Oleh : Arief Fauzi Marzuki
''.... Di antara kamu ada yang menghendaki dunia, dan ada yang menghendaki akhirat. Kemudian, Allah memalingkan kamu dari mereka untuk mengujimu. Tapi, Dia benar-benar telah memaafkan kamu. Dan, Allah mempunyai karunia (yang diberikan) kepada orang-orang mukmin.'' (QS Al Ali Imran [3]: 152).
Ayat di atas secara redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW supaya memusyawarahkan persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat dengan para sahabatnya. Itu artinya juga perintah kepada setiap kita untuk tetap menjalankan musyawarah terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut khalayak atau hajat hidup orang banyak.
Lalu bagaimana etika musyawarah itu bisa dijalankan? Pertama, sikap lemah lembut. Seorang yang melakukan musyawarah --apalagi seorang pemimpin-- harus mampu menghindari kata-kata kasar, kurang sopan atau keras kepala, karena kalau tidak mitra kita bisa berhamburan meninggalkan forum. Kedua, memberi maaf dan membuka lembaran baru. Maaf secara etimologi berarti 'menghapus'. Memaafkan berarti menghapus bekas luka di hati akibat perlakuan pihak lain yang dinilai kurang wajar dan tidak proporsional. Orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental pemaaf. Kita harus memiliki kebesaran jiwa untuk berbeda pendapat dengan pihak lain.
Kemudian, orang yang melakukan musyawarah harus menyadari bahwa kecerdasan dan ketajaman analisis saja tidaklah cukup. Kita membutuhkan selain akal yaitu sebuah petunjuk, hidayah, ilham yang bisa mengantarkan kita pada kebenaran sejati. Dengan demikian, untuk mendapatkan hasil terbaik ketika musyawarah, hubungan dengan Tuhan tak boleh diabaikan. Ketiga, setelah musyawarah usai, dengan tekad bulat kita harus melaksanakan dengan konsisten dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang diambil, sembari bertawakal. ''Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.'' (QS An-Nisa [4]: 58).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar