Senin, 01 Desember 2008

Nasihat untuk Pekerja Otak; Jangan 'Bakiah'


Oleh Ahmad Syafii Maarif

Saya tulis Resonansi ini sambil berbaring di Jogja International Hospital, setelah dapat izin dari dokter ahli THT yang sangat ramah. Tetapi tulislah, katanya, yang tidak melibatkan emosi, sebab jika otak biasa bekerja, dibiarkan nganggur, malah stres. Dengan izin dokter ini, sedikit kesulitan teknis dapat saya atasi. Fasilitas yang saya pakai adalah sarana e-mail Blackberry di ponsel.

Bulan November ini saya dua kali ambruk, pertama tidak dibawa ke rumah sakit, bisa pulih sendiri dengan istirahat total di rumah; kedua lebih berat, terpaksa diadukan kepada dokter ahli penyakit dalam THT. Tidak tahu saya harus berapa lama dirawat, akan saya terima dengan sabar dan tenang. Penyebab utama sakit ini sesungguhnya tidak perlu tanya dokter, istri saya pasti akan menjawab karena 'bakiah'. Saya dikatakan 'bakiah' (bahasa Minang: keras kepala) atau mungkin lebih dari itu.

Apa buktinya saya 'bakiah'? Bila lagi menulis sedang didesak deadline, sering tidak kenal waktu, siang malam. Tidak jarang melampaui tengah malam. Akibatnya, ternyata bisa fatal, apalagi dalam usia senja seperti saya. Jika kehendak pikiran diperturutkan, rasanya sehari semalam terlalu pendek. Maunya bergelut terus dengan komputer untuk mendapatkan informasi terakhir tentang berbagai masalah global dan nasional, tidak habis-habisnya.

Demikianlah bulan November ini, di samping untuk Resonansi, Perspektif, juga harus menulis makalah untuk Ikatan Sarjana Katolik Indonesia, Kementerian Polhukam, dan Habibie Center. Selain itu, ada pula dialog dengan forum studi kemasyarakatan di Jakarta. Sekalipun tanpa makalah, energi terkuras juga di forum ini. Forum ini ternyata anti-Obama, dengan menghadirkan seorang Amerika sebagai salah seorang narasumber. Tidak tanggung-tanggung, menurut si bule ini, bagi dunia Islam, Obama lebih berbahaya dari Bush. Padahal, belum dilantik, bukan?

Bukan saja sampai batas itu. Umat Islam jangan lagi belajar ke Amerika, pergilah ke negara-negara lain agar otak tidak tercuci oleh virus kapitalisme. Anda bisa bayangkan suasana dalam forum itu. Ini semua sedikit banyak telah menguras energi, sekalipun di ujung pertemuan pekik Allahu Akbar sudah tidak terdengar lagi, iklim anti-Obama mulai melemah. Tetapi, akumulasi beban otak saya selama beberapa hari ini telah memaksa saya harus masuk rumah sakit. Teman-teman dari Maarif Institute telah cukup berperan untuk membuat forum itu lebih dewasa dalam bersikap.

Akhirnya, nasihat saya kepada para pekerja otak, khususnya yang sudah lanjut usia, hanya satu: jangan 'bakiah'! Hargai saran istri, anak, dan teman. Manusia terbatas, sementara jelajah otak tanpa batas. Perlu dicari keseimbangan antara keterbatasan dan yang takterbatas, tetapi saya tidak selalu berhasil. Semoga yang lain lebih berhasil. Kerja otak sangat penting untuk mencegah kepikunan. Seorang Rosihan Anwar dalam usia 86 tahun, otaknya masih encer dan tulisannya terus mengalir, seperti tak terbendung dan memang jangan dibendung. Dunianya memang berada di sana, sebuah dunia yang teramat luas, luas sekali.

Dalam keadaan sakit, sulit juga menghentikan kerja otak, sekalipun harus dibatasi.

(-)

Benarkah NU dan Muhammadiyah Gagal?


Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng


The Jakarta Post edisi 26 November 2008 memberitakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Ciputat mengadakan survei pada Oktober 2008. Respondennya ustadz, termasuk dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar di Indonesia yang dikenal moderat.

Survei mengungkap 62,4 persen responden menolak dipimpin oleh seorang non-Muslim, 68,6 persen responden menolak non-Muslim menjadi kepala sekolah dan 33,8 persen menolak guru non-Muslim mengajar di sekolah. Lalu, 73,1 persen menolak pemeluk agama lain membangun rumah ibadah di dalam lingkungan rumah mereka.

Tercatat 85,6 persen dari guru melarang siswa mereka merayakan peristiwa besar yang dipersepsikan sebagai tradisi Barat, 87 persen responden melarang siswa mempelajari agama lain, dan 48 persen responden menyukai siswa dan siswi dipisah ruang kelasnya.

Direktur PPIM Jajat Burhanuddin mengatakan pandangan antipluralis akan tercermin dalam pendidikan yang mereka berikan. Katanya, ustadz itu akan memainkan peran penting dalam memajukan konservatisme dan radikalisme di kalangan Muslim pada saat ini.

Terdata 75,4 persen dari responden meminta siswa mengajak guru non-Muslim pindah ke agama Islam, 61,1 persen menolak sekte baru Islam, 67,4 persen merasa menjadi Muslim terlebih dulu baru menjadi orang Indonesia. Mayoritas mendukung penerapan hukum Islam di Indonesia untuk memerangi kriminalitas.

Menurut survei, 58,9 persen responden mendukung rajam (dilempari batu) sebagai hukuman terhadap semua tindak pidana, 47,5 persen mengatakan pencuri harus dipotong sebelah tangan dan 21,3 persen menghendaki hukuman mati bagi yang murtad dari Islam. Hanya tiga persen yang mengatakan mereka punya tugas menghasilkan siswa yang toleran.

Lalu, 44,9 persen dari ustadz mengaku anggota NU dan 23,8 persen mengaku pendukung Muhammadiyah. PPIM berkesimpulan kedua ormas Islam yang dikenal moderat itu gagal menanam nilai moderat kepada pengikutnya di tingkat akar rumput.

Ternyata moderasi dan pluralisme hanya dimiliki oleh para elite. Jajat khawatir fenomena semacam ini akan menyumbang pada meningkatnya radikalisme dan terorisme. Benarkah kesimpulan tersebut?

Hukum agama vs hukum negara
Tidak dijelaskan berapa banyak sekolah di mana para ustadz itu mengajar adalah sekolah negeri (MIN, MTsN, dan MAN). Kalau sekolah itu milik swasta (yayasan, ormas atau pesantren), rasanya tidak aneh mereka menolak kepala sekolah non-Islam. Sekolah NU dipimpin oleh kepala sekolah dari Muhammadiyah atau Persis dan sebaliknya, tampaknya juga ditolak. Untuk sekolah swasta, angka 68,6 persen menurut saya terlalu rendah. Kondisi ini bukanlah pembangkit radikalisme, apalagi terorisme.

Yang menolak presiden non-Islam bukan hanya ustadz di tingkat akar rumput. Ulama terkenal tingkat nasional, seperti Kiai Ali Yafie juga menolak. Penolakan itu didasari dalil kuat dari Alquran dan Hadis. Yang perlu kita permasalahkan ialah apakah dalam penyusunan UU para tokoh Islam memperjuangkan penolakan itu atau tidak? Apakah karena itu Kiai Ali Yafie dapat disebut meningkatkan radikalisme?

Kalau 58,9 persen menghendaki rajam untuk pelaku zina, tampaknya juga bisa dipahami karena itu diajarkan dalam fikih di pesantren dan madrasah. Yang cukup mengejutkan, 21,3 persen menghendaki hukuman mati bagi yang murtad. Yang penting mereka paham UU kita tidak menentukan hukuman itu untuk kedua masalah di atas dan tidak melakukannya dalam praktik sehari-hari.

Tampaknya cukup banyak yang tidak bisa (atau tidak mau?) membedakan antara hukum Islam dan hukum negara. Contohnya ialah Puji yang menikahi Ulfah (12 tahun) berdasar pemahaman Islam yang kurang matang dan tidak mengetahu itu dilarang oleh UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak. Juga mereka yang menikah kedua kali atau lebih tanpa alasan yang sesuai UU. Pernikahan itu melanggar UU Perkawinan, tetapi tidak ada sanksinya.

Menurut survei, hanya tiga persen responden yang merasa punya tugas menghasilkan siswa toleran. Tidak dijelaskan apakah toleran itu dalam masalah sosial atau masalah akidah. Kalau toleransi masalah akidah, tampaknya ditolak oleh hampir semua ustadz dan kiai. Tetapi, toleransi sosial tidak ada masalah, sudah banyak diterapkan.

Indonesia vs Islam
Menurut survei, 67,4 persen merasa sebagai Muslim dahulu baru sebagai warga negara. Dalam tulisan di Republika berjudul ”Keindonesiaan dan Keislaman” saya katakan sepanjang hidup saya tidak pernah dihadapkan pada tuntutan apakah memilih Islam atau Indonesia. Menanggapi tulisan itu, seorang kawan dosen UI yang sedang mengambil S3 mengatakan baginya Muslim dahulu baru warga negara Indonesia karena Muslim mencakup kehidupan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, banyak kalangan terdidik Islam yang berpikir mereka adalah orang Indonesia yang beragama Islam.

Bagi NU, Deklarasi Hubungan Islam dengan Pancasila (1983) telah mengakhiri pertentangan antara Islam dan Indonesia. Prinsip itu telah diikuti oleh banyak ormas Islam.

Berdirinya partai berasas Pancasila dengan basis massa Islam, seperti PKB dan PAN, adalah buah dari deklarasi itu. Tetapi, kita juga melihat adanya PPP dan PMB yang tetap berasas Islam.

Perlu diperhatikan, masih terdapat pertentangan pendapat yang amat tajam kalau kita menghadapi problem seperti RUU Pornografi, Ahmadiyah, yang biasa diselesaikan dengan demo oleh kedua kelompok. Demo itu biasanya akan diikuti dengan konflik fisik. Masih akan ada pertentangan yang lebih hebat kalau kita membahas RUU yang menyangkut perkawinan lintas agama.

Suka atau tidak, mayoritas umat Islam tidak setuju apabila ada gereja dibangun di lingkungan tempat mereka. Yang menjadi masalah, apakah kalau ada gereja yang dibangun dengan memenuhi seluruh ketentuan dalam Perber Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri 2005 tentang Pendirian Rumah Ibadah, bagaimana sikap mereka? Jangan sampai mereka menggunakan kekerasan.

Gagal memerangi korupsi
Menurut Direktur PPIM, hanya elite Muhammadiyah dan NU yang meyakini moderasi dan pluralisme. Menurutnya, NU dan Muhammadiyah telah gagal menanamkan nilai-nilai tersebut kepada pengikut di tingkat akar rumput. Apakah kesimpulan itu benar?

Pluralisme dalam pengertian semua agama sama jelas ditolak oleh mayoritas tokoh NU dan Muhammadiyah termasuk Rais Aam PBNU, Ketua Umum PBNU, dan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Memang ada sejumlah kecil tokoh Muhammadiyah dan NU yang menerima pendapat semua agama sama.

Menurut saya, moderasi ialah sikap tidak berlebih-lebihan, tidak ekstrem, sikap lunak. Kalau suatu kelompok menolak ajaran sekte Islam lain, menurut saya tidak apa-apa. Masalah timbul apabila sekte tersebut mengatakan secara terbuka mayoritas Islam di suatu tempat adalah musyrik. Harus dihindari tuduhan musyrik itu secara terbuka. Yang harus dicegah ialah tindakan kekerasan antara sesama Islam dan antaragama.

Menurut saya terlalu jauh kalau hasil survei itu dikhawatirkan akan meningkatkan terorisme. Radikalisme harus dibedakan antara radikalisme dalam pemikiran dan radikalisme dalam bentuk tindakan fisik. Saya tidak membaca hasil lengkap survei itu, hanya membaca melalui koran. Walaupun kecil, tetap ada kemungkinan komentar saya salah.

Ikhtisar:
- NU dan Muhammadiyah gagal membantu pemerintah memerangi korupsi.
- Perlu menggalakkan dakwah yang menjelaskan Islam menentang terorisme dan tindak kekerasan.
- Jihad utama umat Islam memerangi korupsi dan ketidakadilan, melawan kebodohan dan membasmi kemiskinan.

Mualaf


Oleh Ali Farkhan Tsani

Dalam salah satu riwayat, dikisahkan bahwa pada awal masa keislamannya, Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Rasulullah, ''Wahai Rasulullah, bukankah hidup dan mati kita dalam kebenaran?'' Rasulullah pun menjawab, ''Memang benar! Demi Allah, hidup dan mati kita dalam kebenaran.'' Umar berkata kembali, ''Kalau begitu, mengapa kita berdakwah secara sembunyi-sembunyi? Demi Yang Mengutus Anda, demi kebenaran, kita harus keluar!''

Benar saja, Umar pun langsung menyampaikan dakwah Islam kepada keluarganya. Putranya, Abdullah bin Umar menjawab bahwa dirinya telah memeluk Islam sejak satu tahun sebelumnya. Maka, Umar bin Khattab pun menjadi marah dan berkata kepada putranya, ''Mengapa engkau menyembunyikan keislamanmu dan membiarkan ayahmu? Apakah engkau tega sekiranya aku mati dalam kekafiran? Apakah engkau meninggalkan ayahmu, wahai Ibnu Umar?''

Kemarahan Umar sebagai orang yang baru memeluk agama Islam (mualaf) berangkat dari rasa syukurnya atas nikmat dan hidayah yang Allah berikan kepadanya berupa Islam sebagai agamanya. Wujud syukurnya sebagai mualaf adalah dengan menyampaikan dakwah Islam secara terbuka kepada kaum kerabatnya dan kepada manusia lainnya.

Hingga kemudian, turunlah firman Allah, ''Maka, sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.'' (QS Alhijr [15]: 94).
Sang mualaf, Umar bin Khattab, sebelumnya dikenal sebagai sosok terdepan dalam memusuhi dan memerangi Islam. Tetapi, setelah hatinya mendapat hidayah Allah, dengan nikmat keislamannya itu, ia pun menjadi orang terdepan dalam membela dan memperjuangkan Islam.

Abdullah bin Mas'ud berkata, ''Islamnya Umar adalah suatu pembebasan, hijrahnya adalah suatu kemenangan, dan kepemimpinannya adalah suatu rahmat. Sebelum Umar masuk Islam, kami tidak bisa shalat di Ka'bah. Sejak Umar masuk Islam, kami mempunyai harga diri, berdakwah dengan terang-terangan, bisa duduk di sekitar Ka'bah dalam lingkaran-lingkaran, dan kami pun bisa melakukan tawaf. Kami berlaku adil terhadap orang yang dulu memperlakukan kami dengan kasar.''

Begitulah mualaf. Mereka bukanlah sekadar berganti agama (convertion, tetapi lebih pada arti kembali kepada fitrah (reversion). Sebab, seorang mualaf pada dasarnya ia tidak berganti agama. Justru, ia kembali kepada hakikat fitrahnya, agama asalnya, yakni Islam.

Sesuai firman Allah, ''Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus. Tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui.'' (QS Arruum [30]: 30).

(-)

Meraih Spirit Dzulhijjah


Oleh Ahmad Rifa'i

''Tiada hari yang paling agung di sisi Allah dan dicintai-Nya untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka, perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid.'' (HR Bukhari).

Dzulhijjah termasuk bulan yang diperlakukan secara khusus oleh Allah. Dia menjadikannya sebagai bulan haram. Bulan yang di dalamnya umat Islam diharamkan melakukan perang dan pertumpahan darah.

Sepuluh hari pertama Dzulhijjah merupakan waktu yang paling utama pada bulan ini. Dalam Alquran, Allah berfirman, ''Demi fajar dan malam yang sepuluh.'' (QS Alfajar 89 ayat 1-2). Ibnu Katsir menerangkan bahwa yang dimaksud malam sepuluh adalah sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah. Sumpah Allah atas sepuluh hari pertama bulan ini menunjukkan kemuliaan hari-hari tersebut.

Kemuliaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah diperkuat pula oleh perkataan Rasulullah. Rasulullah bersabda, ''Tiada hari-hari yang paling agung di sisi Allah dan dicintai-Nya untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini.'' (HR Bukhari). Sebagian ulama bahkan menyejajarkannya dengan sepuluh terakhir bulan Ramadhan.

Secara umum, di hari-hari awal bulan Dzulhijjah, kita diperintahkan untuk lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah kita. Sebab, ketaatan dan ibadah yang dilakukan pada waktu yang agung akan memiliki nilai lebih di sisi-Nya.

Setiap Muslim dianjurkan agar berangkat lebih awal menuju shalat jamaah dan memperbanyak melaksanakan shalat sunah. Di samping itu, pada sepuluh hari pertama bulan ini, kita juga sangat dianjurkan memperbanyak mengucapkan tahlil, takbir, dan tahmid dengan khusuk.

Ibadah lain yang juga sangat dianjurkan pada sepuluh hari pertama bulan ini adalah melaksanakan puasa. Imam Nawawi berkata tentang puasa sepuluh hari pertama pada bulan ini, ''Sesungguhnya, ia (puasa) sangat dianjurkan.''

Yang lebih hebat lagi dan patut menjadi motivasi bagi kita semua adalah puasa Arafah. Pada saat jamaah haji sedang melaksanakan wukuf, kita (yang tidak sedang melaksanakan haji) diperintahkan berpuasa. Rasulullah SAW bersabda, ''Puasa Arafah menjadi jaminan Allah untuk menghapus (dosa-dosa hamba) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya.'' (HR Muslim).

Ketika semangat beribadah yang kita himpun pada bulan Ramadhan lalu sudah mulai menipis, Allah menyajikan bulan Dzulhijjah sebagai momen untuk menyegarkan semangat kita kembali. Semoga kita termasuk orang yang berhasil meraih spirit Dzulhijjah. Amin.

(-)

Kurban


Oleh Oma Rahmad Rasyid

''Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.'' (QS Alhajj [22]: 37)

Nabi Ibrahim AS dan putranya Ismail AS adalah dua sosok pilihan yang patut diteladani bagi manusia yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Keduanya berhasil lolos dan lulus dari proses penyeleksian yang begitu panjang dan berat dengan mengorbankan sesuatu yang sangat berharga, yang tidak lain adalah nyawa.

Dari keduanya, kemudian kita mengenal peristiwa kurban. Peristiwa bersejarah yang sangat fenomenal yang memiliki nilai spiritual tinggi, yang rasanya tidak akan mampu dilakukan oleh manusia manapun di abad ini.

Begitu dahsyatnya peristiwa itu, beberapa sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, ''Ya Rasulullah, apa itu kurban?'' Rasulullah menjawab, ''Itu sunah bapakmu Ibrahim.''

Lalu sahabat bertanya lagi, ''Apa manfaat dari kurban ini?'' Rasulullah menjawab, ''Setiap dari bulu-bulu hewan yang dikurban dihitung menjadi nilai kebaikan.'' (HR Iman Ahmad dan Ibnu Majah dari Zaid bin Arqom).

Sungguh tinggi pahala yang akan Allah SWT berikan kepada mereka yang berkurban. Rasulullah SAW selalu berkurban, bahkan acap kali berkurban dengan dua kambing. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk kaum Muslimin.

Dari apa yang selalu dilakukan oleh Rasulullah SAW ini, ada ulama yang mewajibkan melaksanakan kurban bagi mereka yang mampu. Adapun dalil yang diambil adalah Surat Alkautsar [108] ayat 2, ''Maka, dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.''

Namun demikian, jumhur ulama berpendapat, melaksanakan kurban adalah sunah muaqqadah, sunah yang mendekati wajib. Momentum Idul Adha ini dapat dijadikan ajang untuk membuktikan rasa cinta dan kasih sayang kepada sesama, terutama kepada para fakir miskin yang memang mengharapkan uluran tangan kita.

Selain itu, momentum ini menjadi sarana berlatih bagi kita semua untuk terbiasa berkurban bagi orang lain, termasuk di dalamnya berkurban demi kepentingan bangsa dan Tanah Air di tengah krisis.

Dan, yang terpenting, sebagai rasa syukur kepada Allah SWT, momentum ini juga merupakan kesempatan yang tepat untuk menunjukkan jati dirinya sebagai orang beriman yang ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kapan lagi kalau tidak sekarang.

Minggu, 30 November 2008

Kekayaan Ilmu


Oleh Desy Arisandy

Saat mendengar kosakata 'kekayaan', yang hadir dalam benak kita adalah harta yang melimpah, rumah yang megah, mobil yang mewah, atau tabungan yang menggunung. Namun, apakah kita mengetahui dan menyadari bahwa sesungguhnya Allah SWT telah melimpahkan kekayaan yang nilainya jauh lebih tinggi dan dahsyat yang bersemayam dalam diri setiap anak manusia?

Dialah Sang Maha Pencipta yang telah menghadirkan sebuah organ penting dalam diri manusia, yang membuat kita berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain. Dengan organ itulah, manusia dapat membedakan mana yang baik dan yang kurang baik, dapat berpikir, bertindak, dan merasa. Ciptaan dahsyat itulah yang kerap disebut dengan akal. Ketahuilah bahwa sesungguhnya akal merupakan kekayaan yang tiada banding.

Ali bin Abi Thalib RA berkata, ''Sesungguhnya, kekayaan yang paling tinggi nilainya adalah akal dan kemelaratan yang paling parah adalah kebodohan.'' Seseorang yang mampu mengoptimalkan seluruh kemampuan akalnya dengan baik, ia pun dapat mengubah kemiskinan menjadi kekayaan yang tiada tara. Namun, berbanding terbalik dengan seseorang yang tiada memiliki akal. Ia dapat mengubah kekayaan menjadi kemiskinan karena ketidakmampuan dalam menggunakan anugerah terindah tersebut.

Melalui akal normal, kita membangun mental intelektual dengan berpikir maksimal dan aktual. Allah SWT telah menjelaskan keutamaan orang-orang berilmu, ''... Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat ....'' (QS Almujadilah [58]: 11).

Nabi Muhammad SAW pun bersabda, ''Ilmu merupakan pendamping di saat takut, teman saat terasing, teman bicara di kala sendiri, dalil atas kesenangan dan kesusahan, senjata dalam menghadapi musuh, dan hiasan di hadapan teman. Allah SWT meninggikan banyak kaum dengannya, lalu menjadikan mereka sebagai pionir di dalam kebajikan. Jejak mereka pun diikuti, perbuatan mereka ditiru, dan pendapat mereka dijadikan rujukan.'' (HR Ibnu Adil Barr dari Mu'adz bin Jabal).

Tentu, semua itu bermuara pada setiap helai pemikiran akal. Oleh sebab itu, senantiasa kita jaga kesucian dan kebeningannya sebab di sanalah terdapat pikiran. Pikiran itu merupakan cahaya dari kesempurnaan akal.

(-)

Tradisi Ilmu


Oleh Akmal Syafril

Rasulullah SAW adalah seorang nabi yang ummiy; semua juga tahu. Beliau memang tidak bisa membaca dan menulis sepanjang hidupnya. Ke-ummiy-an beliau ini bukannya tanpa hikmah, karena hingga kini tak ada yang bisa menuduh Rasulullah SAW telah mempelajari kitab suci agama lain untuk menyusun Alquran. Namun, jelas beliau tidak menghendaki umatnya ikut-ikutan buta baca dan tulis.

Perhatian Islam terhadap kemampuan baca-tulis sangatlah besar. Sebelum hijrah, Rasulullah SAW pernah mengirim Abdullah ibn Sa'id al-Ash RA untuk mengajar tulis-menulis di Madinah. Ikrimah RA juga meriwayatkan bahwa salah satu tebusan untuk tawanan Perang Badar adalah mengajarkan tulis-menulis kepada anak-anak Muslim.

Masjid-masjid pada masa itu dilengkapi dengan ruangan khusus yang disebut shuffah. Di sana para pencari ilmu belajar dan boleh juga menginap. Kehidupan mereka ditanggung bersama oleh umat Muslim, dan Rasulullah SAW memilih para sahabat yang cocok untuk mengajar di sana. Selain ilmu-ilmu agama, di sana juga secara intensif diajarkan tulis-menulis.

Meski tak bisa membaca dan menulis, Rasulullah SAW memiliki lebih dari lima puluh orang sekretaris dengan tugasnya masing-masing. Dokumentasi dan administrasi telah mendapat perhatian khusus pada masa itu. Bahkan, ada juga yang diperintah untuk belajar bahasa asing, misalnya, Zaid ibn Tsabit RA.Seperempat abad sesudah Nabi SAW wafat, di Madinah sudah terdapat gudang kertas yang berhimpitan dengan rumah Utsman ibn Affan RA. Pada akhir abad pertama Hijriyah, pemerintah pusat telah membagi-bagikan kertas kepada para gubernur.

Perpustakaan-perpustakaan sudah menjamur sejak dekade keenam dalam abad pertama Hijriyah. Di sana, orang-orang berkumpul untuk membaca dan berdiskusi, dikelilingi oleh berbagai buku. Di mana-mana ada orang yang haus akan ilmu, dan sejarah dunia penuh dengan para ilmuwan Muslim yang di kemudian hari membawa pencerahan ke Benua Eropa.

Bagi seorang Muslim, mencari ilmu bukan sekadar aktualisasi diri dalam hidup, melainkan perintah langsung dari Allah dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya Imam Bukhari rela pergi ke pelosok-pelosok demi mempelajari hadis Nabi SAW. Demikian pula Al-Biruni yang meneliti segala hal, mulai dari ilmu pertambangan, trigonometri, astronomi, sosiologi, hingga mendalami peradaban bangsa India.Amat disayangkan jika umat Islam generasi sekarang tidak memiliki gairah yang sama dalam menuntut ilmu. Padahal, agamanya paling membenci kejahilan atau dalam bahasa kita, kebodohan.

(-)

Ahlul Haq Versus Ahlul Batil


Fauzi Bahreisy

Pertempuran antara hak dan batil memang tak akan pernah berhenti sepanjang mentari masih menyinari bumi. Kalau kebenaran memiliki pembela dan pendukung, demikian pula kebatilan (QS Annisa [4]: 76). Bahkan, bisa jadi pendukung kebatilan lebih agresif, lebih proaktif dalam menyuarakan dan menampilkan kebatilan. Mereka rela melakukan berbagai manuver dan aksi serta mengeluarkan dana besar untuk menghalangi manusia dari jalan Allah. (QS A-Anfal [8]: 36).

Mereka itulah yang termasuk dalam kategori hizb asy-syaithan, yaitu satu kelompok manusia yang terus menebarkan virus kemaksiatan dan kemungkaran ke tengah-tengah umat dengan berbagai logika indah dan pemutarbalikan fakta. (QS Al-A'raf [7]: 21-21).

Praktik kemaksiatan dan perilaku asusila yang demikian masif oleh para pendukung kebatilan ini, sudah menjalar ke berbagai pelosok dan daerah. Sejumlah pihak berkolaborasi menumbuhsuburkan budaya yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama.Akibatnya, banyak yang menjadi korban, mulai dari anak muda belia hingga tua renta.

Tingginya angka prostitusi, perkosaan, hubungan di luar nikah, dan pelecehan seksual menunjukkan hal itu.Satu ketika Umar ibn al-Khattab menyatakan, ''Satu bangsa nyaris hancur padahal ia kaya (makmur).''''Kapan itu terjadi?'' tanya seorang di antara mereka. ''Ketika perbuatan keji sudah merajalela,'' jawab Umar RA.

Tentu tidak ada yang menginginkan bangsa ini hancur. Lalu, apa yang mesti dilakukan? Seorang mukmin tidak boleh berputus asa dan berpangku tangan menyaksikan kondisi yang ada (QS Yusuf[12]: 87).
Mukmin juga tidak boleh apatis melihat kondisi saudaranya (HR Ath-Thabrani).

Rasul SAW bersabda, ''Siapa yang berjuang dengan tangan (kekuasaan dan kekuatan)-nya, ia adalah mukmin. Siapa yang berjuang dengan lisannya, ia adalah mukmin. Siapa yang berjuang dengan kalbunya, ia adalah mukmin. Tidak ada lagi iman sesudah itu, meski hanya seberat biji atom.'' (HR Ath-Thabrani).

Hanya saja, perjuangan membela kebenaran tersebut tetap harus dilakukan dengan penuh hikmah dan bijaksana sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi SAW.

Meraih Spirit Dzulhijjah


Oleh Ahmad Rifa'i

''Tiada hari yang paling agung di sisi Allah dan dicintai-Nya untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini. Maka, perbanyaklah tahlil, takbir, dan tahmid.'' (HR Bukhari).

Dzulhijjah termasuk bulan yang diperlakukan secara khusus oleh Allah. Dia menjadikannya sebagai bulan haram. Bulan yang di dalamnya umat Islam diharamkan melakukan perang dan pertumpahan darah.

Sepuluh hari pertama Dzulhijjah merupakan waktu yang paling utama pada bulan ini. Dalam Alquran, Allah berfirman, ''Demi fajar dan malam yang sepuluh.'' (QS Alfajar 89 ayat 1-2). Ibnu Katsir menerangkan bahwa yang dimaksud malam sepuluh adalah sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah. Sumpah Allah atas sepuluh hari pertama bulan ini menunjukkan kemuliaan hari-hari tersebut.

Kemuliaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah diperkuat pula oleh perkataan Rasulullah. Rasulullah bersabda, ''Tiada hari-hari yang paling agung di sisi Allah dan dicintai-Nya untuk beramal di dalamnya daripada sepuluh hari (Dzulhijjah) ini.'' (HR Bukhari). Sebagian ulama bahkan menyejajarkannya dengan sepuluh terakhir bulan Ramadhan.

Secara umum, di hari-hari awal bulan Dzulhijjah, kita diperintahkan untuk lebih meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah kita. Sebab, ketaatan dan ibadah yang dilakukan pada waktu yang agung akan memiliki nilai lebih di sisi-Nya.

Setiap Muslim dianjurkan agar berangkat lebih awal menuju shalat jamaah dan memperbanyak melaksanakan shalat sunah. Di samping itu, pada sepuluh hari pertama bulan ini, kita juga sangat dianjurkan memperbanyak mengucapkan tahlil, takbir, dan tahmid dengan khusuk.

Ibadah lain yang juga sangat dianjurkan pada sepuluh hari pertama bulan ini adalah melaksanakan puasa. Imam Nawawi berkata tentang puasa sepuluh hari pertama pada bulan ini, ''Sesungguhnya, ia (puasa) sangat dianjurkan.''

Yang lebih hebat lagi dan patut menjadi motivasi bagi kita semua adalah puasa Arafah. Pada saat jamaah haji sedang melaksanakan wukuf, kita (yang tidak sedang melaksanakan haji) diperintahkan berpuasa. Rasulullah SAW bersabda, ''Puasa Arafah menjadi jaminan Allah untuk menghapus (dosa-dosa hamba) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya.'' (HR Muslim).

Ketika semangat beribadah yang kita himpun pada bulan Ramadhan lalu sudah mulai menipis, Allah menyajikan bulan Dzulhijjah sebagai momen untuk menyegarkan semangat kita kembali. Semoga kita termasuk orang yang berhasil meraih spirit Dzulhijjah. Amin.

Selasa, 25 November 2008

Haji, Ritual Persaudaraan Global

KOMPAS/DUDI SUDIBYO
Jemaah haji bergegas memasuki Masjid Nabawi di Madinah menjelang shalat magrib.


LEBIH dari 3.500 tahun lalu, Nabi Ibrahim berdoa di atas gurun tak berpenghuni agar Allah menggerakkan hati-hati manusia untuk datang mengunjungi Baitullah.

Sekitar 1.500 tahun lalu, Nabi Muhammad, cucu terakhir Nabi Ibrahim dari putranya, Nabi Ismail, menunaikan ibadah haji yang pertama sekaligus yang terakhir, yang dikenal sebagai Haji Terakhir (Hajjatul Wada’), bersama sekitar 100.000 hingga 125.000 kaum Muslimin.

Sekarang, setiap tahun umat Islam yang menunaikan ibadah haji berjumlah 3 juta hingga 5 juta orang, sebuah pencapaian yang luar biasa.

Doa Nabi Ibrahim terkabul tanpa henti. Rumah Allah itu menjadi magnet yang menggerakkan hati umat manusia untuk datang mengunjunginya. Bayangkanlah petani-petani miskin di pelosok pedesaan Indonesia atau pelosok-pelosok miskin di Benua Afrika yang harus menabung selama bertahun-tahun hanya untuk mengakhiri hidup dengan satu mimpi yang tulus: pernah sekali memenuhi panggilan Allah ke rumah-Nya di Mekkah.

Kekuatan apakah yang dapat dengan begitu dahsyat menggerakkan hati manusia untuk memenuhi panggilan itu? Kekuatan apakah yang menjelaskan bahwa secara ajaib populasi mereka yang melakukan ibadah haji terus bertambah? Mereka secara terus-menerus menunaikan ibadah haji, bahkan jauh sebelum negara terlibat mengurus perjalanan mereka yang akan berhaji. Ketika pada akhirnya negara mulai terlibat mengurus perjalanan tamu-tamu Allah, populasi mereka yang ingin berangkat terus bertambah.

Itulah tabiat agama. Itulah sejarah akidah. Imperium, dinasti, kerajaan, pemerintahan, dan rezim semua datang silih berganti, bangkit dan jatuh lalu hilang dari muka bumi karena sejarah mereka dirakit dari tanah dan darah sehingga ia sempit dan terbatas. Untuk bertahan, ia harus bersikap ekstrem dalam ekspansi atau defensi, dan akhirnya harus menjadi narsis dan posesif dalam mencatat sejarahnya sendiri.

Islam datang melampaui era primordialisme itu. Tanah dan darah mungkin menyatukan kita secara romantis, tetapi takkan pernah mampu bertahan lama. Secara mengesankan kita dihadapkan pada fakta sejarah bahwa khilafah-khilafah Islam sepanjang 1.500 tahun bangun dan runtuh silih berganti, dengan konflik internal yang juga berdarah-darah, tetapi populasi pemeluk agama ini terus bertambah.

Rasio umat Islam dengan penduduk bumi pada masa Rasulullah SAW adalah 1 Muslim dari setiap 1.000 penduduk bumi. Kini, rasio itu menjadi satu Muslim dari setiap lima penduduk bumi. Inilah bagian dari janji Allah sendiri bahwa agama Allah akan tetap terjaga.

Haji adalah salah satu penjelasannya. Ini merupakan ritual persaudaraan global yang semua prosesinya menyampaikan pesan kesamaan asal-usul manusia, kesetaraan derajat, peleburan perbedaan etnis dan warna kulit, semangat perdamaian, etika persaudaraan, dan pertukaran manfaat duniawi di tengah aura ibadah.

Sejarah abad ke-20 lalu, misalnya, adalah sejarah perang dengan lebih dari 20 juta jiwa korban di Eropa saja. Dan, itu berakar dari pengembangan ide tentang seleksi alam dan survival competition, keserakahan yang dipicu dari kekhawatiran akan kelangkaan sumber daya, dan seterusnya. Jadi, jika pemeluk agama ini terus bertambah, jawabnya terletak pada kerinduan natural manusia kepada perdamaian yang abadi, kesamaan asal-usul manusia, kesetaraan derajat yang tegas, persaudaraan yang tulus tanpa sekat etnis, dan warna kulit atau kewarganegaraan.

Makna persaudaraan global itulah yang divisualisasikan secara tahunan dalam ritual haji, agar petani kecil Indonesia bisa bertemu dengan saudaranya dari ujung Afrika, atau intelektual dari Eropa dan Amerika, atau seorang ulama dari bangsa Arab, atau seorang pedagang dari bangsa China. Pertemuan itulah yang mereka rindukan, yang mempersaudarakan mereka, dalam naungan ibadah sembari memetik manfaat duniawi seperti perdagangan.

Itulah ritual yang terus memanggil-manggil. Itulah ritual yang tak pernah sepi. Suatu saat ulama terkemuka negeri ini, Buya Hamka, yang telah berhaji selama tiga kali mengatakan, aku selalu rindu untuk kembali ke sana.

M Anis Matta - Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera

Pondokan Haji di Mekkah

BERHAJI merupakan panggilan keagamaan bagi setiap Muslim. Perjalanan menunaikan ibadah haji merupakan perjalanan spiritual yang tidak hanya membutuhkan persiapan fisik dan dana yang mencukupi, tetapi juga mental. Perjalanan ini terkadang membuat sebagian orang khawatir, tetapi sangat melegakan bagi mereka yang bisa menikmati perjalanan yang menjadi impian bagi setiap Muslim.

Ibadah haji merupakan kesempatan bagi tamu Allah untuk merasakan nikmatnya berdoa di tempat-tempat mustajab, seperti di Hijir Ismail, Multazam, Maqam Ibrahim di Masjidil Haram, dan di Raudhah di Masjid Nabawi, serta tempat mustajab lainnya. Ada perasaan kedekatan yang luar biasa sehingga kadang-kadang ketika berdoa tidak terasa meneteskan air mata penuh haru, takjub bisa berada di depan Kabah, dan dalam hati terucap keinginan untuk selalu kembali.

Ya Allah semoga anak cucu kami pun bisa mengalami hal yang sama, bisa memenuhi panggilan-Mu ya Allah.

”Psikis jemaah haji juga harus dipersiapkan dengan baik,” ujar Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh Departemen Agama Slamet Riyanto di Jakarta, Jumat (31/10).

Pemerintah sendiri sudah melakukan persiapan semaksimal mungkin, yang meliputi persiapan di Tanah Air dan di Arab Saudi dengan membentuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji. Pada penyelenggaraan haji tahun 1429 Hijriah/2008 Masehi, kuota bagi Indonesia mencapai 191.000 untuk haji reguler dan 16.000 haji khusus.

Namun, mengingat banyaknya jumlah anggota jemaah haji Indonesia, Departemen Agama telah meminta tambahan 3.000 kuota kepada Pemerintah Arab Saudi. Permintaan tersebut sudah dikabulkan sehingga total anggota jemaah haji Indonesia adalah 210.000 orang. Kuota sebesar ini menempatkan jemaah haji Indonesia sebagai jemaah haji terbesar di dunia. Kuota ini sebetulnya sudah melebihi yang ditetapkan Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1983 dengan 1/1.000 umat Islam di masing-masing negara. Meski kuota haji Indonesia terbesar, masih ada 668.000 calon anggota jemaah haji yang masuk dalam daftar tunggu.

Itu sebabnya, Menteri Agama M Maftuh Basyuni mengimbau kepada umat Islam di Indonesia untuk memberi kesempatan kepada mereka yang belum mendapat kesempatan menunaikan ibadah haji. Selain itu, Menteri Agama juga meminta agar mereka yang berusia di atas 70 tahun mendapat prioritas. Untuk membantu kelancaran jemaah haji, Depag juga menyiapkan 3.811 petugas haji.

Jemaah haji Indonesia akan diberangkatkan dalam 497 kelompok terbang dari sebelas embarkasi. Dijadwalkan, jemaah haji mulai berangkat tanggal 5 November sampai 2 Desember 2008 yang dibagi dalam dua gelombang pemberangkatan. Adapun pemulangan jemaah haji akan berlangsung selama 28 hari, dimulai tanggal 13 Desember 2008 sampai 9 Januari 2009, yang juga dibagi dalam dua gelombang.

Gelombang I selama 13 hari bagi jemaah haji yang akan mendarat di Madinah dan Jeddah, yang akan melakukan ziarah dan arbain di Madinah sebelum pelaksanaan haji. Gelombang II selama 15 bagi jemaah haji yang mendarat di Jeddah dan langsung berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan haji.

Sebelum berangkat, calon jemaah haji diberikan bimbingan agar mampu melaksanakan perjalanan dan manasik haji secara mandiri. Pembinaan ini dilakukan aparatur Kantor Departemen Agama sebanyak empat kali di tingkat kabupaten/kota dan Kantor Urusan Agama sebanyak 10 kali di tingkat kecamatan. Selain itu, pemerintah juga memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan bimbingan ibadah haji.

Pondokan dan transportasi

Di Mekkah ada 19 sektor pondokan yang terdiri atas 17 sektor yang memiliki wilayah dan dua sektor khusus, yakni sektor khusus jemaah yang tersesat dan sektor khusus transportasi.

Tahun ini pemerintah menyewa 565 rumah di Mekkah dengan kapasitas total 196.781 orang. Masing-masing rumah pemondokan yang disewa dari penduduk di Mekkah berkapasitas 200 orang hingga 500 orang. Sebanyak 96 rumah dengan kapasitas 36.131 orang berada di kawasan Ring I yang berjarak hingga 1.400 meter dari Masjidil Haram.

Duta Besar RI untuk Kerajaan Arab Saudi dan Kerajaan Oman Salim Segaf Al Jufri mengungkapkan, kondisi pemondokan bagi jemaah haji Indonesia di Mekkah cukup bagus meski 80 persen di antaranya berjarak antara 1.400 meter dan 10 kilometer dari Masjidil Haram.

Kondisi ini juga berdampak pada kegiatan operasional pelayanan jemaah mengingat petugas pelayanan jemaah, termasuk dokter dan perawat, ditempatkan per kloter. Pos-pos pelayanan bagi jemaah haji juga disediakan di setiap sektor yang membawahi enam hingga tujuh maktab (wilayah) yang masing-masing terdiri atas beberapa rumah. Rumah-rumah itu berada di wilayah Sulaimaniah, Dahnatul Jin, Jumaizah, Ma’abdah, Jabal Kabah, Jarwal, Jarwal Taysir, Jarwal Gaslah, Hafair, Misfalah, dan Jiad Sud.

Adapun 469 rumah dengan kapasitas total 160.620 jemaah berada di kawasan Ring II, jaraknya di atas 1.400 meter sampai 10 kilometer dari Masjidil Haram. Pemondokan jemaah di kawasan Ring II tersebar di wilayah Bakhutmah, Aziziah Syissah, Aziziah Janubiah, Aziziah Syimaliah, Aziziah Mahattah Bank, Awali, Hijrah, Khalidiah, Ka’kiah, Sauqiah, Nuzhah, Zahir, Sy Sitin, dan Rusyaifah.

Jika dibandingkan dengan sebaran pemondokan tahun 2007, tahun ini lebih banyak pemondokan yang berada di Ring II. Tahun 2007, sebanyak 204 pemondokan yang dapat menampung 95.182 orang berada di kawasan Ring I dan hanya 171 pemondokan dengan daya tampung 106.243 orang yang ada di kawasan Ring II.

Untuk pertama kalinya, pada musim haji 1429 Hijriah ini, jemaah haji Indonesia akan menempati lokasi pondokan yang sebagian besar lebih jauh dibandingkan dengan pondokan haji pada musim haji tahun lalu.

Maftuh Basyuni mengatakan, jauhnya lokasi pondokan sebagian besar anggota jemaah haji Indonesia karena adanya perluasan Masjidil Haram. Perluasan ini sesungguhnya direncanakan untuk meningkatkan kenyamanan dan kemudahan jemaah haji. Namun, implikasi ikutan yang sulit dicegah adalah naiknya harga sewa pemondokan. Tidak heran jika jatah sewa pemondokan bagi jemaah haji yang dipatok 2.000 riyal Saudi untuk jarak 1.400 meter keteteran mengejar naiknya harga sewa.

Akibatnya, pemondokan yang biasa disewa bagi jemaah haji Indonesia hanya sebagian kecil yang berada di wilayah terdekat Masjidil Haram. Sisanya akan mengambil tempat pemondokan yang cukup jauh.

Tentang jauhnya tempat pemondokan bagi sebagian besar anggota jemaah haji Indonesia, Maftuh Basyuni mengingatkan kepada semua Kanwil Depag agar tidak berbohong kepada jemaah haji tentang jarak ini. ”Berikanlah informasi yang benar sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya,” ujar Maftuh.

Salim Segaf Al Jufri mengingatkan, karena kondisi pemondokan haji di Mekkah letaknya lebih jauh dibandingkan dengan tahun 2007, diharapkan jemaah haji untuk lebih disiplin dalam menjalankan ibadah. Jemaah haji dianjurkan pergi secara berkelompok.

”Upayakan kalau ke Masjidil Haram itu setelah shalat ashar dan pulang setelah isya, tidak mungkin berangkat setiap waktu kemudian balik, saya melihat itu sangat sulit sekali. Umpamanya berangkat sebelum dzuhur, kemudian ingin pulang sesudahnya, terutama pada saat-saat padat sangat susah sekali,” ujar Salim seusai pengambilan qur`ah (undian) pemondokan jemaah haji Indonesia.

Selain itu, Salim juga mengingatkan agar jemaah haji bisa mengingat-ingat tanda bus dan tempat di mana mereka diturunkan oleh shuttle bus. Ia pun menyarankan agar jemaah tidak membeli makanan di pinggir jalan karena kurang baik dari segi kesehatan. Selain itu, dianjurkan untuk memperbanyak minum air dan makan buah-buahan.

Musim haji tahun ini disiapkan 600 bus yang akan transit 3-5 menit sekali untuk melayani jemah yang akan berangkat dan pulang dari masjid. Bus ini akan beroperasi sejak 15 hari menjelang wukuf di Arafah dan 20 hari setelah wukuf. Untuk mengantisipasi keterlambatan pada saat waktu padat akan disediakan pemondokan untuk menunggu sehingga para jemaah tidak harus menunggu di jalan.

”Kalaupun busnya mengalami keterlambatan, di situ disediakan pemondokan, terutama untuk orang tua. Juga disediakan teh dan kopi yang bisa diminum sambil menunggu datangnya bus,” ujarnya.

Saat ini ada sebelas titik transit bus di daerah pemondokan yang akan mengantarkan ke tiga titik transit di dekat Masjidil Haram. Kesebelas titik transit di pemondokan adalah Bakhutmah, Aziziah Syissah, Aziziah Janubiah, Aziziah Syimaliah, Mahattat Bank, Hijrah, Ka’kiah dan Sauqiah, Khalidiah dan Rusaifah, Sittin Street, Nuzhah, serta Zahir. Adapun tiga titik transit di dekat Majidil Haram adalah Jiad Abraj Zamzam (Terowongan Jiad dari Rumah Sakit An Nur), Gazzah (Terowongan Sulaimaniah), dan Bab Malik (Terowongan Kudai).

Lokasi inilah yang harus diingat oleh jemaah haji agar tidak tersesat pulang ke pemondokannya. Namun, kalaupun tersesat, jemaah masih bisa bertanya kepada petugas haji Indonesia yang jumlahnya 3.811 orang. Semoga mabrur.

Imam Prihadiyoko

Masjidil Haram



Flickr
Masjdil Haram

MASJID ini terletak di Kota Makkah Al Mukaramah dan merupakan masjid tertua di dunia yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Masjid ini berbentuk empat persegi dan dibangun mengelilingi Ka'bah, berbeda dengan masjid manapun didunia, shaf di Masjidil Haram ini berbentuk lingkaran, semuanya menghadap ke Ka'bah yang berada di tengah-tengah. Ini merupakan keunikan yang tidak dimiliki masjid manapun di dunia.

Spesifikasi Masjidil Haram

Ka'bah

Ka'bah adalah bangunan yang menyerupai bentuk kubus, tempat ini merupakan bangunan pertama yang ada di atas muka bumi yang digunakan sebagai kiblat dalam menjalankan ibadah Sholat oleh umat Islam, sebagai mana firman Allah dalam (QS. Ali Imran ayat 96) yang artinya :

"Sesungguhnya permulaan rumah yang dibuat manusia untuk tempat beribadah itulah rumah yang di Bakkah (Mekkah), yang dilimpahi berkah dan petunjuk bagi alam semesta."

Ka'bah disebut pula Baitullah (Rumah Allah) atau Baitul Atiq (Rumah Kemerdekaan) dibangun berupa tembok bersegi empat dari batu-batu besar berwarna kebiru-biruan yang berasal dari gunung-gunung sekitar Mekkah.

Kiswah adalah penutup keempat dinding Ka'bah yang tergantung dari atap sampai kaki terbuat dari kelambu sutra hitam, lebarnya total 658 m2. Biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan kiswah ini sebesar 17.000.000 riyal dengan tenaga kerja sebanyak 240 orang, hal ini telah dilakukan sejak zaman Nabi Ismail.
Kiswah tiap tahun diganti, dilakukan pada tanggal 10 Djulhijjah ketika para jamaah sedang berada di Mina, Kiswah ini dihiasi dengan tulisan Al Qur'an yang disulam secara khusus dengan benang emas, salah satu kalimatnya adalah:

Allah Jalla Jalalah, la ilaha illaallah, Muhammad Rasulullah. (Allah Maha Agung, tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu Utusan Allah).

Pintu Ka’bah disebut juga dengan nama al-burk , ini terbuat dari bahan emas murni 99 karat, dengan berat keseluruhan 280 kilogram. Letak pintu ini dari lantai thawaf adalah 2,25 meter sedangkan daun pintu itu sendiri panjangnya 3,06 meter dengan lebar 1,68 meter. Pintu yang sekarang ini adalah hadiah dari raja Khalid bin Abdul Aziz. Dalam sejarahnya pintu ini telah berubah-ubah baik dari bahan baku seni dan bentuknya. Hadits Nabi yang mengatakan :

“Siapa yang masuk ke Baitullah berarti dia masuk dalam kebaikan, keluar dari kejahatan dan dia mendapatkan ampunan”. ( HR. Ath –Thabrani dari Ibnu Abbaas)

Nilai harga pintu itu Rp. 14.420.000,- ( empat belas juta empat ratus dua puluh ribu ) pada tahun 1979 M.

Hajar Aswad

Hajar Aswad adalah batu hitam yang terletak disudut sebelah tenggara Ka'bah, yaitu sudut dimana Thawaf dimulai. Hajar aswad berasal dari syurga yang dibawa oleh Malaikat Jibril atas perintah Allah, batu ini terdiri dari 8 keping yang terkumpul diikat dengan lingkaran perak. Ciri-ciri Hajar Aswad adalah jika dimasukkan ke dalam air akan mengapung dan bila dibakar tidak akan pecah. Hadits Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam yang artinya:

Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah bersabda : "Hajarul Aswad diturunkan dari syurga dan berwarna lebih putih dari susu. Dosa-dosa manusia (anak Adam) menyebabkannya menjadi hitam". (HR. Ahmad dan Turmizi)

Mihzab (Talang Emas)

Talang air ini dulunya tidak ada karena Ka'bah belum memiliki atap, namun pada saat renovasi Ka'bah yang dilakukan suku Quraisy, bangunan ini diberi atap, hingga memerlukan talang air.
Talang air sering diganti dan yang ada sekarang hadiah dari Sultan Abdul Majid Khan Bin Sultan Muhammad Khan dari Konstantinopel pada tahun 1276 H (1859 M), bahannya dilapisi emas seberat 40 kg. Pada tahun 317 H. salah seorang pengikut Abu Taher Al-Qurmuthy berniat untuk mencuri, namun ketika memanjat dinding Ka'bah dia terjatuh dan akhirnya tewas.
Letak talang emas ini persis di depan Hijr Ismail, tempat dimana talang ini berada oleh Khalifah Utsman disebut pintu surga.

Maqam Ibrahim

Maqam Ibrahim bukanlah kuburan Nabi Ibrahim sebagaimana pendapat orang-orang kebanyakan. Ia adalah bangunan kecil di sebelah timur Ka’bah. Di dalam bangunan kecil ini terdapat sebiji batu yang diturunkan oleh Allah dari Syurga bersama-sama dengan Hajarul Aswad. Di atas batu itu Nabi Ibrahim berdiri di waktu baginda membangun Ka’bah. Salah satu Mu'jizat yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim, batu tersebut dapat naik dan turun sesuai kehendak nabi Ibrahim ketika membangun tembok Ka'bah. Letak maqam Ibrahim berhadapan dengan Pintu Ka'bah.

Hijr Ismail

Hijr Ismail terletak berdampingan dengan Ka'bah, dipagari oleh tembok rendah (al-Hatim) berbentuk setengah lingkaran. Berdasarkan sabda Rasulullah SAW, sebahagian dari Hijir Ismail itu adalah termasuk dalam Ka’bah. Ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari 'Aisyah r.a. yang artinya :

Dari 'Aisyah r.a. berkata : "Aku sangat ingin memasuki Kaabah untuk melakukan sembahyang di dalamnya. Rasulullah memegang tanganku dan memasukkan aku ke dalam Hijir Ismail sambil berkata "Sembahyanglah kamu di Hijir jika kamu hendak masuk ke dalam Ka’bah karena kaum engkau (orang Quraisy) telah meninggalkan bagian ini di luar semasa mereka membangun Ka’bah."

Ditempat ini sering dipakai jamaah Haji maupun Umrah untuk melakukan shalat sunnat karena diyakini sebagai salah satu tempat yang mustajab untuk berdo'a. Orang yang telah mengerjakan thawaf, disunatkan mengerjakan shalat sunat dua rakaat di Hijir Ismail dan mengerjakan shalat sunat di Makam Ibrahim.

Multazam

Multazam adalah dinding atau tembok antara Hajar Aswad dengan pintu Ka’bah. Tempat ini dipergunakan oleh jamaah Umrah maupun Haji untuk bermunajat kepada Allah setelah selesai melakukan tawaf. Jarang orang tidak meneteskan air mata disini, disamping terharu akan kebesaran Allah, Multazam juga salah satu tempat paling musatajab, sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaki dari Ibnu Abbas yang artinya :

“Antara Rukun Aswad dan pintu Ka’bah disebut Multazam. Tidak ada orang yang meminta di Multazam, melainkan Allah Kabulkan permintaannya itu."

Telaga Zam-Zam

Zam-Zam dalam bahasa arab berarti air yang melimpah, sumur di bawah tanah yang terletak ± 20 meter sebelah Tenggara Ka'bah ini mengeluarkan air bersih dan jernih yang tiada henti, dan diamanatkan agar sewaktu meminum air Zam-zam harus niat. Sebelum minum air zam-zam kita menghadap ke Ka'bah bermunajat kepada Allah sbb :

Bismillahirrahmaanirrahiim:
“Ya Allah, aku mohon pada-Mu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, rezeki yang luas dan disembuhkan dari segala macam penyakit."

Tentang air Zamzam ini sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari isteri Nabi Ibrahim as yaitu Siti Hajar dan putranya Ismail as. Waktu itu Ismail dan ibunya ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim di Mekkah, mereka kehabisan air minum, maka Siti Hajar berlari kecil dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah sebanyak 7 kali untuk mendapatkan air, namun tak menemukan setetes air pun. Tiba-tiba ia mendengar suara. Maka Siti Hajar pun berkata :

“Aku mendengar suaramu tolonglah kami jika engkau memiliki kebaikan.”

Kemudian Malaikat Jibril menampakkan diri dan melalui hentakan kaki Ismail, serta merta memancarlah air dari perut bumi. Siti Hajar membendung air itu karena melimpah serta berkata zam… zam… zam… yang maksudnya kumpul….… kumpul……. Dengan bekal air inilah mereka menyambung hidup.

Mas’a

Mas’a adalah sebutan untuk tempat para jamaah haji melakukan Sa'i, yang dibangun untuk menghubungkan antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah. Terbuat dari lantai pualam sepanjang 405 m. Jamaah Haji yang melakukan Sa'i harus melalui jalur tersebut sebanyak 7 kali pulang pergi. Kini telah dibangun menjadi dua tingkat, jumlah jarak yang ditempuh antara Shafa dan Marwah adalah 7 x 405 m = 2.835 meter.

Sabtu, 15 November 2008

Haji Mabrur dan Revolusi Sosial


Yusuf Burhanudin
Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir

Terhitung awal November lalu kafilah haji Indonesia mulai berangkat ke Tanah Suci guna menunaikan rukun Islam kelima. Adalah fakta menggembirakan jika setiap tahun jumlah jamaah haji dari Tanah Air cenderung meningkat. Namun, cukup disayangkan kuantitas jamaah yang terus meningkat signifikan itu tidak diiringi dengan tingginya kualitas hidup berbangsa secara menyeluruh. Dekadensi moral level individu (fahsya) maupun kolektif (munkar) seperti kemiskinan, kebodohan, kriminalitas, korupsi, dan berbagai bentuk ketidakadilan kian menjadi-jadi sehingga makin menggerus imunitas sosial kebangsaan negeri ini ke depan.

Gegap gempita ibadah haji yang tidak linier dengan perilaku sosial umat diakibatkan haji masih dianggap pesta individu atau dipahami sekadar seremoni dan selebrasi. Padahal, jika ditinjau dari segi bahasa, haji bermakna al-qashduyang berarti naik atau menuju. Makna ini mengisyaratkan pelakunya siap meninggalkan sekaligus menanggalkan kesenangan duniawi yang individual (disimbolkan pengorbanan harta, waktu, keluarga, dan kampung halaman) menuju pengabdian sosial. Perpindahan fisikal dari Tanah Air menuju Tanah Suci tak lebih perpindahan artikulatif orientasi individual-material menuju misi sosial-spiritual terutama sepulangnya dari haji.

Esensi makna mabrur yang mengisyaratkan diterimanya ibadah haji terbentuk dari kata al-birr, berarti pancaran kebaikan sosial. Firman-Nya: ''Kalian belum mencapai kebaikan (al-birr) hingga mampu mendermakan sebagian harta yang kalian cintai.'' (QS Ali Imran [3]: 92). Bahkan dalam riwayat, Rasulullah ditanya, ''Apa makna mabrur?'' Dijawab, ''Suka memberi makan (bantuan sosial) dan lemah lembut dalam bicara.'' (HR Ahmad).

Dengan begitu, mabrur sesungguhnya proses yang tidak terhenti begitu saja saat prosesi haji berlangsung, tapi berlanjut pembuktiannya di masyarakat. Mabrur merupakan cita sosial para hujaj sepulangnya dari Tanah Suci dalam mengempati, mengemansipasi, dan mengangkat harkat martabat sesama dari kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan keterbelakangan. Dalam konteks inilah orang yang berangkat haji berkali-kali di kala masih banyak tetangga kelaparan kontraproduktif dan tumpul menghayati cita revolusi sosial ibadah haji.

Menjaga kesucian niat
Kemurnian niat dan titik pemberangkatan seseorang (inthilaq) sebelum berhaji, berikutnya akan mewarnai perilaku sosio religius dan tanggung jawab kehajian yang bersangkutan. Rasulullah bersabda: ''Barangsiapa berniat hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya, ia berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi barangsiapa berhijrah dengan niat duniawi atau demi perempuan yang dinikahi, ia kelak berhijrah kepadanya.'' (HR Muttafaq Alaih).

Ibadah haji bukan saja membutuhkan persiapan material, tetapi juga kesiapan mental-spiritual. Haji jelas tak sekadar berangkat ke Makkah tanpa sedikit pun mengubah sifat maupun sikap pelakunya. Ketidaksiapan mental spiritual sebelum berhaji, selain mereduksi ibadah sebagai suatu kebiasaan juga bisa mengikis nilai-nilai implikasi sosialnya yang menjadi misi ibadah haji.

Bagi orang yang suka mengolok orang lain, misalnya, akan sulit menahan perbuatan yang sama saat di Tanah Suci, padahal perbuatan tersebut merusak nilai kesucian ibadah haji. Demikian juga dengan mereka yang sebelumnya pelit, ketika datang dari haji pun masih tetap pelit. Karenanya, dalam karya magnum opusnya, Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengkritik keras para hujaj agar terlebih dahulu menyucikan jiwa dan hati mereka. Betapa banyak para hujaj mengabaikan aspek-aspek ibadah haji berdimensi psikis maupun etis.

Cita revolusi sosial
Sebagai rukun Islam terakhir, haji bagi seorang Muslim menjadi titik komplementer yang mempertemukan kewajiban individual dan misi sosial. Pulang haji, bukan berarti tugas ibadah usai, bahkan menanti pengabdian lebih tinggi. Berikutnya mentalitas mabrur mesti terkomunikasikan secara sosial dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Meskipun niat yang ditekadkan karena Allah (vertikal), efek yang diharapkan sebenarnya sangat horizontal.

Dengan kata lain, haji adalah ajang seorang Muslim menempa tanggung jawab keumatan kelak sepulangnya dari haji. Para hujaj berikutnya dituntut mempersiapkan diri untuk mengejawantahkan nilai-nilai sosio-spiritual haji sebagaimana yang ia peroleh saat melaksanakan manasik haji. Mulai ihram yang menunjuk kelemahan manusia di hadapan-Nya. Tawaf merujuk siklus dan perputaran hidup, tetapi mesti tetap dalam garis Ilahiah (istiqamah). Wukuf melambangkan keharusan senantiasa berintrospeksi hingga berakhir dengan hadyu, yakni keharusan berkorban untuk sesama.

Sepulang dari Tanah Suci, sebagai duta umat dan bangsa, para hujaj harus mempersiapkan diri masing-masing untuk berbaur dengan ragam problematika keumatan mutakhir secara partisipatif menyongsong pemberdayaan umat dalam bidang hukum, ekonomi, pendidikan, politik, dan budaya. Sudah mafhum, pada umumnya para hujaj tergolong kelas masyarakat mampu menengah ke atas.

Dengan kelebihan materi, alih-alih berpikir berangkat haji tiap tahun, akan lebih produktif jika kelebihan itu dialokasikan menolong kerabat miskin, menyantuni anak yatim, membiayai siswa putus sekolah, menciptakan lapangan kerja, dan lainnya. Jika saja setiap tahun ada 200 ribu orang jamaah haji Indonesia, biaya yang dibutuhkan tak kurang dari Rp 20 juta per orang. Jika 25 persen saja dari jumlah itu kita berdayakan, kita mendapatkan angka Rp 1 triliun per tahun. Angka yang tidak kecil untuk menuntaskan kemiskinan dan memberdayakan pendidikan umat.

Kalaupun tidak aktif memandu umat ke arah kehidupan lebih baik, jadilah haji pasif yang cukup memberi teladan dan teladan perilaku terpuji di tengah-tengah masyarakat. Pendeknya, kalau tidak mampu jadi solusi, jangan menambah beban yang ada. Bagi para hujaj dari kalangan pejabat, misalnya, jika tidak mampu memberantas korupsi minimalnya dirinya tidak lalu menjadi koruptor baru sepulang dari haji. Apalagi mengeksploitasi maupun memanipulasi gelar haji atau hajah untuk menutupi kelakuan korup dan antisosialnya.

Para hujajadalah duta umat yang diharapkan kembali ke pangkuan bumi pertiwi dengan mengantongi predikat manusia suci yang memiliki sensibilitas sosial tinggi. Ini karena ibadah haji merupakan panggilan jihad yang memisikan komitmen sosial guna mengentaskan ragam problematika kemanusiaan dalam hidup berbangsa dan bernegara.


Ikhtisar:
- Esensi mabrur yang mengisyaratkan diterimanya ibadah haji terbentuk bila sepulang dari haji bisa meningkatkan amal kebaikan sosial.
- Haji berulang-ulang justru pertanda mereka belum bisa memiliki pancaran sosial dari efek ibadah haji.

Falsafah Ibadah Haji


Muhammad Kosim
Guru PAI SMP Negeri 8 Padang, Mahasiswa S3 IAIN Imam Bonjol, Padang

Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima dan difardhukan bagi setiap Muslim yang mampu, baik dalam bentuk kesanggupan kesehatan fisik, ekonomi, tanggung jawab keluarga yang ditinggalkan, hingga keamanan dalam perjalanan. Ibadah haji juga mengandung hikmah atau nilai-nilai falsafah yang sarat makna bagi setiap hamba yang melaksanakannya.

Dengan begitu, ibadah haji tidak sekadar ibadah ritual, tetapi nilai-nilai falsafah yang ada di dalamnya patut direnungkan sehingga berpengaruh terhadap perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Mengenai makna atau falsafah ibadah haji, telah dibahas oleh beberapa pemikir atau ulama terdahulu. Salah satu di antaranya adalah Ali Syari'ati yang tertulis dalam karyanya Haji. Dalam karya ini, ia menyingkap simbol-simbol yang terdapat dalam rangkaian ibadah haji dengan mengungkap nilai-nilai moral yang dikandungnya.

Pakaian Ihram
Ketika jamaah haji sampai di Miqat, mereka mengenakan pakaian ihram dengan kaki telanjang tanpa terkecuali. Pakaian ini warnanya putih, tidak berjahit dan bahan dasar kainnya pun sangat sederhana. Meskipun kaya, tidak diperkenankan memakai pakaian sutra. Perintah ini mengingatkan akan eksistensi manusia yang tidak memiliki apa-apa. Kelak manusia mati untuk menghadap Tuhannya tidak membawa harta apa pun, hanya sehelai kain kafan yang berwarna putih, tanpa alas kaki.

Putihnya pakaian ihram melambangkan kesucian dan kesederhanaan. Ketika pakaian ini dipakai, buangkan segala sifat kesombongan, keangkuhan, egoisme, dan segala penyakit hati yang merusak.Pakaian adalah lambang perbedaan. Perbedaan seseorang sering di lihat dari pakaiannya. Ketika muncul perbedaan, kerap mengundang perpecahan. Padahal, perpecahan awal dari kehancuran sebuah peradaban. Pakaian ihram menghapus segala lambang perbedaan yang merusak persaudaraan, mengurai persatuan dan kesatuan itu. Perbedaan secara fisik memang alami, tidak bisa dihilangkan, tetapi tidak untuk merusak kebersamaan dan persaudaraan.

Thawaf dan Kabah
Thawaf adalah mengelilingi Kabah sebanyak tujuh kali. Kabah menjadi inti dari perputaran tersebut. Kabah kiblat seluruh umat Islam. Apa istimewanya? Sepintas tidak ada keistimewaannya. la hanya berbentuk kubus yang memiliki enam sisi dan kosong yang tersusun dari batu-batu hitam dari Ajun (bukit-bukit di dekat Kota Makkah). Jika direnungkan, enam sisi yang ada merupakan lambang Islam itu universal. Enam sisi menghadap ke segala arah. Kemudian, Kabah melambangkan ketetapan (konstan) sebab dia hanya diam. Manusialah yang bergerak (aktif) mengitarinya.

Kabah ibarat matahari. Manusia ibarat planet yang mengitari matahari tersebut. Itu artinya, Allah pusat eksistensi yang merupakan titik fokus dari dunia yang fana ini. Manusia mesti bergerak, beraktivitas, berbuat dan bersikap mesti berpusat kepada kehendak-Nya. Di sinilah terlihat eksistensi manusia yang harus bergerak dan berbaur dengan manusia lain secara bersama dengan mengenakan pakaian ihram secara disiplin. Jika seseorang diam, tidak bergerak, maka pada hakikatnya ia telah mati, bukan manusia yang sesungguhnya.

Pelaksanaan thawaf bermula dari Hajar Aswad. Di sana juga terdapat Hijir Ismail. Simbol ini mengingatkan kita kembali tentang Hajar, istri Ibrahim. Hajar adalah sahaya yang berkulit hitam dari Ethiopia yang diperistri Ibrahim. Karena kecintaannya kepada Allah, Hajar menjadi nama yang melekat dan sangat berpengaruh dalam rangkaian ibadah haji. Meskipun ia hanya hamba sahaya, bisa jadi dinilai orang hina, lagi berkulit hitam, tetapi dengan iman dan cinta yang dimilikinya mengangkat dirinya menjadi mulia di sisi Allah.

Simbol ini memberikan pesan moral kepada umat manusia bahwa sehina apa pun seseorang di mata manusia, tetapi dengan keimanan dan kecintaannya kepada Allah SWT akan terangkat derajatnya menjadi mulia di sisi Allah, bahkan di mata manusia sesudahnya. Maka jangan mudah merendahkan, menghina, maupun memperolok saudara sendiri.

Thawaf dilakukan sebanyak tujuh kali putaran. Angka tujuh ini mengingatkan kita kepada tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Artinya, manusia adalah wakil Allah di muka bumi yang bertanggung jawab mengelola alam semesta ini, memanfaatkan semua potensi yang ada, tetapi bukan mengeksploitasinya.

Antara Safa dan Marwa
Sai merupakan sebuah pencarian. lbadah ini memiliki nilai historis tersendiri, di mana Hajar yang telantar dan terbuang di antara hamparan padang pasir, tanpa pepohonan dan air sebagai sumber kehidupan. Sementara, ia mesti tetap hidup, terlebih lagi ketika melihat buah hatinya, Ismail.

Sai adalah lambang perjuangan fisik, perjuangan mencari hal-hal yang dapat memenuhi kebutuhan dari alam. Jika pada thawaf lebih melambangkan gerak atas kecintaan manusia kepada al-Khaliq, bersifat spritual, sebaliknya pada sai lebih melambangkan gerak atas upayanya memenuhi kebutuhan hidup secara materi.

Pada thawaf yang menjadi inti adalah ''Dia'' dan hanya Allah. Pada sai yang menjadi intinya adalah manusia itu sendiri. Manusia yang menentukan nasibnya di muka bumi ini (QS Ar-Ra'd: 13). Di sini tampak Islam menuntun manusia mencari dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat secara seimbang (QS Al-Qashashas: 77). Manusia tidak boleh fatalis, pesimis, dan menyerah kepada nasib. Tapi sai mengajarkan manusia untuk berjuang, berijtihad memiliki semangat, vitalitas, dan optimisme.

Sai dilakukan juga tujuh kali yang dimulai dan Safa dan berakhir di Marwa. Bukan di Safa lagi. Ini menunjukkan manusia dalam geraknya mesti tetap maju ke depan. Gerak (dinamis) secara bersama ini akan mengantarkannya kepada khaira ummah. Islam mesti menjadi umat terbaik di muka bumi ini dalam mengusung peradaban, menyejahterakan alam.

Ali Shari'ati menyebutkan: ''Thawaf adalah lambang hidup bukan demi hidup itu sendiri tetapi demi Allah. Sedangkan sai melambangkan berdaya upaya sebisa-bisanya bukan untuk diri sendiri tetapi untuk semua manusia. Jalan yang engkau tempuh adalah jalan yang lurus dan tidak merupakan lingkaran. Engkau tidak bergerak secara berputar-putar tetapi engkau bergerak maju.''

Arafah, Masyri, dan Mina
Setelah melaksanakan thawaf dan sai, jamaah bergerak ke timur menuju Arafah, lalu Masy'ar dan Mina. Arafah melambangkan awal penciptaan manusia. Di padang inilah Allah mempertemukan Adam dan Hawa setelah masa pembuangan atas dosa yang mereka lakukan. Arafah artinya pengetahuan dan sains. Masy'ar artinya kesadaran dan pengertian, sedangkan Mina artinya cinta dan keyakinan.

Di padang Arafah ini mereka wukuf yang melambangkan pencarian pengetahuan pemahaman, di mana Adam dan Hawa bertemu dan saling mengetahui antara keduanya. Ketika membuka mata dan mendapatkan dirinya dalam keadaan telanjang Adam sudah berada di dalam keadaan mengetahui dirinya sendiri.

Setelah wukuf, jamaah bergerak menuju Masy'ar, negeri kesadaran. Di sini manusia merenungi dirinya sehingga muncul kesadaran tentang dirinya, didasari dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Di siang harinya mereka pun menuju Mina, sebagai negeri cinta. Cinta dan keyakinan akan adanya Allah SWTT, mereka melontar jumrah. Pelemparan jumrah melambangkan peperangan terhadap setan, di mana setan telah menggoda Ibrahim untuk menghalangi cintanya kepada Allah yang akan mengorbankan Ismail. Setan musuh manusia yang nyata.

Kurban
lbadah yang juga dilakukan dalam haji ini adalah kurban. Kurban juga lambang kecintaan seorang hamba kepada Allah. lbadah ini kembali mengingatkan kita kepada ujian Allah kepada Ibrahim untuk mengorbankan putranya, Ismail. Namun, dengan pendidikan tauhid yang telah dibina lbrahimn dalam keluarganya, tak satu pun anggota keluarga yang sakinah itu memberontak keputusan Ibrahim yang berdasarkan wahyu Tuhan itu.

Ibrahim berdiaolog dengan putranya, dan sang anak pun mengatakan: ''YaAbati if'al ma tu'mar, satajiduni Insya Allahu minasshabirin'' (Hai Ayahku! Laksanakanlah perintah Allah itu, insya Allah ayah akan menemukan aku dalam kesabaran). Ibrahim pun dengan yakin dan kecintaannya kepada Allah melaksanakan perintah itu. lbadah ini juga memesankan kepada manusia untuk rela mengorbankan segala apa yang telah dititipkan Allah, apakah berupa harta, jabatan, nama, dan sebagainya.

Berhaji Cukup Sekali


oleh Yusuf Burhanudin

''(Musim) haji adalah beberapa bulan dimaklumi, barangsiapa menetapkan niat di bulan itu akan berhaji, tidak boleh rafats, fasiq, dan berbantah-bantahan (jidal) masa berhaji.'' (QS Albaqarah [2]: 197).Musim haji kembali tiba. Jutaan umat Islam berbondong-bondong ke Tanah Suci menunaikan rukun Islam kelima. Mereka rela meninggalkan sanak saudara, handai taulan, dan kampung halaman demi meraih haji mabrur. Karena, tidak ada balasan patut bagi haji mabrur selain surga (HR Tirmidzi).

Haji yang berarti al-qashdu, adalah isyarat pelaku haji siap meninggalkan dan mengorbankan kesenangan duniawi yang bersifat individual (disimbolkan pengorbanan harta, waktu, keluarga, dan kampung halaman) menuju pengabdian sosial. Pengabdian sosial inilah misi haji mabrur. Rasulullah ditanya, ''Apa makna mabrur?'' Dijawab, ''Suka memberi makan (bantuan sosial) dan lemah lembut dalam bicara.'' (HR Ahmad).

Karenanya, virus yang menggerogoti kesucian ibadah haji adalah juga virus sosial. Pertama, rafats (perbuatan maksiat yang merugikan diri sendiri dan orang lain), fasiq (ucapan tidak seiring perbuatan), dan jidal (bertengkar dan berdebat, sekalipun soal agama, yang dapat menimbulkan permusuhan). Yang hendak dituju haji tak lain keharmonisan, kepekaan sosial, dan persaudaraan universal. Kepekaan sosial tidak akan terwujud tanpa hidup harmonis. Demikian persaudaraan tak akan terlaksana tanpa semangat saling memberdayakan satu sama lain.

Mabrur yang terbentuk dari kata al-birr, bermakna kebaikan sosial. Firman-Nya, ''Kalian tidak akan memperoleh kebaikan (al-birr) kecuali mendermakan sebagian harta yang kalian cintai.'' (QS Ali Imran [3]: 92). Karena itu, mabrur sesungguhnya tidak terhenti begitu saja saat prosesi haji berlangsung, tapi berlanjut pembuktiannya di masyarakat. Mabrur merupakan cita sosial para hujaj sepulangnya dari Tanah Suci dalam mengempati, mengemansipasi, dan mengangkat harkat martabat sesama dari kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan keterbelakangan.

Setelah merasakan indah dan nikmatnya tenggelam dalam khidmat manasik haji, seyogianya para hujaj tidak memendam kerinduan untuk kembali ke Tanah Suci sekadar melepas nostalgia. Akan lebih produktif seandainya dana alokasi haji kedua tersebut diperuntukkan membiayai kerabat miskin, menyantuni anak yatim, membiayai siswa putus sekolah, menciptakan lapangan kerja, dan lainnya. Berhaji cukup sekali, karena berikutnya hukumnya sunah (HR Muslim).

Teladan Siti Hajar


Oleh: Nurjannah Suharjo

Alkisah, Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim Alaihis Salam, ditinggalkan berdua dengan bayinya, Ismail, di tengah padang pasir gersang. Siti Hajar membuka tas kulit berisi kurma yang ditinggalkan suaminya, lalu memakannya. Beberapa teguk air dari kantong pun ia minum. Baru sebentar, rasa haus kembali merongrong tenggorokannya. Maklumlah, ia masih menyusui putranya.

Hari bertambah, suhu Arab semakin panas, persediaan makan dan minum pun telah habis. Kemampuan menyusui sang bayi pun semakin menurun. Lama-kelamaan air susunya habis. Sementara si bayi menjadi rewel, menangis, dan terus meronta meminta air susu ibunya.

Tak tahan mendengar tangis anaknya, Siti Hajar bangkit dari tempatnya, meninggalkan bayinya sendirian, demi mencari bantuan. Barang kali saja ada rombongan kafilah yang akan melewati Makkah kala itu.

Dilihatnya seperti air di sebuah bukit, yang kemudian dikenal dengan Shafa. Ia berlari ke sana. Ternyata hanya fatamorgana di tengah terik panas padang pasir.

Dilihatnya lagi di sebuah bukit di ujung lainnya, yakni Marwah, tampak ada danau air. Setelah terhuyung-terhuyung tergesa-gesa menuju ke sana, yang jaraknya sekitar 450 meter, ternyata pun fatamorgana. Begitu sampai tujuh kali 450 meter atau sekitar 3,15 km ia bolak-balik Shafa-Marwah demi mencari seteguk air.

Mengeluhkah dia? Tidak. Dia meyakini pertolongan Allah pasti akan datang. Tugasnya hanyalah berusaha dan berjuang. Ia ikhlas menjalaninya, seikhlas ketika melepas kepergian suaminya yang meninggalkan mereka berdua di padang itu atas kehendak Allah.

Akhirnya, dengan kemahakuasaan-Nya, Allah memberikan rezeki berupa sumber mata air zamzam yang muncul dari bawah telapak kaki Ismail. Siti Hajar dan Ismail pun menikmati air minum zamzam.

Benarlah firman-Nya, ''Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah ... barangsiapa mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.'' (QS Albaqarah [2]: 158).

Kini, jutaan jamaah haji setiap tahun dan jamaah umrah sepanjang bulan, menapaktilasi perjuangan Siti Hajar melalui ritual Sai antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali dalam satu kali umrah. Kekuatan akidah, kesabaran jiwa, ketawakalan hati, kekuatan mental, dan segala keutamaan yang tersemat pada sosok Siti Hajar, adalah teladan bagi kita.

Rabu, 12 November 2008

Agama adalah Nasihat


Oleh: Arief Mahmudi

Nasihat secara bahasa berasal dari kata an-nushu yang berarti al-khulush (murni). Secara istilah, nasihat ialah suatu ungkapan yang menyatakan keinginan untuk berbuat baik kepada orang yang dinasihati. Demikian yang ditulis Imam Ibnul Atsir.Allah SWT mensyariatkan kaum Muslim untuk saling menasihati sebagaimana tertulis dalam firman-Nya, ''... dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran.'' (QS Al 'Ashr [103]: 3).

Ayat-ayat lain tentang nasihat juga terdapat dalam Alquran, misalnya dalam QS Al-A'raf [7] ayat 62 dan 69. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tamim bin Aus ad-Dary RA, Rasulullah SAW bersabda, ''Agama adalah nasihat.'' Kami (para sahabat) bertanya, ''Untuk siapa?'' Beliau menjawab, ''Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslim, dan manusia pada umumnya.'' (HR Muslim).

Hadis ini sesungguhnya memiliki peran yang sangat besar. Karena, di dalamnya terkandung bahwa tiang agama Islam dan penopangnya adalah nasihat. Dengan adanya nasihat, agama Islam akan senantiasa termanifestasi dalam jiwa kaum Muslim. Namun, apabila nasihat itu tidak ada, kekurangan akan menimpa kaum Muslim dalam setiap aspek kehidupannya.

Pertama, nasihat tentang Allah adalah untuk beriman kepada Allah, mengesakan-Nya. Caranya adalah dengan niat ikhlas semata karena-Nya dalam mengamalkan perbuatan baik dan beribadah kepada-Nya dengan penuh ketaatan dan pengagungan.Kedua, nasihat untuk kitab-Nya. Maksudnya adalah beriman kepada semua kitab-kitab samawi (langit) yang diturunkan dari sisi Allah SWT secara global.

Ketiga, nasihat untuk Rasul-Nya (Muhammad). Maksudnya adalah membenarkan kenabiannya, menaati perintahnya, menjauhi segala larangannya, menghidupkan sunnahnya, memahami, mempraktikkan, dan menyiarkannya serta berakhlak sesuai dengan akhlak beliau yang mulia.

Keempat, nasihat untuk pemimpin kaum Muslim. Maksudnya adalah membantu mereka atas kewajiban yang mereka emban, memberikan masukan, dan mengingatkan tatkala mereka lupa. Juga, mencegah mereka dari perbuatan zalim dengan cara yang baik.Terakhir, nasihat untuk manusia pada umumnya. Maksudnya adalah dengan mengajak kepada kebaikan, menutup aib mereka, dan tidak berbuat ghibah (menggunjing) kepada sesama manusia. Wallahu a'lam.

Selasa, 11 November 2008

Makna Ritualitas Haji



Makna Ritualitas Haji


Haji, menurut Wahbah Zuhaeli dalam bukunya Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, berarti mengunjungi Kabah untuk melaksanakan beberapa perbuatan tertentu, di tempat-tempat tertentu, dan dalam waktu tertentu pula. Kegiatan ibadah itu dengan sendirinya mengandung makna ritualitas yang sangat tinggi baik dari segi simbol, sejarah, maupun sosiologi.

Ali Syari'ati, salah seorang pemikir kontemporer Islam, dalam bukunya Hajj, telah mengulas secara detail makna ritualitas haji. Tulisan berikut ini ingin mengemukakan percikan pemikirannya mengenai makna ritualitas haji dari aspek ibadah: ihram, tawaf, sai, dan wukuf. Ihram adalah tahap mulai niat mengerjakan haji dengan mengenakan dua helai pakaian.

Menurut Ali Syari'ati, pakaian adalah lambang status yang dapat memicu sikap diskriminasi, keakuan, dan egois. Pakaian telah memecah belah anak-anak Adam, karena itu, kata Ali Syari'ati, pakaian model ibadah ihram bukanlah penghinaan tetapi penggambaran kualitas manusia di hadapan Tuhan. Pakaian ihram, lanjutnya, telah menuntun manusia untuk mengubur pandangan yang mengukur keunggulan karena kelas, kedudukan, dan ras.

Sedang tawaf merupakan kegiatan ibadah mengelilingi Kabah. Di hadapan Kabah yang berbentuk kubus ini, kata Ali Syari'ati, para pelaku tawaf akan merenungkan keunikan Kabah yang menghadap ke segala arah, yang melambangkan universalitas dan kemutlakan Tuhan; suatu sifat Tuhan yang tidak berpihak tetapi merahmati seluruh alam (Q. S. 106: 21). Dengan tawaf, umat manusia dididik aktif bergaul menjaring komunikasi dengan Tuhan dan antarmanusia (Q. S. 112: 2).

Sementara tentang sai, Ali Syari'ati melambangkan ibadah ini dengan kegigihan dan keperkasaan manusia dalam menempuh perjuangan hidup. Sai yang merupakan rekonstruksi peristiwa Siti Hajar mencari air Zamzam dari Bukit Shafa menuju Marwa, merupakan lambang figur manusia yang berjuang dari niat yang tulus (shafa), tanpa patah semangat mencapai tujuan (marwa).

Selanjutnya, setiap calon haji harus wukuf di Arafah. Arafah merupakan sebuah padang yang luas. Di tempat ini manusia singgah sebentar (wukuf). Lalu bermalam (mabit) di Muzdalifah dan tinggal di Mina. Arafah berarti pengetahuan dan Mina artinya cinta. Setelah wukuf di Arafah, para jamaah menuju ke Muzdalifah untuk mabit.

Wukuf dilakukan pada siang hari, sementara mabit pada malam hari. Siang, demikian Syari'ati, melambangkan sebuah hubungan objektif ide-ide dengan fakta yang ada, sedangkan malam melambangkan tahap kesadaran diri dengan lebih banyak melakukan konsentrasi di keheningan malam. Kemudian di Mina, jamaah melempar Jumrah. Ini merupakan lambang perlawanan manusia melawan penindasan dan kebiadaban. Demikianlah makna ritualitas haji yang penuh dengan simbol kejuangan hidup manusia. Semoga para jamaah haji dapat menangkap makna simbol-simbol itu dan merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. - ah

Kamis, 30 Oktober 2008

Kenikmatan yang Menipu


Oleh: Dede Sulaeman

Dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda, ''Ada dua nikmat di mana manusia banyak tertipu karenanya, yaitu nikmat kesehatan dan kesempatan.'' (HR Bukhari).

Kecenderungan manusia mencintai dunia telah diungkapkan dengan sangat baik dalam Alquran. Bahwa, manusia memiliki kecenderungan pada kesenangan terhadap perempuan, anak, dan perangkat fisik lainnya. Hal ini tidak dilarang. Manusia hanya diperintahkan menjaganya agar tidak berlebihan.

Namun, kenyataan menggambarkan bahwa manusia kebanyakan tidak bisa menahan untuk selalu berlebihan. Ramadhan yang lalu, kita bisa mengamati bagaimana budaya konsumtif memenuhi ruang bulan suci tersebut.Mulai hari pertama puasa, orang-orang sibuk menyiapkan makanan yang enak, lebih enak dari bulan biasa. Semua makanan disiapkan, bahkan berlebih. Akibatnya, kadang-kadang, tidak termakan.

Selain itu, pasar tiba-tiba menaikkan harga begitu tinggi. Namun, pembeli tetap saja banyak dan berbelanja secara berlebihan. Hal itu jelas bukanlah kegiatan yang diajarkan Rasulullah SAW untuk bersikap wajar, seimbang antara ibadah dan kesenangan dunia.Banyak hal menunjukkan bahwa manusia tidak bisa menahan untuk tak berlebihan. Padahal, berlebihan itu memiliki garis kedekatan dengan setan.

Maka, sikap waspada sangat penting. Waspada menjadi kunci supaya kita terhindar dari kesalahan yang sering tidak disadari. Hadis yang ditampilkan dalam pembuka tulisan ini menjadi sangat relevan untuk menjawab persoalan tersebut.Sekilas, kita akan mengerti bahwa setiap orang sering tidak mensyukuri nikmat. Ketika sehat, orang lupa pada sakit. Begitupun kesempatan. Saat orang memiliki banyak waktu untuk melakukan kebaikan, saat itu pula ia berniat menangguhkannya. Padahal, Allah SWT kapan pun bisa mengambil hidup manusia di dunia.

Maka, kenikmatan berupa kesehatan, kesempatan, kedudukan, dan kenikmatan lain yang sering melenakan manusia harus diwaspadai supaya tidak terjebak pada sikap menyia-nyiakan nikmat. Dengan itu, kita bisa menjadi manusia yang dicintai Allah SWT karena mengikuti petunjuk-Nya.

(-)

Senin, 27 Oktober 2008

Sebuah Akhir Kemiskinan

Oleh: Zaim Uchrowi

Awal pekan ini, saya ke Bengkulu Utara. Sebuah perjalanan yang membuat saya sempat membaca buku An End To Poverty? yang sudah lama tergeletak di kamar. Buku yang ditulis Gareth Stedman Jones ini mengangkat sebuah debat kesejarahan: bagaimana mengatasi kemiskinan? Latar belakangnya adalah Eropa di akhir Abad ke-18. Pada masa itu, kemiskinan masih menguasai kawasan tersebut walau kemajuan mulai melesat setelah berlangsung gerakan Pencerahan.

Renaisans. Adalah Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika yang dipandang sebagai titik mula pengakhiran kemiskinan. Itulah saat berkembang keyakinan untuk mewujudkan dunia yang terbebas dari kesulitan ekonomi yang serius. Dunia yang membuat ketidakberuntungan tak akan berkembang menjadi kemiskinan mendalam. Pemikiran Antoine Nicolas de Condorcet dan Tom Paine menjadi bahasan utama buku ini. Juga, perdebatan yang mengiringinya. Pemikiran itu tampaknya cukup penting untuk ikut berkontribusi dalam membangun Barat yang relatif bebas dari kemiskinan sekarang. Pemikiran serius yang mungkin belum pernah ada di kalangan umat, juga di masyarakat Nusantara ini, dalam beberapa abad terakhir.

Saya selalu menikmati perjalanan darat di daerah. Perjalanan begitu memungkinkan melihat dari dekat kehidupan masyarakat dari satu tempat ke tempat lainnya. Perjalanan yang biasanya akan membuat saya lebih banyak mengatupkan bibir. Sedih melihat kehidupan masyarakat ini. Itu yang hampir selalu saya dapatkan di berbagai perjalanan. Itu pula yang saya dapatkan di Bengkulu. Wajah kemiskinan begitu terasa. Saya meyakini gerakan pembangunan kependudukan dan lingkungan yang serentak akan menjadi kunci keberhasilan kita keluar dari kemiskinan. Namun, kenyataan di masyarakat selalu menunjukkan bahwa justru pembangunan kependudukan dan lingkungan itu yang paling terabaikan.

Pembangunan terpadu kependudukan dan lingkungan praktis tak terakomodasi oleh sistem politik, birokrasi, bahkan oleh sistem keagamaan yang berjalan. Dengan kondisi kependudukan dan lingkungan demikian, bagaimana cara Indonesia terbebas dari kemiskinan? Itu yang berkecamuk di pikiran saya hingga kemudian saya tiba di Laiz, kota kecamatan tempat seremoni penyerahan bantuan BUMN Peduli pada korban gempa Bengkulu. Di situ, saya bertemu Pak Syamlan, wakil gubernur Bengkulu, dan Pak Imron, bupati Bengkulu Utara, yang memberi kabar baik. Yakni, petani setempat selama beberapa tahun terakhir ini hidup makmur berkat kebun sawit.

Tak sedikit keluarga petani yang punya empat sampai lima motor, bahkan mobil. "TV-nya besar-besar dan semua punya VCD," kata Pak Syamlan. Kulkas dan pembangkit listrik sudah menjadi bagian kehidupan mereka. Tapi, saat ini, mereka tengah terperangah. Batuknya ekonomi di Amerika ternyata menjadi 'gempa' di perkebunan rakyat yang selama ini aman, tenteram, dan sejahtera. Harga sawit yang semula Rp 1500 terpangkas menjadi Rp 350, bahkan Rp 270 per kg. Harga pupuk melayang tinggi. Itu pun pupuknya tidak ada. Para petani menjerit.

Ekonomi tiba-tiba ambruk, sedangkan umumnya mereka tak punya tabungan. Hasil panennya selama ini lebih banyak dibelanjakan untuk barang-barang konsumtif itu, bukan buat ditabung. Berbagai perkiraan meyakini bahwa akan sangat banyak masyarakat yang segera jatuh miskin kembali akibat krisis global sekarang.

Saya terdiam. Sistem ekonomi yang sangat kapitalistik dengan permainan keuangannya (termasuk melalui bursa komoditas) memang menjadi biang kehancuran semua ini. Tetapi, terbukti pula bahwa mentalitas masyarakat juga punya andil besar dalam memiskinkan bangsa dan umat ini. Kemiskinan bukan semata persoalan ekonomi yang akan selesai dengan kucuran bantuan, bahkan juga dengan zakat. Lebih dari itu, kemiskinan juga persoalan kualitas kependudukan yang terkait dengan kualitas iman, mentalitas, serta kualitas pengetahuan dan keterampilan hidup. Sedangkan, kualitas kependudukan akan selalu kait-mengait dan tak dapat dipisahkan dengan penataan lingkungan yang mencakup tata wilayah, tata kota, sistem pemukiman, penghijauan, air dan kali bersih, udara segar, dan sebagainya.

Sebagaimana pandangan de Condorcet dan Paine, saya meyakini bahwa kemiskinan tak cukup diatasi dengan redistribusi ekonomi. Kemiskinan juga perlu diatasi dengan pendidikan karakter (seperti yang sekarang diperjuangkan Bu Ratna Megawangi). Juga, dengan membangun kemerdekaan spiritualitas. Akses pada pendidikan bagus serta kemerdekaan spiritualitas itu yang masih jauh untuk dapat sepenuhnya terwujud. Itu berarti kita masih memerlukan proses panjang untuk dapat melihat sebuah akhir kemiskinan di bangsa besar ini.

(-)

Jumat, 24 Oktober 2008

Khadijah

Oleh: Erwan Roihan

Khadijah binti Khuwailid menenangkan kegelisahan suaminya, Muhammad SAW, manakala menerima wahyu pertama di gua Hira`. Saat itu, Muhammad mengalami ketakutan karena didekap oleh Malaikat Jibril dan disuruh membaca, padahal beliau tidak dapat membaca. Muhammad pulang dengan membawa ketakutan seraya meminta Khadijah untuk menyelimutinya.

Khadijah menghibur suaminya tercinta seraya berkata, ''Sekali-kali tidak. Demi Allah. Allah tidak akan menghinakan engkau selamanya. Sesungguhnya engkau selalu menyambung hubungan keluarga, engkau memikul beban tanggungan orang lain, engkau mengusahakan kerja bagi para penganggur, engkau memuliakan tamu, dan engkau juga mengerjakan berbagai kebaikan.'' (Shahih Al-Bukhari 1/5).

Muhammad SAW adalah lelaki terbaik sepanjang zaman dan manusia yang paling bertakwa kepada Allah. Walau demikian, beliau adalah manusia biasa yang mungkin saja mengalami ketakutan. Pada saat itulah, peran seorang istri shalihah sangat diperlukan di dalam menstabilkan keguncangan psikis yang dialami sang suami.

Khadijah adalah istri teladan. Dia adalah wanita yang menafkahkan dirinya dan hartanya untuk perjuangan Islam. Dia senantiasa setia menemani suaminya dalam segala keadaan, bahkan dalam kondisi tersulit sekalipun. Pantaslah bila Nabi SAW merasa sangat kehilangan ketika Khadijah wafat, dan beliau terus mengenang istrinya itu sepanjang hayat.

Khadijah adalah gambaran keteladanan seorang istri. Ia mendampingi suaminya dalam usaha untuk meraih surga, dan mereka berdua berhasil meraihnya. Khadijah mendorong suaminya untuk bangkit berdakwah, manakala sang suami mengalami ''trauma psikologis'' saat menerima wahyu pertama.

Allah menghargai peran serta Khadijah di dalam perjuangan Islam. Sebuah rumah di surga telah disediakan untuk Khadijah, sebagaimana termaktub dalam sebuah hadis. ''Nabi SAW memberi kabar gembira kepada Khadijah berupa rumah yang terbuat dari permata, tiada suara bising di sana, dan tiada pula keletihan.'' (Shahih Al-Bukhari 12/188, hadis no. 3535).

Para istri, mari berkaca lagi. Sudahkan Khadijah ada dalam jiwa kita? Sudahkan kita menjadi Khadijah bagi suami kita? Ataukah kita masih menjadi istri yang berdiri di samping suami tapi tidak mampu menenangkan kegelisahan suami dan justru menjadi sebab kegelisahan suami?

Senin, 20 Oktober 2008

Wallahu A'lam


Oleh: Ahmad Syaikhu

''Wahai manusia, siapa yang mengetahui akan suatu (ilmu), maka berkatalah dengannya. Dan, siapa yang tidak mengetahui (ilmunya), maka berkatalah wallahu a'lam karena sesungguhnya jawaban yang demikian adalah bagian dari ilmu. Allah berfirman pada Rasul-Nya, 'Katakanlah (hai Muhammad) Aku tidak akan meminta upah sedikit pun atas dakwah-Ku dan bukanlah Aku termasuk orang yang mengada-adakan'.'' (HR Bukhari).

Adalah suatu hal yang lazim dilakukan oleh manusia, entah disadari atau tidak, malu atau gengsi untuk berkata 'tidak tahu', jika ditanyai akan suatu permasalahan. Bahkan, tidak jarang untuk menutupi ketidaktahuannya, seseorang berkata dusta. Padahal, dengan demikian, ia telah menzalimi orang yang bertanya dan secara tidak langsung ia juga telah membohongi diri. Bukankah Allah sangat tidak suka pada manusia yang berbicara tanpa pengetahuan? (lihat QS Albaqarah [2]: 80).

Hadis di atas dengan tegas menjelaskan dua sikap arif yang selayaknya dilakukan manusia saat bermuamalah. Pertama, berkata dengan ilmu. Maksudnya, manusia itu bersikap tidak enggan atau sungkan, apalagi malu, ketika mengungkapkan pendapat atas sebuah permasalahan yang diketahui atau mengetahui ilmunya.

Kedua, anjuran untuk berkata wallahu a'lam pada permasalahan yang tidak diketahui. Karena, sesungguhnya, berkata wallahu a'lam adalah sebuah ungkapan yang keluar dari lisan seorang yang memiliki pengetahuan.
Lebih tegas, Allah berfirman dalam QS Shaad ayat 86, ''Katakanlah (hai Muhammad), Aku tidak akan meminta upah sedikit pun atas dakwah-Ku dan bukanlah Aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.'' Maksudnya, Allah tidak akan memberikan beban pada urusan-urusan yang tidak diketahui oleh manusia.

Begitulah Allah dan Rasul-Nya mengajari kita. Tidaklah heran jika dalam riwayat lain, Rasul bersabda, ''Maka, hendaknya kalian berkata baik atau lebih baik diam (dibandingkan berkata yang tidak baik).'' (Alhadis).
Sejatinya, berkata tidak tahu, terlebih wallahu a'lam, tidaklah akan mengurangi martabat dan ilmu yang dimiliki. Sebaliknya, bersikap sok tahu bukan hanya menjerumuskan orang lain, tapi juga menistakan diri. Wallahu a'lam

Kamis, 16 Oktober 2008

Masjidku Rumahku


Oleh Ali Farkhan Tsani

Dengan perasaan cinta yang mendalam kepada sahabatnya, suatu ketika Abu Darda menulis surat kepada sahabatnya, Salman Al-Faris. Isi suratnya antara lain berbunyi, ''Wahai Saudaraku, pergunakanlah masa hidupmu untuk kepentingan ibadah, sebelum tiba bencana yang menyebabkanmu tidak dapat beribadah.

Wahai Saudaraku, jadikanlah masjid bagaikan rumahmu. Sebab, Rasulullah SAW pernah bersabda, 'Masjid itu sebagai rumah bagi orang yang bertakwa'. Allah telah menjamin bagi orang-orang yang menjadikan masjid sebagai rumahnya dengan kelapangan hati, kesenangan, kepuasan, kemudahan menyeberangi jembatan, selamat dari api neraka, dan segera menuju keridhaan Allah SWT.''

Menjadikan masjid sebagai rumah tampak terasa pada hari-hari selama bulan Ramadhan. Terutama sekali pada waktu malam hari, di mana kebanyakan umat Islam memakmurkan masjid dengan buka bersama, shalat berjamaah, shalat tarawih, taklim, tadarus Alquran, hingga beriktikaf pada sepuluh hari terakhir di dalamnya. Lepas Ramadhan, masjid kembali sepi.

Bagi mereka yang menjadikan masjid bagaikan rumahnya, yang selalu menambatkan jiwanya ke masjid, rindu melaksanakan ibadah berlama-lama di dalam masjid, dan berusaha menyucikan dirinya dari daki-daki dosa. Allah berkata di dalam kalam suci-Nya, ''Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya, ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.'' (QS Attaubah [9]: 108).

Menjadikan masjid sebagai rumah, bukan sebatas mendatanginya secara fisik. Tetapi, lebih jauh dari itu, selalu membawa hakikat masjid, yakni tempat bersujud, dalam setiap derap dan langkah kehidupan. Artinya, ke manapun kita pergi, di manapun kita berada, dalam keadaaan dan cuaca bagaimanapun, serta serumit apa pun masalah yang kita hadapi, hendaklah jangan lupa selalu kita memohon petunjuk-Nya, meminta perlindungan, mengharap pertolongan-Nya, seraya bersujud takluk pada syariat-Nya.

Mudah-mudahan dengan demikian, Allah pun berkenan memanjakan kita hamba-hamba-Nya yang cinta masjid dengan melipatgandakan ganjaran kebaikan, mewangikan bau mulut kita kelak dengan minyak kesturi, menghapuskan dosa-dosa kita yang telah lalu, serta menyediakan pintu khusus Ar-Rayaan untuk masuk ke dalam surga-Nya. Amin.

Rabu, 08 Oktober 2008

Minal Aidin

Oleh: M Bambang Edi Susyanto

Minal 'aidin wal-faizin adalah untaian kalimat yang sangat populer di sekitar Hari Raya Idul Fitri. Masyarakat Muslim Indonesia mengucapkan kalimat tersebut dalam perjumpaan sekitar masa Lebaran. Ungkapan ini jauh lebih populer daripada doa Lebaran yang lebih standar, yakni taqobbalallahu minnaa wa-minkum.

Secara bahasa, arti minal 'aidin wal-faizin adalah "dari (golongan) orang-orang yang kembali dan yang mendapat keuntungan". Jadi, sebenarnya ia merupakan penggalan doa yang kalimat lengkapnya adalah sebagai berikut: "Semoga Allah SWT menjadikan kita sebagai bagian dari (golongan) orang-orang yang kembali (al-'aa idun) dan yang mendapat kemenangan (al-faaizuun)". Dalam bahasa Arab, doa ini dapat dilafalkan sebagai berikut: Ja'alanallahu wa iyyaakum minal 'aidin wal-faizin."

Ungkapan minal 'aidin menggambarkan keinginan kita agar dijadikan Allah sebagai bagian dari orang-orang yang kembali kepada fitrah, bukan sekadar kembali makan (ifthar atau buka) setelah berpuasa.

Sementara itu, ungkapan wal-faizin mewakili harapan kita untuk menjadi pemenang atau mendapat kemenangan hakiki, yang berkaitan dengan keberhasilan proses penggemblengan selama Ramadhan yang merupakan bulan bakti (bulan amal salih) sekaligus bulan pendidikan (tarbiah).

Rasulullah menggambarkan keberhasilan puasa sebagai kembalinya sang pelaku kepada sifat-sifat fitri seorang bayi yang baru dilahirkan. Kembalinya fitrah ini dapat dikaitkan dengan bersihnya hati dari dosa karena amal salih selama Ramadhan dijanjikan akan menutup dosa pelakunya sebagaimana disabdakan Rasul. Kembali kepada fitrah juga dapat dikaitkan dengan kokohnya tauhid sebagaimana kokohnya jawaban kita atas pertanyaan Allah di saat kita belum dilahirkan, alastu birobbikum? (apakah engkau akui bahwa Aku Rabbmu?).

Adapun kemenangan, dapat dihubungkan dengan berbagai jenis kemenangan hakiki sebagaimana disebut dalam Alquran. Di antaranya, derajat yang tinggi di sisi Allah (QS At-Taubah [9]:20), ridha Allah (QS At- Taubah [9]:72), surga (QS At-Taubah [9]: 100), dan karunia dari Allah (QS Ad-Dukhaan [44]: 57). Kemenangan juga dikaitkan dengan sifat-sifat baik, yang dikembangkan selama Ramadhan. Yakni, ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (QS Al-Ahzab [33]:71), kesabaran (QS Al-Mu'minun [23]: 111), serta takut dan ketakwaan kepada Allah (QS An-Nur [24]: 52).

Selasa, 07 Oktober 2008

Malu

Oleh: Imam Syarifuddin

Malu adalah sifat yang dipuji oleh semua makhluk, tidak terkecuali hewan. Karena, semua makhluk, khususnya manusia, tidak mau atau benci kalau dikatakan tidak bermoral, tidak beradab, aibnya diketahui orang, dan sebagainya. Malu adalah fitrah manusia.

Dalam Islam, malu adalah salah satu ciri keistimewaan akhlak Islam. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, ''Sesungguhnya, setiap agama memiliki keistimewaan akhlak. Dan, keistimewaan akhlak Islam adalah malu.''

Bahkan, dalam hadis lain, Nabi bersabda, ''Malu adalah sebagian daripada iman.'' Artinya, tidak sempurna iman seseorang kalau dia tidak memiliki sifat malu. Dan, Abu Na'im dalam kitab Mukhtarul Ahadist meriwayatkan bahwa Nabi bersabda, ''Malu dan iman keduanya selalu berbarengan. Apabila salah satu di antaranya lenyap, yang lainnya pun akan lenyap pula.'' Karena, ''Malu tidak mendatangkan, kecuali kebaikan.'' (HR Syaikhan).

Iman dalam Islam memiliki tiga komponen yang saling berkaitan erat, tidak dapat dipisahkan, yaitu keyakinan, ikrar, dan amal perbuatan.
Apabila rasa malu hilang, seluruh kebaikan pun akan lenyap. Kalau kebaikan lenyap, apa yang dapat kita harapkan dari kehidupan dunia ini? Dan, yang harus kita waspadai adalah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Fitan, ''Sesungguhnya, Allah apabila ingin menghukum hamba-Nya, salah satu tandanya adalah hilangnya rasa malu.''

Maka, dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, kita harus memupuk rasa malu agar kebahagiaan, ketenteraman, dan keamanan dapat terwujud. Semua komponen masyarakat harus terlibat, baik pemimpin, cendekiawan, ulama, maupun rakyat. Karena, semua komponen saling memiliki ketergantungan. Malu bila mencuri hak rakyat, malu bila tidak bisa berbuat maksimal untuk kemaslahatan rakyat, malu bila menerima gratifikasi dalam ''baju'' parsel, dan sebagainya.

Ulama atau cendekiawan yang berfungsi sebagai penengah juga harus berbekal malu yang banyak. Malu bila mau diperalat penguasa, malu bila tidak bisa memberikan masukan yang positif bagi rakyat, dan malu bila menyembunyikan ilmu yang dimiliki. Semoga Allah SWT selalu menuntun, membimbing, dan melindungi pemimpin, ulama, dan rakyat negeri ini. Amin Ya Rabbal Alamin.