Senin, 27 Oktober 2008

Sebuah Akhir Kemiskinan

Oleh: Zaim Uchrowi

Awal pekan ini, saya ke Bengkulu Utara. Sebuah perjalanan yang membuat saya sempat membaca buku An End To Poverty? yang sudah lama tergeletak di kamar. Buku yang ditulis Gareth Stedman Jones ini mengangkat sebuah debat kesejarahan: bagaimana mengatasi kemiskinan? Latar belakangnya adalah Eropa di akhir Abad ke-18. Pada masa itu, kemiskinan masih menguasai kawasan tersebut walau kemajuan mulai melesat setelah berlangsung gerakan Pencerahan.

Renaisans. Adalah Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika yang dipandang sebagai titik mula pengakhiran kemiskinan. Itulah saat berkembang keyakinan untuk mewujudkan dunia yang terbebas dari kesulitan ekonomi yang serius. Dunia yang membuat ketidakberuntungan tak akan berkembang menjadi kemiskinan mendalam. Pemikiran Antoine Nicolas de Condorcet dan Tom Paine menjadi bahasan utama buku ini. Juga, perdebatan yang mengiringinya. Pemikiran itu tampaknya cukup penting untuk ikut berkontribusi dalam membangun Barat yang relatif bebas dari kemiskinan sekarang. Pemikiran serius yang mungkin belum pernah ada di kalangan umat, juga di masyarakat Nusantara ini, dalam beberapa abad terakhir.

Saya selalu menikmati perjalanan darat di daerah. Perjalanan begitu memungkinkan melihat dari dekat kehidupan masyarakat dari satu tempat ke tempat lainnya. Perjalanan yang biasanya akan membuat saya lebih banyak mengatupkan bibir. Sedih melihat kehidupan masyarakat ini. Itu yang hampir selalu saya dapatkan di berbagai perjalanan. Itu pula yang saya dapatkan di Bengkulu. Wajah kemiskinan begitu terasa. Saya meyakini gerakan pembangunan kependudukan dan lingkungan yang serentak akan menjadi kunci keberhasilan kita keluar dari kemiskinan. Namun, kenyataan di masyarakat selalu menunjukkan bahwa justru pembangunan kependudukan dan lingkungan itu yang paling terabaikan.

Pembangunan terpadu kependudukan dan lingkungan praktis tak terakomodasi oleh sistem politik, birokrasi, bahkan oleh sistem keagamaan yang berjalan. Dengan kondisi kependudukan dan lingkungan demikian, bagaimana cara Indonesia terbebas dari kemiskinan? Itu yang berkecamuk di pikiran saya hingga kemudian saya tiba di Laiz, kota kecamatan tempat seremoni penyerahan bantuan BUMN Peduli pada korban gempa Bengkulu. Di situ, saya bertemu Pak Syamlan, wakil gubernur Bengkulu, dan Pak Imron, bupati Bengkulu Utara, yang memberi kabar baik. Yakni, petani setempat selama beberapa tahun terakhir ini hidup makmur berkat kebun sawit.

Tak sedikit keluarga petani yang punya empat sampai lima motor, bahkan mobil. "TV-nya besar-besar dan semua punya VCD," kata Pak Syamlan. Kulkas dan pembangkit listrik sudah menjadi bagian kehidupan mereka. Tapi, saat ini, mereka tengah terperangah. Batuknya ekonomi di Amerika ternyata menjadi 'gempa' di perkebunan rakyat yang selama ini aman, tenteram, dan sejahtera. Harga sawit yang semula Rp 1500 terpangkas menjadi Rp 350, bahkan Rp 270 per kg. Harga pupuk melayang tinggi. Itu pun pupuknya tidak ada. Para petani menjerit.

Ekonomi tiba-tiba ambruk, sedangkan umumnya mereka tak punya tabungan. Hasil panennya selama ini lebih banyak dibelanjakan untuk barang-barang konsumtif itu, bukan buat ditabung. Berbagai perkiraan meyakini bahwa akan sangat banyak masyarakat yang segera jatuh miskin kembali akibat krisis global sekarang.

Saya terdiam. Sistem ekonomi yang sangat kapitalistik dengan permainan keuangannya (termasuk melalui bursa komoditas) memang menjadi biang kehancuran semua ini. Tetapi, terbukti pula bahwa mentalitas masyarakat juga punya andil besar dalam memiskinkan bangsa dan umat ini. Kemiskinan bukan semata persoalan ekonomi yang akan selesai dengan kucuran bantuan, bahkan juga dengan zakat. Lebih dari itu, kemiskinan juga persoalan kualitas kependudukan yang terkait dengan kualitas iman, mentalitas, serta kualitas pengetahuan dan keterampilan hidup. Sedangkan, kualitas kependudukan akan selalu kait-mengait dan tak dapat dipisahkan dengan penataan lingkungan yang mencakup tata wilayah, tata kota, sistem pemukiman, penghijauan, air dan kali bersih, udara segar, dan sebagainya.

Sebagaimana pandangan de Condorcet dan Paine, saya meyakini bahwa kemiskinan tak cukup diatasi dengan redistribusi ekonomi. Kemiskinan juga perlu diatasi dengan pendidikan karakter (seperti yang sekarang diperjuangkan Bu Ratna Megawangi). Juga, dengan membangun kemerdekaan spiritualitas. Akses pada pendidikan bagus serta kemerdekaan spiritualitas itu yang masih jauh untuk dapat sepenuhnya terwujud. Itu berarti kita masih memerlukan proses panjang untuk dapat melihat sebuah akhir kemiskinan di bangsa besar ini.

(-)

Tidak ada komentar: