Selasa, 05 Agustus 2008

63 tahun RI

Plus-Minus 63 Tahun Kemerdekaan Bangsa Oleh Ahmad Syafii Maarif

Syafii Maarif

Tanggal 17 Agustus 2008, genaplah 63 tahun usia kemerdekaan bangsa, sesuatu yang sangat wajib kita syukuri. Bersyukur bermakna menggunakan seluruh pemberian Allah kepada kita untuk tujuan apa saja yang diridhai-Nya, di samping membaca alhamdulillah. Janji Alquran: ''Sungguh jika kamu bersyukur, pasti [nikmat itu] akan Aku tambah untuk kamu; dan jika kamu ingkar [nikmat], sesungguhnya azab-Ku amatlah pedih.'' (Ibrahim: 7). Janji Allah ini berlaku untuk semua zaman, di semua tempat, termasuk di Indonesia. Detik kemerdekaan adalah momen turunnya nikmat yang luar biasa artinya bagi sebuah bangsa terjajah yang penuh kehinaan. Dalam perspektif ini, jasa para pejuang yang telah mengantarkan bangsa ke gerbang kemerdekaan tidak terhingga, saking besarnya.

Sekalipun masih kecewa terhadap capaian janji-janji kemerdekaan, saya berupaya untuk berpikir positif dalam arti plusnya lebih banyak dibandingkan minusnya. Adalah karena kemerdekaan, sebagian anak-anak pintar dari berbagai pelosok tersuruk telah mengenyam hasil pendidikan, bahkan ada yang sampai ke puncak. Berasal dari orang tua yang boleh jadi buta huruf, tidak mustahil anaknya telah melanglang buana ke berbagai penjuru bumi untuk mencerahkan dan mencerdaskan diri. Jumlah mereka dari hari ke hari semakin bertambah, bergantung pada kesungguhan anak udik itu mengejar cita-cita pendidikan.

Yang sedikit mencengangkan adalah kenyataan bahwa sebagian otak desa yang kurang gizi itu tidak kalah bersaing dengan mereka yang kelebihan gizi di kota plus fasilitas yang lebih dari cukup. Karena kemerdekaan bangsalah, anak-anak yang kurang gizi itu berhasil melibatkan diri dalam gerak mobilitas sosial yang kencang, sekalipun kadang-kadang terasa amatlah keras. Tanpa kemerdekaan, kita tidak dapat membayangkan berlakunya mobilitas sosial itu. Pendidikanlah yang paling bertanggung jawab untuk proses pencerdasan ini, sekalipun pada masa lampau yang belum lama, posisi guru sungguh menyedihkan. Sekarang sudah semakin meningkat seiring dengan meningkatnya harga keperluan hidup sehari-hari.

Itu sebuah plus dari sisi pendidikan tanpa membandingkannya dengan negara lain yang jauh lebih maju. Plus yang lain terlihat dalam sarana dan prasarana transportasi: jalan-jalan dan kendaraan. Saya tidak punya data tentang pertambahan ruas jalan sejak kemerdekaan, tetapi jelas panjangnya sudah berlipat-lipat. Jumlah kendaraan jangan ditanya lagi. Daerah pedesaan yang di zaman penjajahan tidak pernah disentuh kendaraan bermesin, kondisinya sudah berubah total secara dahsyat. Saya masih ingat di tahun 1960-an di daerah Surakarta, misalnya, pemilik sepeda motor amatlah terbatas. Sekarang jangankan di daerah perkotaan, di pelosok-pelosok yang dulunya terpencil, sekarang sepeda motor berkeliaran tak terhitung dengan segala polusi suara dan asap yang dapat mengganggu kesehatan.

Plus berikutnya tampak pada dunia kesehatan. Pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) lengkap dengan dokternya telah lama memasuki kawasan yang dulunya tak terjangkau. Banyak di antara puskesmas itu yang mentereng, dibangun di tempat-tempat strategis, demi pelayanan negara terhadap rakyat banyak. Terakhir, diluncurkan pula program untuk menyantuni keluarga miskin (gakin) dengan pengobatan cuma-cuma. Bukankah ini sebuah kemajuan yang patut disyukuri? Plus yang lain masih banyak.

Sekarang di mana minusnya? Minus pertama terletak pada kenyataan jumlah rakyat miskin masih sangat tinggi, hampir separuh penduduk Indonesia yang sekarang sudah mencapai sekitar 240 juta, dibandingkan dengan hanya 70 juta saat lonceng kemerdekaan dipukul nyaring, 63 tahun silam. Masalah kemiskinan ini jelas terkait secara organik dengan ketidakmampuan negara melaksanakan UUD yang proorang miskin. Dalam pelaksanaannya, yang terjadi adalah UUD disulap menjadi proorang kaya. Maka, akibatnya berdirilah dengan amat nyata bangunan piramida kaya-miskin dengan perbedaan yang tajam sekali. Di pucuk piramida, bertahtalah segelintir manusia kaya dengan penghasilan 1-3 miliar per bulan, sementara di posisi terbawah terbentanglah lautan kemiskinan yang luas, tanpa penghasilan.

Minus berikutnya adalah semakin mengguritanya laku korupsi di kalangan elite birokrasi dan perusahaan dari tingkat atas sampai tingkat bawah, plus kerusakan lingkungan yang parah. Kondisinya sudah sangat berbahaya, tetapi negara masih gagal menanggulanginya.Minus ketiga terlihat di kancah politik yang sekarang sedang dijadikan mata pencarian, karena lapangan kerja masih sangat sempit. Anda bisa memperkirakan dampak buruknya yang nyata saat politik telah menjadi ajang rebutan mengais rezeki, persis seperti makhluk lain berebut tulang. Minus yang lain, bisa Anda jejerkan sendiri. Semua minus ini berhulu pada rapuhnya bangunan kultur kita. Tetapi, Indonesia adalah negeri dan bangsa yang wajib kita bela.

(-)

Tidak ada komentar: