Minggu, 03 Juni 2007

Dakwah dalam Masyarakat Majemuk (QS. An-Nahl/16:125) 31-5-2007
Oleh : AHMAD NURCHOLISH/SYIRAH

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan berargumentasilah dengan mereka secara lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl/16:125)

Setiap agama memiliki agresivitas ajaran untuk disiarkan. Namun apakah agresivitas ajaran agama harus ditafsirkan secara monolitik, yang dengan serta merta atau bahkan semena-mena menganggap umat agama lain keluar dari “jalan yang lurus”?

Nampaknya, topik tentang agresivitas ajaran agama ini sangat urgen untuk didiskusikan lebih lanjut. Sebab, setiap agama diniscayakan pemeluknya untuk menyiarkan/mendakwahkan kebenaran dan keimanannya kepada orang lain, yang dalam praktiknya sering melahirkan keretakan dan konflik antarumat beragama.

Lantas, bagaimana menyiarkan kebenaran agama dan keimanan tersebut sebagai tugas dakwah? Apalagi, setiap pemeluk agama Islam memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan dakwah kapan pun dan di mana pun ia berada.

Titah tentang perintah dakwah ini sebagaimana terekam dalam ayat di atas dan juga sabda Nabi Muhammad saw yang mengatakan:

“Sampaikanlah (kebenaran) dariku meskipun satu ayat.”

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana tugas dakwah tersebut dimanifestasikan di negeri kita yang majemuk ini?

Abd Rahim Ghazali (2001:42), pemikir muda Muhammadiyah, memberikan beberapa catatan. Dakwah di Indonesia seyogyanya dilakukan dengan beberapa mekanisme yang sesuai dengan kemajemukannya:

Pertama, dengan penafian unsur-unsur kebencian. Ayat-ayat Tuhan dan risalah kenabian harus didakwahkan sesuai dengan fungsinya, yakni untuk menasihati dan meluruskan yang kurang atau tidak lurus, dan membenarkan yang kurang benar. Bukan untuk memaki yang salah atau melegitimasi kebencian terhadap orang lain atau umat agama lain.

Kedua, jika secara lisan, dakwah seyogyanya disampaikan dengan tutur kata yang santun, tidak menyinggung perasaan, atau menyindir keyakinan orang lain, apalagi mencaci-makinya. Kekasaran ucapan dalam aktivitas dakwah tidak saja akan merusak keharmonisan hubungan antarumat beragama, tapi hal itu juga sangat tidak diperkenankan dalam Islam (QS. Ali Imran/3:159).

Ketiga, dakwah seyogyanya dilakukan secara persuasif, karena sikap memaksa hanya membuat orang enggan untuk mengikuti apa yang didakwahkan. (QS. Al-Baqarah/2:256; al-Kahfi/18:29 dan al-Kafirun/109:6).

Keempat, dakwah sekali-kali tidak boleh dilakukan dengan jalan menjelek-jelekkan agama atau bahkan dengan menghina “Tuhan” yang menjadi keyakinan umat agama lain. (QS. Al-An’am/6:108).

Tentu masih ada mekanisme lain yang memungkinkan dakwah dapat berjalan dengan baik dan santun, tanpa harus melukai orang lain. Paling tidak, keempat hal di atas dapat memberikan spirit untuk melakukan dakwah yang arif, bijak, dan tetap sesuai dengan kaidah syari’at. Wallahu a’lam. []


Tidak ada komentar: