Islam, usia adalah modal untuk berbuat dan mengisi. Maka dari itu, Rasulullah SAW mengingatkan, ''Ambillah kesempatan lima sebelum datang yang lima: masa mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum melaratmu, hidupmu sebelum matimu, dan senggangmu sebelum sibukmu.'' (HR Al Hakim dan Al Baihaqi).

Lebih tegas lagi, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah bersabda, ''Sebaik-baik kalian adalah seorang yang panjang usianya dan baik amalnya. Dan, seburuk-buruk kalian adalah yang panjang usianya, namun buruk amalnya.''Marilah kita memaksimalkan modal umur kita yang diberikan Allah SWT dengan sebaik-baiknya. Wallahu a'lam.

Tarawih dan Ukhuwah Islamiyah


20080827173318

Selama satu bulan Ramadhan ini, selain pengamalan ibadah puasa yang berdimensi positif pada peningkatan kepedulian sosial, umat Islam juga melaksanakan shalat tarawih, yang disadari atau tidak, sesungguhnya juga berdampak positif pada pengokohan ukhuwah Islamiyah. Alhamdulillah, kini shalat tarawih tidak lagi menjadi ajang perdebatkusiran. Seperti ketika umat juga sudah bisa memahami perbedaan penentuan awal dan akhir Ramadhan, apakah dengan rukyat atau hisab, sebagaimana umat pun tetap dapat bergembira berhari raya tanpa mempersoalkan apakah tadi shalat Idul Fitri di masjid atau di lapangan terbuka.

Mengedepankan ukhuwah dalam menyikapi ikhtilaf (perbedaan), sesungguhnya adalah bagian dari sunah Rasulullah saw yang dilanjutkan oleh para Khulafa ar-Rasyidun. Maka tidak heran bila, sekalipun berbeda 'mazhab', tetapi Imam Ahmad dapat ikhlas berguru pada Imam Syafi'i, bahkan beliau pun tampil sebagai pembela utama Imam Syafi'i. Demikian pula sebaliknya, Imam Syafi'i tidak segan mengakui secara terbuka keunggulan muridnya itu dalam bidang hadis, sehingga beliau berpesan kepada Imam Ahmad agar bila mendapati hadis sahih segera mengabarkan kepada Imam Syafi'i, agar beliau dapat merujuknya.

Antara mereka pun terjalin ukhuwah Islamiyah yang tulus ikhlas sehingga dapat menghasilkan suatu peradaban. Umat Islam di Indonesia pastilah tidak asing dengan nama-nama tokoh tersebut dan sewajarnyalah bila perilaku para tokoh itu pun selalu mereka rujuk. Selain kepada Rasulullah saw kalangan Nahdhiyyin (NU) dalam berfikih tentu akan merujuk (terutama) pada Imam Syafi'i, sementara kalangan Muhammadiyah, selain merujuk pada Rasulullah, jiwa berfikih mereka sesungguhnya merujuk pada Imam Ahmad.

Bila demikian maka sesungguhnya bulan Ramadhan ini, dengan aktivitas shalat tarawihnya, telah dengan sangat intensif dan massif menginternalisasi makna dan sikap ukhuwah di antara umat Islam dengan keberagaman latar belakang mereka. Bila demikian, maka sesungguhnya umat telah memiliki dasar pijakan yang sangat kokoh untuk tetap mempertahankan ukhuwah Islamiyah di antara mereka dan artinya mempertahankan integrasi bangsa yang akan berlanjut pada sesudah bulan Ramadhan. (ah)

(M Hidayat Nur Wahid)

Selasa, 05 Agustus 2008

63 tahun RI

Plus-Minus 63 Tahun Kemerdekaan Bangsa Oleh Ahmad Syafii Maarif

Syafii Maarif

Tanggal 17 Agustus 2008, genaplah 63 tahun usia kemerdekaan bangsa, sesuatu yang sangat wajib kita syukuri. Bersyukur bermakna menggunakan seluruh pemberian Allah kepada kita untuk tujuan apa saja yang diridhai-Nya, di samping membaca alhamdulillah. Janji Alquran: ''Sungguh jika kamu bersyukur, pasti [nikmat itu] akan Aku tambah untuk kamu; dan jika kamu ingkar [nikmat], sesungguhnya azab-Ku amatlah pedih.'' (Ibrahim: 7). Janji Allah ini berlaku untuk semua zaman, di semua tempat, termasuk di Indonesia. Detik kemerdekaan adalah momen turunnya nikmat yang luar biasa artinya bagi sebuah bangsa terjajah yang penuh kehinaan. Dalam perspektif ini, jasa para pejuang yang telah mengantarkan bangsa ke gerbang kemerdekaan tidak terhingga, saking besarnya.

Sekalipun masih kecewa terhadap capaian janji-janji kemerdekaan, saya berupaya untuk berpikir positif dalam arti plusnya lebih banyak dibandingkan minusnya. Adalah karena kemerdekaan, sebagian anak-anak pintar dari berbagai pelosok tersuruk telah mengenyam hasil pendidikan, bahkan ada yang sampai ke puncak. Berasal dari orang tua yang boleh jadi buta huruf, tidak mustahil anaknya telah melanglang buana ke berbagai penjuru bumi untuk mencerahkan dan mencerdaskan diri. Jumlah mereka dari hari ke hari semakin bertambah, bergantung pada kesungguhan anak udik itu mengejar cita-cita pendidikan.

Yang sedikit mencengangkan adalah kenyataan bahwa sebagian otak desa yang kurang gizi itu tidak kalah bersaing dengan mereka yang kelebihan gizi di kota plus fasilitas yang lebih dari cukup. Karena kemerdekaan bangsalah, anak-anak yang kurang gizi itu berhasil melibatkan diri dalam gerak mobilitas sosial yang kencang, sekalipun kadang-kadang terasa amatlah keras. Tanpa kemerdekaan, kita tidak dapat membayangkan berlakunya mobilitas sosial itu. Pendidikanlah yang paling bertanggung jawab untuk proses pencerdasan ini, sekalipun pada masa lampau yang belum lama, posisi guru sungguh menyedihkan. Sekarang sudah semakin meningkat seiring dengan meningkatnya harga keperluan hidup sehari-hari.

Itu sebuah plus dari sisi pendidikan tanpa membandingkannya dengan negara lain yang jauh lebih maju. Plus yang lain terlihat dalam sarana dan prasarana transportasi: jalan-jalan dan kendaraan. Saya tidak punya data tentang pertambahan ruas jalan sejak kemerdekaan, tetapi jelas panjangnya sudah berlipat-lipat. Jumlah kendaraan jangan ditanya lagi. Daerah pedesaan yang di zaman penjajahan tidak pernah disentuh kendaraan bermesin, kondisinya sudah berubah total secara dahsyat. Saya masih ingat di tahun 1960-an di daerah Surakarta, misalnya, pemilik sepeda motor amatlah terbatas. Sekarang jangankan di daerah perkotaan, di pelosok-pelosok yang dulunya terpencil, sekarang sepeda motor berkeliaran tak terhitung dengan segala polusi suara dan asap yang dapat mengganggu kesehatan.

Plus berikutnya tampak pada dunia kesehatan. Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) lengkap dengan dokternya telah lama memasuki kawasan yang dulunya tak terjangkau. Banyak di antara puskesmas itu yang mentereng, dibangun di tempat-tempat strategis, demi pelayanan negara terhadap rakyat banyak. Terakhir, diluncurkan pula program untuk menyantuni keluarga miskin (gakin) dengan pengobatan cuma-cuma. Bukankah ini sebuah kemajuan yang patut disyukuri? Plus yang lain masih banyak.

Sekarang di mana minusnya? Minus pertama terletak pada kenyataan jumlah rakyat miskin masih sangat tinggi, hampir separuh penduduk Indonesia yang sekarang sudah mencapai sekitar 240 juta, dibandingkan dengan hanya 70 juta saat lonceng kemerdekaan dipukul nyaring, 63 tahun silam. Masalah kemiskinan ini jelas terkait secara organik dengan ketidakmampuan negara melaksanakan UUD yang proorang miskin. Dalam pelaksanaannya, yang terjadi adalah UUD disulap menjadi proorang kaya. Maka, akibatnya berdirilah dengan amat nyata bangunan piramida kaya-miskin dengan perbedaan yang tajam sekali. Di pucuk piramida, bertahtalah segelintir manusia kaya dengan penghasilan 1-3 miliar per bulan, sementara di posisi terbawah terbentanglah lautan kemiskinan yang luas, tanpa penghasilan.

Minus berikutnya adalah semakin mengguritanya laku korupsi di kalangan elite birokrasi dan perusahaan dari tingkat atas sampai tingkat bawah, plus kerusakan lingkungan yang parah. Kondisinya sudah sangat berbahaya, tetapi negara masih gagal menanggulanginya.Minus ketiga terlihat di kancah politik yang sekarang sedang dijadikan mata pencarian, karena lapangan kerja masih sangat sempit. Anda bisa memperkirakan dampak buruknya yang nyata saat politik telah menjadi ajang rebutan mengais rezeki, persis seperti makhluk lain berebut tulang. Minus yang lain, bisa Anda jejerkan sendiri. Semua minus ini berhulu pada rapuhnya bangunan kultur kita. Tetapi, Indonesia adalah negeri dan bangsa yang wajib kita bela.

(-)