(QS Al-Baqarah/2:269) 2-5-2007
Oleh : AHMAD NURCHOLISH/SYIRAH
“Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan al-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS Al-Baqarah: 269)
Di penghujung ayat tersebut terdapat istilah ulul albab yang dalam hasanah Arab sering dipahami sebagai kaum intelektual, cendekiawan, atau kemudian lebih dikenal dengan ulil albab.
Pada hakikatnya ulil albab adalah pertama, orang yang mampu mengambil kesimpulan, pelajaran dan peringatan dari ayat-ayat Allah dalam al-Quran. Kedua, mereka yang mampu memgambil pelajaran (hikmah) dari gejala kemasyarakatan, peristiwa sejarah, dan fenomena alam.
Apa aspek pertama itu biasanya disebut dengan ayat-ayat qauliyah (ayat yang difirmankan oleh Allah swt), sedang pada aspek kedua, kita mengenalnya dengan ayat-ayat kauniyah (ayat Allah yang menghampar di alam semesta).
Dalam ayat tersebut ulil albab ditengarai sebagai orang yang berakal alias orang dengan kwalitas tertentu. Dia, oleh M.D. Ridwan (2000:4) dikategorikan sebagai orang yang memiliki pemikiran tinggi, baik karena kecerdasan maupun intensitasnya.
Dengan kata lain, ia adalah seorang pemikir, cendikiawan, cerdik cendikia, atau seorang filosof yang berpikir mendalam. Mereka memiliki ilmu luas, senantiasa mencari pengertian hakiki atau inti yang hanya dapat dilakukan bila seseorang itu berpikir secara radikal.
Dari aktivitas seperti itulah seseorang akan sampai pada kebijaksanaan (wisdom) dan kearifan, baik dalam berkata maupun bertindak.
Sosok ulil albab oleh Dawam Raharjo (1993), dilukiskan sebagai insan yang mampu memadukan aktivitas pikir-zikir dan mengamati kejadian alam semesta untuk menemukan suatu kebenaran.
Lebih jauh, ia adalah sosok yang kerap mempelajari sejarah dan gejala-gejala sosial sehingga menumbuhkan tanggung jawab moral dan sosial yang dimanifestasikan dalam sikap, perbuatan, dan tindakan.
Jadi kecendekiawan bukanlah status. Melainkan proses kemusliman dan keimanan. Ini akan tampak oleh komitmennya terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan dan masyarakat serta dibuktikan dengan tindakan nyata.
Oleh karenanya selagi masih dalam suasana Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang kita peringati pada 2 Mei, membaca (menelaah dan mencermati maknanya) ulang ayat di atas merupakan langkah awal untuk merefleksi kembali akan posisi kita sebagai manusia.
Sudahkan kita termasuk manusia dalam golongan ulil albab sebagaimana disinyalir dalam ayat tersebut? Jawabannya bisa ya bisa pula tidak.
Yang jelas, oleh Allah swt, manusia diciptakan dengan bentuk yang paling sempurna (QS Al-Tin/95:4). Tidak hanya perwajahannya, melainkan pula bentuk dan letak organ-organ tubuhnya. Ditambah lagi dengan karunia akal yang membuat manusia lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya, sehingga ia diangkat sebagai khalifah (deputy atau wakil) di bumi.
Sayangnya, terkadang kita tidak memelihara dan menjaga kemuliaan dan ketinggian derajat itu, sehingga kita berubah jadi hina dan rendah derajatnya, sebagaimana disinggung dalam al-Tin/95 ayat 5.
Dari ayat-ayat itu pula sebenarnya terdapat isyarat tentang kualitas manusia, yang tertumpu pada tiga unsur, yakni: iman, ilmu, dan amal.
Mengintegrasikan ketiga hal itulah barangkali langkah mulia dalam merefleksi sekaligus mengapresiasi Hardiknas kali ini sebagai perwujudan menuju cendekiawan nan cerdik-cendikia. Wallahu A’lam.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar