''Tidaklah seorang manusia memenuhi suatu wadah yang lebih jelek dari perutnya sendiri. Cukuplah anak Adam itu makan supaya tegak tulang rusuknya. Maka, jika memang terpaksa, (isilah perutnya) sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk napasnya.'' ( HR Tirmidzi)
Semestinya kita makan atau minum hanya untuk memulihkan tenaga. Namun, seringkali hawa nafsu terlalu kuat mendominasi diri manusia sehingga nilai-nilai agama terabaikan. Akal sehatnya dikuasai syahwat yang menggebu-gebu hingga menyebabkan ia berlaku zalim terhadap perutnya sendiri dan ketentuan-Nya.
Memang benar sabda Rasulullah SAW di atas, perut berpotensi menjadi wadah paling buruk yang dimiliki manusia, jika tidak dikelola dengan pola makan yang benar. Dari sanalah muncul berbagai penyakit hati seperti malas, rakus, konsumtif, tamak, kikir, iri, dan dengki. Tak ketinggalan pula sederet penyakit fisik yang menyerang kesehatan manusia.
Sedikit di antaranya adalah penyakit jantung, obesitas, atau diabetes tipe dua. Nabiyullah Muhammad SAW telah menawarkan solusi bagi umat Islam khususnya, juga seluruh manusia pada umumnya. Cukuplah makan hanya supaya bertenaga kembali. Atau, jika keadaan terpaksa, diizinkan melebihi anjuran tadi dengan tetap memberikan ruang untuk bernapas. Jadi, makan tidaklah asal kenyang hingga perut mual dan bersendawa keras.
Alangkah indahnya tuntunan Rasul ini. Dan alangkah baiknya jika umat Islam mau membuka mata dan hatinya akan sunah beliau ini serta tidak memperturutkan gengsi belaka. Sebab, selama ini dapat kita saksikan banyak orang yang israf dalam makanan hanya demi menaikkan gengsi saja. Memesan makanan terlampau banyak, namun ternyata hanya dicicip saja. Berlebih-lebihan namun juga mubazir.
Bisa kita bayangkan gambaran umat Islam yang tidak berlebih-lebihan dengan hal-hal duniawi. Sehingga, melahirkan sikap ta'awun (tolong menolong), saling berbagi, serta berbelas kasih. Sebaliknya, sikap egoistis dan arogan akan memudar dan tenggelam.
Dari sini pula terlihat titik terang kehidupan manusia yang jauh dari kemiskinan, kelaparan, serta berbagai masalah himpitan ekonomi lainnya. Namun, selebihnya kembali pada diri kita masing-masing. Masihkah kita perturutkan hawa nafsu yang jelas-jelas menghancurkan? Wallahu a'lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar