Ketika Negara Menjadi “Body-Guard” Tuhan
Oleh : YUDHIS MUHAMMAD BURHANUDDIN*
Ketika membaca Pasal-Pasal Delik Agama yang tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (lihat www.syirah.com, 10/07/2007), respon pertama saya adalah: “siapa yang paling berhak (bukan berhak karena wewenang kekuasaan!) menilai dan menghakimi hal-hal yang dianggap salah ini?” Dan, “mengapa pula harus negara yang terlibat?”
Delapan pasal dalam draf RUU KUHP ini mengatur agama. Adalah pasal 341, 342, dan 343 dalam draf ini yang perlu dicermati secara holistik dan dalam, serta tidak bisa didekati secara parsial saja. Saya mengutip sebagian yang penting, misalnya, di pasal 341 tercantum “... menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang sifatnya penghinaan terhadap agama,...” Di pasal 342 tercantum “...menghina keagungan Tuhan, firman, dan sifat-Nya,...” Dan di pasal 343 tercantum “...mengejek, menodai agama, rasul, kitab suci, ajaran agama atau ibadah keagamaan,...”
Maksud dan tujuannya adalah “melindungi kesucian agama”. Namun, di balik niat baik ini tersimpan kelemahan dan kekurangan di sana-sini—niat baik saja tidak cukup; dibutuhkan kemampuan kognisi yang handal dan ekspertasi yang mumpuni untuk mewujudkan niat baik agar menjadi kehendak umum, bukan kehendak bersama.
Jika dicermati dengan baik dan teliti, pasal-pasal ini mengandung banyak sekali ketidakjelasan (ambiguisitas) makna dari maksud yang sebenarnya. Alih-alih menjaga kesucian agama, justru kecenderungan golongan tertentu (mayoritas), termasuk negara, untuk menjadikannya sebagai tangan besi atau body guard guna memberangus secara legal segala macam bentuk yang dianggap penyimpangan agama, penghinaan, dan melecehkan Tuhan, semakin terbuka lebar. Masalahnya, kata ‘menghina’, ‘menodai’, ‘mengejek’, dan ‘merendahkan’ tidak memiliki kejelasan makna dan rujukan—multi tafsir.
Kelemahan pasal-pasal ini, mengutip Dr. Siti Musdah Mulia dari Indonesian Conference on Religions and Peace (ICRP), selain tidak melindungi subjeknya, juga cenderung menjadi jebakan bagi subjek jika ia berupaya melakukan ijtihad secara mandiri dan merdeka. Padahal hakikat beragama adalah “la ikraha fiddin...tidak ada paksaan dalam agama.” Selain bahwa, kebebasan berijtihad adalah hak primordial manusia yang tidak bisa diintervensi oleh negara.
Hukum positif yang disponsori negara, dilihat dari sisi manapun, sebetulnya tidak memiliki wewenang dalam menentukan siapa yang sesat, siapa yang benar, karena keyakinan, agama, dan interpretasi teks-teks agama adalah keniscayaan perjalanan zaman yang sudah menjadi catatan sajarah bahwa kecenderungan ini selalu muncul di setiap generasi sebagai upaya kontekstualisasi teks atas tuntutan ruang dan waktu.
Kelemahan lainnya adalah implementasinya. Sayangnya di Indonesia, kita tidak memiliki sebuah lembaga agama yang independen—yang bisa bersikap obyektif—dan mewakili semua golongan, madzhab atapun aliran, serta diakui oleh semua umat tanpa terkecuali (memiliki otoritas penuh) atas penafsiran-penafsiran kitab suci. Yang ada hanyalah lembaga yang bernaung di bawah golongan tertentu dan atau didominasi oleh beberapa golongan yang dianggap resmi oleh negara.
Melihat kenyataan ini, sudah bisa dipastikan bahwa kelompok yang legal menurut negara inilah (walaupun hanya mewakili golongan tertentu) yang nantinya diharapkan memberi masukan (berupa fatwa) kepada pemerintah tentang apa, mengapa, bagaimana dan siapa-siapa saja yang sudah melanggar isi pasal-pasal ini. Dan bagi yang tidak sejalan dengan mainstream, siap-siap saja dituding macam-macam yang tidak jelas parameternya.
Kegagalan Hukum Positif—Tinjaun Historis
Yang paling naif (untuk menghindari kata “lucu”) di antara semua pasal ini adalah Pasal 342 yang berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum menghina keagungan Tuhan, firman, dan sifat-Nya, dipidana dengan pidana penjara 5 tahun atau denda paling banyak kategori IV.”
Karena pasal ini sungguh sangat naif, saya pun ingin menanggapinya secara naif terlebih dahulu. Begini, jika pasal 342 ini kelak menjadi Undang-Undang, maka satu-satunya negara di dunia ini yang paling berhak menerima Noble Prize In Recognition Of God’s Body Guard (atas jasa-jasanya menjaga Tuhan) adalah Indonesia.
Entah logika apa lagi yang mesti kita gunakan untuk mengatakan bahwa pasal ini universal dan diterima nalar sehat. Bagaimana mungkin manusia melindungi Tuhan dengan undang-undang? Bukankah Tuhan lah yang kuasa untuk melindungi manusia? Maka benar kata Gus Dur, “Tuhan, kok, dibela?!”
Di samping itu, perbedaan pendapat di kalangan Islam, baik itu soal-soal ushuliyyah (prinsip-prinsip agama) maupun furu’iyyah (cabang-cabang agama), masih terus berlangsung sampai saat ini. Walaupun demikian, perbedaan ini masih berada dalam wilayah sumber-sumber primer hukum Islam (al-Quran dan sunnah). Dengan adanya pasal-pasal ini, kecenderungan yang akan terjadi adalah pihak yang merasa terdesak dengan adanya arus pemikiran kritis karena tuntutan semangat zaman—biasanya kalangan konservatif ortodoks dalam beragama yang celakanya jumlahnya selalu mayoritas di sepanjang rentang waktu sejarah Islam—serta-merta akan menuding pemikiran-pemikiran kritis dan analitis ini sebagai pelecehan agama, Tuhan, dan menyimpang dari kitab suci.
Jika misalnya saya membaca “...fa ainama tuwallû fatsammâ wajhullâh”, lalu saya berpendapat bahwa ternyata Tuhan memiliki wajah sebagaimana arti ayat ini, dengan menggunakan pasal-pasal tersebut, sudah pasti saya dianggap “menghina” Tuhan. Padahal ayat ini sejak masa Tabi’it tabi’in (generasi sesudah sahabat) sudah memancing perdebatan sengit (sampai sekarang masih berlangsung) di kalangan penganut Kalamiyah (ilmu kalam).
Dengan kata lain, karena ayat tersebut, ada pihak yang memaknai bahwa Tuhan berwajah hanya saja wajahnya tidak sama dengan wajah makhluk-Nya—Kaum Salaf—dan ada juga yang sama sekali menolak sifat-sifat antropomorfisme (kemanusiaan) Tuhan—kaum Rasionalis, para filosof dan Mu’tazilah.
Belum lagi misalnya bila RUU ini disahkan sudah pasti akan digunakan untuk membidik kelompok Ahmadiyah yang, bagi penganut mainstream, ia dituding sesat dalam ber-Islam. Begitu juga dengan anak-anak muda kritis lainnya, seperti JIL (Jaringan Islam Liberal) yang sampai saat ini keberadaannya masih terus dipersoalkan secara sepihak.
Membaca pasal 342 RUU KUHP ini saya jadi teringat tragedi Mas’at al-Hallaj karya Salah Abdul Saleh—dalam versi Inggris-nya Murder in Baghdad dan dalam versi Indonesianya Tragedi Al-Hallaj (penerjemah Abdul Hadi W.M., 1976). Husayn Ibnu Mansur al-Hallaj atau lebih dikenal dengan sebutan Al-Hallaj, dihukum gantung dan disalibkan di tengah keramaian kota Baghdad, dipertontonkan kepada penduduk setempat, dan setelah itu jenazahnya dimutilasi kemudian dibakar dan abunya dibuang ke Sungai Tigris.
Tragedi kemanusiaan ini disebabkan oleh pernyataannya yang kontroversial: “Ana al-haq”; Aku adalah Engkau, tanpa ragu / Mahasuci Dikau, mahasuci daku / Tauhid-Mu adalah tauhidku / Memaksiati-Mu adalah memaksiatiku / Membuat marah-Mu adalah membuat marahku / Dan ampunan-Mu adalah ampunanku (Fudoli Zaini, 2000:40). Oleh para hakim Fikih waktu itu, para Fukaha, dia dijatuhi hukuman mati setelah dicap, dituding, dipersalahkan oleh pengadilan yang memang berkolaborasi dengan negara, dengan kesalahan bahwa Al-Hallaj telah menghina Tuhan. Fikih, begitu juga hukum modern, yang sangat positivistik itu, gagal menyelami makna-makna di balik teks—apa saja.
Dari kacamata hukum positif (termasuk fikih), jelas, puisi Al-Hallaj di atas adalah penghinaan kepada Tuhan. Tetapi apakah pernyataan puitik ini betul-betul penghinaaan, ini yang perlu dikaji dari berbagai sisi dan pendekatan. Letak kegagalan hukum (dan fikih)—sehingga ia bisa semena-mena justru kepada orang yang tidak bersalah sama sekali—ada di sini: bahwa hukum, yang bersifat positivistik itu, tidak mampu membedakan antara penghinaan dan pemujaan dalam dimensi estetika dan relijiusitas—Sufistik. Ini hanya salah satu contoh.
Filosof-filosof Islam, seperti Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina, dituduh kafir, dan darah mereka dihalalkan secara sepihak oleh golongan lain (Kaum Salaf) yang mayoritas. Kalangan ini, yang sangat positivistik, literer, dan kaku dalam mencerna teks-teks menolak spritualitas berdasarkan filsafat dan sufistik, karena mereka menganggapnya Khurafat dan Bid’ah.
Karena waktu itu para penganut kekakuan teks ini (salaf) adalah mayoritas, jadilah para filosof, sufi dan aliran Mu’tazilah yang minoritas ini dituduh melecehkan Tuhan dan agama. Seperti algojo Al-Hallaj, para penganut kekakuan teks ini (sepanjang sejarah selalu mayoritas) tidak mampu mencerna dan membandingkan antara pernyataan melecehkan Tuhan dan pernyataan yang mengagungkan Tuhan dalam dimensi filsafat, estetika, dan relijiusitas.
Sepanjang sejarah Islam, nasib para mujtahid (sufi, filosof dan Mu’tazilah) ini selalu berakhir di tangan algojo. Sufi yang lain, Ibnu ‘Arabi, juga mengalami nasib serupa—dihukum mati—setelah secara sepihak dinyatakan telah menghina Tuhan dan agama. Persoalannya, hukum positif, termasuk fikih, tidak memiiki perangkat khusus, selain prmahaman yang literer dan kaku, untuk menembus teks agar mencapai makna di baliknya.
Kembalikan Agama dan Tuhan Kepada Kebebasan Manusia
Ada banyak tragedi berdarah dalam sejarah Islam yang sumbernya berasal dari kolaborasi antara hukum positif (fikih) dan kepentingan penguasa—rezim. Di atas hanya sebagian yang bisa saya sebutkan dalam ruang ini. Karena memang pada umumnya, korban-korban tuduhan pelecehan agama dan Tuhan ini selalu bersikap kritis kepada rezim sehingga eksistensi mereka cukup menggerahkan rezim yang sedang berkuasa.
Salah satu cara efektif dan jitu untuk menghabisi pengkritik rezim ini adalah dengan cara rezim menggandeng salah satu golongan, kemudian golongan ini disahkan olehnya sebagai agama yang sah. Dari sini, dengan gampangnya, rezim memenjarakan, mengasingkan, bahkan menghilangkan paksa para pengkritik. Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas adalah sebagian dari mereka yang menjadi korban tirani negara yang didominasi oleh golongan tertentu. Makanya negara dan golongan yang resmi menjadi mainstream negara adalah Body-Guard Tuhan. Semoga negara dan bangsa ini sadar akan sejarah tersebut.
Terakhir, yang dibutuhkan bangsa ini bukan produk hukum yang mengantarkan kita semua berjalan mundur ke belakang, tetapi produk hukum yang memacu kita menatap masa depan bangsa yang gemilang. Oleh sebab itu, sudah waktunya agama disimpan di dalam lubuk hati kita masing-masing. Tidak perlu diundangkan, apalagi memaksa negara untuk turut campur mengaturnya. []
* ADALAH ESAIS YANG KINI SEDANG MENDALAMI AGAMA DAN FILSAFAT HINDU PADA PROGRAM PASCASARJANA (S2) ILMU AGAMA DAN KEBUDAYAAN, UNIVERSITAS HINDU INDONESIA (UNHI), DENPASAR, BALI.