Sabtu, 15 November 2008

Haji Mabrur dan Revolusi Sosial


Yusuf Burhanudin
Alumnus Universitas Al-Azhar Mesir

Terhitung awal November lalu kafilah haji Indonesia mulai berangkat ke Tanah Suci guna menunaikan rukun Islam kelima. Adalah fakta menggembirakan jika setiap tahun jumlah jamaah haji dari Tanah Air cenderung meningkat. Namun, cukup disayangkan kuantitas jamaah yang terus meningkat signifikan itu tidak diiringi dengan tingginya kualitas hidup berbangsa secara menyeluruh. Dekadensi moral level individu (fahsya) maupun kolektif (munkar) seperti kemiskinan, kebodohan, kriminalitas, korupsi, dan berbagai bentuk ketidakadilan kian menjadi-jadi sehingga makin menggerus imunitas sosial kebangsaan negeri ini ke depan.

Gegap gempita ibadah haji yang tidak linier dengan perilaku sosial umat diakibatkan haji masih dianggap pesta individu atau dipahami sekadar seremoni dan selebrasi. Padahal, jika ditinjau dari segi bahasa, haji bermakna al-qashduyang berarti naik atau menuju. Makna ini mengisyaratkan pelakunya siap meninggalkan sekaligus menanggalkan kesenangan duniawi yang individual (disimbolkan pengorbanan harta, waktu, keluarga, dan kampung halaman) menuju pengabdian sosial. Perpindahan fisikal dari Tanah Air menuju Tanah Suci tak lebih perpindahan artikulatif orientasi individual-material menuju misi sosial-spiritual terutama sepulangnya dari haji.

Esensi makna mabrur yang mengisyaratkan diterimanya ibadah haji terbentuk dari kata al-birr, berarti pancaran kebaikan sosial. Firman-Nya: ''Kalian belum mencapai kebaikan (al-birr) hingga mampu mendermakan sebagian harta yang kalian cintai.'' (QS Ali Imran [3]: 92). Bahkan dalam riwayat, Rasulullah ditanya, ''Apa makna mabrur?'' Dijawab, ''Suka memberi makan (bantuan sosial) dan lemah lembut dalam bicara.'' (HR Ahmad).

Dengan begitu, mabrur sesungguhnya proses yang tidak terhenti begitu saja saat prosesi haji berlangsung, tapi berlanjut pembuktiannya di masyarakat. Mabrur merupakan cita sosial para hujaj sepulangnya dari Tanah Suci dalam mengempati, mengemansipasi, dan mengangkat harkat martabat sesama dari kemiskinan, pengangguran, kebodohan, dan keterbelakangan. Dalam konteks inilah orang yang berangkat haji berkali-kali di kala masih banyak tetangga kelaparan kontraproduktif dan tumpul menghayati cita revolusi sosial ibadah haji.

Menjaga kesucian niat
Kemurnian niat dan titik pemberangkatan seseorang (inthilaq) sebelum berhaji, berikutnya akan mewarnai perilaku sosio religius dan tanggung jawab kehajian yang bersangkutan. Rasulullah bersabda: ''Barangsiapa berniat hijrah untuk Allah dan Rasul-Nya, ia berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi barangsiapa berhijrah dengan niat duniawi atau demi perempuan yang dinikahi, ia kelak berhijrah kepadanya.'' (HR Muttafaq Alaih).

Ibadah haji bukan saja membutuhkan persiapan material, tetapi juga kesiapan mental-spiritual. Haji jelas tak sekadar berangkat ke Makkah tanpa sedikit pun mengubah sifat maupun sikap pelakunya. Ketidaksiapan mental spiritual sebelum berhaji, selain mereduksi ibadah sebagai suatu kebiasaan juga bisa mengikis nilai-nilai implikasi sosialnya yang menjadi misi ibadah haji.

Bagi orang yang suka mengolok orang lain, misalnya, akan sulit menahan perbuatan yang sama saat di Tanah Suci, padahal perbuatan tersebut merusak nilai kesucian ibadah haji. Demikian juga dengan mereka yang sebelumnya pelit, ketika datang dari haji pun masih tetap pelit. Karenanya, dalam karya magnum opusnya, Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengkritik keras para hujaj agar terlebih dahulu menyucikan jiwa dan hati mereka. Betapa banyak para hujaj mengabaikan aspek-aspek ibadah haji berdimensi psikis maupun etis.

Cita revolusi sosial
Sebagai rukun Islam terakhir, haji bagi seorang Muslim menjadi titik komplementer yang mempertemukan kewajiban individual dan misi sosial. Pulang haji, bukan berarti tugas ibadah usai, bahkan menanti pengabdian lebih tinggi. Berikutnya mentalitas mabrur mesti terkomunikasikan secara sosial dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Meskipun niat yang ditekadkan karena Allah (vertikal), efek yang diharapkan sebenarnya sangat horizontal.

Dengan kata lain, haji adalah ajang seorang Muslim menempa tanggung jawab keumatan kelak sepulangnya dari haji. Para hujaj berikutnya dituntut mempersiapkan diri untuk mengejawantahkan nilai-nilai sosio-spiritual haji sebagaimana yang ia peroleh saat melaksanakan manasik haji. Mulai ihram yang menunjuk kelemahan manusia di hadapan-Nya. Tawaf merujuk siklus dan perputaran hidup, tetapi mesti tetap dalam garis Ilahiah (istiqamah). Wukuf melambangkan keharusan senantiasa berintrospeksi hingga berakhir dengan hadyu, yakni keharusan berkorban untuk sesama.

Sepulang dari Tanah Suci, sebagai duta umat dan bangsa, para hujaj harus mempersiapkan diri masing-masing untuk berbaur dengan ragam problematika keumatan mutakhir secara partisipatif menyongsong pemberdayaan umat dalam bidang hukum, ekonomi, pendidikan, politik, dan budaya. Sudah mafhum, pada umumnya para hujaj tergolong kelas masyarakat mampu menengah ke atas.

Dengan kelebihan materi, alih-alih berpikir berangkat haji tiap tahun, akan lebih produktif jika kelebihan itu dialokasikan menolong kerabat miskin, menyantuni anak yatim, membiayai siswa putus sekolah, menciptakan lapangan kerja, dan lainnya. Jika saja setiap tahun ada 200 ribu orang jamaah haji Indonesia, biaya yang dibutuhkan tak kurang dari Rp 20 juta per orang. Jika 25 persen saja dari jumlah itu kita berdayakan, kita mendapatkan angka Rp 1 triliun per tahun. Angka yang tidak kecil untuk menuntaskan kemiskinan dan memberdayakan pendidikan umat.

Kalaupun tidak aktif memandu umat ke arah kehidupan lebih baik, jadilah haji pasif yang cukup memberi teladan dan teladan perilaku terpuji di tengah-tengah masyarakat. Pendeknya, kalau tidak mampu jadi solusi, jangan menambah beban yang ada. Bagi para hujaj dari kalangan pejabat, misalnya, jika tidak mampu memberantas korupsi minimalnya dirinya tidak lalu menjadi koruptor baru sepulang dari haji. Apalagi mengeksploitasi maupun memanipulasi gelar haji atau hajah untuk menutupi kelakuan korup dan antisosialnya.

Para hujajadalah duta umat yang diharapkan kembali ke pangkuan bumi pertiwi dengan mengantongi predikat manusia suci yang memiliki sensibilitas sosial tinggi. Ini karena ibadah haji merupakan panggilan jihad yang memisikan komitmen sosial guna mengentaskan ragam problematika kemanusiaan dalam hidup berbangsa dan bernegara.


Ikhtisar:
- Esensi mabrur yang mengisyaratkan diterimanya ibadah haji terbentuk bila sepulang dari haji bisa meningkatkan amal kebaikan sosial.
- Haji berulang-ulang justru pertanda mereka belum bisa memiliki pancaran sosial dari efek ibadah haji.

Tidak ada komentar: