Nama Luqmanul Hakim telah diabadikan Alquran pada surah ke-31. Disebut al hakim karena mendapatkan ''hikmah'' dari Allah SWT. Hikmah atau wisdom yang dimaknai sebagai kepandaian bersyukur kepada Allah (QS Luqman [31]: 12). Sedangkan hikmah, kata Al Thabari, adalah bimbingan Allah (taufiq Rabbani) kepada seseorang untuk memadukan antara ilmu tentang sesuatu, manfaat sesuatu, dan pilihan aplikasi yang sesuai ilmu. Itulah yang Allah karuniakan kepada hamba-Nya yang shalih, Luqman, karena pandai bersyukur, baik kepada Allah maupun kepada sesama terlebih kepada kedua orang tuanya.
Semua orang sepakat bahwa sosok paling berjasa adalah kedua orang tua. Kasih keduanya berlangsung sepanjang jalan, meskipun tetap terbatas. Tetapi kasih Allah SWT tak kenal batas, mencakup segala sesuatu, dan selalu mendahului murka-Nya ketika dilecehkan oleh hamba-Nya. Kasih-Nya berupa pintu ampunan bagi siapa yang meminta juga selalu terbuka. Jasa ayah bunda terlalu besar untuk dibalas, apalagi samudra rahmat Allah yang tiada bertepi. Yang diminta hanyalah ''... berterima kasih kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.'' (QS Luqman [31]: 14).
Orang yang tidak pandai berterima kasih kepada sesama yang kebaikannya tampak dengan indera, lebih tidak mampu lagi bersyukur kepada Allah yang memerlukan iman untuk sekadar mengakui curahan nikmat-Nya yang zhahir (lahir) dan batin.
Perkara terpenting dalam hidup ini adalah syukur, tulis Imam Arrazi. Dengan syukur berarti ada iman dan ketaatan. Tidak ada gunanya seorang mengaku berilmu kalau belum faham, atau mengaku tahu agama kalau belum tahu nilai kebaikan dan bahaya mengabaikannya ('arif). Sedangkan kearifan seseorang diukur dengan kepandaiannya dalam bersyukur (syakur) dan itulah hikmah. ''Siapa yang mendapatkan hikmah berarti telah mendapatkan kebaikan yang banyak.'' (QS Al Baqarah [2]: 269), yang memang pantas diberikan kepada para 'ulil albab (cerdas cendekia). Kepandaian bersyukur = hikmah = kecerdasan.
Di saat mengucapkan kata-kata syukur (terima kasih, alhamdulillah), ada nikmat yang dirasakan jika disertai keikhlasan. Orang yang bersyukur berarti menghadirkan kebaikan untuk dirinya sendiri sebelum berbagi dengan orang lain. Sedangkan orang yang tidak suka, berarti mengundang kemudharatan/bencana atas apa yang ia miliki, dengan menggunakannya secara salah dan menjauhkannya dari keberkahan.
Dengan semangat afala akunu 'abdan syakura (tidakkah pantas aku jadi hamba yang besyukur) menjalani ibadah jadi ringan, beramal kebajikan jadi menyenangkan, karena pikiran kita positif. Ya Allah, bimbinglah kami agar selalu bersyukur, jadikanlah ia milik dan kebiasaan kami. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar