Minggu, 05 Oktober 2008

Sedih dan Bahagia di Hari Raya

Muh Ghafur Wibowo
Dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta


Allah SWT telah melimpahkan berbagai perasaan di dalam hati manusia sebagai respons atas segala sesuatu yang dialami atau dirasakannya. Ada perasaan gembira, marah, benci, sayang, bahkan juga sedih dan bahagia.

Salah satu hikmah terbesar dari adanya berbagai macam perasaan tersebut adalah agar manusia merasakan dan mengakui kebesaran Allah Yang Maha Agung. Dua macam perasaan yang sering menghinggapi manusia di dalam hari-harinya adalah sedih dan bahagia.

Sedih (al-hazanu) muncul dari sesuatu yang tidak diinginkan, tidak disukai, tidak disenangi, atau rasa benci di dalam hati (Yamin, 2008). Adapun bahagia (as-sa’aadah) sebaliknya muncul dari sesuatu yang diinginkan, yang disukai, atau yang disenangi oleh hati.

Kedua perasaan tersebut dapat muncul karena hal-hal yang bersifat material (misalnya harta benda) maupun nonmaterial (termasuk spiritual). Ketika bulan Ramadhan berlalu digantikan oleh bulan Syawal (Hari Raya Idul Fitri), perasaan apa yang berkecamuk di dalam hati seorang Muslim?

Akankah ia bersedih hati ditinggalkan Ramadhan ataukah ia berbahagia karena kepergiannya? Kedua perasaan ini bisa saja hadir bersamaan, bisa pula hadir secara sendirian, tergantung pada pemahaman dan cara pandang yang digunakan.

Sedih di hari raya
Bagi hamba yang paham betul tentang berbagai keutamaan bulan Ramadhan, maka pasti kepergiannya menyebabkan kesedihan yang teramat sangat. Bagaikan seorang ayah dan ibu yang akan ditinggal pergi oleh anaknya merantau ke tempat yang jauh dalam waktu yang sangat lama. Muncullah pertanyaan, masihkah akan bertemu kembali suatu saat nanti?

Ramadhan adalah bulan penuh rahmat dan ampunan dari Allah SWT. Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan pelipatgandaan pahala amal ibadah yang tidak ditemui di bulan-bulan lain. Bulan Ramadhan adalah sayyidusy syuhuur atau rajanya bulan. Berpisah dengannya tentu merupakan sebuah kehilangan yang teramat besar, mengingat tak ada yang bisa memastikan tahun depan masih bertemu kembali.

Para sahabat Rasulullah SAW dahulu justru sangat bersedih ketika Ramadhan akan segera berakhir. Seperti sabdanya sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Mas’ud: Sekiranya para hamba (kaum Muslim) mengetahui kebajikan-kebajikan yang dikandung bulan Ramadhan, niscaya umatku mengharapkan Ramadhan terus ada sepanjang tahun. (HR Abu Ya’la, ath-Thabrani, dan ad-Dailami). Pada detik-detik terakhir menjelang usainya Ramadhan, mereka merasakan kesedihan mendalam karena harus berpisah dengan bulan mulia itu. Bahkan, sebagian mereka menangis karena akan berpisah dengannya.

Kesedihan Rasul dan sahabat juga muncul karena kekhawatiran jika amal-amal mereka selama Ramadhan tidak diterima oleh Allah. Mereka lebih mementingkan aspek diterimanya amal daripada bentuk amal itu sendiri. Mereka memahami bahwa Allah hanya akan menerima setiap amal kebaikan dari hamba-hamba-Nya yang bertakwa (QS [5]:27). Yakinkah kita termasuk hamba-Nya yang benar-benar bertakwa?

Oleh karena itu, mereka berdoa (memohon kepada Allah) selama enam bulan agar dipertemukan lagi dengan bulan Ramadhan, kemudian berdoa lagi selama enam bulan berikutnya agar semua amalnya diterima. Jangan sampai mereka termasuk orang-orang yang disebutkan Rasulullah: "Betapa hina seseorang jika Ramadhan datang, kemudian pergi, sedangkan ia belum diberi ampunan." (HR at-Tirmidzi).

Bahagia di hari fitri
Sebagai kebalikan dari perasaan sedih, rasa bahagia muncul ketika ada sesuatu yang diinginkan, yang disukai, atau yang disenangi di dalam hati. Kebahagiaan yang dirasakan seorang Muslim ketika ia menjumpai Idul Fitri adalah karena keyakinan akan balasan Allah SWT atas orang-orang yang bertakwa.

Sungguh keberadaan ampunan dan pembebasan dari api neraka itu tergantung kepada puasa Ramadhan dan pelaksanaan shalat di dalamnya. Maka di kala hari raya tiba, Allah memerintahkan hamba-Nya agar bertakbir dan bersyukur atas segala nikmat yang telah dianugerahkan kepada mereka.

Berbagai nikmat Ramadhan yang diterima di antaranya adalah kemudahan dalam pelaksanaan ibadah puasa, ampunan atas segala dosa dan pembebasan dari api neraka. Karena itu, sudah selayaknya setiap hamba memperbanyak dzikir, takbir, dan bersyukur kepada Tuhannya serta selalu bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar ketakwaan.

Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur. (QS Albaqarah:185).Jadi, kebahagiaan yang dirasakan seorang Muslim di hari Lebaran bukanlah karena pakaian baru, rumah tertata, atau mobil mengkilap. Kebahagiaan yang hakiki di hari raya ini adalah karena diraihnya berbagai keutamaan Ramadhan yang telah Allah janjikan.

Kebahagiaan muncul karena kemenangan yang diraih atas peperangan melawan hawa nafsu dan godaan setan selama Ramadhan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dipesankan Imam Syafi’I: Idul Fitri bukanlah diperuntukkan bagi orang yang mengenakan sesuatu yang serbabaru, tetapi dipersembahkan bagi orang yang ketaatannya bertambah. Dengan demikian, aneh rasanya jika ada orang yang tidak melaksanakan berbagai ibadah di bulan Ramadhan, tetapi ia paling semangat dalam merayakan Idul Fitri.

Kebahagiaan dan kesedihan merupakan urusan hati. Ini karena hati merupakan pusat kesadaran manusia (Khalil, 2007) sehingga guncangan dalam hati dapat memengaruhi keseimbangan emosional manusia. Sebagai jawabannya, guncangan dalam hati hanya bisa ditenangkan melalui kedekatan pada Allah Yang Maha Tenang. Karenanya, sangat penting bagi setiap Muslim untuk kembali merenungkan hakikat Idul Fitri agar bisa menghadirkan rasa sedih dan bahagia di hari raya secara proporsional.

Tidak ada komentar: