Minggu, 05 Oktober 2008

Mewujudkan Pesan Idul Fitri

Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam
pada Universitas Sains Malaysia

Ibadah puasa lazimnya digenapi dengan perayaan Idul Fitri, sebagai peristiwa kembali ke fitrah manusia. Sebuah momentum yang menggambarkan hakikat manusia sebagai citra Allah (Imago Dei). Dalam keadaan seperti ini, manusia siap menerima kebajikan dan kebenaran. Sayangnya, di dalam perjalanan hidupnya, manusia berhadapan dengan banyak godaan dan segera terjerembab dalam kebingungan eksistensial. Dalam keadaan seperti ini, mereka mengakrabi keliaran karena keteraturan tidak lagi dianggap sebagai patokan dan pedoman.

Puasa sejatinya mengajarkan pengamalnya sebagai pembiasaan dan pelaziman untuk menaati hukum alam, bahwa manusia mempunyai keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan fisik. Mereka tidak lagi leluasa memuaskan nafsu makan dan minum karena tubuh harus diberi kesempatan untuk mencerna. Pesan moral lain dari perbuatan menahan diri ini adalah adanya kemungkinan terciptanya sebuah tindakan komunikatif yang direkomendasikan oleh Jurgen Habermas, filsuf Jerman, di mana dalam sebuah percakapan mensyaratkan peserta menunda idealisme untuk mencapai konsensus minimal.

Ketidakmampuan menahan diri hanya melahirkan kesemrawutan karena ego manusia cenderung berlomba untuk menindas liyan. Contoh paling sederhana adalah keengganan pemakai kendaraan untuk tertib di jalan raya yang sebenarnya buah dari ketidaksabaran. Dengan menunda hasrat dan keinginan individu, hubungan manusia akan lebih sehat karena memberikan peluang anggota masyarakat mengaktualisasikan dirinya.

Selain itu, pengistirahatan tubuh juga memberikan kesempatan pada pemenuhan keperluan manusia yang kerap diabaikan, yaitu spiritual atau batin. Di sinilah orang tidak lagi diperbudak oleh nafsu badaniah yang tidak ada batas, sementara asupan batin tidak pernah aus oleh kebajikan, tafakur dan kesalehan. Dengan keberhasilan menahan makan selama sebulan yang bisa diukur secara kasat mata, maka tantangan lain yang perlu dilakukan individu adalah mengontrol perilaku.

Jalan menuju Tuhan
Sebagaimana dinyatakan dalam Alquran bahwa dengan berpuasa diharapkan kaum Muslim bertakwa. Artinya, keberhasilan puasa diperlihatkan dengan pencapaian takwa, yang berarti mengimani yang ghaib (Tuhan, malaikat, jin), selalu menunaikan shalat, bersikap dermawan, memercayai apa yang telah diturunkan pada nabi sebelumnya serta alam akhirat atau eskatologi (Albaqarah: 3-4).

Dengan demikian, di luar Ramadhan, kaum Muslim meyakini Tuhan sebagai perhatian tertinggi (the ultimate concern). Oleh karena itu, dalam seluruh tindak tanduknya dia akan mewujudkan tindakan yang sejalan dengan kehendak Tuhan, bukan karena kepentingan pribadi semata-mata. Jika sebelumnya sembahyangnya alpa, maka keberterimaan puasa diukur dari keajekan mereka menunaikan shalat. Lebih dari itu, sikap spiritual ini juga diikuti dengan kepedulian sosial, menerima perbedaan dan eksistensi dunia setelah mati. Implikasi dari keteguhan memercayai dan mengamalkan semua di atas mengantarkan seseorang pada keikhlasan menjalani hidup.

Berkaitan dengan dunia eskatologi, Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur'an memberikan tafsir yang berlawanan dengan pemahaman kebanyakan yang menegaskan bahwa akhirat adalah kenikmatan surga dan neraka. Bagi sarjana neomodernis ini, kepercayaan pada akhirat adalah apabila pada satu detik manusia digoncangkan ke dalam kesadaran unik dan tidak pernah terjadi sebelumnya tentang perbuatannya. Gagasan dasar dari akhirat adalah agar manusia tidak larut dengan kepentingan-kepentingan sesaat dan senantiasa melanggar hukum moral.

Takwa, seperti dalam Alhujurat: 13, sekaligus menjadi penanda pengakuan terhadap nilai-nilai humanisme universal karena manusia tidak dilihat dari kedudukan sosial, etnik atau bangsa. Dengan jelas, Alquran menekankan kesetaraan manusia sehingga memungkinkan terciptanya hubungan manusia yang toleran, santun, dan berkeadaban.

Di dalam ayat lain (baca Almaidah: 2) takwa dikaitkan dengan sikap berlaku adil terhadap orang lain, bahkan kepada musuhnya. Ini adalah pernyataan yang terang benderang bahwa puasa itu berkaitan dengan dimensi sosial. Dari pengertian takwa yang luas ini, bisa dikatakan bahwa puasa sebagai kewajiban yang juga pernah diwajibkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad berhubungan erat dengan tuntutan terhadap adanya tatanan masyarakat yang berkeadilan.

Hal lain yang wajib dilakukan Muslim di hari raya adalah mengeluarkan zakat. Di dalam kitab suci, perintah ini adalah untuk menyucikan secara lahir dan batin harta benda pemiliknya. Hal-hal yang berkaitan dengan lahir adalah kejelasan asal-muasal harta yang diperoleh. Zakat adalah penegasan bahwa kekayaan yang dipunyai oleh Muslim bukan didapat dari cara-cara yang tidak baik, apatah lagi dengan zakat kemudian dijadikan pembenaran rezeki yang dikaut dari korupsi, penipuan, dan perampokan.

Secara batin, zakat itu adalah penegasan bahwa pemiliknya merenungi makna kekayaan yang sesungguhnya bahwa harta bukan hanya milik dirinya, tetapi juga milik orang lain yang berhak menerimanya. Perintah zakat harus diberikan pada yang berhak menerima, seperti fakir miskin, amil (pengelola zakat), musafir adalah sebuah andaian bahwa manusia harus mengenal tetangga dan orang yang ada di sekitarnya. Secara eksplisit, ini mengajarkan kita bahwa perubahan itu harus dimulai dari sekitarnya, sebelum melakukan perubahan sosial lebih luas. Jika kesadaran ini dimiliki setiap individu, maka diharapkan timbul riak dan pada setiap titik riak itu akan melahirkan gelombang perubahan.

Perubahan perilaku
Berangkat dari uraian di atas, setelah bulan puasa Muslim seharusnya akan mengalami perubahan perilaku terhadap Tuhannya dan manusia. Intensitas kedekatan dengan Ilahi akan makin kuat dan kepedulian terhadap sesama juga bertambah. Bagaimanapun keimanan seseorang juga ditentukan sejauh mana Muslim mencintai sesama saudaranya. Pendek kata, hubungan vertikal dan horizontal berjalan beriringan.

Apatah lagi, tradisi bermaaf-maafan telah menyatu dengan perayaan ini. Sebuah kesempatan yang mengajarkan manusia untuk rela hati menerima ''kekurangan'' dan kesalahan orang lain dan berbesar hati untuk meminta ampunan pada liyan. Kesadaran semacam ini tentu mendorong manusia untuk tidak pongah dan memanjakan ego. Lebih penting lagi, kebiasaan ini dilakukan dengan keluarga, tetangga, dan rekan kerja, sehingga manusia tidak merasa asing dengan kehidupannya yang selama ini terbelenggu dengan rutinitas.

Sayangnya, kehidupan Ramadhan yang disemaraki dengan ibadah malam, seperti tarawih dan tadarus, demikian pula acara televisi berlomba-lomba menayangkan acara dan sinetron keagamaan, tiba-tiba raib satu hari setelah Idul Fitri. Masjid dan surau tiba-tiba sepi dan televisi kembali seperti semula, yaitu menyajikan kehidupan yang memanjakan konsumerisme dan hedonisme. Aura magis bulan suci tidak lagi terasa di mana ayat-ayat suci Tuhan banyak diperdengarkan.

Lalu, apa yang perlu dilakukan? Tentu setiap individu harus berusaha memindahkan ''aura'' Ramadhan dalam keseharian dengan tetap mengunjungi rumah Tuhan baik secara fisik maupun metaforik dan menunjukkan kepedulian terhadap sesama. Yang terakhir ini mengantarkan manusia pada perasaan berkecukupan. Mereka yang tidak pernah memerhatikan sesama hakikatnya adalah individu yang tidak bersyukur karena hidupnya digelayuti kecemasan karena selalu merasa kekurangan dan mengasyiki dunianya sendiri seakan-akan waktu tidak cukup bagi mereka untuk berbagi dengan liyan. Dengan kata lain, orang yang memberi, dengan sendirinya mereka merasa mempunyai lebih. Jadi, suci di sini tidak hanya dialami pada hari raya, tetapi seharusnya merembesi hari-hari sesudahnya.

Ikhtisar
- Puasa mengajarkan kepada pengamalnya tentang penahanan diri, keterbatasan dan pengendalian napsu.
- Keberhasilan puasa mewujud dalam tindakan yang sesuai dengan kehendak Tuhan dan kepedulian sosial.
- Aura Ramadhan harusnya hadir dalam keseharian, diantaranya dengan kesediaan berbagi

Tidak ada komentar: