Minggu, 03 Juni 2007

Urgensi Doa dalam Kehidupan Manusia 7-5-2007
Oleh : AHMAD NURCHOLISH/SYIRAH

Dalam sebuah kesempatan, Nabi Muhammad saw bersabda: “Doa merupakan silah (senjata) bagi kaum Mukminin. Juga, doa adalah inti dari suatu peribadatan.” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis yang terdapat dalam Shahih Imam Bukhari & Shahih Imam Muslim ini merupakan penegasan kembali atas firman Allah swt dalam QS Al-Mukmin/40:60:

“Berdoalah kalian semua kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan doamu. Sesungguhnya orang-orang yang angkuh – tak mau berdoa – dalam peribadatannya kepada-Ku, kelak akan masuk neraka jahanam secara tragis (hina).”

Mengapa doa menjadi senjata dan inti dari peribadatan bagi kaum mukminin? Karena, menurut Said Aqiel Siradj (2001:7), doa selalu dan ‘lebih’ menekankan pada dimensi spiritual. Dan dimensi spiritualitas dapat mengambil bentuk yang beraneka ragam.

Kaitannya dengan manusia, maka doa ‘lebih’ menekankan pada aspek rohani ketimbang aspek jasmani. Berkaitan dengan kehidupan, ia lebih menekankan – kehidupan akhirat – yang lebih baik dan kekal ketimbang dunia yang fana dan relatif.

Di samping itu, doa juga lebih menekankan penafsiran batini daripada lahiri.

Mengapa doa menjadi begitu penting dalam kehidupan kita, terutama dalam masyarakat religius? Karena, karena setiap orang yang hendak berdoa, pastilah pertimbangan awalnya adalah mengutamakan nilai-nilai spiritual ketimbang nilai-nilai jasadiyah, memercayai dunia spiritual ketimbang dunia jasmani.

Begitupun Tuhan Yang Mahakuasa. Dia juga bersifat spiritual, ruhani, dan immaterial. Sehingga, orang yang berdoa menganggap atau berkeyakinan kuat dalam hatinya yang terdalam bahwa, Tuhanlah realitas sejadi; Dia-lah “asal” sekaligus “tempat kembali”.

Kepada-Nya semua permohonan mengorientasikan jiwa dan raga mereka. Dia-lah buah kerinduan hatinya. Dan, hanya kepada-Nya semua manusia sepantasnya mengajukan harapan dan permohonan.

Sandaran naqliyyah (dalil nash) di atas menantang kita untuk senantiasa tidak bosan-bosan dan malu-malu menyanjungkan permohonan (doa) kepada-Nya. Melewati sarana doa inilah, kita mengukuhkan sikap tulus, tawakal (pasrah diri), sabar, wira’i, serta tahapan-tahapan lain dalam perjalanan ruhani seorang sufi.

Realitas semacam ini, ditopang pula dengan karakter manusia, sebagai makhluk yang amat membutuhkan pertolongan dari-Nya

Dalam memaparkan permasalahan “doa”, Syaikh al-Akbar Muhyidin Ibn ‘Arabi (w.638H) menggunakan term “al-su’al”. Menurut Sufi asal Mursia, Spanyol ini, al-su’al (doa, permohonan) seorang hamba kepada Allah itu biasa dibagi dalam tiga bagian.

Pertama, al-su’al bi al-lafdzi, ialah permohonan yang disanjungkan kepada Allah swt secara lisan. Ini pula yang lazim disebut dengan doa.

Kedua, Al-Su’al bi al-Hal, merupakan permohonan yang tidak diungkapkan melalui kalimat-kalimat verbal (verbalize), namun cukup dengan sikap atau kondisi tertentu yang muncul di permukaan. Misal: seorang faqir datang ke hadapan orang kaya (ghani), begitu pula kondisi binatang yang memerlukan makanan.

Ketiga, al-Su’al bi al-Isti’dad, ialah permohonan yang paling tinggi derajatnya, karena doa jenis ini paling khafi (samara) sifatnya. Isti’dad (persiapan) di sini, maksudnya menyiapkan diri untuk menerima tajalli asma (makrifat) dan sifat-sifat Allah swt dari entitas-entitas laten (al-a’yan al—tsabitah). Tanpa adanya permohonan isti’dad, jelas alam semesta – sebagai cerminan Allah swt – tidak akan nampak di permukaan.

Dengan demikian, sejatinya doa memiliki dimensi yang amat luas. Seluas samudra rahmat dari Yang Empunya Kehidupan. Wallahuu a’lam.


Tidak ada komentar: