Minggu, 03 Juni 2007

Korupsi: Perbuatan Curang, Zalim dan Merugikan
(QS Al-Baqarah/2:188)
10-5-2007

Oleh : AHMAD NURCHOLISH/SYIRAH

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim-hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.

QS Al-Baqarah/2: 188

Meski sudah berjalan selama 9 tahun, gerakan reformasi masih belum menyentuh secara keseluruhan ke semua level kehidupan. Salah satunya adalah pada upaya pembratasan korupsi serta penegakan hokum terkait dengan masalah itu.

Islam, sebagai ajaran yang komprehensip dalam membincang berbagai hal, tak luput juga menyoroti masalah suap, korupsi, dan semacamnya.

Ayat di atas adalah salah satunya. Bahkan, melalui riwayat sahabat Tsauban ra, hal itu diperkuat lagi oleh Rasulullah dalam sabdanya:

“Allah melaknat kepada orang yang menyuap, meminta suap, dan penghubung yang berjalan di antara keduanya.” (HR. Imam Ahmad)

Hadis yang terdapat dalam Musnad Imam Ahmad (Al-jamiush-Shaghir II:124) ini menjelaskan bahwa pelaku suap, yang meminta, serta penghubungnya adalah terlaknat oleh Allah swt. Dan, sesuatu yang dilaknat biasanya karena hal itu merupakan perbuatan nista, keji, terlarang, serta haram hukumnya.

Sebagaimana kita ketahui, syariat Islam bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan umat manusia, yang kita kenal sebagai maqasyid asy-syarî’ah. Di antara kemaslahatan yang hendak dituju tersebut adalah terpeliharanya harta (hifdzul mâl) dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan.

Maqasyid as-syarî’ah ini dirinci ke dalam tiga hal, yakni: primer (dlaruriyat), sekunder (hajjiyat), dan tersier (tahshiniyyat). Di dalam kelompok primer (dlaruriyyat) dikemukakan bahwa tujuan syariah ialah menjaga lima hal: ad-dîn (agama), an-nafs (jiwa), an-nasab (keturunan), al-mâl (harta benda), dan al-‘aql (akal pikiran). Lihat Al-Muwafakat I:10, 15; dan II:2.

Nah, perbuatan korupsi dapat kita lihat dari berbagai sisi (P3M:176). Pertama, ia merupakan perbuatan curang dan penipuan yang berpotensi merugikan keuangan negara dan kepentingan orang banyak (QS. Ali Imran/3:161).

Kedua, ia dapat pula berupa penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk memperkaya diri sendiri maupun orang lain yang merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanat dan sumpah jabatan.

Padahal, mengkhianatai amanat merupakan perbuatan dosa, bahkan salah satu karakter munafik yang dibenci Allah swt., sehingga hukumnya haram (al-Anfal/8:27; dan an-Nisa’/4:58).

Ketiga, perbuatan korupsi untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain atas harta Negara adalah perbuatan zalim. Hal ini karena kekayaan Negara merupakan harta public yang berasal dari masyarakat, termasuk fakir miskin atau rakyat kecil. Perbuatan zalim ini pantas mendapat adzab yang pedih (az-Zukhruf/43:65).

Keempat, tindak kolusi dengan memberikan fasilitas negara kepada seseorang yang tidak berhak karena deal-deal tertentu, seperti menerima suap dari pihak yang diuntungkannya tersebut juga merupakan perbuatan korupsi.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak pidana korupsi dikategorikan tindakan penilepan, pengkhianatan terhadap amanat dan juga merupakan perbuatan dzalim.

Secara keseluruhan, ia dapat dikategorikan sebagai ma’shiyat dan dapat dikenai hukuman (ta’zir) yang amat berat.

Sayangnya, dalam konteks keindonesiaan, masalah yang sudah mengakar akut ini belum pula dapat disingkirkan. Penanganannya masih tebang pilih. Penegakan hukum terkait dengan ini pun terkesan sangat lembek. Wallahu a’lam. []

Tidak ada komentar: