Oleh : Zaim Uchrowi
Suasana peringatan 17 Agustus masih terasa di mana-mana. Merah putih masih menghiasi sudut-sudut permukiman. Pesan-pesan kemerdekaan masih jelas terngiang. Pesan-pesan yang sangat berharga tentu buat membangun karakter kita sebagai bangsa. Banyak pesan agar menumbuhkan kenasionalan. Mencintai milik kita sendiri. Tidak pula gampang silau pada hal asing.
Ada pula pesan yang lebih spiritualis. Yakni, mengajak kita merenungi hari proklamasi kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17, hari Jumat, damai di bulan Ramadhan. Tujuh belas adalah jumlah rakaat shalat fardu dalam sehari semalam. Juga tanggal turunnya wahyu Ilahi pertama pada Sang Rasul Muhammad SAW yang berbunyi "Iqra!". "Bacalah". Jumat dan Ramadhan jelas hari dan bulan paling istimewa berdasar petunjuk agama. Suatu kebetulankah kalau kemerdekaan kita jatuh pada waktu yang penuh perlambang kebaikan itu? Tidakkah kita perlu belajar untuk memaknainya secara lebih mendalam?
Banyak lagi pesan berharga lainnya. Tapi, yang membuat saya meluangkan waktu paling banyak untuk mencernanya adalah seruan agar hidup sederhana. Seruan ini terdengar dari Soetrisno Bachir, pemimpin partai reformis PAN penerus Amien Rais. Di beberapa kesempatan pada Agustusan ini ia selalu mengajak untuk hidup sederhana. Ajakan ini terutama ditujukan pada pejabat publik, pada orang-orang politik, juga pada siapa pun. Terutama yang bekerja untuk masyarakat, dan dibiayai dengan dana negara atau masyarakat. Kesederhanaan adalah kunci kesejahteraan dan kemajuan bagi semua.
Secara agama, seruan itu amat mengena. Bermegah-megah disebut Allah SWT sebagai hal yang "melalaikan" hingga nanti masuk kubur. "Janganlah begitu, kelak kau akan mengetahui. Sungguh janganlah begitu, kelak kau akan mengetahui. Jangan begitu, kau akan mengetahui dengan sangat pasti. Kau akan melihat neraka jahanam." Begitu penegasan sang pemilik alam raya ini. Begitu pula yang dicontohkan keluarga Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Keluarga itu sangat berkecukupan.
Khadijah adalah seorang yang kaya raya. Muhammad muda berhasil melipatgandakan kekayaan itu lewat misi bisnisnya yang cemerlang ke Syam. Tapi, kehidupan mereka biasa saja. Demikian pula kehidupan sahabat terdekat mereka, Abu Bakar. Ia seorang yang sangat kaya. Tapi ia menghindari bermegah-megah.
Kita acap menjadi pribadi sebaliknya. Kemakmuran kita sering tidak seberapa. Tapi kita sering ingin bermegah-megah. Padahal sekalipun kita makmur, sekali lagi menurut agama, bermegah-megah adalah hal terlarang. Untuk rumah, kita kadang tergoda membangunnya secara mencolok. Yakni yang tampak lebih megah dibanding sekitarnya.
Kita lebih bangga punya rumah yang mewah ketimbang rumah yang asri dan nyaman dihuni. Dalam memilih kendaraan, pakaian, hingga keinginan berganti-ganti alat komunikasi, gengsi hampir selalu kita kedepankan dibanding fungsi. Kegandrungan kita pada Starbucks juga lebih terdorong oleh gaya hidup bergengsi dibanding buat memenuhi kebutuhan rasa dan suasana.
Saat menggelar resepsi pernikahan, kita juga sering mendahulukan kemewahan pesta dibanding dengan keberkahannya. Bahkan saat sakit pun, kita lebih memilih rumah sakit bergengsi dibanding yang memang optimal dalam pengobatan. Walaupun untuk itu harus membayar sangat mahal untuk pengobatannya yang berlebihan yang sebenarnya telah sampai pada tingkat peracunan. Sering tanpa tersadari, kita acap bermegah-megah sementara jutaan orang lainnya di sekitar kita hidup sangat susah.
Suasana demikian, ironisnya, justru lebih mudah kita temui di sini. Yakni, pada bangsa yang mengaku memiliki sifat bertoleransi dan bahkan merasa Berketuhanan yang Maha Esa ini. Masyarakat Jepang dan juga bangsa-bangsa Skandinavia sangat menjauhi bermegah-megah diri seperti itu. Rumah-rumah mereka adalah rumah-rumah biasa namun nyaman dan terasa berjiwa. Gaya hidup para pejabatnya juga sangat biasa.
Namun, mereka termasuk bangsa-bangsa paling sejahtera di dunia. Bersikap sederhana juga menjadi sikap baku para pejabat Singapura. Gaji mereka sebagai pejabat negara adalah gaji tertinggi di dunia. Namun, pakaian dan kendaraan mereka biasa. Mereka tidak akan memakai pakaian bermerek dari luar negeri. Barang mewah tidak mereka gunakan, melainkan mereka perdagangkan. Terutama untuk tetangganya yang 'norak' seperti kebanyakan kita.
Peringatan hari kemerdekaan kali ini sebaiknya kita jadikan momentum buat mengakhiri 'kenorakan' itu. Kita jadikan momentum buat mentransformasi diri. Yakni dari yang mementingkan gengsi menjadi yang mementingkan fungsi, dari yang mementingkan untuk dikagumi menjadi yang mementingkan produktivitas diri, dari yang suka megah dan mewah menjadi yang suka bersahaja dan bermakna. Mari singkirkan segala kerumitan hidup demi gengsi. Mari menjadi pribadi benar-benar sejahtera dan bahagia. Sebuah buku pengembangan diri menunjukkan jalannya. "Simplify your life". Sederhanakan kehidupanmu. Niscaya akan sampai pada sejahtera dan bahagia sebenarnya.
Sekarang, beberapa pemimpin bangsa dari generasi yang lebih muda tampak sungguh-sungguh berkesadaran tentang pentingnya menjadi sederhana. Ketua MPR, Hidayat Nurwahid, secara konsisten mempertahankan hidupnya yang sederhana. Soetrisno Bachir yang sudah sangat kaya sebelum terjun ke politik pun, hidup sederhana saja untuk tingkatnya. Sikap demikian semestinya ditiru oleh semua pejabat negara, para pemimpin lainnya, serta kita semua. Itulah cara terbaik buat memaknai peringatan hari proklamasi kita sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar