Bertanya Kepada Organisasi Kita
KEPADA guru ngaji, salah seorang jamaah bertanya, “Apa bedanya antara ‘Islam Nahdlatul Ulama’ (NU) dengan ‘Islam Muhammadiyah’?” Pertanyaan ini muncul di Masjid Al-Amien, Buyutan, Ngalang, Gedangsari, Gunungkidul, DIY, ketika ada pengajian, pertengahan Ramadhan lalu.
Ah, sungguh usang bertanya soal itu! Benar. Tetapi, ia lahir tidak dari ruang hampa, ada sejarah yang melatar-belakanginya. Mungkin, salah satunya, selama ini si penanya sering dibingungkan tentang klaim kelompok agama. Atau juga, ia tak pernah merasakan hal yang lain, kecuali beda nama dan bendera, beda bilangan rakaat tarawih, dan ada qunut waktu sembahyang subuh atau tidak. atau sebetulnya ia tidak bertanya soal ibadah yang dijawab oleh sang guru ngaji.
Saya jadi mengira-ngira. mungkin yang sedang ia tanyakan adalah perbedaan fungsi dan peran kedua ormas Islam itu dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa secara nyata. Sebab, kukira, kalau hanya jumlah rakaat terawih ia sudah ngerti sejak sekolah SD.
Gambaran di atas seolah mengingatkan untuk merenungkan kembali peran dan fungsi organisasi —baik pendidikan, politik maupun sosial kemasyarakatan, yang selama ini telah dijalankan. Kita tahu, lahirnya beragam organisasi di tanah air ini telah cukup tua bahkan lebih tua dari umur NKRI ini. Semenjak awal abad 20, telah banyak organisasi yang tumbuh dan berkembang dengan segala visi dan misi yang beragam. Bahkan cikal bakal bangsa ini lahir dari organisasi masyarakat. Sekelompok orang berkumpul dan ber-sepakat untuk mendirikan wadah yang mampu menampung keinginan dan per-juangan rakyat serta misi mereka. Maka lahirlah banyak organisasi semacam Budi Utomo yang bergerak di bidang pendidikan. Dan kemudian diikuti oleh beberapa orga-nisasi lainnya.
Lahirnya beberapa organisasi yang diprakarsai oleh orang-orang yang mengingin-kan terbentuknya sebuah negara merdeka dan berdaulat, telah memunculkan keinginan bersama demi kepentingan rakyat. Jelaslah, kelahiran organisasi-oraganisasi saat itu, selain untuk menampung ide-ide mereka, juga untuk memperjuangkan kepentingan bersama, yakni kemerdekaan dan keter-bebasan dari penjajahan.
Organisasi yang ada saat itu, meski tak “seramai” sekarang, mampu menghadirkan kebersamaan. Pertemuan-pertemuan, dialog-dialog, digelar di mana-mana, tujuannya sama, untuk membebaskan rakyat dari jeratan penjajah dan berusaha memaju-kan kesejahteraan rakyat. Keragaman bentuk organisasi, perbedaan pola pikir, muncul bersama-sama dengan kesatuan dan kebersamaan. Sudah barang tentu, saya tidak sedang menegasikan kenyataan bahwa berdirinya sebuah organisasi ada yang disebabkan karena ketidakcocokan atau ketidakberhasilan menyatukan paham atau pendapat. Tapi ketika ada kepentingan yang menyangkut maslahah bersama, mereka bersama dan bersatu, dalam perbedaan.
Kini, entah sudah berapa banyak organisasi yang telah lahir dari rahim negeri ini. Beragam pula motivasi dan tujuannya. Tetapi, kelahirannya seolah justru menegas-kan perbedaan yang tak terjembatani. Kotak dan sekat begitu gatra. Jurang perbedaan tidak hanya memisahkan satu organisasi dengan organisasi lain. Tetapi juga organisasi dengan para anggotanya. Kepentingan-kepentingan yang berbeda di tingkat intern organisasi mengemuka tanpa malu-malu. Sehingga fungsi organisasinya pun kabur, dan tidak efektif. Kenapa hal itu bisa terjadi?
Ada banyak alasan yang bisa dikemu-kakan. Antara lain, pertama, kepentingan praktis yang sesaat. Saat ini organisasi yang ada hanya menjadi tumpangan segelintir orang untuk menuju puncak karir. Bahkan, organisasi non-politik sudah berubah orientasi mengelola kepentingan-kepentingan politis; perebutan kekuasaan. Akibatnya, wilayah yang sebetulnya menjadi tujuan utama menjadi terabaikan. Padahal, wilayah-wilayah sosial, budaya, pendidikan dan yang lainnya sudah seharusnya dijauhkan dari kepentingan politik sesaat. Fakta ini bisa kita saksikan bagaimana organisasi hanya menjadi batu loncatan dan jembatan untuk meraih jabatan dan kekuasaan. Inilah biang dari kehancuran fungsi dan peran organisasi.
Kedua, tiadanya dialog yang dinamis dan membangun bagi kemajuan seluruh elemen bangsa. Masing-masing hanya berjuang demi kepentingan sempit kelompok-nya sendiri. Maka ketika ada kenaikan BBM misalnya, yang langsung bersentuhan dengan rakyat kecil kurang mendapat respon dan perhatian. Padahal, seharusnya momen inilah yang harus digunakan untuk berjuang bersama-sama demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat bawah yang menjadi kekuatan sesungguhnya.
Barangkali cerita Abdurrahman Wahid dalam sebuah tulisannya bisa kita renungkan kembali. Ia pernah menceritakan bagaimana pergaulan dan diskusi KH. M. Bisri Syansuri, yang waktu itu menjabat kepengerusan di PBNU sering bertandang dan dialog dengan KH. Hadjid dari PP Muhammadiyah. Yang mereka obrolkan adalah persoalan rakyat (ummah), anggota terbesar organisasi beliau berdua. Atau keakraban KH. Ali Makshum (Rais ‘Am PBNU), dengan KH. M. Djunaidi (ang-gota Majlis Tarjih PP Muha-mmadiyah). Beliau berdua selalu berdiskusi persoal-an-persoalan agama yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan rakyat yang nyata, bukan hanya shalat dan wudhu.
Inilah yang sekarang mulai luntur dalam tradisi antarorganisasi. Dialog informal dan kultural justru diabaikan. Yang ada hanya pertemuan formal yang mahal. Tekanan masing-masing lembaga untuk mempertahankan kepentingan (interest) kelompok telah menjauhkan dialog yang dapat merekatkan hubungan antar-lembaga. Jadilah, anggota di bawah menjadi korban kepentingan sesaat ini para petinggi-nya.Ketiga, hilangnya tradisi kepemimpin-an yang mengutamakan moralitas (al-akhlaq al-karimah). Adalah nyata, kalau kepemimpinan organisasi saat ini seringkali menampilkan figur pemimpin yang sombong tak peduli, dan sarat dengan tipu daya. Perseteruan yang tak sehat menjadi suasana yang biasa. Benturan kepentingan antarpemimpin seringkali berujung bentrokan dan pengerahan masa di bawah. Jelaslah, pengelolaan organisasi yang santun dan beradab telah luruh dan luntur dari tradisi organisasi bangsa ini.
Terkadang, pengelolaan organisasi dengan etika santun telah dianggap usang. Tren pemimpin kita saat ini adalah dengan menunjukkan (show) kekuatan atas kelompok lain. Budaya konflik telah me-rasuki banyak organisasi Islam . Sungguh aneh!
Nyatalah, bahwa keberadaan organisasi kita telah melahirkan keruwetan-keruwetan. Walau bukan berarti anti terhadap organisasi ya-ng ada, tetapi sudah selayaknyalah kita meng-evaluasi dan mengkritisi peran dan fungsi masing-masing organisasi Islam kita.
Bukankah kita tidak menginginkan Akankah adagium ushul fiqh yang menyatakan, “kebijakan dan tindakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah terkait langsung dengan kesejahteraan rakyatnya” (tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyah manutun bi al-mashlahah) hanya akan menjadi slogan semata? Mudah-mudahan riuh organisasi saat ini tak berarti riuh dalam konflik yang dapat mengabaikan dalam mewujudkan tujuan utama: kemaslahatan umat (al-mashalih al-ummah) (Ahmad Munir).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar