Di antara kejadian penting sepanjang sejarah perjuangan Rasulullah SAW yang sering terlupakan di bulan Ramadlan adalah Perang Badar. Perang ini terjadi pada 17 Ramadhan, saat pertama kalinya puasa disyariatkan Allah kepada Nabi SAW. Saat itu sekitar 313 kaum Muslimin di bawah pimpinan Rasulullah SAW berhasil mengalahkan pasukan musyrikin Quraisy yang berjumlah sekitar 950 orang di bawah komando Abu Sufyan. Inilah yang dikenal dengan Ghozwat Badr al-Kubra.
Tentang Perang Badar ini Allah menegaskannya dalam surat Al-Anfal ayat 41. ''Jika kalian beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami pada Hari Pemisahan Hak dan Batil (Yaumal Furqon), yaitu hari bertemunya dua pasukan di medan perang.'' Para ahli tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud Yaumal Furqon dalam ayat ini adalah hari ketika terjadi Perang Badar. Hal inipun ditegaskan oleh lanjutan ayat ini, yauma iltaqoo al-Jam'aani (hari pertempuran dua pasukan). Refleksi substansial dari Perang Badar ini bukanlah pada perang fisiknya. Yang harus diteladani dari peristiwa 14 abad lalu itu adalah etos kerja dan etos juang yang tak pernah surut karena puasa.
Peristiwa Badar menunjukkan bahwa puasa yang dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW akan mampu melestarikan dan menumbuhkan etos kerja dan etos juang yang tinggi. Hal inilah yang justru sering diabaikan. Banyak kaum Muslimin yang menjustifikasi kelesuan dan pengurangan jam kerja, kemerosotan produktivitas, dan kemalasan-kemalasan lainnya, sebagai konsekuensi logis puasa.
Padahal, Rasulullah SAW dan sahabatnya tidak mencontohkan demikian. Fakta Badar adalah realitas yang amat kontradiksi dengan anggapan ini. Bahwa, karena puasa tubuh jadi letih dan lemas, adalah wajar. Namun, bila karena puasa produktivitas, etos kerja, dan etos juang 'melempem' , ini perlu dibenahi.
Amat banyak kajian ilmiah yang membuktikan bahwa puasa efektif untuk melejitkan potensi kecerdasan spritual yang telah ada dalam diri setiap orang. Dari kecerdasan inilah akan melejit pula kecerdasan emosional dan intelektual. Bila tiga serangkai ini telah matang dalam diri seseorang maka ia akan mampu menghadapi dan menanggulangi apa pun yang menjadi masalahnya.
Sedangkan dalam rumusan WHO yang mendefinisikan kesehatan (health) sebagai kondisi fisik, mental, dan sosial yang optimal dalam diri seseorang, puasa adalah sarana paling efektif mewujudkannya. Secara fisik ia akan terbebas dari berbagai penyakit, secara mental ia memiliki sikap dan pikiran positif, percaya diri, serta sabar. Dan secara sosial ia akan mempunyai solidaritas dan kepedulian terhadap sesama yang amat tinggi. Inilah yang dimaksud sabda Rasulullah SAW, ''Shauumu tashihhuu.'' Berpuasalah, niscaya kalian sehat.
Dalam kondisi negara kita yang masih terpuruk dalam berbagai krisis, puasa seyogianya mampu membangkitkan semangat untuk menerebas semua krisis itu. Puasa sepatutnya dapat menumbuhkan optimisme dan percaya diri yang nyaris hilang.
( R Marfu' Muhyidin Ilyas )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar