11-4-2007
Oleh : AHMAD NURCHOLISH/SYIRAH
Dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia memperbaiki dengan perbuatannya. Jika tidak mampu, hendaknya ia ubah dengan perkataannya, dan kalau ini pun tidak mampu, hendaknya ia ubah dengan hatinya (berniat untuk itu), dan itu merupakan tingkatan iman yang paling rendah”. (HR. Ahmad).
Hadis yang diriwayatkan pula oleh Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, al-Nasa’i, dan al-Tirmidzi (Musnad Ahmad Ibn Hanbal, Jilid III, h. 20) ini menekankan pentingnya manusia untuk saling menasihati supaya menaati kebenaran, saling menyeru kepada kebajikan, dan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang munkar) agar tercipta masyarakat yang tertib dan bermoral.
Kamus menjelaskan bahwa ma’ruf sebagai apa saja yang diketahui dan dikenal baik oleh setiap orang. Dalam hadits, ma’ruf adalah segala hal yang diketahui orang berupa ketaatan kepada Allah SWT, mendekati-Nya, berbuat baik kepada manusia dan semua yang dianjurkan syara’. (Jalaluddin Rakhmat, 2006:228). Ma’ruf diketahui oleh semua orang, bila mereka melihatnya mereka tidak menolaknya. (Ibn Manzhur, Lisan Arab, 11:144).
Munkar adalah apa saja yang dipandang buruk, diharamkan dan dibenci oleh syarak.
Dalam khasanah Islam klasik, walaupun semua madzhab sepakat akan wajibnya amar ma’ruf nahi munkar, namun, mereka tidak sepakat apakah wajibnya itu untuk semua orang atau cukup untuk sebagian orang.
Sebagai dicontohkan oleh Jalaluddin Rakhmat, al-Suyuthi dan al-Syamakhsyari menetapkan sebagai fardh kifayah. Kebanyakan yang lain menyebutnya fardh ‘ayn. Mereka yang berpendapat fardh ‘ayn merujuk pada ayat berikut:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar (QS. Ali ‘Imran:110).
Berdasarkan ayat tersebut, juga dalam QS. Al-Hajj:41 dan al-Tawbah:71, amar ma’ruf diwajibkan kepada semua mukmin dan seluruh anggota masyarakat Islam. Hadits di atas memperkuat hal ini.
Yang berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah fardh kifayah biasanya merujuk pada QS. Ali ‘Imran:104. Kata-kata “di antara kamu adalah segolongan umat” dimaknai dengan sebagian kaum muslim. Mu’tazilah adalah di antara aliran teologi yang sependapat dengan hal ini.
Dalam pandangan al-Suyuthi, tidak semua orang dapat menyuruh kepada yang ma’ruf, karena tidak semua orang memiliki pengetahuan tentang yang ma’ruf. Pun hanya sekelompok orang yang tahu apa yang termasuk munkar. Siapakah mereka? Mereka adalah orang yang sudah mempersiapkan diri mempelajari syariat Islam, sehingga tahu mana yang ma’ruf dan mana yang munkar. Mereka itu antara lain adalah para ulama.
Fakhr al-Razi dalam Tafsir al-Kabir, seperti dikutip oleh Kang Jalal, menjelaskan dua makna dari “di antara”. Pertama, amar ma’ruf nahi munkar tidak wajib kepada orang yang tidak mampu, anak atau orang tua. Kedua, kewajiban ini – taklif – khusus untuk para ulama.
Terlepas dari itu, dalam konteks sosial politik kemasyarakatan, perintah amar ma’ruf nahi munkar dapat dilakukan secara bersama-sama sesuai dengan kapasitas masing-masing orang atau kelompok.
Dalam hadis di atas misalnya, “memperbaiki dengan tangan/perbuatannya” dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan (power), dalam hal ini aparat pemerintah. Sedang “jika tidak mampu lakukan dengan perkataan,” peran ini dapat dilakukan oleh para ulama dan cendikiawan yang bertugas memberikan nasehat dan pencerahan.
Masyarakat kecil yang awam dan fakir akan pengetahuan tetap dapat pula berpartisipasi dalam amar ma’ruf nahi munkar, yakni dengan ‘rasa keprihatinan’ jika melihat kemungkaran dan do’a agar semua orang terhindar dari perbuatan keji/ munkar dan beralih ke perbuatan yang baik dan benar.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar