Rabu, 22 Agustus 2007

Kematian Adalah Awal Hidup Baru

Oleh ISA NUR ZAMAN

”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiya, 35).

KEMATIAN sering dianggap sebagai peristiwa menakutkan, bahkan mungkin paling mengerikan dalam setiap pikiran makhluk yang bernyawa. Dalam pengalaman hidup manusia, kematian selalu menjadi bentuk pengalaman terburuk. Karenanya kematian sering menyisakan air mata kesedihan, kepiluan, bahkan kekecewaan. Di sini, kematian sering dianggap sebagai akhir dari segalanya.

Setiap individu pasti akan merasakan mati. Ungkapan tersebut banyak muncul dalam ayat-ayat Alquran, di antaranya Surat Ali Imran: 185, Al-Anbiya: 35, dan Al-Ankabut: 57. Hal itu dapat dijadikan sebagai peringatan bagi setiap makhluk yang bernapas, juga sebagai ketegasan Alquran bahwa kematian adalah kemutlakan dan keniscayaan yang harus terjadi. Bukankah hidup adalah antrean menuju kematian?

Kematian memang merupakan sebuah misteri Ilahi. Misteri yang teramat sulit jika hanya dilacak oleh rasionalitas dan mengandalkan hal yang bersifat empiris. Tidak seorang pun yang tahu akan proses kematian, apalagi untuk memajukan atau mengakhirkan waktu kematian itu sendiri. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Araf: 34, ”Tiap umat memiliki batas waktu (ajal); apabila telah datang waktunya (kematian/ajal) mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat pula memajukannya”.

Kematian adalah salah satu dari sekian banyak skenario yang ditetapkan oleh Allah SWT di samping perjodohan, kebahagiaan, dan kecelakaan manusia. Pengakuan akan masalah tersebut harus dilandasi keimanan yang merupakan basis keyakinan dan kepercayaan bagi para muttaqin. Esensi kematian adalah bagian dari dimensi kegaiban dan bagi setiap individu bertakwa menjadi keharusan untuk mengimaninya (Q.S. Al-Baqarah: 2).

Berbagai dalil dari setiap ajaran agama mengakui akan datangnya kematian pada tiap-tiap makhluk hidup. Namun anehnya, banyak orang-orang yang jika diamati dari tingkah lakunya seolah-olah mereka tidak akan mati. Tilikan itu terlihat dari beberapa orang yang begitu ”gigihnya” mencari, mengumpulkan, menumpuk-numpuk, bahkan menghitung-hitung hartanya setiap hari. Selain itu, banyak di antara mereka yang begitu bangganya dengan kehidupan yang bermegah-megahan, berfoya-foya maupun kehidupan yang dipenuhi kegemerlapan duniawi lainnya.

Kondisi seperti itu menunjukkan kelupaan mereka atau bahkan sengaja melupakan kehidupan yang akan muncul setelah kehidupan di dunia. Padahal Allah SWT menciptakan kehidupan manusia di dunia dalam posisi baik maupun buruk merupakan batu ujian untuk kelulusan menghadapi kehidupan selanjutnya. Dan ukuran kebahagian mereka kelak ditentukan aksi (amal) mereka hari ini.

Bukankah Allah Azza wa Jalla telah mengungkapkan dalam Alquran, ”Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya pula” (Q.S. Az-Zalzalah: 7-8).

Ayat tersebut memberikan pilihan bagi kita untuk melakukan kebaikan atau sebaliknya. Kedua pilihan hidup tersebut memiliki konsekuensi yang sama atas pilihan kita itu. Artinya, sesuatu yang akan kita peroleh bergantung pada proses awal yang kita lakukan. Rasulullah mengungkapkan dalam sebuah hadisnya, ”Setiap pekerjaan (amal) diiringi dengan niat, dan setiap orang akan bergantung dari apa yang diniatkannya itu”.

Masalahnya, kita jarang memahami arti dari kehidupan kita di dunia ini. Kita sering beranggapan bahwa Allah peduli, saat kebahagiaan menghampiri kita. Namun sebaliknya saat musibah atau keburukan yang datang, kita menilai bahwa Allah tidak peduli lagi. Akibatnya, tidak jarang kita melakukan sesuatu di dunia ini tanpa dibingkai oleh nilai-nilai Illahiyah. Sebaliknya kita lebih sering melihat kehidupan kita ini dengan ukuran-ukuran materi yang sering menipu dan membodohi kehidupan kita.

Kecintaan kita terhadap materi sering melupakan kita akan datangnya kematian, sehingga ketika ditinggalkan oleh orang-orang yang kita cintai maka kiamat seakan telah dekat.

Islam mengajarkan bahwa kematian bukanlah akhir dari keseluruhan kehidupan manusia. Menurut Nurcholis Madjid (2000: 190), kematian bukanlah akhir pengalaman eksistensial manusia. Kematian, papar Cak Nur, adalah ”pintu” untuk memasuki kehidupan manusia selanjutnya, suatu kehidupan yang sama sekali lain dari yang sekarang kita alami, yaitu kehidupan ukhrawi. Pandangan seperti ini banyak dipegang oleh setiap orang Islam bahkan lebih cenderung sebagai suatu hal yang taken for granted.

Sebagai contoh kehidupan itu tetap berlangsung adalah bagi orang yang berjihad di jalan Allah (fii sabilillah). Meskipun secara jasmani telah ada keterlepasan antara nyawa dari jasadnya, secara eksistensial ia akan tetap hidup. Hidup karena kebaikan, kerja keras, kegigihan maupun pengorbanan yang dikerjakan selama hidupnya. Selain itu, orang-orang yang meninggal dalam perjuangan di jalan Allah tentunya akan menikmati kehidupan hakiki pasca-kematiannya di dunia.

Demikian itu diabadikan dalam firman Allah SWT, ”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (Q.S. Al-Baqarah: 154).

Dalam konteks ini, sungguh sangat disayangkan jika setiap individu yang beragama hanya berkutat dan mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi belaka. Apalagi, kehidupan kita justru dipenuhi oleh keburukan-keburukan yang kita lakukan. Keburukan yang tidak saja merusak pribadinya, tetapi juga kehormatan agama dan bangsanya, seperti membunuh jiwa orang lain ataupun menciptakan teror pada setiap jiwa manusia.

Padahal jika kita menyadari akan esensi dari kematian itu, setiap gerak kehidupan kita akan selalu diwarnai oleh kegiatan-kegiatan yang bermakna dan berguna bagi setiap makhluk. Kehidupan kita akan terasa selalu diawasi oleh Sang Maha Pencipta. Maka, geraknya adalah untuk kebaikan, karena sebaik-baik manusia adalah mereka yang memiliki nilai kebermanfaatan bagi manusia lainnya (khiru an naasi anfa’uhum li an naasi).

Sekiranya kita belum mampu memahami esensi kematian itu, maka jangan begitu saja melupakan kematian dengan hanya memikirkan materi keduniawian. Allah SWT tidak melarang manusia untuk mencari kebutuhan mereka di dunia. Tapi akan sungguh sangat adil jika kita pun tidak melupakan untuk mempersiapkan kehidupan di akhirat kelak.

Subhanallah, sekiranya kehidupan bumi ini dipenuhi oleh orang-orang yang selalu mengingat mati dan mempersiapkan kematiannya kelak. Semoga kita digolongkan kepada orang-orang yang mampu memahami arti dari kematian kita. Wallahu’alam bil al haq.***

Penulis, alumnus Pondok Pesantren Modern Al Ikhlash Kuningan, Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Bandung

Tidak ada komentar: