Selasa, 25 November 2008

Haji, Ritual Persaudaraan Global

KOMPAS/DUDI SUDIBYO
Jemaah haji bergegas memasuki Masjid Nabawi di Madinah menjelang shalat magrib.


LEBIH dari 3.500 tahun lalu, Nabi Ibrahim berdoa di atas gurun tak berpenghuni agar Allah menggerakkan hati-hati manusia untuk datang mengunjungi Baitullah.

Sekitar 1.500 tahun lalu, Nabi Muhammad, cucu terakhir Nabi Ibrahim dari putranya, Nabi Ismail, menunaikan ibadah haji yang pertama sekaligus yang terakhir, yang dikenal sebagai Haji Terakhir (Hajjatul Wada’), bersama sekitar 100.000 hingga 125.000 kaum Muslimin.

Sekarang, setiap tahun umat Islam yang menunaikan ibadah haji berjumlah 3 juta hingga 5 juta orang, sebuah pencapaian yang luar biasa.

Doa Nabi Ibrahim terkabul tanpa henti. Rumah Allah itu menjadi magnet yang menggerakkan hati umat manusia untuk datang mengunjunginya. Bayangkanlah petani-petani miskin di pelosok pedesaan Indonesia atau pelosok-pelosok miskin di Benua Afrika yang harus menabung selama bertahun-tahun hanya untuk mengakhiri hidup dengan satu mimpi yang tulus: pernah sekali memenuhi panggilan Allah ke rumah-Nya di Mekkah.

Kekuatan apakah yang dapat dengan begitu dahsyat menggerakkan hati manusia untuk memenuhi panggilan itu? Kekuatan apakah yang menjelaskan bahwa secara ajaib populasi mereka yang melakukan ibadah haji terus bertambah? Mereka secara terus-menerus menunaikan ibadah haji, bahkan jauh sebelum negara terlibat mengurus perjalanan mereka yang akan berhaji. Ketika pada akhirnya negara mulai terlibat mengurus perjalanan tamu-tamu Allah, populasi mereka yang ingin berangkat terus bertambah.

Itulah tabiat agama. Itulah sejarah akidah. Imperium, dinasti, kerajaan, pemerintahan, dan rezim semua datang silih berganti, bangkit dan jatuh lalu hilang dari muka bumi karena sejarah mereka dirakit dari tanah dan darah sehingga ia sempit dan terbatas. Untuk bertahan, ia harus bersikap ekstrem dalam ekspansi atau defensi, dan akhirnya harus menjadi narsis dan posesif dalam mencatat sejarahnya sendiri.

Islam datang melampaui era primordialisme itu. Tanah dan darah mungkin menyatukan kita secara romantis, tetapi takkan pernah mampu bertahan lama. Secara mengesankan kita dihadapkan pada fakta sejarah bahwa khilafah-khilafah Islam sepanjang 1.500 tahun bangun dan runtuh silih berganti, dengan konflik internal yang juga berdarah-darah, tetapi populasi pemeluk agama ini terus bertambah.

Rasio umat Islam dengan penduduk bumi pada masa Rasulullah SAW adalah 1 Muslim dari setiap 1.000 penduduk bumi. Kini, rasio itu menjadi satu Muslim dari setiap lima penduduk bumi. Inilah bagian dari janji Allah sendiri bahwa agama Allah akan tetap terjaga.

Haji adalah salah satu penjelasannya. Ini merupakan ritual persaudaraan global yang semua prosesinya menyampaikan pesan kesamaan asal-usul manusia, kesetaraan derajat, peleburan perbedaan etnis dan warna kulit, semangat perdamaian, etika persaudaraan, dan pertukaran manfaat duniawi di tengah aura ibadah.

Sejarah abad ke-20 lalu, misalnya, adalah sejarah perang dengan lebih dari 20 juta jiwa korban di Eropa saja. Dan, itu berakar dari pengembangan ide tentang seleksi alam dan survival competition, keserakahan yang dipicu dari kekhawatiran akan kelangkaan sumber daya, dan seterusnya. Jadi, jika pemeluk agama ini terus bertambah, jawabnya terletak pada kerinduan natural manusia kepada perdamaian yang abadi, kesamaan asal-usul manusia, kesetaraan derajat yang tegas, persaudaraan yang tulus tanpa sekat etnis, dan warna kulit atau kewarganegaraan.

Makna persaudaraan global itulah yang divisualisasikan secara tahunan dalam ritual haji, agar petani kecil Indonesia bisa bertemu dengan saudaranya dari ujung Afrika, atau intelektual dari Eropa dan Amerika, atau seorang ulama dari bangsa Arab, atau seorang pedagang dari bangsa China. Pertemuan itulah yang mereka rindukan, yang mempersaudarakan mereka, dalam naungan ibadah sembari memetik manfaat duniawi seperti perdagangan.

Itulah ritual yang terus memanggil-manggil. Itulah ritual yang tak pernah sepi. Suatu saat ulama terkemuka negeri ini, Buya Hamka, yang telah berhaji selama tiga kali mengatakan, aku selalu rindu untuk kembali ke sana.

M Anis Matta - Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera

Tidak ada komentar: